Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan

Categories

Edit Template

Biografi Mohammad Hatta: Jejak Perjuangannya dalam Sejarah Indonesia

Dalam sejarah panjang perjuangan bangsa Indonesia, satu nama tak akan pernah terlupakan: Mohammad Hatta, sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Dia adalah seorang tokoh yang membawa harapan dan impian rakyat Indonesia menuju kebebasan dari belenggu penjajahan. 

Lahir pada 12 Agustus 1902 di Fort de Kock (kini Bukittinggi, Sumatera Barat), Bung Hatta, demikian ia akrab disapa, tumbuh menjadi sosok pejuang, negarawan, dan ekonom yang luar biasa.

Sebagai wakil presiden pertama Indonesia, Bung Hatta berjuang bersama Presiden Soekarno dalam momen penting proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. 

Keduanya menjadi kekuatan yang tak terpisahkan dalam memimpin bangsa ini menuju kemerdekaan yang telah lama ditunggu-tunggu. Tidak hanya sebagai tokoh politik, Bung Hatta juga memiliki visi ekonomi yang kuat, yang terlihat dalam peran pentingnya dalam memajukan koperasi di Indonesia. 

Kesederhanaan dan integritas menjadi ciri khas yang melekat pada pribadi Mohammad Hatta. Meskipun menduduki posisi penting sebagai wakil presiden, Bung Hatta tetap hidup dengan gaya sederhana dan tidak pernah melupakan kepentingan rakyat. Ia selalu mengutamakan keadilan sosial dan pembangunan ekonomi yang berpihak kepada seluruh lapisan masyarakat.

Warisan Bung Hatta bagi Indonesia sangatlah besar. Nama beliau diabadikan dalam berbagai bentuk penghormatan, termasuk Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang, Banten. Namun, tak hanya melalui nama-nama tersebut, tetapi juga melalui nilai-nilai yang ia anjurkan, Bung Hatta terus hidup dalam hati dan pikiran kita. 

Dalam biografi ini, akan dipaparkan tentang masa kecil, pendidikan, perjuangan, dan pencapaian-pencapaian penting dalam hidupnya.

Masa Kecil

Sebuah keluarga yang kaya akan nilai-nilai agama dan kebersamaan adalah tempat tumbuh Mohammad Hatta. Lahir pada tanggal 12 Agustus 1902 dari pasangan Muhammad Djamil dan Siti Saleha, kedua orangtuanya berasal dari Minangkabau. 

Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama Naqsyabandiyah di Batuhampar, Sumatra Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga pedagang di Bukittinggi. Hatta kecil diberi nama Muhammad Athar, yang berarti “harum” dalam bahasa Arab, Hatta adalah anak kedua dari pasangan tersebut, setelah kakaknya Rafiah yang lahir pada tahun 1900.

Sejak kecil, Hatta tumbuh dalam lingkungan keluarga yang penuh dengan kecintaan dan ketekunan dalam menjalankan ajaran agama Islam. Keluarga ayahnya terkenal dengan peran mereka dalam pendirian Surau Batuhampar, sebuah tempat ibadah yang bertahan meski melalui masa-masa sulit selama Perang Padri

Di sisi lain, keluarga ibunya memiliki latar belakang sebagai pengusaha besar di Jakarta. Kehidupan Hatta terus berkembang dalam keberagaman dan harmoni yang diwariskan oleh keluarga besarnya.

Namun, nasib berkata lain saat Hatta masih berusia tujuh bulan. Ayahnya meninggal dunia, meninggalkan keluarga kecil ini dalam duka yang mendalam. 

Untuk melanjutkan hidup, ibunya kemudian menikah dengan Agus Haji Ning, seorang pedagang asal Palembang. Kedua orang ini memiliki hubungan dagang yang erat dengan Ilyas Bagindo Marah, kakek Hatta dari pihak ibu. Perkawinan mereka menghasilkan empat anak perempuan, yang menjadi saudara-saudara tiri Hatta.

Dalam perjalanan hidupnya yang penuh dengan nilai-nilai keluarga dan warisan budaya, Hatta tumbuh menjadi sosok yang memiliki semangat juang dan pemikiran yang progresif. Pengalaman masa kecilnya yang penuh dengan perjuangan dan kebersamaan dalam keluarga telah membentuk karakter yang kuat dalam dirinya. 

