Edit Template

Achmad Mochtar: Ilmuwan Indonesia, Tragedi Vaksin Romusha

Prof. Dr. Achmad Mochtar dikenal sebagai dokter dan ilmuwan pribumi yang berhasil mencapai posisi sebagai strategis di Laboratorium Eijkman Institut, sebuah pusat riset bilogi mulekuler dan penyakit tropis pada masa kolonial Belanda. 

Pada masa pendudukan Jepang, karir Achmad Mochtar harus berakhir dalam Tragedi Vaksin Romusha, peristiwa itu menyebabkan kematian pekerja Roumusha akibat vaksin yang terkontaminasi toksin tetanus.

Achmad Mochtar dituduh sebagai penyebabnya, ia ditangkap tanpa proses pengadilan, disiksa hingga dieksekusi pada 3 Juli 1945.

Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil

Achmad Mochtar lahir pada 10 November 1891 di Nagari Ganggo Hilia, Bonjol, Pasaman. Ibunya bernama Roekajah yang bersuku Piliang dan ayahnya Omar Soetan Nagari dari suku Malayu. 

Keluarga ini merupakan keluarga terpandang, ayahnya merupakan guru kepala dan mempunyai tanah ulayat yang luas serta pamannya dari pihak ibu yang bernama A. Hamid Bandaro Sati menjbat sebagai kepala laras di Bonjol.

Karena kedudukan keluarganya yang cukup berpengaruh, Achmad Mochtar mendapat pendidikan yang baik sejak kecil. selain pendidikan formal, ia juga belajar dari ayahnya serta lingkungan adat yang membentuk karakternya.

Pendidikan Awal 

Sejak kecil, Achmad Mochtar sudah menunjukkan minat pada pendidikan, ia memulai pendidikan formal dasarnya di Bonjol lalu melanjutkan pendidikan nya ke Europeesche Lagere School (ELS) Bukittinggi dan berhasil menyelesaikan pendidikannya di ELS itu pada tahun 1906. 

Achmad Mochtar kemudian berhasil lulus seleksi masuk sekolah School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) pada 1907 yang saat itu usianya masih 15 tahun. Achmad Mochtar menempuh pendidikan di STOVIA selama sepuluh tahun, selama di STOVIA ia menunjukkan prestasinya yang baik.

Achmad Mochtar menyelesaikan  pendidikannya di STOVIA dan dinyatakan lulus sebagai salah satu lulusan terbaik STOVIA. 

Karier Awal sebagai Dokter

Achmad Mochtar memulai karir dokternya dengan mengabdi sebagai dokter pemerintah di berbagai wilayah Sumatera. Ia ditugaskan di Medan, lalu ke Padang Sidempuan, Sibolga, Tapanuli, dan Tanjung Balai. 

Daerah-daerah ini pada masa itu sedang terjangkit wabah malaria. Achmad Mochtar menjadi dokter klinis yang aktif turun langsung memberantas malaria. Kondisi geografis Sumatera yang lembab dan sanitasi yang terbatas mebuat penyebaran malaria tersebar dengan cepat. 

Pada saat ini, Achmad Mochtar bertemu dengan Dr. W.A.P. Schuffner, seorang peneliti terkemuka pada studi parasit malaria dari Belanda. Schuffner melihat Mochtar memiliki potensi yang besar karena kemampuan analisisnya menangani wabah malaria.

Achmad Mochtar mulai terlibat dalam penelitian epidemiologi dan karakteristik parasit malaria. Karena ini, ia mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi ke Belanda dan menjadikannya sebagai ilmuwan terkemuka dari pribumi pada masa itu.

Studi ke Belanda dan Prestasi Akademik

Dr. W.A.P. Schuffner melihat prestasi Achmad Mochtar dalam menangani wabah malaria di Sumatera. ia kemudian merekomendasikan dan mendukung agar Achmad Mochtar diberikan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan doktoral di Belanda.

