Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) merupakan peristiwa demonstrasi dan kerusuhan yang terjadi pada 15-16 Januari 1974 sebagai reaksi atas kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka untuk sebagai tindakan protes terhadap Korupsi, kenaikan harga-harga dan ketidak setaraan investasi asing.
Peristiwa ini bukan hanya sekadar kerusuhan, tetapi juga mencerminkan ketegangan yang mendalam antara pemerintah dan berbagai elemen masyarakat, termasuk mahasiswa, yang kritis terhadap kebijakan ekonomi Soeharto yang dianggap terlalu menguntungkan pihak asing.
Malari menjadi titik balik dalam hubungan antara pemerintah dan mahasiswa, serta menimbulkan dampak besar terhadap kebijakan investasi asing di Indonesia. Selain itu, peristiwa ini juga memperlihatkan adanya konflik internal di tubuh pemerintah, terutama persaingan antara kelompok Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo, yang turut memanaskan situasi dan memperparah kerusuhan.
Oleh karena itu, Malari dianggap sebagai salah satu peristiwa penting yang memberikan pelajaran berharga tentang kompleksitas politik dan ekonomi pada masa awal Orde Baru serta pengaruhnya terhadap perkembangan sosial-politik Indonesia di masa-masa berikutnya.
Table of Contents
ToggleKonteks Sejarah
Pada masa awal Orde Baru, Indonesia berada dalam kondisi ekonomi yang sangat terpuruk akibat berbagai masalah yang diwariskan oleh Orde Lama. Inflasi yang mencapai 500% dan melonjaknya harga kebutuhan pokok, seperti beras yang naik hingga 900%, menciptakan kesulitan besar bagi masyarakat.
Defisit anggaran yang mencapai 300% dari pemasukan semakin memperburuk situasi, ditambah dengan beban utang luar negeri yang harus segera dibayar. Menghadapi kondisi yang kritis ini, Presiden Soeharto menganggap bahwa satu-satunya jalan keluar adalah dengan mendapatkan bantuan luar negeri.
Untuk itu, pemerintah Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) Nomor 1 Tahun 1967 dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) Nomor 6 Tahun 1968.
Kebijakan ini membuka pintu bagi masuknya investasi asing, terutama dari Jepang dan Amerika Serikat, yang menjadi negara dengan investasi terbesar di Indonesia. Jepang, khususnya, menjadi pemain dominan dalam perekonomian Indonesia dengan proyek-proyek besar yang bernilai ratusan juta dolar, seperti proyek Asahan di Sumatera Utara.
Meningkatnya arus modal asing ke Indonesia menimbulkan kekhawatiran di kalangan masyarakat, terutama di kalangan pengusaha pribumi dan mahasiswa. Mereka merasa bahwa dominasi perusahaan asing, terutama dari Jepang, dapat menghancurkan industri lokal dan menimbulkan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar.
Kekhawatiran ini semakin menguat ketika beberapa perusahaan asing mulai mengambil alih industri-industri yang sebelumnya dikuasai oleh pengusaha lokal, seperti industri minuman dan tekstil.
Mahasiswa, sebagai salah satu kelompok yang paling vokal, mulai menyuarakan protes mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap lebih menguntungkan pihak asing.
Mereka mengadakan demonstrasi, diskusi, dan bahkan menyampaikan petisi kepada pemerintah untuk menentang dominasi modal asing dan menuntut kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan nasional. Sentimen anti-asing ini mencapai puncaknya dengan terjadinya peristiwa Malari, yang dipicu oleh kunjungan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka, ke Indonesia pada Januari 1974.
Penyebab Terjadinya Peristiwa Malari
Rivalitas Dua Tubuh Pemerintah
Peristiwa Malari tidak hanya dipicu oleh ketidakpuasan publik terhadap kebijakan pemerintah, tetapi juga oleh rivalitas yang tajam di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Dua faksi utama yang saling bersaing adalah kelompok Jenderal Soemitro dan Ali Moertopo, yang masing-masing memiliki pengaruh kuat dalam pemerintahan Orde Baru.
Soemitro, yang menjabat sebagai Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib), kerap kali berselisih dengan Ali Moertopo, seorang tokoh penting di lembaga Operasi Khusus (Opsus) dan Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Soeharto.
Persaingan ini semakin memperburuk situasi, dengan kedua kelompok berusaha untuk mengamankan posisi dan kekuasaan mereka masing-masing.
Lembaga-lembaga non-departemen seperti Kopkamtib, Opsus, dan Aspri, yang seharusnya mendukung stabilitas pemerintah, justru menjadi alat bagi masing-masing kubu untuk melancarkan manuver politik. Ketegangan antara kedua kelompok ini turut menyumbang pada eskalasi konflik yang terjadi selama peristiwa Malari.