Persatuan dalam keragaman, semangat agama, dan ketekunan dalam menjalankan nilai-nilai luhur, semuanya telah membekas dalam jiwa Mohammad Hatta, seorang tokoh besar dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pendidikan dan Awal Pergerakan

Mohammad Hatta memulai pendidikan formalnya di sebuah sekolah swasta, namun tidak lama kemudian ia pindah ke sekolah rakyat di mana ia bersekolah bersama kakaknya, Rafiah. 

Namun, setelah beberapa bulan, pelajarannya terhenti di tengah semester ketiga karena ia pindah ke ELS (Europeesche Lagere School), yang sekarang dikenal sebagai SMA N 1 Padang, hingga tahun 1913. 

Setelah dari ELS, ia melanjutkan pendidikannya di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs). Saat berada di MULO, Hatta mulai tertarik pada perkumpulan pemuda dan bergabung dengan Jong Sumatranen Bond, di mana ia menjadi bendahara.

Pada tahun 1921, ketika Mohammad Hatta masih bersekolah di Belanda, ia memulai keterlibatannya dalam pergerakan politik yang akan membentuk masa depannya. Saat itu, Hatta bersekolah di Handels Hogeschool, yang nantinya dikenal sebagai Economische Hogeschool dan saat ini dikenal sebagai Universitas Erasmus Rotterdam. Selama masa studinya di sana, dia bergabung dengan organisasi sosial yang bernama Indische Vereeniging.

Tidak lama kemudian, Indische Vereeniging bertransformasi menjadi sebuah organisasi politik yang dipengaruhi oleh tokoh-tokoh penting seperti Ki Hadjar Dewantara, Cipto Mangunkusumo, dan Douwes Dekker

Pada tahun 1923, Hatta terpilih menjadi bendahara dan menjadi pengurus majalah Hindia Putera yang kemudian mengubah namanya menjadi Indonesia Merdeka. Organisasi ini sendiri mengalami perubahan dan pada tahun 1924, berganti nama menjadi Indische Vereeniging atau Perhimpunan Indonesia (PI).

Tahun 1926 menjadi poin penting dalam perjalanan Hatta sebagai seorang pemimpin. Ia dipilih menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia, suatu jabatan yang mengharuskannya untuk menunda penyelesaian studinya. 

Di bawah kepemimpinannya, PI mengalami perubahan signifikan. Organisasi tersebut mulai lebih memperhatikan perkembangan pergerakan di Indonesia dan memberikan banyak komentar serta ulasan di media massa yang ada.

Namun, jabatan Hatta seharusnya berakhir setahun kemudian. Namun, ia dipilih kembali dan terus memimpin hingga tahun 1930. Pada bulan Desember 1926, seorang anggota PKI bernama Semaun mendatangi Hatta dengan tawaran untuk memimpin pergerakan nasional secara umum melalui PI. 

Mereka berdua kemudian membuat sebuah perjanjian yang dikenal sebagai “Konvensi Semaun-Hatta”. Namun, perjanjian tersebut menjadi alasan bagi Pemerintah Belanda untuk mencoba menangkap Hatta, walaupun pada saat itu Hatta belum sepenuhnya menyepakati paham komunis.

Situasi semakin memburuk setelah keinginan Semaun dibatalkan oleh Stalin, sehingga hubungan antara Hatta dan komunisme semakin tegang. Sikap Hatta ini mendapat penentangan dari anggota PI yang sudah dikuasai oleh komunis. 

Meskipun menghadapi tekanan dan perbedaan pendapat, Hatta tetap berpegang pada keyakinannya dan menjalankan perannya sebagai seorang pemimpin yang fokus pada pergerakan nasional Indonesia.

Pada tahun 1927, Mohammad Hatta memutuskan untuk menghadiri sidang “Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial” di Frankfurt. Sidang ini dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk komunis dan utusan dari Rusia. Namun, kehadiran mereka dengan tujuan menguasai sidang membuat Hatta merasa tidak dapat percaya pada mereka yang berhaluan komunis. 

