Edit Template

Abdullah Idrus: Sastrawan Golongan Angkatan 45

Abdullah Idrus adalah salah satu sastrawan Indonesia yang dikenal sebagai pelopor Angkatan 45 di bidang prosa. Lewat karya-karyanya, ia menghadirkan sudut pandang baru dalam menggambarkan realitas masyarakat. 

Berbeda dengan banyak pengarang sezamannya, Idrus menampilkan kritik tajam terhadap perang dan kehidupan sosial, sehingga namanya melekat dalam sejarah sastra Indonesia modern.

Masa Kecil dan Pendidikan

Abdullah Idrus lahir di Padang pada 21 September 1921. Ia memiliki seorang adik bernama Enar Abdullah. Sejak kecil, ia dan adiknya bersekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Kayutanam. Namun, kehidupan masa kecilnya tidak mudah. Kedua orang tuanya meninggal dunia ketika ia masih kecil, sehingga ia dan Enar kemudian diasuh oleh keluarga bibi dari pihak ibu.

Keluarga tersebut menyekolahkan Idrus hingga ke tingkat menengah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Setelah lulus, Idrus melanjutkan pendidikan ke Jakarta pada 1943 dengan menempuh jenjang menengah atas di AMS (Algemeene Middelbare School). Selepas dari AMS, ia sempat masuk ke Rechthoogeschool atau Sekolah Tinggi Hukum, meski akhirnya tidak menyelesaikan studinya. Selama bersekolah di Jakarta, ia tinggal di rumah pamannya.

Awal Karier Sastra

Minat menulis Idrus sudah terlihat sejak ia duduk di bangku sekolah menengah. Ia banyak menulis cerita pendek dan rajin membaca roman karya pengarang Eropa yang dipinjam dari perpustakaan sekolah.

Setelah berhenti sekolah, Idrus bekerja di Balai Pustaka. Di sinilah ia mendapat kesempatan untuk mengakses berbagai bacaan sastra sekaligus bergaul dengan sastrawan dan pemerhati sastra, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, H.B. Jassin, Anas Makruf, Kusuma Sutan Pamuncak, dan Nur Sutan Iskandar.

Pada masa pendudukan Jepang, Idrus pindah kerja ke Pusat Oesaha Sandiwara Djepang (POSD) karena gaji di Balai Pustaka terlalu kecil. Namun, setelah Jepang hengkang dan revolusi berkecamuk, ia kembali bekerja di Balai Pustaka. Situasi berubah drastis saat agresi militer pertama Belanda terjadi. Balai Pustaka diserbu, para pegawai menganggur, dan Idrus pun turut kehilangan pekerjaannya.

Malaysia dan Australia

Meski posisinya di dunia sastra cukup mapan, Idrus tidak merasa tenang. Ia pernah berkata kepada Ajip Rosidi dan SM Ardan, “Hidup sebagai sastrawan di Indonesia tidak menjanjikan apa-apa.” Ia menambahkan, bila sudah kaya barulah ia akan kembali menulis karya sastra.

Awal 1960-an, Idrus memutuskan hijrah ke Malaysia. Di sana, ia bekerja selama enam bulan di sebuah stasiun radio. Menurut catatan mini biografi dalam buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (2010), selain faktor ekonomi, situasi politik Indonesia yang memanas juga mendorongnya untuk pergi. Pada saat itu, kubu kiri semakin dominan, dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mengibarkan permusuhan terhadap mereka yang dianggap lawan politik, termasuk Idrus yang dicap kontra-revolusioner.

Setelah dari Malaysia, Idrus pindah ke Australia dan mengajar di Monash University. Pada Maret 1974, Ajip Rosidi sempat berkunjung ke rumahnya. Idrus dengan bangga menceritakan bagaimana ia berhasil menyelundupkan ikan asin dan bibit kangkung melewati bea cukai Australia yang ketat. Bibit kangkung itu tumbuh subur di pekarangan rumahnya, dan bersama ikan asin itulah ia menjamu Ajip.

Pandangan tentang Kondisi Pengarang di Indonesia

Salah satu alasan Idrus meninggalkan tanah air adalah pandangannya bahwa profesi pengarang di Indonesia kurang menjanjikan. Pandangan ini sejalan dengan tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam majalah Star Weekly edisi 12 Januari 1957, berjudul Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia.

Pram menyebutkan bahwa secara umum kehidupan sosial para pengarang Indonesia belum memuaskan. Meskipun minat baca meningkat dibanding masa penjajahan, daya beli masyarakat terhadap buku masih rendah. Akibatnya, penerbit lebih banyak mencetak buku pelajaran yang lebih laku dibanding buku bacaan umum. Buku-buku sastra pun kalah bersaing dengan bacaan cabul yang penuh sensasi, meski sering disita polisi.

Karya-karya Abdullah Idrus

Nama Idrus mencuat berkat karyanya Surabaya (1946). Cerita ini mengejutkan dunia sastra karena berbeda dari narasi kepahlawanan pertempuran Surabaya yang banyak diagungkan. Idrus justru menyoroti sisi lain perang Kebrengsekan, jingoisme, dan perilaku pemuda yang menganggap bom, mitraliur, serta mortir sebagai “Tuhan baru.” Gambaran realistis ini membuatnya menonjol di tengah penulis lain.

Selain Surabaya, karya lain yang dikenal luas antara lain Aki (1944) dan Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (1948). Idrus juga aktif memberi ceramah tentang sastra, bahkan Ajip Rosidi pertama kali melihatnya saat menghadiri sebuah ceramah di Jalan Merdeka Selatan.

Pada tahun 1950-an, Idrus menjadi redaktur majalah Kisah. Dalam perannya itu, ia menulis banyak kupasan sastra, termasuk tentang cerita pendek terjemahan. Bersama H.B. Jassin dan M. Balfas, keberadaan Idrus di Kisah memperkuat posisinya di dunia sastra Indonesia.

Idrus sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45 di bidang prosa, sejajar dengan Chairil Anwar di bidang puisi. Pandangannya yang kritis dan gaya realisnya menjadi ciri khas yang membedakan dirinya dari sastrawan lain pada masa itu.

Selama tinggal di Malaysia dan Australia, Idrus masih menulis beberapa karya. Di antaranya adalah Dengan Mata Terbuka (1961) dan Hati Nurani Manusia (1963). Namun, mutu karya-karya tersebut dinilai tidak melampaui pencapaiannya pada masa sebelumnya.

Kehidupan Pribadi

Idrus menikah dengan Ratna Suri pada tahun 1946. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai enam anak: Prof. Dr. Ir. Nirwan Idrus, Slamet Riyadi Idrus, Rizal Idrus, Damayanti Idrus, Lanita Idrus, dan Taufik Idrus.

Akhir Hayat dan Warisan

Abdullah Idrus meninggal pada 18 Mei 1979. Hingga akhir hayatnya, ia tetap dikenang sebagai sastrawan Angkatan 45 yang berani menyajikan pandangan kritis melalui karya prosa. Gaya realisnya, terutama dalam Surabaya, menandai lahirnya wajah baru sastra Indonesia modern dan meninggalkan warisan penting bagi generasi berikutnya.

Sumber:

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top