Arie Frederik Lasut merupakan seorang pahlawan nasional Indonesia yang berjasa besar dalam bidang pertambangan dan geologi. Ia tidak hanya dikenal karena kecerdasannya sebagai ahli geologi, tetapi juga karena keberaniannya mempertahankan kedaulatan Indonesia dari upaya Belanda merebut kembali sumber daya alam nasional. Semangat juangnya menjadikannya simbol keteguhan dalam mengabdi pada negara, bahkan hingga akhir hayatnya.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan
Arie Frederik Lasut lahir pada 6 Juli 1918 di Kapataran, Langowan Timur, Minahasa, sebagai anak sulung dari delapan bersaudara. Ayahnya, Darius Lasut, adalah seorang guru, dan ibunya bernama Ingkan Supit. Pendidikan formalnya dimulai di Hollands Inlandsche School (HIS) Tondano pada tahun 1924. Berkat prestasinya, ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke Hollands Inlandsche Kweekschool (HIK) di Ambon.
Setelah lulus pada tahun 1933, ia melanjutkan ke HIK Bandung, namun ketertarikannya mulai beralih ke dunia pergerakan nasional. Ia kemudian pindah ke Batavia, pusat pergerakan saat itu, dan melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS), lulus pada tahun 1937.
Awalnya, Arie sempat tertarik pada dunia kedokteran dan mendaftar ke Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (cikal bakal Fakultas Kedokteran UI), namun pendidikan tersebut tidak dapat ia lanjutkan karena masalah biaya. Untuk menyambung hidup, ia bekerja di Departement van Economische Zaken (Departemen Urusan Ekonomi Hindia Belanda). Pada 1938, ia kembali mencoba kuliah di Technische Hoogeschool te Bandung (sekarang ITB), tetapi kembali harus berhenti karena keterbatasan keuangan.
Karier di Bidang Geologi dan Pertambangan
Meski mengalami kegagalan dalam pendidikan formalnya, Arie tidak menyerah. Berbekal ilmu yang ia peroleh, ia diterima bekerja di Dienst van den Mijnbouw (Dinas Pertambangan). Bersama R. Sunu Sumosusastro, ia menjadi salah satu ahli geologi pertama Indonesia.
Saat pendudukan Jepang, Arie sempat ditangkap karena aktivitas perlawanan, namun kemudian dibebaskan dan bekerja di Chōsajō Chisitsu (Jawatan Geologi). Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, ia ikut mengambil alih instansi Jepang dan menggantinya menjadi Jawatan Tambang dan Geologi pada 11 September 1945.
Pada 16 Maret 1946, ia diangkat menjadi Kepala Jawatan Tambang dan Geologi dalam usia yang masih sangat muda, yakni 28 tahun. Ia memimpin lembaga tersebut di tengah kondisi politik dan keamanan yang belum stabil, terutama akibat agresi militer Belanda yang ingin kembali menguasai Indonesia.
Arie menolak segala bentuk kerja sama dengan Belanda, meskipun ditawari jabatan tinggi dan kehidupan mewah. Ia dengan tegas menjaga agar dokumen penting milik Jawatan Tambang dan Geologi tidak jatuh ke tangan Belanda, dengan memindahkannya ke berbagai lokasi seperti Jalan Baraga No.3, Toko Onderling Belang, hingga Tasikmalaya, Solo, Magelang, dan Yogyakarta.
Kiprah dalam Perjuangan Kemerdekaan
Selain berkiprah di bidang geologi, Arie juga aktif dalam perjuangan bersenjata. Ia tergabung dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) dan menjabat sebagai Komandan Kompi BS (Berdiri Sendiri) Brigade 16, Kesatuan Reserse X. Ia memasok bahan untuk membuat bom molotov dari laboratorium geologi, serta ikut serta dalam penyerangan pos-pos Belanda dan perebutan senjata.
Tak hanya itu, Arie juga menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dan turut serta dalam berbagai perundingan dengan Belanda. Ia termasuk dalam delegasi Indonesia dalam Perundingan Roem-Royen yang dipimpin oleh Mohammad Roem.
Akhir Hayat
Karena pengetahuannya yang mendalam tentang sumber daya geologi Indonesia, Arie menjadi incaran Belanda. Mereka terus membujuknya agar mau bekerja sama, namun Arie tetap menolak. Pada 7 Mei 1949, ia ditangkap di rumahnya oleh tentara Belanda dan dibawa ke Pakem, Sleman. Dalam perjalanan, ia disiksa agar mengungkap informasi tentang kekayaan tambang Indonesia, tetapi ia tetap bungkam.
Akhirnya, karena tidak berhasil mendapatkan informasi, tentara Belanda menembaknya hingga gugur. Arie meninggal dunia dalam usia 30 tahun. Jenazahnya ditemukan di Pakem dengan mengenakan celana dan kaus putih, di tangannya masih menggenggam sebuah granat.
Beberapa bulan kemudian, jenazahnya dipindahkan ke Pekuburan Kristen Kintelan, Yogyakarta, dan dimakamkan di samping istrinya. Upacara pemakamannya dihadiri oleh Presiden RI saat itu, Mr. Assaat.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya, pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Pembela Kemerdekaan Nasional kepada Arie Frederik Lasut melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 012/TK/Tahun 1969. Ia dikenang sebagai salah satu pelopor geologi Indonesia dan simbol integritas dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa.
Sumber:
- “Pejuang Geologi Ditembak Mati di Lereng Merapi” tirto.id (diakses pada 23 Juni 2025)
- “Arie Frederik Lasut” ikpni.or.id (diakses pada 24 Juni 2025)
- “Arie Frederik Lasut” zonautara.com (diakses pada 24 Juni 2025)
- “RIWAYAT SINGKAT PAHLAWAN NASIONAL ARIE FREDERICK LASUT” geologi.esdm.go.id (diakses pada 25 Juni 2025)