John Lie merupakan Pahlawan Nasional Indonesia keturunan Tiongkok pertama yang diakui pemerintah, ia merupakan tokoh berpengaruh pada Angkatan Laut Republik Indonesia, terutama pada masa-masa awal kemerdekaan Indonesia.
Peran John Lie di Angkatan Laut Indonesia sangat besar, banyak aksi heroik yang dilakukannya seperti aksinya dalam menghadapi blokade laut oleh Belanda pada masa Revolusi Nasional Indonesia, menyelundupkan senjata untuk pasukan Pejuang Kemerdekaan.
John Lie mendapat banyak pengalaman militer saat ia bekerja untuk Royal Navy di Teluk Persia, bahkan para petinggi di Angkatan Laut seperti RE Martadinata sempat mendapat masukan dari John Lie.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga dan Kehidupan Awal
John Lie lahir di Kanaka, Manado dengan nama Lie Tjeng Tjoan pada tanggal 9 Maret 1911. John Lie anak kedua dari pasangan Lie Kae Tae dan Maryam Oei Tseng Nie, ayahnya merupakan pemilik perusahaan pengangkutan vetol (Veem en transportonderneming Lie Kay Thai).
John Lie dilahirkan dikeluarga Tionghoa yang berkecukupan sehingga ia mendapatkan pendidikan yang baik. Pada tahun 1918, saat usianya mencapai tujuh tahun, orang tuanya memasukkannya ke Holland Chinese School (HCS) yang merupakan sekolah khusus anak anak keturunan Tionghoa yang didirikan oleh Belanda.
Karena masalah yang dibuat John Lie, ia dipindahkan ke Cristelijke Lagere School (CLS) yeng merupakan sekolah dasar yang berasaskan ajaran Kristen dan kedisiplinan. Disokalah inilah John Lie mulai mengenal ajaran-ajaran Kristiani.
Seperti umumnya anak kecil, masa kecil John Lie juga banyak dihabiskan dengan bermain. Suatu saat, ketika ia bermain di pelabuhan, John Lie melihat kapal laut milik Belanda. Terbesit difikriannya untuk menaikinya, tetapi karena tidak diizinkan, John Lie nekat lompat kelaut berenang mendekati kapal itu dan menaikinya. Sejak itu, John Lie memutuskan untuk menjadi seorang pelaut suatu saat nanti.
Mengenal Ilmu Pelayaran
Pada tahun 1928 saat usianya mencapai 17 tahun, John Lie pergi ke Batavia untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut. Selama setahun ia bekerja sebagai buruh pelabuhan di Tanjung Periok, kemudian ia mengikuti kursus navigasi selama tiga bulan dan John Lie sudah memahami pengetahuan dasar pelayaran, seperti ilmu dasar pelayaran, membaca peta, keselamatan pelayaran, hukum maritim dan hukum internasional.
Dengan bekal dari kurusus Navigasinya, pada November 1929, John Lie direkrut sebagai Klerk Mualim III oleh KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij) sebuah perusahaan pelayaran milik Belanda. Sejak mulai direkrut hingga menjelang Perang Dunia II, John Lie sudah berlayar ke banyak tempat di Nusantara, sehingga membuatnya cukup mengenal medan-medan maritim Nusantara.
Royal Navy
Ketika Kolonial Belanda mulai terpojok saat menghadapi serbuan tentara Jepang sejak Januari 1942, Pemerintah Kolonial Belanda memerintahkan pasukan Militer, Sipil dan termasuk perusahaan dagang KPM tempat John Lie bekerja untuk meninggalkan perairan Hindia Belanda.
Pada 27 Februari 1942, kapal-kapal Belanda mulai mengungsi dan meninggalkan perairan Hindia Belanda menuju Australia dan Kolombo. Kapal MV Tosari yang ditumpangi John Lie bergerak menuju Kolombo, Sri Langka, wilayah kerajaan Inggris.
Kemudian kapal MV Tosari melanjutkan perjalanannya ke Bombay dan akhirnya berlabuh ke Pelabuhan Royal Navy, Khoramshar, Persia. Kapal MV Tosari kemudian bergabung ke Logistic Task Force Royal Navy (Satuan Logistik Angkatan Laut Inggris).