Pada 1923, Achmad Mochtar berangkat ke Amsterdam Universisty untuk melanjutkan studi doktoralnya dengan beasiswa dari Kolonial Belanda.  Selain mengikuti perkuliahan, ia juga bekerja sebagai asisten laboratorium dan aktif dalam kegiatan ilmiah.

Achamd Mochtar juga aktif dalam kegiatan diluar penelitian, ia bergabung dengan Perhimpunan Indonesia, organisasi perjuangan dan politik kebangsaan mahasiswa Indonesia di Belanda.

Pada tahun 1927, Achmad Mochtar berhasil menyelesaikan disertasinya yang membahas tentang leptospirosis. Disertasinya ini berhasil menggugurkan tori ilmuwan Jepang yang bernama Hideyo Nogichi, yang menyatakan bahwa lepospira merupakan penyebab demam kuning. 

Achmad Mochtar menyatakan bahwa L. icteroides yang diambil dari pasien demam kuning kemungkinan adalah L. ictohaemorrhagiae, penyebab penyakit Weil, bukan demam kuning. 

Kembali ke Hindia Belanda dan Karier Ilmiah

Setelah menyelesaikan studi doktoral di Belanda, Achmad Mochtar kembali ke Hindia Belanda. Ia ditugaskan menjadi kepala rumah sakit di Bengkulu, lalu setalh itu ia ditempatkan di laboratorium kesehatan di Semarang.

Di laboratorium kesehatan Semarang, Achmad Mochtar aktif melakukan penelitian terutama tentang malaria, ia juga aktif mengkaji penyakit lepra yang menjadi isu serius pada saat itu.

Selama masa pengabdiannya di berbagai kota, Achmad Mochtar tercatat sudah menghasilkan sekitar 54 karya ilmiah yang sudah di publikasi di berbagai jurnal, termasuk jurnal internasional.

Laboratorium Eijkman Institute

Karena prestasi Achmad Mochtar yang sangat baik, pada tahun 1937 ia bergabung dengan Laboratorium Eijkeman Institut, sebuah lembaga penelitian biologi molekuler dan penyakit tropis paling prestisius pada masa Kolonial Belanda, Achmad mochtar menjadi Kepala Bagian Bakteriologi.

pada tahun 1939, Achmad Mochtar diangkat menjadi wakil direktur mendampingi Dr. W.K. Martens, ia bertanggung jawab pada penelitian bakteriologidan juga mengoordinasikan berbagai proyek ilmiah.

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Indonesia, para ilmuwan Belanda di Laboratorium Eijkman ditahan oleh otoritas pendudukan Jepang. Struktur kepemimpinanpun di ubah, Achmad Mochtar ditunjuk sebagai direktur Laboratorium Eijkman.

Sebagai direktur, Achmad Mochtar memikul tanggung jawab yang strategis ditengah tekanan politik dan militer yang sangat tinggi saat itu. Kepemimpinannya itu penuh keterbatasan dan tekanan serta diawasi ketat.

Tragedi Vaksin Romusha dan Eksekusi

Ribuan Romusha (pekerja paksa pendudukan Jepang) ditempatkan di berbagai kamp kerja, salah satu kamp terbesar terletak di Klender, Jakarta Timur. 

Pada Agustus 1944, kamp ini terjangkit wabah penyakit, para romusha mulai jatuh sakit secara massal dan jumlah korban meningkat dalam waktu singkat. Pihak otoritas Jepang menduga hal ini disebabkan karena meningitis.

Direktur Rumah Sakit Umum Pusat, curiga dengan gejala klinis para korban, ia menugaskan dr. Bahder Djohan untuk memeriksa langsung di Kamp Klender.

dr. Bahder menyimpulkan bahwa gejala yang diderita korban merupakan gejala tetanus bukan meningitis. Korban yang dr. Bahder periksa mengalami kaku otot, kejang dan tanda tanda tetanus lainnya.

