Biografi Wikana, yang sebagian besar dilupakan dari lembaran sejarah, menjadi penting untuk difahami. Meskipun setelah Insiden G30S/PKI, di mana tokoh-tokoh PKI dianggap negatif, Wikana tetap berdiri sebagai salah satu figur yang memiliki peran krusial dalam proses kemerdekaan Indonesia.
Meski namanya tenggelam bersama dengan upaya penghapusan sejumlah tokoh PKI dari catatan sejarah, kisah hidupnya menghadirkan jejak yang signifikan. Ia tak hanya terlibat dalam aksi penculikan Soekarno dan Hatta di Rengasdengklok untuk mempercepat proklamasi, tapi juga aktif dalam pemerintahan setelah Indonesia merdeka.
Wikana memegang posisi Menteri Negara Urusan Pemuda dalam Kabinet Sjahrir II dan III, serta menjabat sebagai Menteri Pemuda di Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil Wikana
Lahir di Sumedang pada tanggal 18 Oktober 1914, Wikana menjadi anak ke-14 dari 16 bersaudara. Ayahnya, Raden Haji Soelaiman, berasal dari Demak, Jawa Tengah, sementara ibunya adalah keturunan keluarga bangsawan Sumedang yang dikenal sebagai Nonoh.
Wikana lahir pada saat Belanda sedang memperkuat pertahanan Kota Sumedang dari serangan tentara Sekutu yang berusaha mengambil alih kepemilikan Indonesia. Salah satu kakaknya, Winanta, pernah diasingkan ke Boven Digoel dan dikenal sebagai penulis cerita pendek berjudul “Antara Hidup dan Mati” atau “Buron dari Boven Digoel.” Kisah ini kemudian dihimpun dan disunting oleh Pramoedya Ananta Toer, menjadi bagian dari buku berjudul “Cerita dari Digoel.”
Pendidikan
Dengan latar belakang keluarganya, Wikana mendapat kesempatan untuk menimba ilmu di sekolah bergengsi seperti Europeesch Lagere School (ELS), di mana bahasa Belanda menjadi persyaratan utama bagi para siswa.
Kemampuannya yang cerdas membuatnya lulus dengan prestasi memuaskan dari ELS. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setara dengan sekolah menengah pertama.
Setelah tamat dari MULO, ia menjadi salah satu murid di bawah bimbingan Soekarno di Bandung, bergabung dengan tokoh-tokoh seperti Asmara Hadi, Soepeno, Soekarni, Goenadi, dan SK. Trimurti. Di sana, ia menulis artikel untuk koran Fikiran Rakjat yang dipimpin oleh Soekarno.
Sejak masa sekolah, minatnya terhadap bahasa asing mulai tumbuh. Secara mandiri, ia menguasai bahasa Jerman, Inggris, Rusia, dan Perancis hingga menjadi lancar.
Perjuangan Wikana
Wikana memulai perjalanan politiknya dengan bergabung dalam Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31) dan Gerakan Rakyat Baru, mendalami ideologi politik. Namun, kedua organisasi tersebut dibubarkan pada tahun 1943 oleh pemerintah Jepang karena dianggap mengajarkan hal-hal yang menentang kebijakan mereka.
Selain aktif di Menteng 31 dan Gerakan Rakyat Baru, ia juga terlibat secara signifikan dalam Partai Komunis Indonesia (PKI), bahkan menjadi pemimpin PKI bawah tanah di Jawa Barat. Dalam peran ini, ia turut serta dalam penerbitan dan penyebaran koran Menara Merah di Jawa Barat di bawah arahan tokoh PKI, Pamoedji. Namun, upaya ini dihentikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1940, yang berujung pada penangkapan aktivis seperti Wikana, Adam Malik, dan Pandu Kartawiguna.
Selain menjadi agen penyebaran Menara Merah, ia juga memiliki pengalaman dalam redaksi surat kabar mingguan Pedoman Masjarakat Baroe pada tahun 1935 serta harian Kebangoenan pada tahun 1938. Di samping itu, ia menjabat sebagai Penulis Umum II di Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo).
Pada Juli 1938, Gerindo membentuk Barisan Pemuda Rakyat Indonesia, dan Wikana diangkat sebagai ketua pertama. Namun, setahun kemudian, posisinya digantikan oleh Ismail Widjaja karena dianggap terlalu radikal, yang dinilai dapat membahayakan perjuangan Gerindo.
Ketika Jepang mulai berkuasa di Indonesia, Laksamana Tadashi Maeda membentuk Asrama Indonesia Merdeka. Pada tahun 1944, Wikana bergabung di sana menggunakan nama samaran Raden Sunoto. Di organisasi yang bertujuan mencetak generasi pemimpin Indonesia merdeka tersebut, ia menjalin hubungan dekat dengan Laksamana Maeda.
Peristiwa Regasdengklok
Sejak awal tahun 1945, perbedaan pandangan antara kaum muda dan lansia sering muncul, termasuk dalam hal pelaksanaan proklamasi kemerdekaan. Saat berita tentang kejatuhan Jepang menyebar di kalangan pemuda, mereka segera mendesak para lansia untuk segera melakukan proklamasi kemerdekaan.
