Abdurrahman Baswedan, atau yang lebih dikenal dengan A.R. Baswedan dikenal sebagai jurnalis, politisi, diplomat, sekaligus pejuang kemerdekaan yang gigih memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia di dunia internasional.
Sebagai keturunan Arab-Hadramaut, A.R. Baswedan juga mendorong integrasi masyarakat keturunan Arab ke dalam kehidupan bangsa Indonesia. Melalui pemikirannya, ia menegaskan bahwa tanah air para peranakan Arab adalah Indonesia, dan mereka harus turut serta membangun negeri ini.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga
Nama Baswedan sebagai sebuah marga (clan) diperkenalkan di Indonesia oleh Umar bin Abubakar bin Mohammad bin Abdullah Baswedan bersama saudaranya, Ali Baswedan. Mereka adalah saudagar dari Hadramaut, Yaman, yang datang ke Nusantara untuk berdagang. Seperti kebanyakan imigran Arab pada masa itu, mereka datang tanpa membawa istri. Akibatnya, banyak dari mereka menikah dengan perempuan lokal dan melahirkan keturunan campuran yang dikenal sebagai Indo-Hadrami.
A.R. Baswedan lahir dari keluarga inilah. Ia kemudian menikah dua kali sepanjang hidupnya. Pernikahan pertamanya pada tahun 1925 dengan Seikhun, dan dari pernikahan ini ia dikaruniai sembilan orang anak. Setelah itu, ia menikah dengan Barkah al-Ghanis, seorang aktivis perempuan yang aktif dalam organisasi sayap kewanitaan Partai Arab Indonesia, dan dari pernikahan ini lahirlah dua anak lagi.
Sebagai seorang kepala keluarga, Baswedan kerap berpindah tempat tinggal karena tuntutan pekerjaan. Namun, hal itu tidak mengurangi kehangatan dan kebersamaan keluarganya. Hingga di usia senja, ia tetap aktif berkarya meski harus berjuang melawan penyakit diabetes yang mengharuskannya menyuntikkan insulin setiap hari. Perjuangan hidupnya berakhir pada 16 Maret 1986, ketika ia wafat di RSI Cempaka Putih, Jakarta. A.R. Baswedan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, meninggalkan jejak perjuangan yang besar bagi bangsa Indonesia.
Pendidikan
Pada usia lima tahun, A.R. Baswedan mulai belajar di Madrasah Al-Khairiyah yang terletak dekat Masjid Ampel, Surabaya. Madrasah ini banyak dihuni oleh komunitas Arab, terutama dari golongan Al Kathiri yang memiliki pengaruh besar. Namun, karena terjadi perselisihan antara kakak Baswedan dengan salah satu teman dari golongan berbeda, ia terpaksa keluar dari sekolah tersebut.
Tidak berhenti sampai di situ, Baswedan kemudian melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Irsyad di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan modern yang didirikan oleh Syekh Ahmad Surkati, tokoh reformis Islam asal Sudan. Dari gurunya inilah, Baswedan banyak belajar mengenai nilai kesetaraan manusia, tanpa memandang kasta maupun keturunan.
Setelah beberapa waktu di Jakarta, Baswedan kembali ke Surabaya karena ayahnya jatuh sakit. Ia pun bersekolah di Hadramaut School, sebuah madrasah modern di Surabaya, tempat ia lebih mendalami sastra Arab. Pada usia 12 tahun, ia juga mengikuti kursus bahasa Belanda di Nederlands Verbond, yang sebenarnya ditujukan untuk calon pegawai rendahan pemerintah Hindia Belanda. Namun, dari sini ia justru menguasai bahasa Belanda dengan baik, sebuah kemampuan yang kelak sangat membantunya dalam dunia jurnalistik.
Di luar pendidikan formal, Baswedan juga aktif di berbagai organisasi. Pada tahun 1925, ia tercatat sebagai mubaligh di Muhammadiyah, sekaligus menjadi anggota Jong Islamieten Bond (JIB), sebuah organisasi pemuda Islam terpelajar. Dari kedua wadah ini, Baswedan tidak hanya memperdalam pengetahuan agama, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan kepemimpinan.
Menariknya, semangat belajar A.R. Baswedan tidak pernah padam meski sudah berusia lanjut. Pada usia 64 tahun, ia sempat menempuh kuliah di Fakultas Sastra Arab IAIN Yogyakarta untuk mendalami bidang yang ia cintai sejak kecil, meski akhirnya tidak diselesaikan.