Saat itu, majalah PI, Indonesia Merdeka, dengan licik diselundupkan ke Indonesia karena banyak penggeledahan yang dilakukan oleh pihak kepolisian terhadap para aktivis yang dicurigai.

Pada tanggal 25 September 1927, kehidupan Hatta dan beberapa rekannya berubah drastis ketika mereka ditangkap oleh pihak Belanda. Mereka dituduh terlibat dalam partai terlarang yang terkait dengan Semaun, diduga terlibat dalam pemberontakan yang dilakukan PKI antara tahun 1926 dan 1927, serta melakukan hasutan untuk menentang Kerajaan Belanda. 

Mohammad Hatta sendiri dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun. Mereka semua dipenjara di Rotterdam. Hatta juga dianggap berpotensi melarikan diri, sehingga ia harus menghentikan rencananya untuk memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa.

Dalam pidatonya yang berjudul “Indonesia Merdeka” (Indonesië Vrij) pada sidang kedua pada tanggal 22 Maret 1928, Hatta menolak semua tuduhan yang dialamatkan padanya. Pidato ini berhasil sampai ke Indonesia melalui upaya penyelundupan. 

Hatta juga mendapatkan pembelaan dari tiga pengacara Belanda, salah satunya adalah anggota parlemen, J.E.W. Duys, yang sangat simpatik terhadapnya. Setelah beberapa bulan penahanan, Hatta dan rekan-rekannya dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan.

Pada tahun 1931, Mohammad Hatta memutuskan untuk mundur dari jabatannya sebagai ketua dan berhenti dari PI karena ingin mengikuti ujian sarjana. Namun, dia tetap berkomitmen untuk membantu PI. Keputusannya ini membuat PI jatuh ke tangan komunis dan menjadi tunduk pada pengaruh partai komunis Belanda dan Moskow. 

PI dalam pengaruh komunis mengecam kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi tersebut. PI di Belanda juga mengutuk sikap Hatta karena ia dan Soedjadi secara terbuka mengkritik PI, sehingga perhimpunan ini mengambil tindakan terhadap keduanya.

Pada bulan Desember 1931, pengikut-pengikut Hatta segera membentuk sebuah gerakan yang dikenal sebagai Gerakan Merdeka, yang kemudian berganti nama menjadi Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI Baru. 

Gerakan ini mendorong Hatta dan Sjahrir, yang pada saat itu bersekolah di Belanda, untuk mengambil langkah konkret dalam mempersiapkan kepemimpinan. 

Hatta ingin menyelesaikan studinya terlebih dahulu, sehingga Sjahrir dipaksa untuk pulang dan mengambil peran memimpin PNI. Dengan harapan bahwa Hatta akan kembali pada tahun 1932 dan Sjahrir dapat melanjutkan studinya. 

Digul dan Banda Neira (Pengasingan)

Setelah kembali dari Belanda, Mohammad Hatta mendapat tawaran bergabung dengan Sosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda. Hal ini menjadi perdebatan hangat di Indonesia pada saat itu. 

Pada 6 Desember 1932 pihak OSP mengiriminya telegram, yang berisi kesediaan Hatta menerima pencalonan anggota parlemen. Namun, sebenarnya Hatta menolak tawaran tersebut dengan alasan bahwa ia ingin berada dan berjuang di Indonesia.

Namun, di Indonesia pemberitaan menyatakan bahwa Hatta menerima posisi tersebut, hal itu membuat Soekarno menuduhnya tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.

Setelah kepulangannya dari Belanda, Hatta dan Sjahrir ditangkap oleh pihak Belanda pada 25 Februari 1934 dan diasingkan ke Digul, kemudian ke Banda Neira. Sjahrir tidak bisa pergi ke Belanda karena tertangkap sebelumnya. 

Selama di Digul dan Banda Neira, Hatta banyak menulis untuk koran-koran di Jakarta dan majalah-majalah di Medan. Tulisannya tidak terlalu politis, melainkan lebih bersifat analitis dan mendidik bagi pembaca.