Selama bekerja di Satuan Logistik Angkatan Laut Inggris, John Lie mendapat banyak pelatihan militer, mulai dari mengoperasikan senjata, sistem komunikasi, taktik perang laut, pengenalan jenis kapal yang digunakan sekutu serta jenis ranjau laut.
Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI)
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu, Sutan Sjahrir dan golongan muda meminta Mohammad Hatta dan Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan. Indonesia resmi memproklamasikan pada pagi hari 17 Agustus 1945. Berita kemerdekaan Indonesia sampai ke John Lie, ia dan rekan-rekannya bertekat untuk kembali ketanah air, namun ia menunggu waktu yang tepat agar tidak dicurigai oleh tentara sekutu.
Pada Februari 1946, seluruh awak kapal KPM yang bekerja di Royal Navy diperbolehkan kembali ke Indonesia. John Lie bersama pelaut asal Indonesia lainnya menaiki kapal MV Ophir menuju Indonesia. Setelah melewati perjalan panjang dan melelahkan dan sempat di cegat beberapa kali, akhirnya John Lie sampai di Markas Besar Angkatan Laut Republik Indonesia di Yogyakarta.
Sesampainya disana, John Lie menjelaskan maksudnya untuk bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia, setelah melalui proses pemeriksaan oleh para perwira Angkatan Laut, John Lie akhirnya diterima serta ditawarkan pangkat tinggi karena pengalamannya pernah bekerja untuk Royal Navy. John Lie menolak pangkat itu, ia hanya ingin bergabung dengan Angkatan Laut untuk ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
John Lie diterima di Angkatan Laut Republik Indonesia dengan pangkat Kelasi III, meskipun pangkatnya rendah banyak perwira tinggi betanya tentang ilmu yang didapatnya selama di Royal Navy. Bahkan John Lie pernah memberi saran kepada Mayor RE Martadinata tentang bagaimana pemasangan bendera kelautan Internasional.
Pada tanggal 29 Agustus 1946, John Lie memulai misi pertamanya. Ia berangkat ke Pelabuhan Cilacap dengan kereta uap dari Yogyakarta atas perintah Laksamana III M. Pardi. Misinya adalah sebagai Kepala bagian Nautika, membersihkan perairan dari ranjau laut, melatih para perwira muda ALRI, dan mengajarkan teori serta praktik mengenai kelautan.
M.Pardi dan Jenderal Soedirman melihat kinerja John Lie sangat bagus, sehingga John Lie dianugerahkan kenaikan pangkat menjadi Mayor Laut. John Lie juga diangkat menjadi Komandan Perairan Cilacap serta merangkap menjadi Syahbandar.
Pemasok Senjata
Pada 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer Pertama dan melakukan blokade laut yang ketat. John Lie saat itu berada di Singapura karena terbawa oleh kapal dagang Empire Ten By.
Di Singapura, bersama tokoh lain seperti Mayor Ali Djajeng Prawira dan para stafnya membeli kapal seukuran spead boat. John Lie dipercaya untuk membawa salah satu kapal yang mereka beli, dan John Lie memberi nama kapalnya dengan nama “The Outlaw”.
Pada Oktober 1947, John Lie bersama ABKnya mebawa perlengkapan militer, seperti senjata semi otomatis, peluru dan perlengkapan kapal. Kapal bergerak pada pukul 4.00 menuju Labuhan Bilik dari Pulau Pisang, setelah satu jam perjalanan, kapal John Lie dikejar kapal patroli Belanda. Kapal John Lie saat itu memakai bendera Inggris, berputar haluan melalui Johore Straits menuju Pulau Kukup.
Dari Pulau Kukup menuju Pantai Melayu dan sampai di Een Vadem Bank, kapal The Outlaw mengibarkan bendera Komintang dan menuju Labuhan Bilik. The Outlaw dihadang oleh pesawat milik Belanda pada pukul 9.00 dan disuruh untuk segera meninggalkan Delta Labuhan Bilik. Ketika pesawat mengambil posisi menembak, tiba tiba pesawat itu menjauh dan kemudian menghilang.
John Lie segera melanjutkan perjalanannya, dan sampai di Labuhan Bilik pada pukul 10.00. John Lie segera bongkar muatan yang dibawanya serta menyerahkannya ke Usman Effendi dan Komandan Batalyon Abu Usamah
Setelah selesai bongkar muatan, Kapal The Outlaw didaftarkan dan mendapatkan nomor resmi PPB 31 LB, sejak itu kapal ini resmi milik ALRI.