Jurnalistik
Minat A.R. Baswedan pada dunia tulis-menulis sudah terlihat sejak usia muda. Pada tahun 1932, bersama beberapa rekannya, ia menerbitkan sebuah majalah bernama Al-Yaum. Majalah ini menjadi wadah bagi Baswedan untuk menuangkan pemikiran sekaligus menyuarakan gagasan persatuan di kalangan komunitas Arab-Hadrami di Indonesia. Dalam pengelolaannya, ia lebih banyak mengurus aspek redaksional, karena memang dunia jurnalistik adalah bidang yang sangat ia minati.
Semangatnya untuk terjun lebih jauh ke dunia pers membawanya melamar pekerjaan di harian Sin Tit Po di Surabaya, sebuah surat kabar Tionghoa yang dikenal gigih membela kemerdekaan Indonesia. Di sana, Baswedan mengisi rubrik “Abun Awas” dan mulai dikenal sebagai jurnalis muda yang tajam dalam berpikir dan menulis.
Setelah beberapa waktu, ia berpindah ke Soeara Oemoem, sebuah surat kabar yang dipimpin oleh dr. Sutomo, salah satu tokoh pergerakan nasional. Di media inilah jiwa nasionalisme Baswedan semakin terasah. Namun kerja kerasnya tanpa henti membuat kesehatannya terganggu, hingga ia terpaksa mengundurkan diri untuk memulihkan kondisi.
Tidak lama berselang, Baswedan kembali ke dunia jurnalistik dengan bergabung di harian Matahari. Salah satu tulisan penting yang ia hasilkan adalah artikel berjudul “Peranakan Arab dan Totoknya”. Tulisan ini berisi seruan kepada seluruh keturunan Arab di Indonesia agar meninggalkan sikap eksklusif, menyatukan diri, dan berkomitmen terhadap Indonesia sebagai tanah air mereka.
Tulisan tersebut menjadi cikal bakal lahirnya gagasan besar Baswedan: menyatukan komunitas keturunan Arab ke dalam perjuangan nasional Indonesia. Pemikiran ini tidak hanya dituangkan dalam bentuk artikel, tetapi juga diwujudkan dalam langkah nyata dengan mendirikan sebuah partai politik yang kelak memainkan peranan penting.
Partai Arab Indonesia dan Sumpah Pemuda Arab
Tulisan A.R. Baswedan tentang “Peranakan Arab dan Totoknya” yang dimuat di harian Matahari tahun 1934 mendapat perhatian luas. Artikel itu menyerukan agar masyarakat keturunan Arab di Indonesia bersatu, tidak lagi hidup terpisah, dan menjadikan Indonesia sebagai tanah air mereka. Gagasan inilah yang melahirkan Partai Arab Indonesia (PAI).
Pada tanggal 4 Oktober 1934, A.R. Baswedan memimpin rapat besar yang dihadiri berbagai kalangan, baik dari golongan sayid maupun non-sayid. Pertemuan bersejarah itu berhasil meredakan perbedaan internal yang selama ini membelah komunitas keturunan Arab. Dari rapat tersebut lahirlah Sumpah Pemuda Keturunan Arab, yang menegaskan bahwa tanah air mereka adalah Indonesia, mereka berbangsa Indonesia, dan harus mengabdi sepenuhnya bagi kepentingan bangsa Indonesia.
Rapat tersebut sekaligus menjadi tonggak berdirinya Persatoean Arab Indonesia (PAI), organisasi yang kemudian berkembang menjadi wadah politik kaum keturunan Arab. PAI aktif di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan, serta menerbitkan majalah seperti Sadar dan Insyaf untuk menanamkan kesadaran kebangsaan pada anggotanya.
A.R. Baswedan dalam PAI menjadi pemimpin. Ia tidak hanya berbicara soal identitas, tetapi juga mengajak komunitas keturunan Arab agar mengambil bagian dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. PAI di bawah kepemimpinannya menjadi salah satu pergerakan nasional, terutama di kalangan peranakan Arab yang sebelumnya masih ragu untuk sepenuhnya mengidentifikasi diri sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Pada tahun 1945, ia menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam sidang, ia mengusulkan agar orang-orang keturunan Arab diakui sebagai bagian dari bangsa Indonesia, sebuah gagasan yang sejalan dengan semangat persatuan dan kesetaraan.