Para pemuda, yang diwakili oleh DN Aidit, Suroto Kunto, Soebadio Sastrosatomo, dan Wikana, mengunjungi rumah Soekarno di Pegangsaan Timur pada tanggal 15 Agustus 1945. Mereka berdiskusi dengan Soekarno dan mengusulkan agar segera mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Namun, ketika bagi para pemuda terlihat bahwa Soekarno dan Hatta enggan segera memproklamasikan kemerdekaan, Wikana menjadi sangat emosional. Ia menyatakan kekhawatirannya akan munculnya kekerasan dan pertumpahan darah jika proklamasi tidak segera dilakukan. Ungkapan itu membuat Soekarno marah dan bahkan menantang Wikana untuk mengakhiri hidupnya saat itu juga.
Pertemuan itu berakhir dengan ketegangan, yang kemudian mendorong para pemuda untuk merencanakan penculikan Soekarno dan Hatta. Pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 03:00 pagi, Wikana, bersama Chaerul Saleh dan Soekarni, pergi menjemput Soekarno dan Hatta dengan alasan akan ada pemberontakan dari pasukan tentara Jepang Peta (Pembela Tanah Air) dan Heiho (Pembantu Prajurit Jepang), padahal rencana pemberontakan itu sebenarnya tidak ada.
Keesokan harinya, Achmad Soebardjo dan Laksamana Maeda khawatir karena menyadari bahwa Soekarno dan Hatta tidak berada di rumah. Mereka menduga bahwa kedua Bapak Proklamasi itu telah diculik oleh Angkatan Darat Jepang.
Ketika salah satu asisten Laksamana Maeda, Nishijima, bertemu dengan Wikana di Asrama Indonesia Merdeka, ia langsung menanyakan tentang keberadaan Soekarno dan Hatta. Setelah diberi jaminan bahwa Nishijima dan Laksamana Maeda akan membantu proses proklamasi kemerdekaan Indonesia, akhirnya Wikana berjanji akan mengatur kepulangan Soekarno dan Hatta.
Setelah memberikan janji kepada Nishijima dan Laksamana Maeda, Kunto dan Achmad Soebardjo segera pergi menjemput kedua Bapak Negara. Sementara itu, Wikana bersama A.M. Hanafi, Pardjono, Pandu Kartawiguna, Djohar Noer, S. K. Wijoto, dan Ridwan Bazar mempersiapkan pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia di Jakarta.
Mereka masing-masing memiliki tugas yang telah ditentukan. Djohar Noer, S.K. Wijoto, dan Ridwan Bazar bertanggung jawab untuk menghubungi kantor berita Domei dan kantor radio Hosokioku guna menyebarkan proklamasi kemerdekaan, sementara Pardjono mengurus dokumen yang diperlukan untuk penyebaran kabar tersebut.
Wikana sendiri bertugas mengatur persiapan pembacaan proklamasi di rumah Bung Karno, dan kemudian bekerja sama dengan Laksamana Maeda untuk memastikan agar tentara Jepang tidak mengganggu jalannya proklamasi. Ia juga yang memastikan Laksamana Maeda memenuhi janjinya untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dengan mengizinkan rumahnya digunakan sebagai tempat untuk menyusun naskah proklamasi.
Perpolitikan Setelah Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka, Wikana terlibat lebih aktif dalam politik Indonesia. Langkahnya dimulai saat bergabung dengan Partai Nasionalis Indonesia (PNI) pada 27 Agustus 1945.
Ketika Angkatan Pemuda Indonesia (API) dibentuk pada 1 September 1945 oleh para pemuda, Wikana diangkat sebagai ketua. Organisasi ini bertugas merebut perusahaan-perusahaan yang masih dikuasai Belanda di awal masa revolusi, termasuk di antaranya adalah Perusahaan Jawatan Kereta Api.
Pada Kongres Pemuda Indonesia pada 10–11 November 1945 di Yogyakarta, sejumlah organisasi pemuda, termasuk API, digabung menjadi Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), di mana Wikana terpilih sebagai wakil ketua.
Selain aktif dalam organisasi, Wikana juga menjabat di pemerintahan. Ia menjadi Menteri Negara Urusan Pemuda dalam Kabinet Sjahrir II dan III, kemudian menjabat sebagai Menteri Pemuda dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II.
Ia juga pernah menjabat sebagai Gubernur Militer di Surakarta. Namun, saat terjadi pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, ia digeser dari jabatan itu dan digantikan oleh Gatot Subroto.
Pada tahun 1953, ia menjadi anggota Konstituante. Ketika dalam kongres PKI ke-4, ia bergabung dengan Comite Central Partai Komunis Indonesia (CC-PKI).
Namun, dalam proses revitalisasi CC-PKI, Wikana diabaikan karena dianggap kurang relevan dengan perkembangan zaman sebagai seorang yang lebih tua. Kehidupannya menjadi sulit setelah kehilangan jabatan dan terpaksa tinggal di daerah padat dan kumuh di Jalan Dempo, Simpangan Matraman Plantsoen.