Di tempat pengasingannya di Digul, Hatta membawa semua bukunya dan mengatur kegiatan sehari-harinya. Ketika sedang membaca, ia ingin fokus dan tidak ingin diganggu, sehingga beberapa temannya menganggapnya sombong. Meskipun begitu, Hatta juga peduli terhadap sesama tahanan. 

Ia menolak untuk bekerja sama dengan penguasa setempat dalam hal seperti memberantas malaria. Jika ia mau bekerja sama, ia akan mendapatkan gaji sebesar ƒ7.50 per bulan, tetapi jika tidak, ia hanya mendapatkan gaji ƒ2.50. Namun, Hatta tidak menghabiskan gajinya sendiri, melainkan juga peduli terhadap kawan-kawannya yang kekurangan.

Selama di Digul, Hatta tidak hanya bercocok tanam, tetapi juga memberikan kursus kepada sesama tahanan. Meskipun mereka ditangkap karena terlibat pemberontakan komunis, di antara tahanan tersebut, ada yang tetap menjalankan ibadah shalat dan puasa dengan teratur. 

Saat itu, Hatta menulis surat untuk iparnya, dalam surat itu Hatta minta untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan gergaji. Ia juga menceritakan nasib orang-orang pengasingan dalam surat tersebut. Surat tersebut kemudian dikirim oleh ipar Hatta ke koran Pemandangan di Jakarta dan segera dipublikasikan. 

Surat tersebut akhirnya dibaca oleh Menteri Jajahan pada masa itu, Colijn. Colijn mengutuk pemerintah dan mengirim residen Ambon untuk bertemu dengan Hatta di Digul. Meskipun ditawari uang, Hatta menolak dan meminta agar bantuan yang diberikan juga diperluas kepada pemimpin lain yang hidup dalam pengasingan.

Pada tahun 1937, Mohammad Hatta menerima sebuah telegram yangmemberitahukan bahwa ia akan dipindahkan dari Digul ke Banda Neira. Bersama dengan Sjahrir, Hatta tiba di Banda Neira pada bulan Februari, dan mereka memutuskan untuk menyewa sebuah rumah yang cukup besar. 

Di dalam rumah tersebut, terdapat beberapa kamar dan ruangan yang luas. Hatta menggunakan salah satu ruangan besar tersebut untuk menyimpan koleksi bukunya dan juga sebagai tempat kerjanya.

Selama berada di Banda Neira, Hatta melakukan berbagai aktivitas. Ia terlibat dalam kegiatan pertanian dan juga menulis artikel untuk koran “Sin Tit Po” yang dipimpin oleh Liem Koen Hian. Ia mendapatkan honorarium sebesar ƒ75 dalam Bahasa Belanda. 

Selain itu, ia juga menulis untuk Nationale Commantaren yang dipimpin oleh Sam Ratulangi, serta berkontribusi di koran Pemandangan dengan honorarium ƒ50 per bulan untuk satu atau dua tulisan. 

Pada suatu kesempatan, Hatta mendapat tawaran dari Kiai Haji Mas Mansur untuk pergi ke Makassar, namun ia menolak dengan alasan bahwa meskipun pergi ke Makassar, statusnya sebagai tahanan tidak akan berubah. 

Pada waktu itu, Hatta sudah mengenal baik Cipto Mangunkusumo dan Iwa Kusumasumantri, yang juga aktif dalam pergerakan nasional.

Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga mengajar beberapa pemuda. Salah satunya adalah anak dari Dr. Cipto yang belajar tata-buku dan sejarah. Ada juga pemuda asli Banda Neira yang belajar kepada Hatta. 

Bahkan ada seorang kenalan Hatta dari Sumatra Barat yang mengirimkan dua keponakannya untuk belajar ekonomi dan sejarah. Selain itu, Anwar Sutan Saidi dari Bukittinggi, mengirimkan empat pemuda untuk belajar kepada Hatta.

Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis sebuah artikel untuk koran Pemandangan. Isinya adalah pesan agar rakyat Indonesia tidak memihak kepada Barat maupun Jepang yang sedang memanas dalam konflik. 

Namun, saat pemerintahan Jepang berkuasa, tulisan Hatta tersebut digunakan oleh pihak Jepang untuk mencurigainya selama Perang Pasifik. 