Gerakan Mahasiswa
Selain rivalitas di dalam pemerintahan, gerakan mahasiswa memainkan peran penting dalam memicu peristiwa Malari. Mahasiswa, yang sejak awal Orde Baru telah menunjukkan sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah, semakin intensif dalam mengorganisir protes dan demonstrasi.
Mereka menolak dominasi asing, terutama Jepang, yang mereka anggap merugikan ekonomi nasional dan hanya menguntungkan segelintir elit. Demonstrasi yang dilakukan mahasiswa bukan hanya sekadar menentang modal asing, tetapi juga sebagai bentuk kritik terhadap strategi pembangunan Orde Baru yang dinilai tidak adil dan cenderung korup.
Dalam berbagai aksi mereka, mahasiswa menyerukan pembubaran lembaga Aspri yang dianggap terlalu kuat dan mendesak pemerintah untuk lebih memperhatikan kepentingan rakyat. Gerakan mahasiswa ini berhasil menggalang dukungan luas, namun juga menjadi target dari berbagai upaya provokasi.
Provokasi dan Kerusuhan
Kerusuhan besar yang terjadi pada 15 Januari 1974 bukanlah semata-mata hasil dari demonstrasi yang dilakukan mahasiswa. Provokator yang tidak terafiliasi dengan gerakan mahasiswa turut serta memperkeruh situasi.
Kelompok Ali Moertopo, dalam upaya untuk melemahkan posisi lawan politiknya, diduga mengirimkan oknum-oknum non-mahasiswa, termasuk preman dan gelandangan, untuk menyusup ke dalam barisan demonstran. Mereka inilah yang kemudian memicu tindakan-tindakan anarkis seperti pembakaran dan penjarahan, yang memperburuk citra gerakan mahasiswa.
Sementara itu, pihak keamanan di bawah komando Soemitro cenderung membiarkan kerusuhan ini terjadi tanpa penindakan tegas. Hanya setelah kerusuhan meluas dan merusak banyak properti, barulah tindakan keras diambil, termasuk penangkapan besar-besaran.
Strategi ini diduga dilakukan untuk menciptakan kesan bahwa gerakan mahasiswa telah keluar dari jalur, sehingga memberikan alasan bagi pemerintah untuk melakukan penindakan yang lebih keras dan menghapuskan lembaga Aspri yang menjadi rival politik Soemitro.
Peristiwa Malari
Menjelang kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia pada 14 Januari 1974, suasana di kalangan mahasiswa sudah dipenuhi dengan ketegangan dan semangat protes. Mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DM UI) dan berbagai universitas lainnya merasa bahwa kunjungan Tanaka adalah simbol dari semakin menguatnya dominasi asing, terutama Jepang, dalam perekonomian Indonesia.
Sebagai bentuk penolakan, mahasiswa mulai mempersiapkan demonstrasi besar-besaran. Mereka menyusun rencana aksi yang bertujuan untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap terlalu menguntungkan perusahaan asing dan merugikan kepentingan nasional.
Pada 15 Januari 1974, ribuan mahasiswa turun ke jalan di Jakarta, membawa spanduk dan meneriakkan slogan-slogan anti-asing. Namun, aksi yang pada awalnya dimaksudkan sebagai demonstrasi damai ini dengan cepat berubah menjadi kerusuhan ketika provokator mulai memanfaatkan situasi untuk memicu kekacauan.
Kerusuhan mencapai puncaknya pada 15 Januari 1974, ketika kelompok provokator yang diduga bukan bagian dari gerakan mahasiswa mulai melakukan aksi-aksi anarkis. Mereka membakar dan merusak berbagai properti, termasuk gedung-gedung milik perusahaan asing, terutama Jepang.
Jalan-jalan di Jakarta dipenuhi dengan mobil-mobil yang terbakar dan gedung-gedung yang rusak. Massa yang semula terdiri dari mahasiswa, kini telah bercampur dengan elemen-elemen lain yang tidak terkendali. Dampak kerusuhan ini sangat merugikan, tidak hanya secara materi tetapi juga dalam hal stabilitas sosial.
Pemerintah, yang awalnya terkesan lamban dalam merespon, akhirnya bertindak tegas dengan mengerahkan pasukan keamanan untuk meredakan situasi. Penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap mereka yang dianggap terlibat dalam kerusuhan, termasuk mahasiswa dan provokator.
Meskipun kerusuhan berhasil dihentikan, peristiwa ini meninggalkan luka mendalam bagi masyarakat dan mencoreng citra gerakan mahasiswa yang sebelumnya dianggap murni dan idealis. Pemerintah Orde Baru kemudian menggunakan peristiwa Malari sebagai alasan untuk melakukan tindakan represif terhadap gerakan mahasiswa dan membatasi ruang gerak mereka di masa-masa berikutnya.