Beruntungnya, Chairul Saleh, saat itu Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Indonesia, mengangkatnya sebagai anggota MPRS. Tindakan ini sedikit meringankan kehidupannya.
Pemberontakan PKI
Pada tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965, terjadi peristiwa penting dalam sejarah Indonesia, yaitu Gerakan 30 September/PKI (G30S/PKI) atau Gerakan September Tiga Puluh (Gestapu). Saat itu, banyak tokoh PKI, termasuk Wikana, yang dituduh terlibat dalam pembunuhan para jenderal TNI. Oleh karena itu, peristiwa ini relevan untuk dibahas dalam biografi Wikana.
Pagi pada tanggal 1 Oktober 1965, Wikana bersama beberapa tokoh PKI tidak berada di Indonesia. Mereka sedang dalam perjalanan ke Beijing untuk menghadiri perayaan Hari Nasional Tiongkok.
Namun, tiba-tiba tersebar kabar tentang penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Indonesia. Wikana terkejut karena PKI dituduh sebagai otak di balik kejadian tersebut.
Wikana berusaha menenangkan para tokoh PKI yang masih berada di Beijing hingga mereka mendapat kepastian dari informasi tersebut. Barulah pada tanggal 10 Oktober 1965, ia kembali ke Indonesia.
Wikana Diculik
Mengulas akhir hayat Wikana dalam biografi ini agak rumit karena minimnya informasi yang tercatat dalam buku sejarah.
Pada bulan Oktober 1965, setelah kembali dari Beijing, ia langsung diamankan oleh tentara Indonesia untuk diinterogasi dan ditahan di KODAM Jaya. Beruntungnya, keesokan harinya, ia diperbolehkan pulang.
Kemudian, pada bulan Juni 1966, sekelompok orang tak dikenal mendatangi rumahnya di Jalan Dempo No. 7A, Matraman, Jakarta Timur. Mereka mengajaknya pergi tanpa jejak kembali.
Selama bertahun-tahun, anak-anaknya berupaya mencari informasi tentang keberadaan sang ayah. Mereka bahkan mendatangi teman-teman dekat Wikana seperti Adam Malik, Asmara Hadi, dan Chairul Saleh untuk mencari informasi tentang kepergiannya. Sayangnya, upaya itu tidak membuahkan hasil.
Berbeda dengan penemuan dan pemakaman layak Tan Malaka, yang berhasil dilakukan oleh sejarawan Harry Albert Poeze, jenazah Wikana masih belum ditemukan sampai saat biografi ini diterbitkan. Ini merupakan hal yang amat menyedihkan bagi keluarganya.
Bio Data Wikana
Nama Lengkap | Wikana |
Nama Kecil | – |
Nama Lain | – |
Tempat, Lahir | Sumedang, Jawa Barat, Hindia Belanda, 18 Oktober 1914 |
Tempat, Wafat | Hilang Mulai dari 9 Juni 1966 |
Makam | – |
Agama | Islam |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politisi |
Keluarga | |
Ayah | Raden Haji Soelaiman |
Ibu | Nonoh |
Isteri (Pernikahan) | Asminah binti Oesman (1940 – 1966) |
Anak | Lenina Soewarti Wiasti Wikana Putri, Temo Zein Karmawan Soekana Pria, Tati Sawitri Apramata, Kania Kingkin Pratapa, Rani Sadakarana, Remondi Sitakodana |
Riwayat Pendidikan Wikana
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Europeesch Lagere School | Europeesch Lagere School |
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs | Meer Uitgebreid Lager Onderwijs |
Karir Wikana
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31) | – |
Gerakan Rakyat Baru | – |
PKI Bawah Tanah Jawa Barat | Ketua |
Partai Indonesia | Anggota |
Barisan Pemuda Gereakan Rakyat Indonesia | Ketua (1938) |
Asrama Indonesia Merdeka | (1944) |
Menteri Negara Urusan Pemuda Indonesia Kabinet Sjahrir II | Menteri Negara Urusan Pemuda Indonesia ke-1 (29 Juni 1946 – 29 Januari 1948) |
Menteri Negara Urusan Pemuda Indonesia Kabinet Sjahrir III | Menteri Negara Urusan Pemuda Indonesia ke-1 (29 Juni 1946 – 29 Januari 1948) |
Menteri Negara Urusan Pemuda Indonesia Kabinet Amir I | Menteri Negara Urusan Pemuda Indonesia ke-1 (29 Juni 1946 – 29 Januari 1948) |
Gubernur Militer di Surakarta | Gubernur Militer |
Partai Komunis Indonesia (CC-PKI) | Comite Central (1953) |
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara | Anggota |
Karya Wikana
Tahun | Judul |
---|---|
– | Organisatie |
1947 | Pengoempoelan Boeah Pena |
1948 | Dokumentasi Pemuda Sekitar Proklamasi Indonesia Merdeka |
1949 | Satu Dua Pandangan Marxisme |