Penjajahan Jepang

Pada tanggal 8 Desember 1941, serangan tak terduga Jepang terhadap Pearl Harbor di Hawaii mengubah seluruh situasi di dunia. Perang Pasifik pun meletus, dan dalam waktu singkat, Jepang berhasil menduduki sejumlah wilayah termasuk Indonesia. 

Di tengah kekacauan ini, Pemerintah Belanda memutuskan untuk memindahkan para tahanan dari kamp pengasingan di Digul ke Australia, khawatir akan kerjasama mereka dengan Jepang. 

Pada bulan Februari 1942, Mohammad Hatta dan Sjahrir dipindahkan ke Sukabumi setelah singgah sehari di Surabaya dan melanjutkan perjalanan dengan kereta api ke Jakarta. Bersama mereka, tiga anak dari Banda juga ikut serta dan diangkat menjadi anak angkat oleh Sjahrir.

Setelah kembali ke Jakarta, Hatta bertemu dengan Mayor Jenderal Harada, seorang perwira Jepang. Hatta mengajukan pertanyaan mengenai tujuan Jepang dalam mendatangi Indonesia. Harada menawarkan kerjasama kepada Hatta dan menjanjikan jabatan penting jika ia mau menerima. 

Namun, Hatta dengan tegas menolak tawaran tersebut dan memilih untuk menjadi penasihat. Lalu Harada mengangkat Hatta menjadi penasihat dan memberikan kantor di Pegangsaan Timur serta sebuah rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro). 

Banyak tokoh terkenal dari masa sebelum perang, baik mereka yang aktif dalam pergerakan maupun yang bekerja sama dengan Belanda, ikut serta dalam pengabdian ini, seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno Mangunkusumo, Sunarjo Kolopaking, Soepomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. 

Masa ini juga menjadi kesempatan bagi Hatta untuk mendapatkan tenaga-tenaga baru yang siap berkontribusi. Namun, pekerjaan di sini sebenarnya menjadi tempat pihak Jepang untuk memberikan saran kepada Hatta, dengan harapan agar ia memberikan nasihat yang menguntungkan mereka. Namun, Hatta dengan cerdik memanfaatkan situasi ini untuk membela kepentingan rakyat Indonesia.

Persiapan Kemerdekaan Indonesia

Saat mendekati tanggal Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) membentuk sebuah panitia kecil yang dikenal sebagai Panitia Sembilan. 

Tugas panitia ini adalah mengolah usul dan konsep mengenai dasar negara Indonesia dari para anggota BPUPKI. Panitia Sembilan terdiri dari sembilan anggota dan dipimpin oleh Ir. Soekarno

Anggota-anggota lainnya termasuk Bung Hatta, Mohammad Yamin, Achmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.

Kemudian, pada tanggal 9 Agustus 1945, Bung Hatta, Bung Karno, dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat, Vietnam, untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 

PPKI bertugas untuk melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari  Jepang kepada Indonesia. Pelantikan mereka dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara, Jenderal Terauchi. 

Puncak peristiwa terjadi pada tanggal 16 Agustus 1945, saat terjadinya Peristiwa Rengasdengklok. Pada hari itu, Bung Karno dan Bung Hatta diculik dan dibawa ke sebuah rumah yang dimiliki oleh salah seorang pimpinan PETA, Djiaw Kie Siong, di kota kecil Rengasdengklok, dekat Karawang, Jawa Barat.

Penculikan tersebut dilakukan oleh kelompok golongan muda dengan tujuan mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pada malam harinya, mereka mengadakan rapat persiapan untuk proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol, Jakarta. 

Sebelumnya, mereka sudah bertemu dengan Mayjen Nishimura, untuk mengetahui sikapnya terhadap pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Namun, pertemuan tersebut tidak mencapai kesepahaman, sehingga Bung Karno dan Bung Hatta yakin bahwa mereka harus melaksanakan proklamasi kemerdekaan tanpa bergantung pada Jepang.

Pernikahan

Pada tanggal 18 November 1945, tali suci pernikahan dirajut di antara Hatta dan Rahmi Hatta, mengikat janji cinta dan kesetiaan mereka. Hanya tiga hari setelah momen bahagia itu, mereka memulai lembaran baru dalam kehidupan mereka di Yogyakarta. 

