Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan

Categories

Edit Template

Biografi Mohammad Yamin: Penulis Rumusan Sumpah Pemuda

Mohammad Yamin, seorang tokoh sastrawan dan pahlawan nasional Indonesia, lahir pada 24 Agustus 1903 di Sawahlunto, Sumatera Barat. Terkenal sebagai penulis teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Soekarno pada 17 Agustus 1945 dan tokoh yang berperan dalam perumusan sumpah pemuda, Yamin memiliki latar belakang pendidikan dari H.I.S, Padang, dan melanjutkan studinya di Sekolah Tinggi Hukum, Batavia. 

Aktif dalam pergerakan nasional, terutama dalam bidang sastra dan politik, Yamin dikenal melalui karya-karyanya, seperti “Indonesia Tumpah Darahku”, yang menjadi sorotan sebagai pelopor Rumusan Sumpah Pemuda. Selain prestasinya dalam dunia sastra, Yamin juga telah berkiprah sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Mesir, Pakistan, dan Sudan.

Keluarga dan Pendidikan Mohammad Yamin

Mohammad Yamin lahir di Talawi, Sawahlunto pada 24 Agustus 1903, sebagai putra dari Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah, keduanya berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. 

Yamin berasal dari keluarga besar dengan ayahnya memiliki enam belas anak dari lima istri, yang hampir semuanya kemudian menjadi intelektual berpengaruh. Di antara saudara-saudaranya, terdapat Muhammad Yaman, seorang pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana Usman, yang menjadi pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu, sepupunya, Mohammad Amir, juga merupakan tokoh dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia.

Pendidikan awal Yamin dimulai di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Palembang, kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, minatnya terhadap sejarah purbakala dan berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei mulai tumbuh. 

Namun, rencananya untuk melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda terpaksa dibatalkan karena wafatnya ayahnya. Yamin kemudian melanjutkan studi di Rechtshoogeschool te Batavia (Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kemudian menjadi Fakultas Hukum Universitas Indonesia), dan meraih gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum) pada tahun 1932.

Moh. Yamin dan Sastra

Mohammad Yamin memulai perjalanan karirnya sebagai seorang penulis pada era 1920-an, ketika dunia sastra Indonesia tengah mengalami perkembangan pesat. Karya-karyanya yang pertama muncul dalam bahasa Melayu di jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal berbahasa Belanda, pada tahun 1920. Pada awalnya, karyanya masih terkait dengan bentuk bahasa Melayu Klasik.

Pada tahun 1922, Yamin membuat debutnya sebagai seorang penyair dengan puisi berjudul “Tanah Air,” yang menggambarkan cintanya terhadap Tanah Minangkabau di Sumatra. Puisi “Tanah Air” merupakan kumpulan puisi modern Melayu pertama yang pernah diterbitkan.

Karyanya berikutnya, “Tumpah Darahku,” diterbitkan pada tanggal 28 Oktober 1928. Karya ini memiliki signifikansi sejarah karena pada saat itu, Yamin bersama beberapa pahlawan nasional lainnya memperjuangkan pemersatuannya terhadap satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia tunggal. Pada tahun yang sama, dramanya yang terinspirasi dari sejarah Jawa, “Ken Arok dan Ken Dedes,” juga diterbitkan.

Yamin sering menggunakan bentuk soneta, diambil dari literatur Belanda, dalam puisinya. Meskipun ia sering bereksperimen dengan bahasa dalam karyanya, Yamin masih mempertahankan norma-norma klasik Bahasa Melayu, berbeda dengan generasi penulis yang lebih muda. 

Selain puisi, ia juga aktif menulis drama, esai, novel sejarah, dan melakukan terjemahan karya-karya dari William Shakespeare (seperti drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.

