Urip Santoso merupakan salah satu tokoh penting dalam militer Indonesia, khususnya di TNI Angkatan Laut. Namanya dikenal sebagai perintis Komando Pasukan Katak (Kopaska), satuan elite TNI AL yang dikenal dengan kemampuan tempur bawah air dan operasi khusus. Sebelum dikenal sebagai perwira tinggi dengan pangkat terakhir Laksamana Pertama, Urip Santoso pernah aktif di Badan Keamanan Rakyat (BKR), mengalami pahit getir penjara Belanda, hingga mengikuti pendidikan militer di dalam dan luar negeri.
Perjalanan hidup Urip Santoso tidak hanya mencerminkan dedikasi seorang prajurit, tetapi juga menjadi bagian dari sejarah perjuangan Indonesia. Melalui pengalaman pendidikan militer di Belanda dan Amerika Serikat, ia membawa gagasan yang kelak melahirkan Kopaska pada awal 1960-an dan ikut dalam operasi besar seperti Trikora.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga dan Kehidupan Awal
Urip Santoso lahir di Jepara, Jawa Tengah. Mengenai tahun kelahirannya terdapat dua versi: sebagian sumber menyebutkan 24 November 1923, sementara dokumen resmi TNI Angkatan Laut mencatat 24 November 1926. Ia berasal dari keluarga priyayi Jawa yang cukup terpandang. Ayahnya, Glompong Oeminhoem Soemarto, adalah seorang mantri pengawas kehutanan. Ibunya bernama Raden Ajeng Koenmarjati, masih memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh perempuan Indonesia terkenal, RA Kartini.
Hal ini membuat Urip tumbuh dalam lingkungan keluarga yang kental dengan nilai pendidikan dan semangat perjuangan. Bahkan, saat kelahirannya, keluarganya menyelenggarakan selamatan besar selama tiga hari berturut-turut, sebuah tradisi Jawa yang menandakan kebahagiaan dan harapan besar terhadap masa depan sang anak.
Masa kecil Urip Santoso banyak diwarnai dengan kehidupan sederhana namun disiplin. Sejak dini, ia sudah terbiasa dengan ajaran moral keluarga, rasa hormat terhadap pendidikan, serta kesadaran akan pentingnya pengabdian kepada bangsa. Nilai-nilai inilah yang kelak membentuk karakter dasar Urip sebagai prajurit sekaligus pemimpin yang berintegritas.
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Pendidikan formal awal Urip santoso adalah di Sekolah Muhammadiyah Tegal, saat itu orangtuannya menitipkannya pada bibinya yang aktif di Muhammadiyah karena orangtuanya masi sering berpindah-pindah. Namun, ia hanya bersekolah selama setahun di sini.
Setelah itu, Urip Santoso melanjutkan pendidikannya ke Batavia dan bersekolah di Idenburg School (Sekolah Dasar Katolik) di Jalan Sumbawa, namun ia juga tidak sampai menamatkan pendidikannya itu. Urip kemudian melanjutkan pendidikannya ke Hollandsch Javaanche School (HJS) Magelang, sebuah sekolah dasar Protestan dan berhasil menyelesaikannya.
Urip Santoso kemudian melanjutkan pendidikannya ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Yogyakarta. Namun, karena dinas orangtuanya selalu berpindah pindah, sama seperti pendidikan dasarnya, pendidikan menenganya juga beripindah pindah, ia sempat bersekolah di MULO Protestan, kemudian pindah lagi ke MULO di Medan hingga ia berhasil menamatkan pendidikannya.
Menamatkan pendidikannya di MULO, Urip Santoso melanjutkan pendidikannya ke Algemene Middlebare School (AMS) Batavia, dan indkost karena orang tuanya masih berada di Medan. Namun, baru saja empat bulan bersekolah, Jepang datang dan melakukan pendudukan di Indonesia, semua sekolah peninggalan Belandapun ditutup.
Pada September 1942, Jepang membuka kembali sekolah-sekolah dengan sistem baru dengang menggunakan Bahasa Jepang dan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantarnya. Salah satu sekolah yang di buka adalah Sekolah Menengah Tinggi (SMT) yang bertempat di bekas Canisius Collage Menteng 40, dan Urip Santoso bersekolah di SMT ini.
Awal Karier Militer dan Perjuangan Kemerdekaan
Urip Santoso megawali karir militernya di Badan Keamanan Rakyat (BKR) masuk dalam barisan perjuangan bersama Kasman Singodomedjo. BKR kemudian bertransformasi menjati Tentara Keamanan Rakyat (TKR) lalu menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI).
Urip Santoso ditempatkan di Markas Besar Tentara (MBT) Yogyakarta dengan pangkat Kapten. Saat itu banyak tokoh dengan pendidikan menengah diberikan pangkat setara perwira. Urip kemudian ditgaskan di Jakarta sebagai Staf Oemoem I (SO I), yang bertanggung jawab di bidang informasi dan intelijen.