John Lie tercatat paling sedikit melakukan misi penyelundupan demi kepentingan Bangsa Indonesia sebanyak 15 kali. Karena keberanian dan keberhasilannya menerobos blokade Belanda, BBC sebuah kanal berita menjuluki kapal The Outlaw sebagai The Black Speadboat.
Pada saat agresi militer Belanda II terjadi, pusat komando ALRI dipindahkan ke Aceh, dan kapal Outlaw menjadi satu-satunya kapal yang yang digunakan untuk menembus blokade Belanda. John Lie diminta untuk semakin banyak menyelundupkan senjata dan amunisi.
John Lie adalah seorang Kristen yang taat, ia selalu membawa Al-Kitab yang selalu memotivasinya untuk terus melanjutkan perjuangannya. Bahkan karena itu ia mendapat julukan “The Great Smuggler with The Bible (Penyelundup Besar yang selalu membawa Al-Kitab)”.
Penumpasan Pemberontakan
Pada masa perang kemerdekaan muncul gerakan-gerakan pemberontakan yang menginginkan pemisahan diri dari Negara Indonesia, seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA).
Republik Maluku Selatan
Pada 25 April 1950, JH Manuhutu, Albert Wairisal dan orang orangnya memproklamasikan negara baru yang mereka sebut Republik Maluku Selatan (RMS). Kelompok separatis ini sering kali melakukan teror kepada masyarakat, bahkan bagi pihak-pihak yang menolak RMS mendapat tekanan-tekanan sampai pembunuhan.
Kegiatan yang dilakukan oleh kelompok RMS ini seringkali didukung oleh polisi, pasukan istimewa KNIL yang merupakan bagian dari Korps Speciale Troepen di Batujajar. Pihak Pemerintah Pusat Indonesia melakukan misi perdamaian dengan mengirim tokoh-tokoh pergerakan untuk melakukan lobi tetapi tindakan itu tidak membuahkan hasil.
Jalan damai ditolak, Pemerintah Indonesia mengambil sikap tegas dengan mengarahkan Angkatan Perang untuk memberantas kelompok RMS ini. Angkatan Perang melakukan blokade di perairan Ambon. John Lie dengan kapal RI Rajawali, S Gino dengan kapal RI Pati Unus dan Simajuntak dengan kapal RI Hang Tuahnya mendapat tugas blokade ini.
John Lie juga mendapat tugas untuk mengevakuasi masyarakat yang ingin pindah karena intimidasi RMS, John Lie berhasil mengevakuasi sebanyak 4.200 penduduk.
Pada 14 Juli 1950, Kolonel Kawilarang ditunjuk memimpin Ekspedisi Militer untuk menumpas RMS, Ekspedisi ini dinamakan dengan Gerakan Operasi Militer (GOM) III. Sebanyak 850 orang pasukan Angkatan Perang Republik Indondonesia Serikat (APRIS) mendarat di Numela, Pulau Buru. APRIS berhasil menguasai Pulau Buru dan pasukan RMS di Pulau Buru menyerah dan menghadap Kolonel Kawilarang.
Setelah menguasai Pulau Buru, Pasukan APRIS mendarat di Pulau Seram pada tanggal 19 Juli 1950. Pulau Seram dan Ambon merupakan basis kekuatan dari gerakan RMS ini. Pada 15 November 1950 pasukan APRIS berhasil membersihkan Pulau Seram dan Ambon dari RMS. Beberapa pemimpin dan pasukan RMS melarikan diri ke Pulau Seram dan kemudian melarikan diri lagi ke Belanda pada tahun 1955.
Darul Islam dan Tentara Islam Indonesia
Di Jawa barat terjadi pemberontakan juga yang disebut dengan Darul Islma dan Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang didirikan oleh SM Kartosuwiryo pada 7 Agustus 1949 di Cisampang, pengaruh DI/TII menyebar ke daerah daerah seluruh Indonesia, di Aceh pada tahun 1950 munucul juga DI/TII yang dipimpin oleh Daud Beureuh dan di Sulawesi Selatan pada tahun 1938 dipimpin oleh Qahar Muzakar.
