Habib Salim bin Jindan adalah salah satu ulama yang dikenal luas karena kepakarannya dalam Ilmu Hadits. Ia merupakan bagian dari generasi ulama yang berjasa besar dalam menjaga sanad keilmuan dan tradisi dakwah di Indonesia, khususnya di Jakarta pada abad ke-20. Sosoknya sering dikaitkan dengan sebutan Tiga Serangkai Ulama Betawi bersama Habib Ali Al-Habsyi dari Kwitang dan Habib Ali Al-Attas dari Cikini.
Sebagai seorang ulama, Habib Salim tidak hanya dikenal karena kecerdasannya, tetapi juga karena produktivitasnya dalam menulis. Puluhan karyanya membahas berbagai bidang, mulai dari sejarah, hadis, hingga fikih. Melalui dakwah, pengajaran, dan karya-karyanya, ia berusaha memperkuat otoritas ilmu hadis serta mempertahankan tradisi sanad di tengah berkembangnya gerakan reformasi Islam di Indonesia.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang dan Kehidupan Awal
Habib Salim bin Jindan lahir di Surabaya pada 7 September 1906 bertepatan dengan 18 Rajab 1324 Hijriyah. Ia tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat menjunjung tinggi ilmu agama. Sejak kecil, Habib Salim sudah akrab dengan majelis taklim dan tradisi sanad keilmuan yang kelak membentuk karakter keulamaannya.
Ketika usianya masih muda, Habib Salim sudah menunjukkan kecintaan luar biasa terhadap ilmu. Ia menimba pengetahuan dari banyak guru, baik dari kalangan habaib maupun ulama non-sayyid. Dalam catatannya, tercatat lebih dari 400 guru yang pernah menjadi tempat ia berguru. Dari merekalah ia mendapatkan sanad dan silsilah keilmuan yang kuat, terutama dalam bidang hadis.
Habib Salim sendiri pernah menggambarkan suasana ketika menghadiri majelis para gurunya. Menurutnya, majelis-majelis tersebut penuh dengan kekhusyukan, ketentraman, kewibawaan, dan keagungan. Kehadiran para ulama besar itu membuat siapa pun yang memandang wajah mereka akan teringat kepada Allah.
Dalam pandangannya, beberapa ulama menjadi teladan istimewa. Ia pernah menyebut bahwa Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir al-Haddad dan Habib Abu Bakar bin Muhammad As-Seggaf dari Gresik adalah panutan terbaik bagi dirinya dan anak-anaknya.
Guru dan Sanad Keilmuan
Salah satu keistimewaan Habib Salim bin Jindan adalah keluasan sanad yang dimilikinya. Ia tercatat memiliki hubungan keilmuan dengan ratusan ulama dari berbagai penjuru, bahkan jumlahnya mencapai lebih dari 400 guru. Hal ini menjadikan sanadnya sangat beragam dan kuat, baik dari jalur habaib maupun ulama non-sayyid. Catatan mengenai guru-gurunya itu ia tulis dengan teliti dalam berbagai karyanya, sehingga menjadi bukti otentik perjalanan intelektualnya.
Dalam dunia ilmu hadis, sanad atau isnad adalah inti dari transmisi pengetahuan. Seorang muhaddits yang memiliki sanad dekat dengan Nabi Muhammad SAW akan dianggap memiliki otoritas yang tinggi. Pada masa Habib Salim, rantai periwayatan hadis yang bersambung hingga Imam Bukhari biasanya terdiri dari sekitar 20 hingga 22 mata rantai. Namun, sanad yang dimiliki Habib Salim jauh lebih ringkas. Dalam beberapa jalur, jumlah periwayat antara dirinya dan Imam Bukhari hanya berkisar 15 hingga 18 mata rantai. Kedekatan semacam ini merupakan keistimewaan yang sangat langka.
Salah satu sanad penting yang dimilikinya bersambung langsung kepada Imam Bukhari melalui jalur periwayat besar seperti Imam Muhammad bin Yusuf al-Farabri, Yahya bin ‘Ammar al-Khathlaani, hingga Habib Shaleh bin Abdullah bin Jindan, sebelum sampai kepada Habib Salim sendiri. Rantai sanad semacam ini tidak hanya menunjukkan kedalaman ilmunya, tetapi juga menegaskan posisinya sebagai seorang muhaddits yang diakui otoritasnya.
