Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) terbentuk sebagai hasil dari proklamasi negara Republik Indonesia Serikat, yang menandai pengakuan kedaulatan dari pemerintah Kolonial Belanda.
Ini merupakan periode singkat dalam sejarah Indonesia di mana negara tersebut mengadopsi model federasi sebelum kembali ke negara kesatuan.
Pembentukan kabinet ini mengikuti serangkaian proses politik yang dimulai pada sidang bersama Parlemen dan Senat RIS pada tanggal 16 Desember 1949. Pada saat itu, Ir. Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS.
Untuk membentuk kabinet, Presiden mengangkat empat formatur, dua dari Republik Indonesia (RI), yaitu Mohammad Hatta dan Sultan Hamengku Buwono IX, dan dua dari negara federal, yaitu Anak Agung Gde Agung dan Sultan Hamid II.
Setelah proses yang cukup singkat, pada tanggal 20 Desember, kabinet RIS akhirnya terbentuk dengan Mohammad Hatta menjabat sebagai Perdana Menteri.
Kabinet ini terdiri dari 13 menteri dan tiga menteri negara, dengan mayoritas di antaranya berasal dari Republik. Meskipun berlangsung hanya kurang dari satu tahun, keberadaan kabinet RIS mencerminkan periode penting dalam sejarah politik Indonesia yang melibatkan perubahan bentuk negara.
Susunan Kabinet RIS
Jabatan | Foto | Pejabat | Waktu Menjabat | Partai |
---|---|---|---|---|
Presiden | Ir. Soekarno | 18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 | ||
Perdana Menteri | Mohammad Hatta | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Wakil Perdana Menteri | Sjafruddin Prawiranegara | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Luar Negeri | Agus Salim | 4 Agustus 1949 – 21 Oktober 1949 | ||
Menteri Luar Negeri | Hamengkubuwono IX | 21 Oktober 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Dalam Negeri | Wongsonegoro | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Kehakiman | Susanto Tirtoprodjo | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Penerangan | R. Sjamsoeddin | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Keuangan | Lukman Hakim | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Persediaan Makanan Rakyat | IJ Kasimo | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Kemakmuran | IJ Kasimo | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Perhubungan | Herling Laoh | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Pekerjaan Umum | Herling Laoh | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Perburuhan dan Sosial | Koesnan | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Pengajaran Pendidikan dan Kebudayaan | Ki Sarmidi Mangunsarkoro | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Agama | Masjkur | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Kesehatan (ad Intrerim) | dr. Surono | 4 Agustus 1949 – 1 Desember 1949 | ||
Menteri Kesehatan | Johannes Leimena | 1 Desember 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Negara | Sukiman Wirjosandjojo | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Negara | Djuanda Kartawidjaja | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Negara | Johannes Leimena | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 | ||
Menteri Negara | Hamengkubuwono IX | 4 Agustus 1949 – 14 Desember 1949 |
Table of Contents
ToggleProgram Kerja Kabinet RIS
Program Kabinet Republik Indonesia Serikat mencakup beberapa aspek yang penting dalam menjalankan pemerintahan baru setelah proklamasi negara.
Pertama, kabinet bertujuan untuk menyelenggarakan pemindahan kekuasaan sepenuhnya kepada bangsa Indonesia di seluruh wilayah, dengan fokus pada reorganisasi KNIL, pembentukan APRIS, dan pengembalian tentara Belanda ke negerinya dengan segera.
Kedua, program ini menekankan pentingnya menjaga ketertiban umum dan melindungi hak-hak demokrasi serta prinsip-prinsip hak asasi manusia. Hal ini dilakukan secepat mungkin untuk memastikan stabilitas dalam negara yang baru merdeka.
Selanjutnya, kabinet juga berkomitmen untuk menyusun dasar hukum yang memungkinkan rakyat untuk menyatakan kehendaknya sesuai dengan prinsip-prinsip Undang-Undang RIS, termasuk melalui pemilihan umum untuk memilih anggota konstituante.
Selain itu, dalam bidang ekonomi, kabinet berupaya memperbaiki kondisi perekonomian, keuangan, perhubungan, perumahan, dan kesehatan rakyat. Langkah-langkah seperti penetapan upah minimum, pengawasan pemerintah terhadap kegiatan ekonomi, dan persiapan untuk jaminan sosial menjadi prioritas untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kemudian, dalam bidang pendidikan dan budaya, kabinet bertujuan untuk meningkatkan kualitas perguruan tinggi sesuai dengan kebutuhan masyarakat, serta memperkuat upaya pemberantasan buta huruf di kalangan rakyat.
Terkait dengan isu Papua, kabinet berkomitmen untuk menyelesaikan masalah ini secara damai dalam waktu satu tahun.
Terakhir, dalam politik luar negeri, kabinet berusaha memperkuat kedudukan RIS dalam dunia internasional dengan mengutamakan perdamaian dunia dan kerjasama antarbangsa.
Upaya juga dilakukan untuk memperkuat hubungan dengan negara-negara Asia Tenggara dan menjalankan politik yang mendukung kepentingan RIS dalam organisasi internasional seperti PBB.
Akhir Kabinet RIS
Wacana mengenai kembalinya kepada bentuk negara kesatuan dimulai oleh keinginan Negara Indonesia Timur (NIT) dan pemerintah Negara Sumatra Timur (NST) untuk bergabung kembali dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada 8 April 1950, konferensi segitiga antara RIS-NIT-NST diadakan. Akhirnya, pada tanggal 12 Mei 1950, kedua negara bagian tersebut memberikan mandat kepada perdana menteri RIS, Mohammad Hatta, untuk melakukan pembicaraan mengenai pembentukan negara kesatuan dengan pemerintah RI.
Sementara itu, di berbagai negara bagian, rakyat juga menuntut agar wilayah mereka dikembalikan ke dalam Republik Indonesia. Contohnya adalah tindakan rakyat Jawa Barat pada 8 Maret 1950, yang melakukan demonstrasi di Bandung untuk menuntut pembubaran Negara Pasundan dan pengembalian seluruh wilayahnya ke dalam RI.
Kesepakatan antara RIS dan RI (sebagai negara bagian) untuk membentuk negara kesatuan akhirnya tercapai pada tanggal 19 Mei 1950. Setelah dua bulan bekerja, Panitia Gabungan RIS dan RI berhasil menyelesaikan tugasnya pada tanggal yang sama.
Kemudian, rancangan UUD negara kesatuan ini dibahas di masing-masing DPR dan diterima dengan baik oleh Senat, Parlemen RIS, dan KNIP. Pada tanggal 17 Agustus 1950, presiden Soekarno menandatangani rancangan UUD tersebut, yang kemudian dikenal sebagai Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (UUDS 1950).
Menurut UUDS 1950, presiden, kabinet, dan DPR memegang kekuasaan legislatif. UUDS 1950 menggabungkan undang-undang dari UUD 1945 dan konstitusi RIS.
Pemerintah memiliki wewenang untuk mengeluarkan undang-undang darurat atau peraturan pemerintah, namun harus disahkan terlebih dahulu oleh DPR.
Selain itu, kabinet, baik secara keseluruhan maupun individu, tetap bertanggung jawab kepada DPR, yang memiliki hak untuk menjatuhkan kabinet atau memberhentikan menteri.
Dengan ditandatanganinya rancangan UUDS tersebut, RIS secara resmi dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950, dan NKRI dibentuk kembali.