Pada awal tahun 1930-an, Yamin terlibat dalam dunia jurnalistik, bergabung dengan dewan redaksi surat kabar Panorama bersama Liem Koen Hian, Sanusi Pane, dan Amir Sjarifuddin. Di pertengahan tahun 1936, bersama mereka, Yamin mendirikan surat kabar lain, Kebangoenan (1936–1941), yang juga diterbitkan oleh Siang Po Printing Press milik Phoa Liong Gie.

Kongres Pemuda I

Pada awal kiprah politiknya di dekade 1920-an saat kuliah di Batavia (Jakarta), Mohammad Yamin bergabung dengan Jong Sumatranen Bond, demikian seperti yang diuraikan dalam karya “Menjadi Indonesia” (2006) karya Parakitri T. Simbolon. Di tengah momentum tersebut, Yamin turut serta sebagai wakil Jong Sumatranen Bond dalam Kongres Pemuda I yang digelar di Jakarta pada 30 April – 2 Mei 1926. 

Tujuan utama kongres ini adalah untuk memperkokoh semangat kerja sama di antara berbagai organisasi pemuda di Indonesia, menjunjung tinggi persatuan dan nasionalisme, serta untuk memperkuat jaringan antar-organisasi.

Kongres Pemuda I menampilkan perwakilan dari berbagai perkumpulan atau organisasi kepemudaan, termasuk Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Ambon, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond, Studerenden Minahasaers, Jong Bataks Bond, Pemuda Kaum Theosofi, dan lain-lain. 

Dalam konteks pidato yang disampaikan oleh Mohammad Yamin, seperti yang dirujuk dalam karya “Sumpah Pemuda: Latar Belakang dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional” (2008) yang disusun oleh Momon Abdul Rahman dan kolega, Yamin menyampaikan gagasannya dalam pidato bertajuk “Kemungkinan Perkembangan Bahasa-bahasa dan Kesusasteraan Indonesia di Masa Mendatang”.

Meskipun memberikan penghormatan kepada bahasa-bahasa daerah seperti Sunda, Aceh, Bugis, Minangkabau, Madura, dan lainnya, Yamin menyatakan bahwa hanya dua bahasa yang memiliki potensi sebagai bahasa persatuan Indonesia, yakni bahasa Jawa dan bahasa Melayu. 

Bahasa Jawa diungkit oleh Yamin karena memiliki jumlah penutur terbanyak di Indonesia, sementara bahasa Melayu dianggapnya telah menjadi bahasa pergaulan yang luas (lingua franca).

Akan tetapi, pandangan Yamin mengenai pemilihan bahasa Jawa atau Melayu sebagai bahasa persatuan tidak sepenuhnya diterima oleh seluruh peserta kongres. 

Mohammad Tabrani dari Jong Java, misalnya, berpendapat bahwa jika bangsa ini disebut Indonesia, maka bahasanya juga seharusnya dinamai bahasa Indonesia, bukan bahasa Jawa atau bahasa Melayu. Ketidaksepahaman antara pandangan ini menyebabkan Kongres Pemuda I tidak dapat mencapai keputusan yang mutlak dalam hal ini.

Kongres Pemuda II dan Perumusan Sumpah Pemuda

Teks Sumpah Pemuda

Kongres Pemuda II, sebagai kelanjutan dari Kongres Pemuda I, juga diadakan di Batavia atau Jakarta, menyelenggarakan tiga rapat atau sidang dalam dua hari pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928.

Para peserta dari berbagai organisasi seperti Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Batak, Pemuda Indonesia, Jong Islamieten Bond (JIB), Jong Celebes, Sekar Rukun, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan lainnya, hadir dalam kongres tersebut.

Pada rapat pertama tanggal 27 Oktober 1928, Muhammad Yamin dari Jong Sumatranen Bond menyampaikan gagasannya dalam pidato bertajuk “Dari Hal Persatuan dan Kebangsaan Indonesia”. Dalam pidatonya, yang dicatat dalam “Sumpah Pemuda: Latar Belakang dan Pengaruhnya bagi Pergerakan Nasional” (2008) yang disusun oleh Momon Abdul Rahman dan kolega, Yamin menyoroti pentingnya persatuan dalam membangun kebangsaan.