Keistimewaan Habib Salim bin Jindan diakui pula oleh para ulama pada masanya. Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf menegaskan bahwa beliau memiliki sifat al-‘adalah dan al-dhobth. Al-‘adalah merujuk pada integritas pribadi, yaitu tidak melakukan dosa besar, menjauhi kebiasaan dosa kecil, serta berakhlak mulia. Sementara al-dhobth adalah ketelitian dan kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis, baik melalui hafalan yang kuat maupun catatan yang akurat.
Setiap kali menyampaikan hadis dalam ceramahnya, Habib Salim selalu melengkapinya dengan sanad yang jelas, dari dirinya hingga Rasulullah SAW. Semua itu ia sampaikan tanpa membaca catatan, melainkan dari hafalannya. Kemampuan luar biasa ini membuat para ulama di Hadramaut kagum ketika beliau berkunjung ke sana. Mereka melihat bagaimana seorang ulama dari Indonesia mampu menguasai Ilmu Hadits dengan hafalan sanad yang lengkap, sesuatu yang hanya dimiliki oleh segelintir muhaddits besar.
Dunia Hadits
Sebagai seorang muhaddits, Habib Salim bin Jindan tidak hanya dikenal karena hafalan sanadnya yang kuat, tetapi juga karena perannya dalam menghidupkan tradisi pengajaran hadits di Indonesia. Setiap kali berceramah, ia selalu menyebutkan hadits lengkap dengan sanadnya, mulai dari dirinya hingga Rasulullah SAW.
Pada dekade 1940–1950-an, kajian hadits semakin populer di kalangan reformis Muslim Indonesia. Namun, pemahaman yang mereka bawa seringkali berbeda dengan tradisi sanad yang dijaga para ulama seperti Habib Salim. Untuk merespons hal ini, ia membentuk Thaifah al-Muhadditsin, sebuah kelompok yang berfokus pada kajian hadits dengan menekankan pentingnya sanad. Ia menasihati murid-muridnya agar tidak menolak bergabung dengan kelompok ini, karena menurutnya, ilmu hadits merupakan pengetahuan kenabian yang murni. Meninggalkan tradisi sanad berarti meninggalkan fondasi otoritas Islam itu sendiri.
Selain mengajar, Habib Salim juga aktif menulis. Ia adalah salah satu ulama Indonesia yang sangat produktif dalam bidang penulisan karya ilmiah. Tidak kurang dari seratus kitab dan risalah ia hasilkan, membahas berbagai tema seperti sejarah, ilmu hadis, fikih, hingga nasab. Karya-karya ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana dakwah, tetapi juga sebagai dokumentasi keilmuan yang menjadi rujukan penting bagi generasi setelahnya.
Melalui kiprah dakwah, pengajaran, pemberian ijazah, serta penulisan karya, Habib Salim bin Jindan berhasil memperkuat posisi ilmu hadis di Indonesia. Ia menjadi jembatan antara tradisi ulama klasik dengan kebutuhan zaman modern, sekaligus memastikan bahwa sanad tetap terjaga sebagai fondasi otoritas dalam memahami hadis.
Peran di Tengah Gerakan Reformis
Pada awal abad ke-20, dunia Islam di Indonesia mengalami perubahan besar. Gerakan reformis Muslim mulai memperkenalkan cara pandang baru terhadap hadits. Mereka mengedepankan pemahaman yang lebih rasional, kritis, dan langsung kepada teks, seringkali tanpa menekankan pentingnya sanad yang selama berabad-abad menjadi tradisi utama ulama klasik.
Sebagai seorang muhaddits yang sangat menekankan otoritas sanad, ia melihat bahwa mengabaikan rantai periwayatan dapat melemahkan fondasi keilmuan Islam. Untuk itu, ia tampil sebagai figur yang mampu menjembatani dua arus besar: menjaga otoritas sanad sekaligus berinteraksi dengan wacana yang dikembangkan kaum reformis.
Habib Salim menggunakan rujukan dari ulama hadis besar yang juga dihormati oleh kalangan reformis, seperti Jalaluddin al-Suyuthi dan Ibn Hajar al-‘Asqalani. Dengan cara ini, argumennya dapat diterima oleh kelompok reformis sekaligus menegaskan bahwa sanad tetap merupakan elemen penting dalam validitas hadits. Ia juga menulis karya-karya yang menggabungkan keilmuan sanad dengan pendekatan yang bisa dipahami oleh mereka, sehingga memperkuat posisi ulama Bā‘alawī sebagai pewaris otoritas hadis.