Bersama-sama, mereka membentuk sebuah keluarga yang penuh dengan cinta dan kehangatan. Anugerah kebahagiaan semakin melimpah saat tiga putri yang cantik, Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta, hadir dalam kehidupan mereka dan melengkapi kebahagiaan keluarga tersebut.

Proklamator dan Wakil Presiden 

Pada tanggal 17 Agustus 1945, hari yang dinanti-nantikan oleh seluruh rakyat Indonesia, Bung Hatta bersama Soekarno secara resmi mengumumkan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta, pada pukul 10.00 WIB. 

Keesokan harinya, tanggal 18 Agustus 1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, menemani Presiden Soekarno.

Selama menjabat sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta berjuang dengan tekun, bahkan dengan penuh amarah, untuk menyelamatkan Republik. Salah satu momen bersejarah adalah saat dia mempertahankan naskah Linggarjati dalam Sidang Pleno KNIP di Malang yang berlangsung pada tanggal 25 Februari – 6 Maret 1947. 

Hasil dari sidang tersebut adalah Persetujuan Linggajati yang diterima oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sehingga anggota KNIP menjadi lebih kompromis pada tanggal 6 Maret 1947.

Pada saat terjadi Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947, Hatta berhasil meloloskan diri dari pengepungan Belanda ketika ia berada di Pematangsiantar. Ia dan Gubernur Sumatra, Mr. T. Hassan, selamat tiba di Bukittinggi. 

Sebelumnya, pada tanggal 12 Juli 1947, Bung Hatta mengadakan Kongres Koperasi I di Tasikmalaya yang menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Koperasi di Indonesia. Pada Kongres Koperasi II di Bandung, tanggal 12 Juli 1953, Bung Hatta diangkat sebagai Bapak Koperasi Indonesia.

Kemudian, dengan otoritasnya sebagai Wakil Presiden, Bung Hatta berjuang hingga berhasil mencapai Perjanjian Renville, yang berakibat jatuhnya Kabinet Amir II dan digantikan oleh Kabinet Hatta I. Pada tanggal 29 Januari 1948, dalam Kabinet Hatta, Bung Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri dan juga menjabat sebagai Menteri Pertahanan.

Suasana memanas saat Pemberontakan PKI di Madiun pada bulan September 1948, mencapai puncaknya dengan serbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1948. Bung Hatta dan Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada hari itu juga. 

Pada tahun yang sama, mereka berdua diasingkan ke Menumbing, Bangka. Setelah beberapa waktu berlalu sejak pengasingan itu, terjadi perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika.

Pada bulan Juli 1949, keberhasilan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia menjadi sorotan. Tahun tersebut menjadi saksi dari perundingan yang sangat penting, Konferensi Meja Bundar (KMB), yang berlangsung selama tiga bulan di Den Haag. 

Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949, kedaulatan Republik Indonesia secara resmi diperoleh untuk selamanya. Ratu Juliana memberikan pengakuan tanpa syarat atas kedaulatan negara Indonesia, kecuali Irian Barat yang akan diperundingkan kembali dalam waktu setahun setelah Pengakuan Kedaulatan. Bung Hatta bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta.

Di Amsterdam, Ratu Juliana memberikan pengakuan kedaulatan kepada Drs. Mohammad Hatta, sementara di Jakarta, Dr. Lovink mewakili Belanda memberikan pengakuan tersebut kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX. 

Seiring dengan itu, negara Indonesia berubah menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan Bung Hatta terpilih sebagai Perdana Menteri RIS, juga menjabat sebagai Menteri Luar Negeri RIS, dengan kedudukan di Jakarta. Bung Karno pun menjadi Presiden RIS. 

Namun, RIS tidak berlangsung lama, dan pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dengan ibu kota Jakarta dan Perdana Menteri Mohammad Natsir. Bung Hatta kembali menjabat sebagai Wakil Presiden RI dan bertugas di Jalan Medan Merdeka Selatan 13, Jakarta.