Pada Juli 1947, Urip Santoso ditangkap tentara Belanda, ia saat itu berada dalam gerbong kereta yang membawa para pejabat dari Jakarta menuju Yogyakarta, kereta itu dihentikan tentara Belanda, iapun ditangkap. Ia kemudian dijebloskan ke Penjara Glodok.
Di penjara itu, Urip ditempatkan di dalam sel yang berisikan delapan orang, penjara itu pengap, wc didalam, serta dekat dengan lokasi eksekusi.
Setelah lebih dari sebulan di Glodok, Urip dipindahkan ke Penjara Bukit Duri. Kali ini ia berstatus sebagai tahanan perang (prisoner of war), lengkap dengan atribut militernya. Kondisinya lebih baik dibanding Glodok, meski tetap keras. Di Bukit Duri, ia bertemu dengan Pramoedya Ananta Toer, yang kemudian juga ditahan di tempat tersebut. Walau awalnya curiga, Urip akhirnya percaya bahwa Pramoedya bukanlah mata-mata, melainkan sesama pejuang.
Kehidupan di Bukit Duri membuat Urip belajar selalu waspada. Ia enggan sembarangan bicara, sebab penjara penuh dengan kemungkinan mata-mata. Bahkan, ketika ditempatkan sementara di Penjara Tangerang, yang disebut sebagai tempat rehabilitasi, Urip tetap menjaga sikap hati-hati.
Urip mendekam dalam penjara hampir dua tahun sembilan bulan, berpindah dari Glodok – Bukit Duri – Tangerang – hingga kembali lagi ke Bukit Duri. Baru menjelang Konferensi Meja Bundar di Den Haag (23 Agustus – 2 November 1949) para tahanan mulai dibebaskan. Meski begitu, Urip dan tujuh orang lainnya, termasuk Pramoedya Ananta Toer, Komandan Resimen Pattimura, serta Brigade Macan Citarum Harun Umar, masih ditahan. Hingga akhirnya, seminggu sebelum penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, mereka dilepaskan begitu saja tanpa proses resmi.
Atas keberaniannya selama masa perjuangan kemerdekaan, Urip Santoso dianugerahi Bintang Gerilya, sebuah penghargaan yang diberikan kepada prajurit yang terlibat langsung dalam perang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Pendidikan Militer dan Karier Angkatan Laut
Setelah bebas dari tahanan Belanda, Urip Santoso kembali mengabdi di tubuh TNI. Kesetiaannya pada militer membuatnya terus menempuh berbagai jenjang pendidikan untuk memperkuat kemampuan profesional. Pada 1950, ia mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan di Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM), Belanda. Di akademi bergengsi ini, Urip belajar selama tiga tahun hingga 1953.
Meski kala itu pangkatnya harus diturunkan demi mengikuti jalur pendidikan resmi di KIM, Urip menerima keputusan tersebut dengan lapang dada. Baginya, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh jauh lebih berharga daripada sekadar pangkat sementara.
Pengalaman menempuh pendidikan di Belanda juga memberinya wawasan baru tentang strategi militer modern dan disiplin maritim. Urip belajar langsung dari sistem pendidikan Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang terkenal ketat. Sepulangnya ke tanah air, bekal ilmu tersebut memperkuat posisi Urip sebagai salah satu perwira Angkatan Laut muda yang visioner dan siap mengembangkan kekuatan maritim Indonesia.
Pendidikan Khusus di Amerika Serikat
Tidak berhenti pada pendidikan di Belanda, Urip Santoso kembali mendapat kesempatan emas untuk menimba ilmu di luar negeri. Pada tahun 1958, ia dikirim ke Amerika Serikat guna mengikuti kursus penyelaman laut dalam dan salvage. Pendidikan ini memperkenalkannya pada teknologi modern dalam bidang kelautan, khususnya teknik penyelamatan kapal yang tenggelam dan operasi bawah air.
Setahun kemudian, pada 1959, Urip mengikuti pelatihan yang lebih berat: Underwater Demolition Team (UDT) di Key West, Florida, serta di Little Creek, Virginia. UDT dikenal sebagai salah satu pasukan elite Angkatan Laut Amerika Serikat, cikal bakal dari Navy SEALs. Di sana, ia ditempa dengan disiplin keras, latihan fisik ekstrem, serta keterampilan taktis khusus untuk operasi bawah air.
Pengalaman berharga ini menjadi fondasi penting dalam karier militernya. Keahlian yang diperoleh tidak hanya memperkaya kemampuan pribadi, tetapi juga membawa perspektif baru bagi TNI AL. Sepulang dari Amerika, Urip mulai merintis pembentukan satuan khusus bawah air yang kelak dikenal sebagai Komando Pasukan Katak (Kopaska).
