Pertempuran Surabaya merupakan salah satu peristiwa penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran yang terjadi pada bulan November 1945 ini melibatkan rakyat Surabaya melawan pasukan Sekutu yang terdiri dari tentara Inggris dan NICA (Netherlands Indies Civil Administration).
Pertempuran ini tidak hanya menggambarkan semangat patriotisme rakyat Indonesia, tetapi juga menunjukkan keteguhan dan keberanian dalam mempertahankan kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan.
Melalui artikel ini, kita akan menggali lebih dalam mengenai latar belakang sejarah, kondisi Indonesia pasca proklamasi kemerdekaan, serta situasi sebelum pertempuran yang mengarah pada bentrokan hebat di Surabaya.
Table of Contents
ToggleSituasi Sebelum Pertempuran
Pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, berita tentang kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia tersebar luas melalui berbagai saluran komunikasi, meskipun dihadang oleh pihak Jepang yang masih menduduki Indonesia.
Kedatangan tentara Sekutu, yang dipimpin oleh Inggris, ke Indonesia sebenarnya bertujuan untuk memulihkan keamanan dan ketertiban setelah Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Namun, kedatangan ini juga dimanfaatkan oleh Belanda untuk kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia dengan menyusupkan pasukan NICA bersama tentara Sekutu.
Secara resmi, tujuan kedatangan tentara Sekutu adalah untuk melucuti senjata tentara Jepang, membebaskan tawanan perang, dan memulihkan keamanan. Namun, rakyat Indonesia, terutama di Surabaya, dengan cepat menyadari bahwa kedatangan Sekutu juga membawa ancaman kembalinya penjajahan Belanda. Hal ini menyebabkan ketegangan dan kecurigaan di kalangan rakyat Surabaya.
Rakyat Surabaya menyambut kedatangan tentara Sekutu dengan penuh kecurigaan dan kewaspadaan. Para pemuda dan pejuang Surabaya segera bersiap untuk menghadapi kemungkinan kembalinya penjajah Belanda. Ketegangan meningkat ketika rakyat Surabaya mengetahui bahwa di antara tentara Sekutu terdapat banyak orang Belanda yang menyamar.
Insiden yang memperuncing ketegangan terjadi di Hotel Yamato pada 19 September 1945. Ketika tentara Sekutu dan NICA mengibarkan bendera Belanda di atas hotel tersebut, para pemuda Surabaya merasa terhina dan marah.
Mereka kemudian memanjat ke atap hotel dan merobek bagian biru bendera Belanda, meninggalkan hanya merah dan putih, warna bendera Indonesia. Insiden ini menjadi simbol perlawanan dan menunjukkan tekad rakyat Surabaya untuk mempertahankan kemerdekaan.
Pecahnya Pertempuran
Pada akhir Oktober 1945, pasukan Sekutu menyebarkan pamflet yang berisi ultimatum kepada rakyat Surabaya. Ultimatum ini mengharuskan mereka untuk menyerahkan semua senjata dan menghentikan segala bentuk perlawanan paling lambat pada tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi. Ultimatum ini datang setelah kematian Brigadir Jenderal Mallaby pada tanggal 30 Oktober 1945, yang menimbulkan kemarahan di kalangan pasukan Sekutu.
Reaksi rakyat Surabaya terhadap ultimatum ini sangat kuat. Gubernur Suryo melalui pidatonya di radio menolak ultimatum tersebut dan memerintahkan rakyat untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan menjaga persatuan antara pemerintah, TKR, polisi, badan perjuangan, dan rakyat Surabaya. Pidato ini disambut dengan sorak-sorai oleh rakyat Surabaya, yang semakin mengukuhkan tekad mereka untuk melawan tentara Sekutu.
Pertempuran di Surabaya dimulai pada tanggal 27 Oktober 1945, ketika terjadi baku tembak antara tentara Sekutu dan para pemuda di sekitar Gedung Internatio. Konflik ini dengan cepat meluas ke berbagai wilayah di Surabaya, seperti Darmo, Kayun, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, Tanjung Perak, dan Benteng Miring.
Serangan balasan oleh para pemuda Surabaya memaksa Sekutu untuk mendatangkan Presiden Soekarno ke Surabaya guna menenangkan situasi dan melakukan perundingan gencatan senjata pada tanggal 29 Oktober 1945.
Presiden Soekarno berperan penting dalam meredakan ketegangan di Surabaya. Pada tanggal 29 Oktober 1945, Soekarno datang ke Surabaya dan berhasil mencapai kesepakatan gencatan senjata antara pihak Indonesia dan tentara Inggris.
Namun, meskipun ada kesepakatan ini, bentrokan bersenjata masih terus terjadi di berbagai wilayah kota. Keadaan menjadi semakin tegang dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, yang kemudian memicu ultimatum dari Sekutu pada tanggal 10 November 1945.