Pada tahun 1955, Mohammad Hatta membuat pernyataan yang menggemparkan bahwa jika parlemen dan konstituante yang dipilih oleh rakyat telah terbentuk, ia akan mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden. 

Menurutnya, dalam sistem negara dengan kabinet parlementer, Kepala Negara hanya menjadi simbol belaka, sehingga jabatan Wakil Presiden menjadi tidak lagi diperlukan.

Kemudian, pada tanggal 20 Juli 1956, Mohammad Hatta mengirimkan sebuah surat kepada Ketua DPR saat itu, Sartono. Surat itu berisi pemberitahuan bahwa saatnya baginya untuk mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, seiring dengan dimulainya kinerja Dewan Perwakilan Rakyat yang dipilih oleh rakyat dan pembentukan Konstituante sesuai dengan pilihan rakyat. Dia menyatakan bahwa setelah Konstituante dilantik, ia akan secara resmi melepaskan jabatannya.

Namun, DPR dengan halus menolak permintaan Mohammad Hatta dengan cara diam-diam tidak memberikan tanggapan atas surat tersebut. 

Tanggal 23 November, Bung Hatta mengirimkan surat susulan dengan isinya yang sama, yakni niatnya untuk mengakhiri tugasnya sebagai Wakil Presiden RI pada tanggal 1 Desember 1956. Setelah penantian yang panjang, akhirnya pada sidang DPR pada tanggal 30 November 1956, permintaan Mohammad Hatta disetujui dan ia resmi mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden setelah memegang posisi tersebut selama 11 tahun.

Pada periode ini, Bung Hatta dan Bung Karno mulai mengalami perbedaan pendapat, terutama dalam hal penempatan unsur komunis di dalam kabinet. Hatta menolak untuk memasukkan elemen komunis ke dalam struktur pemerintahan pada saat itu, dan perbedaan pandangan ini semakin memperkuat jurang di antara mereka.

Sebelum meninggalkan jabatannya, Hatta menerima gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Sebenarnya, gelar tersebut telah diajukan sejak tahun 1951, namun baru diberikan pada tanggal 27 November 1956. 

Demikian pula, Universitas Indonesia juga mengungkapkan keinginan yang sama pada tahun 1951, tetapi Bung Hatta belum bersedia menerimanya.”Nanti saja ketika saya berusia 60 tahun.” Kata Bung Hatta.

Pensiun

Pada 1 Desember 1956, setelah mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI, Bung Hatta dan keluarganya pindah ke rumah baru di Jalan Diponegoro 57. Keputusannya itu telah disahkan melalui Keputusan Presiden RI Nomor 13 Tahun 1957 tentang Pemberhentian Dr. Mohammad Hatta dari Jabatan Sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia tertanggal 5 Februari 1957. Meskipun meninggalkan jabatannya, Bung Hatta tidak pernah menyesal atas keputusan yang telah diambilnya.

Kehidupan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun diisi dengan menulis buku dan mengajar, sebagai tambahan penghasilan. Pada tahun 1957, meskipun sudah tidak menjabat sebagai Wakil Presiden, ia pergi ke China atas undangan dari Pemerintah RRC. 

Rakyat China masih menganggapnya sebagai “a great son of his country” dan penerimaan yang diberikan sama seperti kepala negara, di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut kedatangannya dengan hangat.

Pada tahun 1963, Bung Hatta mengalami sakit dan mendapatkan perawatan di Stockholm, Swedia, atas perintah Soekarno. Biaya perawatan tersebut ditanggung oleh negara, mengingat fasilitas medis yang lebih lengkap di sana.

Pada 31 Januari 1970, melalui Keputusan Presiden No. 12/1970, Komisi Empat dibentuk untuk menyelidiki masalah korupsi. Bung Hatta, yang merupakan mantan Wakil Presiden RI, ditunjuk menjadi Penasehat Presiden Soeharto dalam masalah pemberantasan korupsi. 

Komisi Empat tersebut dipimpin oleh Wilopo, SH, dan memiliki anggota seperti IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dan Mayjen. Sutopo Juwono. Namun, Presiden Soeharto secara kontroversial membubarkan komisi tersebut dan hanya memberikan izin untuk mengusut dua kasus korupsi saja.