Perintis Kopaska dan Operasi Trikora
Sepulang dari Amerika Serikat, Urip Santoso langsung menerapkan ilmu yang ia peroleh. Pada awal 1960-an, ia mendapat tugas untuk melakukan operasi pembersihan bangkai kapal di perairan Indonesia, salah satunya di Teluk Jakarta. Tugas tersebut bukan sekadar teknis, tetapi juga menjadi ajang pembuktian betapa pentingnya kemampuan penyelaman militer dalam mendukung kekuatan Angkatan Laut.
Ketika Presiden Soekarno mencanangkan Operasi Trikora pada 1961 untuk merebut kembali Irian Barat dari tangan Belanda, kebutuhan akan pasukan khusus bawah air semakin mendesak. Urip Santoso melihat peluang ini sebagai momentum untuk mewujudkan pemikirannya. Ia mengusulkan pembentukan satuan khusus penyelam tempur di TNI AL.
Proses persiapan pembentukan satuan ini tidak mudah. Urip bekerja sama dengan satuan elite lainnya, termasuk RPKAD (kini Kopassus), untuk melaksanakan latihan gabungan. Latihan dilakukan dengan disiplin keras, termasuk pengaturan extra voeding atau tambahan makanan khusus bagi prajurit yang menjalani pelatihan berat, sebuah kebijakan yang kala itu sempat menimbulkan perdebatan.
Akhirnya, pada 31 Maret 1962, secara resmi berdirilah Komando Pasukan Katak (Kopaska) TNI AL. Urip Santoso tercatat sebagai salah satu perintis utama lahirnya pasukan elite ini. Dalam Operasi Trikora, Kopaska berperan sebagai pasukan khusus bawah air yang siap melaksanakan sabotase, penyelaman tempur, hingga infiltrasi ke wilayah musuh.
Lahirnya Kopaska menjadi tonggak sejarah baru dalam dunia militer Indonesia. Berkat visi dan kegigihan Urip Santoso, TNI Angkatan Laut memiliki kekuatan khusus yang disegani hingga kini, sejajar dengan satuan elite dunia lainnya.
Penugasan Lanjutan: Seskoal dan Lemjemen Hankam
Setelah sukses mendirikan Kopaska, karier Urip Santoso berlanjut ke berbagai penugasan strategis di lingkungan TNI Angkatan Laut. Pada tahun 1970, ia ditarik kembali ke struktur organisasi AL dan ditempatkan di Inspektorat Jenderal Angkatan Laut (Irjenal) sebagai Inspektur Umum. Pada masa itu, Urip juga mendapat kesempatan mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal). Pendidikan tersebut dipersingkat menjadi enam bulan, sebuah program khusus yang dirancang bagi perwira dengan pengalaman lapangan luas seperti dirinya.
Usai menempuh pendidikan Seskoal, Urip tidak berhenti belajar. Pada 1972, ia kembali berangkat ke Amerika Serikat untuk memperdalam ilmu di bidang manajemen pertahanan di Monterey. Pengalaman ini memperluas wawasannya, terutama dalam aspek strategi pertahanan dan pengelolaan sumber daya militer secara modern.
Sekembalinya ke Indonesia, Urip berperan dalam pengembangan lembaga pendidikan militer tingkat tinggi. Pada 1973, ia dipercaya untuk merintis pendirian Lembaga Manajemen Pertahanan dan Keamanan (Lemjemen Hankam). Lembaga ini kemudian menjadi salah satu wadah penting dalam mencetak perwira-perwira TNI yang memiliki kemampuan manajerial dan strategis. Selain itu, Urip juga terlibat dalam aktivitas di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), tempat para perwira tinggi ditempa untuk memahami dinamika geopolitik dan ketahanan nasional.
Akhir Hayat
Setelah menutup masa dinas militernya dengan pangkat Laksamana Pertama, Urip Santoso menjalani kehidupan yang lebih tenang bersama keluarga. Pada 1 Desember 2012, Urip Santoso wafat di RS Pondok Indah, Jakarta, dalam usia lanjut. Sebagai bentuk penghormatan atas jasa-jasanya, jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta.
Kepergian Urip Santoso tidak hanya meninggalkan duka bagi keluarga besar dan rekan sejawat, tetapi juga bagi institusi TNI Angkatan Laut. Hingga kini, nama dan jasanya terus dikenang sebagai perwira yang berperan besar dalam merintis dan mengembangkan satuan elite Komando Pasukan Katak (Kopaska).
Sumber:
- “Saat Baret Merah Dilatih Pasukan Katak” historia.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Kearifan Maritim Segala Zaman” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Pengasuhan Kebebasan Berpikir” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Sekolah dan ‘Melting Pot’ di SMT” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Berjuang dan Masuk Penjara” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Pilih KIM, Tanggalkan Kapten” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Pentingnya Character Building” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Bentuk Pasukan Katak, ke Trikora” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)
- “Ikut Dirikan Lemjemen Hankam” tokoh.id (diakses pada 16 September 2025)