Tidak berhenti di situ, setelah proklamasi kemerdekaan, Baswedan juga tercatat sebagai salah satu anggota pertama KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat), lembaga yang berfungsi sebagai semacam parlemen sementara. Perannya turut membantu menyatukan rakyat dari berbagai lapisan serta menjaga kestabilan pada masa awal berdirinya Republik.
Puncak karirnya di dunia politik setelah kemerdekaan ialah menjadi Menteri Muda Penerangan dalam Kabinet Syahrir III (2 Oktober 1946 – 26 Juni 1947).
Diplomasi Internasional A.R. Baswedan
Selain aktif di bidang politik dalam negeri, A.R. Baswedan juga aktif dalam diplomasi internasional. Pada masa awal kemerdekaan, Indonesia menghadapi tantangan besar: dunia internasional belum sepenuhnya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Di tengah situasi itu, A.R. Baswedan dipercaya untuk memimpin misi diplomatik.
Pada tahun 1947, ia ditugaskan oleh pemerintah untuk melakukan perjalanan diplomasi ke berbagai negara Timur Tengah. Misinya bukan perkara mudah: meyakinkan dunia bahwa Indonesia adalah negara merdeka yang sah dan layak mendapat dukungan politik. Dengan kecakapan berkomunikasi serta kemampuan memahami kultur Arab, Baswedan berhasil membuka pintu diplomasi dengan negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, Suriah, Lebanon, dan Irak.
Usahanya membuahkan hasil gemilang. Mesir menjadi negara pertama yang secara de jure mengakui kedaulatan Indonesia pada tahun 1947, diikuti oleh negara-negara Arab lainnya. Pengakuan ini menjadi titik balik penting, karena dukungan dari blok Timur Tengah memperkuat posisi Indonesia di forum internasional, sekaligus memberikan tekanan kepada Belanda agar menghentikan agresi militernya.
Kisah keberhasilan diplomasi Baswedan sering dikenang sebagai salah satu pencapaian besar dalam sejarah hubungan luar negeri Indonesia. Dengan pendekatan persuasif, ia tidak hanya membangun relasi politik, tetapi juga menjalin ikatan emosional dengan para pemimpin Timur Tengah, mengingat kedekatan budaya dan agama yang menjadi jembatan komunikasi.
Akhir Kehidupan
Setelah melalui perjalanan panjang sebagai jurnalis, politisi, dan diplomat, A.R. Baswedan tetap aktif memberikan gagasan hingga akhir hayatnya. Meskipun tidak lagi memegang jabatan tinggi di pemerintahan, ia terus dihormati sebagai tokoh nasional yang berjasa besar dalam menyatukan keturunan Arab dengan bangsa Indonesia serta memperjuangkan pengakuan internasional bagi Republik yang baru lahir.
Baswedan wafat pada 16 Maret 1986 di RSI Cempaka Putih, Jakarta, pada usia 77 tahun, akibat penyakit diabetes yang dideritanya sejak lama. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, terutama bagi keluarga besar, sahabat, dan mereka yang pernah merasakan pengaruh gagasannya.
Atas jasa-jasanya, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada A.R. Baswedan pada tahun 2018. Penghargaan ini menjadi pengakuan resmi negara atas kontribusinya yang besar dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Sumber:
- Olenka, Eva, dan Suparwoto. “Perjuangan A.R. Baswedan pada Masa Pergerakan sampai Pasca Kemerdekaan Indonesia Tahun 1934–1947.” Avatara: e-Journal Pendidikan Sejarah, vol. 2, no. 3, Okt. 2014, pp. 224–237. Universitas Negeri Surabaya. Diakses 22 Agustus 2025.
- Yulandari, Teri. Perjuangan A.R. Baswedan dalam Memperjuangkan Keturunan Arab Indonesia Tahun 1934–1950. Skripsi, Universitas Negeri Padang, 2020.
- “Kakek Anies” aniesbaswedan.com (Diakses pada 3 September 2025)
- “Abdurrahman Baswedan” tirto.id (Diakses pada 3 September 2025)
- “Abdurrahman Baswedan” ikpni.or.id (Diakses pada 3 September 2025)