Brigadir Jenderal Mallaby, komandan tentara Inggris di Jawa Timur, tewas pada tanggal 30 Oktober 1945 di sekitar Jembatan Merah, Surabaya. Insiden ini terjadi ketika mobil yang ditumpanginya berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia.
Kesalahpahaman yang terjadi menyebabkan baku tembak, yang berujung pada penembakan Mallaby oleh seorang pemuda Indonesia yang identitasnya tidak diketahui. Mobil Mallaby kemudian terbakar akibat ledakan granat, sehingga jenazahnya sulit dikenali. Kematian Mallaby menjadi titik balik yang memperburuk situasi, memicu ultimatum keras dari penggantinya, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh, dan memperdalam konflik di Surabaya.
Pertempuran 10 November 1945
Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya melibatkan mobilisasi besar-besaran dari seluruh lapisan masyarakat. Strategi perang yang diterapkan adalah “perang semesta,” yang melibatkan seluruh rakyat sesuai dengan peran, kemampuan, profesi, dan keahlian mereka.
Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban dalam membela negara, dan seluruh kekuatan serta sumber daya nasional dimobilisasi untuk menghadapi ancaman. Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berbagai laskar turut mengambil bagian penting dalam pertempuran ini. TKR, yang dibentuk dari berbagai elemen pejuang, termasuk bekas Kaigun Heiho dan pelaut dari Gresik dan Madura, berperan aktif dalam pertahanan Surabaya.
Pertempuran dimulai pada pagi hari tanggal 10 November 1945, saat pasukan Sekutu melancarkan serangan besar-besaran. Mereka menggunakan artileri berat dan serangan udara untuk menghancurkan posisi-posisi pertahanan Indonesia.
Namun, rakyat Surabaya memberikan perlawanan gigih. Mereka bertempur di setiap sudut kota, mempertahankan setiap jengkal tanah dengan semangat yang membara. Perlawanan ini tidak hanya melibatkan pasukan TKR dan laskar, tetapi juga rakyat biasa yang menggunakan segala macam senjata, termasuk bambu runcing dan senjata rampasan dari tentara Jepang.
Pertempuran 10 November 1945 mengakibatkan kerugian besar bagi pihak Sekutu. Meskipun mereka berhasil merebut kembali kota Surabaya, perlawanan sengit dari rakyat Indonesia memberikan dampak psikologis dan memperkuat tekad bangsa Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaannya.
Tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby dalam pertempuran ini juga menjadi pukulan bagi moral pasukan Sekutu dan memperkuat semangat juang rakyat Surabaya.
Dampak
Pertempuran Surabaya memberikan dampak yang signifikan bagi kedua belah pihak yang terlibat. Pihak Sekutu mengalami kerugian besar baik dalam hal personel maupun peralatan militer. Ribuan tentara Sekutu tewas atau terluka dalam pertempuran yang berlangsung sengit.
Di sisi lain, pejuang Indonesia juga menderita kerugian yang tidak kalah besar. Banyak pejuang dan warga sipil yang gugur dalam upaya mempertahankan kota dari serangan Sekutu. Situasi kota Surabaya pasca pertempuran sangat memprihatinkan, dengan banyaknya bangunan yang hancur dan infrastruktur yang rusak parah.
Pertempuran Surabaya memiliki signifikansi yang sangat penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pertempuran ini menjadi simbol keberanian dan semangat nasionalisme rakyat Indonesia yang tidak mau tunduk pada kolonialisme.
Keberanian dan ketegasan rakyat Surabaya dalam menghadapi ultimatum Sekutu menunjukkan tekad mereka untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang baru saja diproklamasikan . Pertempuran ini juga mendapatkan perhatian dan simpati dari komunitas internasional, dengan banyak negara yang mengutuk tindakan Sekutu dan mendukung perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Kesimpulan
Pertempuran Surabaya pada tahun 1945 merupakan peristiwa bersejarah yang menunjukkan betapa besar semangat dan keberanian rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaan. Pertempuran ini juga menunjukkan bahwa kemerdekaan tidak dapat diraih tanpa pengorbanan dan perjuangan yang gigih dari seluruh lapisan masyarakat.
Dari pertempuran ini, kita dapat belajar tentang pentingnya persatuan dan kesatuan dalam menghadapi ancaman dari luar. Pertempuran Surabaya juga mengajarkan kita bahwa semangat nasionalisme dan keberanian adalah modal utama dalam mempertahankan kedaulatan bangsa.
Warisan sejarah Pertempuran Surabaya bagi generasi mendatang adalah pelajaran tentang keberanian, pengorbanan, dan semangat nasionalisme. Pertempuran ini akan selalu dikenang sebagai simbol perjuangan rakyat Indonesia untuk meraih dan mempertahankan kemerdekaan.
Generasi mendatang diharapkan dapat mengambil inspirasi dari semangat juang para pahlawan Surabaya dan meneruskan perjuangan mereka dalam bentuk yang sesuai dengan zaman.