Yamin menekankan bahwa persatuan di antara bangsa Indonesia dapat dipertahankan berkat dasar-dasar yang kuat seperti kesamaan budaya, bahasa, dan hukum adat. Menurutnya, kesatuan suatu bangsa terletak pada kekuatan semangat bersatu yang kokoh. Lebih jauh, Yamin menguraikan bahwa persatuan Indonesia dapat diperkuat melalui lima aspek, yaitu sejarah, bahasa, hukum adat, pendidikan, dan kehendak bersama.

Yamin juga mendorong peran ibu dalam menanamkan semangat kebangsaan kepada generasi mendatang. Meskipun terjadi perdebatan intens terhadap beberapa gagasan Yamin, akhirnya tercapai kesepakatan bersama.

Pada rapat ketiga tanggal 28 Oktober 1928, para pemuda sepakat merumuskan ikrar Sumpah Setia atau Sumpah Pemuda. Mohammad Yamin juga ikut serta dalam merumuskan teks naskah Sumpah Pemuda berbunyi seperti berikut:

Kami Putra-Putri Indonesia, 
mengaku bertumpah darah yang satu, 
Tanah Indonesia 

Kami Putra-Putri Indonesia, 
mengaku berbangsa yang satu, 
Bangsa Indonesia. 

Kami Putra-Putri Indonesia, 
menjunjung bahasa persatuan, 
Bahasa Indonesia

Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia)

Pada tahun 1932, Yamin meraih gelar sarjana hukum dan bekerja di bidang hukum di Jakarta hingga 1942. Pada periode yang sama, Yamin bergabung dengan Partindo. Setelah pembubaran Partindo, bersama Adnan Kapau Gani dan Amir Sjarifuddin, Yamin mendirikan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). 

Tujuan Gerindo adalah meningkatkan kesadaran nasionalisme dengan mengorganisir rakyat. Namun, pendirian Gerindo juga mencerminkan keinginan nasionalis sayap kiri untuk bekerja sama dengan Belanda. Kolaborasi ini sebagian muncul karena ketidakmampuan untuk melawan kekuatan militer Belanda dan keinginan untuk berkolaborasi melawan fasisme, terutama fasisme Jepang. 

Yamin dipecat dari organisasi pada tahun 1939 karena melanggar aturan, termasuk melakukan kampanye melawan anggota Gerindo lainnya dalam pemilihan dewan kotamadya Batavia. Ia kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Parpindo). Dari tahun 1938 (atau 1939) hingga 1942, Yamin menjadi anggota Volksraad, badan penasihat yang didirikan oleh Belanda di Hindia Belanda pada tahun 1917.

Pada Masa jepang dan Kemerdekaan

Selama pendudukan Jepang (1942-1945), Mohammad Yamin aktif dalam Pusat Tenaga Rakyat (PUTERA), sebuah organisasi nasionalis yang didukung oleh pemerintah Jepang. Pada tahun 1945, Yamin terpilih sebagai anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). 

Dalam sidang BPUPKI, peran besar dimainkan oleh Yamin. Dia mendukung masuknya hak asasi manusia ke dalam konstitusi negara. Usulannya mencakup wilayah Indonesia pasca-kemerdekaan, termasuk Sarawak, Sabah, Semenanjung Malaya, Timor Portugis, dan seluruh wilayah Hindia Belanda. Soekarno, juga anggota BPUPKI, mendukung ide Yamin ini. 

Setelah kemerdekaan, Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia yang pertama, sementara Yamin menduduki jabatan-jabatan kunci dalam pemerintahan.