Untuk mengatasi pemberontakan yang dilakukan oleh DI/TII, pemerintah melalui jalan operasi militer dan operasi pemulihan kemananan dengan melibatkan seluruh elemen keamanan. John Lie sebagai bagian dari ALRI berperan dalam operasi patroli pantai.
KKO-AL yang merupakan pasukan khusus dari ALRI juga digerakkan untuk menumpas gerakan ini di Sulawesi Selatan pada Operasi Tri Tunggal. Pada 31 Oktober 1955, Pasukan KKO-AL berhasil sampai di Sungai Wawo, Operasi berlangsung selama 10 hari dan berhasil memojokkan pasukan Qahar Muzakar hingga sampai masuk ke dalam hutan sehingga ruang gerak mereka semangkin mengecil hingga akhirnya menyerah.
Pada 4 Juni 1962, pasukan DI/TII di Jawa Barat sebanyak 23 orang menyerah termasuk SM Kartosuwiryo selaku pemimpinnya, TNI berhasil menyita 16 pucuk senjata. Paskan DI/TII menyerah karena kesehatan SM Kartosuwiryo menurun, setelah dirawat dan dinyatakan sehat, SM Kartosuwiryo diadili di Mahkama Angkatan Darat, dan divonis hukuman mati.
PRRI/PERMESTA
Pada 1958, Letnan Kolonel Ahmad Husein memproklamasikan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang. Di Sulawesi Utara dan Tengah muncul gerakan yang sama yang mereka sebut dengan Perjuangan Rakyat Semesta (PERMESTA), yang menyatakan mereka memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat dan mendukung gerakan PRRI.
Pada 12 Maret 1958, Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) melakukan operasi gabungan di Sumatera Barat, Riau, Sumatera Timur dan Sumatera Selatan yang disebut dengan “Operasi Tegas”. ALRI membentuk Amphibious Task Force (ATF)-27.1, yang terdiri dari 9 Kapal Perang, 13 Kapal Angkut dan Satu Batalyon Infanteri Angkatan Darat, Satu Batalyon BRIMOB, dan satu Kompi KKO-AL.
Pada 13 April 1958, KKO-AL kembali melakukan gerakan operasi yang disebut “Operasi 17 Agustus” yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Yani. Operasi ini dilakukan secara bergelombang untuk merebut Kota Padang dan daerah lain di Sumatera Barat.
ALRI membentuk Amphibious Task Force 17 (ATF-17) yang dipimpin oleh Letnan Kolonel John Lie. Operasi ini berhasil mendaratkan pasukan di Padang, Pariaman, Teluk Bayur dan Painan dan berhasil melemahkan gerakan PRRI. Operasi Kurusetra di gelar untuk membersihkan sisa-sisa pasukan PRRI.
Pada Operasi Pukul, sebuah operasi yang bertujuan untuk memberantas PERMESTA, John Lie kembali memimpin Amphibious Task Force 25 (ATF-25). Operasi ini menargetkan Kema dan Manado yang mana merupakan jantung dari gerakan PERMESTA.
ALRI menggerakkan 1 Kapal Perusak, 3 Korvet, 6 Kapal Angkut dan 6 Kapal Penyapu Ranjau dan ditambah 9 Kapal Angkut milik Pelni dan Jawatan Pelayaran. Angkatan Darat mengirim 2 Batalyon Infanteri, 1 Batalyon Alteleri dan 2 Detasemen Bantuan Tempur Zeni dan Lapis Baja dan 2 Kapal milik Angkatan Darat. Angkatan Udara menyertakan 1 Skwardon pemburu Mustang dan pembom B-25.
Pada pertengahan Juni 1958, pasukan ini berhasil menduduki Kema dan Bitung, yang kemudian melanjutkan operasi ke Manado dan berhasil menduduki Manado sepenuhnya pada Maret 1959.
Pensiun dan Akhir Hayat
Setelah berhasil menyelesaikan beberapa pemberontakan yang terjadi. John Lie memulai pendidikan di defence Service Staff College Wellington, India pada 1958 dan berhasil menyelesaikannya ditahun 1959.
Pada tahun 1960, John Lie menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong dari Angkatan Laut. John Lie juga dipercaya sebagai ketua dan kepala pengangkatan kerangka-kerangka kapal diseluruh indonesia hingga tahun 1966.