Sekitar 90 orang yang dibawa ke rumah sakit untuk di rawat, namun tidak satupun selamat, ratusan korban lainnya meninggal di kamp sebelum mendapat perawatan lebih lanjut.

Wabah ini menjadi masalah serius bagi pemerintah Jepang, bukan hanya dari segi kesehatan, tetapi juga dari segi politik. Kematian massal rimusha berpotensi dapat memicu ketidakstabilan dan persepsi keseatan militer Jepang gagal.

Dugaan Kontaminasi Vaksin

Seminggu sebelum peristiwa kematian massal ini, tentara jepang memberikan suntikan vaksin kolera, tifus dan disentri pada para romusha. Niatnya, suntikan ini dapat mencegak romusha terjangkit penyakit di lingkungan kerja paksa.

Lembaga Eijkman meneliti kasus ini, dan disimpulkan bahwa para romusha terkena toksin tetanus. hal ini diperkirakan karena adanya kontaminasi pada vaksin yang disuntikkan, hal ini diduga bahwa pada saat pembuatan atau penumpanan vaksin tidak dilakukan secara benar. Diketahui bahwa sebagian vaksin berasal dari Institut Pasteur Bandung, lembaga dan laboratorium yang berada di bawah kendali penuh militer Jepang.

Penemuan ini membuat pihak militer Jepang berada pada posisi yang sulit. Kematian massal romusha yang menunjukkan kelalaian dan kesalahan yang fatal dapa berpotensi menimbulkan isu yang mengancam pengaruh mereka, hal ini lah mendorong mereka untuk mencari kambing hitam.

Tuduhan kepada Eijkman

Kempetai (polisi militer Jepang) mengambil langkah ofensif dengan menuduh Laboratorium Eijkman yang dipimpin oleh Achmad Mochtar sebagai penyebab kontaminasi vaksin itu.

Selain itu, terdapat indikasi kuat bahwa penargetan Achmad Mochtar juga dipengaruhi oleh motif non-ilmiah. Salah satunya ialah Achmad Mochtar pernah membantah teori Hideyo Noguchi  tentang penyakit demam kuning. 

Pada situasi yang penuh dengan tekanan itu, Kempetai membangun narasi bahwa Ilmuwan di Eijkman telah melakukan sabotase dengan sengaja mecemari vaksin. Tuduhan ini tidak berdasar, tetapi tetap digunakan untuk menutupi kesalahan fatal militer Jepang itu. Achmad Mochtar dan para stafnya akhirnya terseret kedalam kasus ini.

Penangkapan

Tuduhan kepada Eijkman sebagai lembaga yang bertanggung jawab atas peristiwa ini menyebabkan penangkapan besar-besaran pada 7 Oktober 1944. Porf. 

Achmad Mochtar serta dokter, analsi dan pejabat kesehatan lainnya diseret ke Markas Besar Kempetai di Jl. Merdeka Barat 13-14. Para tokoh yang ditangkap terdiri dari:

Para dokter staf Eijkman:

  • Djoehana Wiradikarta, 
  • Soetarman, dan 
  • Prof. Mohammad Ali Hanafiah.

Para analis laboratorium:

  • Jatman, 
  • Soebekti, 
  • Nn. Ko Kiap Nio, dan 
  • Nanny Kusumasudjana.

Dokter dari Rumah Sakit Umum Pusat:

  • Prof. Asikin Widjaja Kusuma dan 
  • Soelaiman Siregar.

Dokter dari jawatan kesehatan kota:

  • Marzuki (kepala jawatan), 
  • Soeleiman, dan 
  • Marah Ahmad Arief.

Analis Laboratorium Mikrobiologi Pegangsaan Timur:

  • Warsa.