Melalui langkah-langkah tersebut, Habib Salim berhasil menjaga tradisi keilmuan hadits tetap relevan di masa perubahan. Ia mampu memperkuat posisi para ulama tradisional tanpa harus menutup pintu dialog dengan pemikiran baru yang berkembang pada saat itu.
Murid Habib Salim bin Jindan
Perjalanan dakwah dan keilmuan Habib Salim bin Jindan tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia melahirkan banyak murid yang kelak menjadi ulama dan pendidik berpengaruh di Indonesia. Salah satu muridnya yang terkenal adalah KH. Abdullah Syafe’i, pendiri Perguruan Asy-Syafi’iyah di Jakarta. Setiap tahun, KH. Abdullah Syafe’i mengundang gurunya untuk meriwayatkan hadits kepada para santri, sebuah tradisi yang memperlihatkan betapa besar penghormatan murid terhadap sanad dan keilmuan Habib Salim.
Selain di lingkungan pesantren, Habib Salim juga aktif menyebarkan hadits dalam forum-forum dakwah yang lebih luas. Ketika melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Nusantara, ia selalu menyampaikan hadits disertai sanad yang lengkap, lalu memberikan ijazah kepada ulama maupun jamaah yang hadir. Salah satu momen bersejarah terjadi pada 1941, ketika ia diundang ke Masjid Agung Palembang. Di hadapan jamaah yang besar, ia meriwayatkan hadits secara langsung, menyebutkan sanad hingga Rasulullah SAW, lalu secara resmi memberikan ijazah kepada hadirin.
Kegiatan ini tidak hanya bersifat simbolis, melainkan juga memperkuat legitimasi ilmiah para ulama setempat. Bahkan, Habib Salim mencetak sanad-sanad hadis dalam bentuk tulisan untuk dibagikan kepada mereka yang memintanya. Upaya tersebut menunjukkan kesungguhannya menjaga tradisi periwayatan hadis sekaligus menyebarkannya ke kalangan yang lebih luas.
Habib Salim bin Jindan memiliki banyak karya. Dengan lebih dari seratus kitab yang membahas hadits, sejarah, fikih, dan nasab, ia meninggalkan khazanah intelektual yang sangat kaya.
Melalui murid-muridnya, ijazah yang ia sebarkan, serta karya tulisnya, Habib Salim memastikan bahwa ilmunya tidak berhenti pada dirinya sendiri. Ia menanamkan fondasi yang kuat bagi generasi ulama berikutnya, sekaligus meneguhkan posisinya sebagai salah satu pewaris sanad hadits terpenting di Indonesia.
Wafat
Habib Salim bin Jindan wafat pada 1 Juni 1969 dalam usia 62 tahun. Kepergiannya menjadi duka mendalam bagi kalangan habaib, ulama, murid, serta masyarakat luas yang pernah merasakan manfaat dari dakwah dan ilmunya. Ia dimakamkan di Jakarta, dan hingga kini makamnya kerap diziarahi sebagai bentuk penghormatan atas jasa dan perjuangannya.
Meskipun telah wafat lebih dari setengah abad lalu, warisan Habib Salim tetap hidup melalui murid-murid, karya, dan sanad keilmuan yang ia sebarkan. Tradisi periwayatan hadis yang ia hidupkan di Indonesia menjadi pengingat bahwa sanad merupakan bagian penting dalam menjaga kemurnian ajaran Islam. Lebih dari itu, karya tulisnya yang mencapai ratusan judul memberikan kontribusi besar dalam bidang hadits, sejarah, dan keilmuan Islam di Nusantara.
Sumber:
- Yuliza, Ira. Konsep Pendidikan Islam dalam Pemikiran Habib Salim bin Jindan. Skripsi, Universitas Islam Negeri Sumatera Utara, 2019.
- Karyadi, Fathurrochman. “Biografi Intelektual Muhaddits Nusantara Abad XX: Habib Salim bin Jindan.” Nabawi: Jurnal Pendidikan dan Studi Islam, vol. 1, no. 2, Mar. 2021, pp. 162–177. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diakses 21 Agustus 2025.
- “Al-Habib Salim bin Jindan; Ulama, Nasionalis, dan Pejuang Kemerdekaan” nu.or.id (Diakses pada 31 Agustus 2025)