Dampak dan Konsekuensi
Dampak Jangka Pendek
Peristiwa Malari 1974 meninggalkan dampak yang besar baik dari segi materiil maupun sosial. Dalam kerusuhan yang berlangsung selama dua hari, tercatat 11 orang meninggal dunia, 17 orang luka berat, dan ratusan lainnya luka ringan.
Kerugian materiil juga sangat besar, dengan 145 gedung dibakar atau dirusak, 807 mobil hancur, dan 187 motor dirusak. Selain kerugian fisik, peristiwa ini juga memicu penangkapan besar-besaran. Sebanyak 775 orang ditahan, termasuk beberapa tokoh mahasiswa yang dianggap sebagai penggerak demonstrasi.
Selain itu, pemerintah juga melakukan pembredelan terhadap sejumlah media massa yang dianggap menyebarkan informasi yang dapat memperburuk situasi. Tindakan keras ini merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan narasi publik dan mencegah eskalasi lebih lanjut dari kerusuhan.
Dampak Jangka Panjang
Peristiwa Malari memiliki dampak yang jauh lebih dalam terhadap kebijakan pemerintahan Soeharto dan hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. Setelah peristiwa Malari, Soeharto mengambil langkah-langkah untuk memperkuat kontrol pemerintah atas aktivitas politik dan sosial.
Gerakan mahasiswa yang sebelumnya memiliki peran besar dalam mengawasi kebijakan pemerintah, kini dibatasi ruang geraknya. Pemerintah memberlakukan aturan yang lebih ketat terhadap demonstrasi dan kegiatan politik mahasiswa, serta meningkatkan pengawasan terhadap kampus-kampus yang dianggap sebagai pusat perlawanan intelektual.
Selain itu, peristiwa Malari juga mendorong pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan investasi asing. Meskipun pemerintah tidak sepenuhnya menghentikan masuknya modal asing, namun ada upaya untuk lebih berhati-hati dalam mengelola hubungan dengan negara-negara investor, terutama Jepang, guna menghindari gejolak serupa di masa depan.
Hubungan antara pemerintah dan masyarakat, khususnya mahasiswa, mengalami perubahan yang signifikan, di mana ketidakpercayaan terhadap pemerintah semakin meningkat, sementara pemerintah semakin represif dalam menjaga stabilitas politik dan sosial.
Analisis dan Interpretasi
Peristiwa Malari 1974 merupakan hasil dari kombinasi berbagai faktor yang saling mempengaruhi, mulai dari ketidakpuasan sosial terhadap kebijakan ekonomi hingga rivalitas politik yang tajam di dalam pemerintahan Orde Baru.
Salah satu faktor utama yang memicu kerusuhan adalah kebijakan pemerintah yang membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya modal asing, terutama dari Jepang. Kebijakan ini dianggap merugikan industri lokal dan hanya menguntungkan segelintir elit yang dekat dengan kekuasaan.
Sentimen anti-asing yang berkembang di kalangan mahasiswa dan masyarakat luas menjadi bahan bakar bagi demonstrasi yang akhirnya berujung pada kerusuhan.
Di sisi lain, rivalitas antara kelompok Soemitro dan Ali Moertopo di dalam pemerintahan turut memperparah situasi. Persaingan ini tidak hanya memicu ketegangan di tingkat elit, tetapi juga berdampak langsung pada bagaimana kerusuhan di lapangan dikendalikan.
Tindakan provokatif dari kelompok-kelompok yang berafiliasi dengan salah satu faksi politik menjadi salah satu penyebab eskalasi kekerasan selama peristiwa tersebut.
Peristiwa Malari memberikan sejumlah pelajaran penting bagi masa depan politik Indonesia.
Pertama, peristiwa ini menunjukkan betapa rentannya stabilitas politik ketika ada ketidakpuasan sosial yang tidak diakomodasi dengan baik oleh pemerintah. Kebijakan ekonomi yang tidak sensitif terhadap kepentingan nasional dan hanya menguntungkan pihak asing dapat memicu reaksi keras dari masyarakat.
Kedua, rivalitas politik di dalam pemerintahan dapat berdampak buruk terhadap stabilitas nasional jika tidak dikelola dengan baik. Dalam konteks Malari, persaingan antara kelompok Soemitro dan Ali Moertopo tidak hanya memperburuk situasi tetapi juga menciptakan celah bagi eskalasi konflik.
Terakhir, peristiwa ini menekankan pentingnya stabilitas politik sebagai fondasi untuk pembangunan nasional. Tanpa stabilitas, kebijakan pembangunan, sebaik apapun, akan sulit mencapai tujuan yang diinginkan.
Pemerintah perlu belajar dari Malari bahwa mendengarkan aspirasi rakyat, terutama dalam hal kebijakan ekonomi, adalah kunci untuk menjaga stabilitas dan mencegah konflik yang merugikan bangsa secara keseluruhan.