Pada 15 Agustus 1972, Presiden Soeharto Menunjuk Bung Hatta untuk menjadi salah satu Anggota Dewan Penasehatnya.  Bung Hatta menerima penghargaan Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia. 

Pada tahun yang sama, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkatnya sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, termasuk peningkatan besar dalam pensiunnya dan pengakuan rumahnya sebagai salah satu bangunan bersejarah di Jakarta.

Pada tahun 1975, Bung Hatta bergabung dengan Panitia Lima yang terdiri dari Prof. Mr. Soebardjo, Prof. Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof. Mr. Pringgodigdo. Mereka memiliki tugas penting untuk memberikan pemahaman yang sesuai tentang Pancasila, mengikuti semangat dan visi yang diusung oleh para penyusun UUD 1945. 

Tidak terduga, Bung Hatta resmi menjabat sebagai Ketua Panitia Lima, memimpin upaya ini dengan kebijaksanaan dan pengalaman yang dimilikinya. Sebagai suatu penghargaan yang sangat diidamkan, Bung Hatta juga menerima gelar doctor honoris causa dari Universitas Indonesia sebagai tokoh proklamator. Seharusnya gelar ini diberikan pada tahun 1951, tetapi baru diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono pada 30 Juli 1975 di Jakarta.

Pada tahun 1978, Bung Hatta dan Jenderal Abdul Haris Nasution bersatu dalam mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, sebuah inisiatif yang mengemuka di tengah rezim otoriter Soeharto. Yayasan ini bertujuan tegas untuk memberikan kritik terhadap penggunaan Pancasila dan UUD 1945 yang dianggap tidak sepenuhnya menghormati nilai-nilai konstitusi dan kepentingan rakyat. 

Dalam semangat yang membara, mereka berkomitmen untuk memastikan bahwa landasan konstitusi ini dihargai dan diterapkan dengan benar, sehingga menjunjung tinggi kepentingan dan kesejahteraan seluruh rakyat.

Kesehatan Bung Hatta semakin memburuk pada tahun 1979, yang merupakan tahun kelima ia harus dirawat di rumah sakit. Meskipun demikian, semangatnya tidak surut. Ia tetap bersemangat mengikuti perkembangan politik dunia, memperoleh informasi terbaru, dan memberikan pandangan berdasarkan pengetahuannya yang luas.

Wafat

Pada pukul 18.56 tanggal 14 Maret 1980, Bung Hatta menghembuskan nafas terakhirnya di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Ia telah menjalani perawatan selama sebelas hari di sana. Selama hidupnya, Bung Hatta sering kali harus dirawat di rumah sakit, termasuk pada tahun 1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan yang terakhir pada 3 Maret 1980.

Keesokan harinya, jenazah Bung Hatta disemayamkan di kediamannya di Jalan Diponegoro 57, Jakarta. Prosesi pemakaman dilangsungkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta, dengan khidmat dalam sebuah upacara kenegaraan yang dipimpin langsung oleh Wakil Presiden saat itu, Adam Malik

Seluruh Rakyat Indonesia merasa kehilangan sosok yang telah mengabdikan hidupnya bagi perjuangan bangsa. Pengabdian dan jasa-jasanya yang besar bagi negara dihormati dengan tulus, karena Bung Hatta merupakan salah satu tokoh utama kemerdekaan Indonesia.

Pada tanggal 23 Oktober 1986, Bung Hatta dan Bung Karno, sebagai dua sosok yang tak terpisahkan dalam perjuangan proklamasi kemerdekaan, diberikan penghargaan yang luar biasa oleh Pemerintah. Mereka secara resmi diangkat sebagai Pahlawan Proklamator Kemerdekaan, sebuah gelar yang mengukuhkan posisi mereka sebagai simbol penting dalam sejarah bangsa Indonesia. 

Penghargaan ini mengakui peran dan kontribusi luar biasa mereka dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Lebih lanjut, pada tanggal 7 November 2012, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono secara resmi menetapkan Bung Hatta sebagai Pahlawan Nasional, mengukuhkan status kebesaran dan keagungan perjalanan hidupnya.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top