Karena keputusan Presiden No 204/Tahun 1967 yang mengatur tentang kebijaksanaan yang menyangkut wargan negara Indonesia keturunan asing, yang menyarankan untuk mengganti nama-nama keturunan asing dengan nama-nama Indonesia, John Lie memutuskan untuk mengganti namanya menjadi Jahja Daniel Dharma.
Pada tahun 1966, John Lie memutuskan untuk pensiun dari dunia militer, dan aktif di kegiatan sosial, wiraswasta, dan keagamaan. Karena kesibukannya didunia militer dan perjuangannya, John Lie baru mulai menikah pada usia 55 tahun, John Lie menikah dengan Pdt. Margaretha Dharma Angkuw.
John Lie wafat pada 27 Agustus 1988 karena penyakit Stroke yang dideritanya dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta. Pada tanggal 9 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional pada John Lie.
Bio Data John Lie
Nama Lengkap | Laksamana Muda TNI (Purn.) John Lie |
Nama Kecil | Lie Tjeng Tjoan |
Nama Lain | Jahja Daniel Dharma |
Tempat, Lahir | Menado, Celebes, Hindia Belanda, 9 Maret 1911 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 27 Agustus 1988 (umur 77) |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Kristen Protestan |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Tentara |
Dinas Militer | TNI Angkatan Laut |
Pangkat Militer | Laksamana Muda |
Komando | PPB 58 LB / The Outlaw |
Ayah | Lie Kae Tae |
Ibu | Oei Tjeng Nie Nio |
Isteri/Pasangan | Margaretha Dharma Angkuw |
Riwayat Pendidikan John Lie
Jenjang Pendidikan | Nama Sekolah | Tahun |
---|---|---|
Sekolah Dasar | Holland Chinese School (HCS) | 1918 |
Sekolah Dasar | Christelijke Lagere School | |
Kursus Navigasi | Batavia | |
Defence Service Staff College, Wellington, India |
Karir Robert John Lie
Instansi/Tempat | Jabatan | Masa Jabatan |
---|---|---|
Koninklijk Paketvaart Maatschappij | Stuurman (Mualim) III | November 1929-1942 |
Royal Navy, Khoramshar, Teluk Persia | Logistic Task Forces | 1942-1946 |
KRI PPB 58 LB ” The Outlaw “ | Komandan | 1946-1949 |
KRI Radjawali | Komandan | 1950-1952 |
Operasi IV Markas Besar ALRI | Staf Kepala | 1952-1954 |
Dinas Angkutan & Logistik ALRI | Kepala | 1953-1955 |
Inspektorat Pengangkatan Kerangka Kapal Wilayah Perairan Indonesia | Ketua dan Kepala | 1960-1966 |
Penghargaan John Lie
Penghargaan | Tahun | Keterangan |
---|---|---|
Pahlawan Kemerdekaan Indonesia | 6 November 2009 | Keppres No. 58/TK/TH. 2009 |
Penghargaan Bintang John Lie
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Mahaputera Adipradana (6 November 2009) | |
Bintang Mahaputera Utama (7 Agustus 1995) | |
Bintang Dharma | |
Bintang Gerilya | |
Bintang Jalasena Pratama | |
Bintang Jalasena Nararya | |
Bintang Kartika Eka Paksi Nararya | |
Bintang Swa Bhuwana Paksa Nararya | |
Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | |
Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan I | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan II | |
Satyalancana G.O.M III | |
Satyalancana G.O.M IV | |
Satyalancana G.O.M V | |
Satyalancana Sapta Marga | |
Satyalancana Satya Dharma | |
Satyalancana Wira Dharma | |
Satyalancana Penegak |
Kami ingin membuat pengalaman membaca kamu sebaik mungkin! Jika kamu menemukan informasi yang kurang tepat atau hilang dalam konten kami, kami sangat menghargai kontribusi kamu untuk memperbaikinya.
Dengan kerjasama kamu, kami dapat memastikan bahwa setiap informasi yang kami bagikan akurat dan bermanfaat bagi semua pembaca kami. Jangan ragu untuk memberi tahu kami melalui kolom komentar di bawah setiap artikel atau melalui halaman Contact Us.
Setiap masukan dari kamu sangat berarti bagi kami, dan kami selalu siap untuk meningkatkan kualitas layanan kami berkat kontribusi kamu. Terima kasih atas dukungan dan kerjasama kamu!