Mereka dijebloskan ke dalam sel-sel berukuran kecil, lembap, dan minim pencahayaan. Selama penahanan, keluarga mereka tidak diberi informasi apa pun mengenai tuduhan atau kondisi para tahanan. Perawatan, makanan, dan fasilitas dasar yang diberikan sangat buruk

Pemeriksaan dan Penyiksaan

Pemeriksaan yang dilakukan Kempetai sebenarnya bukan untuk mencari kebenaran, melainkan memaksa para tahanan untuk memberi jawaban yang sesuai dengna narasi yang mereka sebarkaan. Para penyidik menolah kemungkinan kesalahan yang terjadi pada Institut Pasteur, bagi mereka pribumilah yang harus disalahkan.

Interogasi terus dilakukan, penyiksaan fisik dan psikologis juga berulang kali dilakukan, metode yang dilakuan seperti pemukulan, penelantaran serta intimidasi mental. Setiap jawaban yang tidak sesuai dengan keinginan mereka akan mendapatkan siksaan yang lebih berart lagi.

Dua dokter meninggal dunia pada masa penahanan ini karena tekanan dan penyiksaan yang luar biasa yaitu Soelaiman Siregar dan Marah Ahmad Arief. Keduanya dipulangkan pada keluarganya dengan kondisi tubuh yang rusak akibat dari penyiksaan.

Achmad Mochtar sebagai pemimpin Eijkman mendapat tekanan serta siksaan yang paling berat. Ia terus dipaksa mengakui dan bertanggung jawab atas kematian romusha.

Pengakuan dan Pengorbanan

Kondisi fisik dan mental yang melemah setelah disiksa berbulan-bulan, Achmad Mochtar akhirnya membuat keputusan untuk mengakui bahwa dirinyalah yang melakukan sabotase vaksin (sebenarnya tidak pernah ia lakukan). Hal ini ia lakukan untuk menyelamatkan para tahanan lainnya agar tidak mendapat siksaan lebih berat lagi.

Setelah pengakuan itu diterima kempetai, para tahanan mulai dilepaskan satu persatu, namun Achmad Mochtar yang sebagai tahanan utama tetap ditahan. Upaya bantuan politik dari Bung Hatta sebenarnya telah dilakukan, akan tetapi kempetai mengklaim bahwa institusi mereka tidak berada di bawah kendali militerJepang, sehingga permintaan itu tidak dapat dilakukan.

Eksekusi Tanpa Pengadilan

Nasib Achmad Mochtar sempat tidak diketahui hingga setelah Proklamasi Kemerdekaan baru diketahui bahwa ia telah dieksekusi pada 3 Juli 1945. Eksekusi dilakukan dengan cara dipancung di dekat Pantai Ancol. Berdasarkan sebuah catatan harian tetara Jepang menyebutkan bahwa setelah dieksekusi, jasad Achmad Mochtar kemudian digilas hingga hancur lalu dibuang pada kuburan massal.

Otoritas Jepang berusaha menutupi eksekusi ini. Kepada keluarga, mereka menyampaikan bahwa Mochtar meninggal karena sakit, meskipun pakaian yang dikembalikan masih berlumuran darah. Tidak ada laporan resmi, tidak ada pengadilan, dan tidak ada pertanggungjawaban dari pihak Jepang atas tindakan tersebut.

Penghargaan

Untuk mengargai jasa Achmad Mochtar, Pemerintah Indonesia menganugerahkan Satyalancana Kebaktian Sosial pada tahun 1968. Dan pada tahun 1972 , Pemerintah kembali menganugerahkan Bintang Jasa Nararya kepada Achmad Mochtar berdasarkan KEPRES no. 037/TK/ Tahun 1972.

Nama Achmad Mochtar diabadikan menjadi nama salah satu rumah sakit di Bukittinggi, Sumatera Barat. Sebelumya nama rumah sakit ini adalah, Rumah Sakit Umum Bukittinggi Kelas C. Azwar Anas kemudian mengusulkan pergantian nama rumah sakit itu menjadi Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Achmad Mochtar, usulan ini akhirnya disetujui oleh Kemeterian Kesehatan saat itu.

Sumber:

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biodata
  • Biografi
  • Blog
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
  • Time Line

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia

© 2023 arsipmanusia.com

Scroll to Top