Yamin mengklaim bahwa pada tanggal 29 Mei 1945, dia menyampaikan pidato tentang dasar filosofis dan politik untuk negara baru yang diusulkan, merujuk pada lima prinsip bangsa yang kemudian dikenal sebagai Pancasila. Ini terjadi dua hari sebelum pidato Soekarno yang merinci Pancasila pada 1 Juni. 

Meskipun klaim kepenulisan Pancasila oleh Yamin dipertanyakan oleh beberapa tokoh seperti Dr. Mohammad Hatta, Mr. Soebardjo, Mr. A. Maramis, Prof. A.G. Pringgodigdo, Prof. Sunario, dan anggota lain BPUPKI yang tersisa yang diwawancara, Yamin adalah satu-satunya yang memiliki catatan lengkap tentang sidang-sidang BPUPKI, yang digunakan untuk buku terbitan tahun 1959, “Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945”.

Yamin terlibat dalam Panitia Sembilan yang bertugas merancang undang-undang dasar. Panitia ini menciptakan Pembukaan, yang berisi inti dari pidato Soekarno pada 1 Juni. Yamin yang aktif dalam proses ini, menyebutnya Piagam Jakarta. 

Namun, ketika BPUPKI bertemu untuk sidang kedua pada 10 Juli, Yamin tidak diikutsertakan dalam komite yang menghasilkan rancangan konstitusi dalam tiga hari di bawah pimpinan Soepomo. Yamin menolak pengangkatan di komite lain yang membahas keuangan. 

Ketika rancangan undang-undang itu disetujui pada 16 Juli, Yamin menjadi satu-satunya anggota BPUPKI yang menolak secara langsung. Meskipun ia mengklaim telah membuat rancangan undang-undang yang mirip dengan versi Soepomo, tidak ada bukti konkret, dan Hatta bahkan membantah klaim Yamin bahwa ia telah menyerahkan dokumen semacam itu kepada BPUPKI.

Pada 17 Agustus 1945, Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, dan keesokan harinya, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menugaskan komisi tujuh, termasuk Yamin, untuk membuat versi final UUD.

Setelah Kemerdekaan

Setelah kemerdekaan, Mohammad Yamin menjabat dalam berbagai posisi penting, termasuk sebagai anggota DPR sejak tahun 1950, Menteri Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan (1953–1955), serta sebagai Ketua Dewan Perancangan Nasional yang dibantu oleh tiga Wakil Ketua, yaitu Ukar Bratakusumah, Soekardi, & Sakirman melalui UU No. 80 tahun 1958 (1958–1963). 

Di masa jabatannya sebagai Menteri Sosial dan Kebudayaan (1959–1960), ia juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962) dan Menteri Penerangan (1962–1963).

Sebagai Menteri Kehakiman, Yamin mengambil langkah audacious dengan membebaskan tahanan politik yang ditahan tanpa proses pengadilan. Tanpa penggunaan grasi atau remisi, ia melepaskan 950 orang tahanan yang dituduh sebagai komunis atau sosialis. 

Meskipun mendapat kritik dari banyak anggota DPR, Yamin tetap bertanggung jawab atas keputusannya. Saat menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, Yamin sangat mendukung pendirian universitas-universitas baik negeri maupun swasta di seluruh Indonesia. 

Di antara universitas yang didirikannya adalah Universitas Andalas di Padang, Sumatera Barat, dan Universitas Pendidikan Indonesia di Bandung, Jawa Barat, awalnya dikenal sebagai Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG).

Wafat

Pada 17 Oktober 1962, Mohammad Yamin meninggal dunia di Jakarta. Sebagai pencetus ide-ide penting, Yamin memiliki pengaruh besar dalam sejarah politik dan budaya Indonesia modern. 

Kontribusinya dalam menyuarakan ide-ide tersebut telah memengaruhi kebangkitan politik serta memperkuat semangat kebanggaan nasional di Indonesia. Pengakuan atas kontribusinya sebagai Pahlawan Nasional Indonesia kemudian diberikan pada tahun 1973.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top