Bagi yang tertarik pada pandangan kiri, Alimin adalah salah satu figur terkemuka dalam PKI yang menjadi subjek romantis dalam studi sejarah, seperti Tan Malaka, Samaun, Musso, dan Aidit. Alimin, dengan pandangannya yang gigih, terus berupaya untuk memerdekakan Indonesia dari penjajahan, serta mengamankan kedaulatan bangsanya.
Ironisnya, setelah wafat, ia malah mendapat stigma negatif dari masyarakatnya sendiri, terutama pada masa Orde Baru, dianggap sebagai pemberontak dan pengkhianat bangsa sebagai tokoh PKI.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan Alimin
Tanggal pasti kelahiran Alimin tidak diketahui, namun diperkirakan pada tahun 1889 di Kota Solo dari keluarga yang ekonominya kurang mapan. Walaupun dari lingkungan keluarga yang sederhana, jiwa sosial Alimin telah tampak sejak masa kecilnya.
Dalam catatan sejarah, disebutkan bahwa Alimin pernah menerima sejumlah uang dari seorang Belanda bernama G.A.J. Hazeu yang menjabat sebagai Penasehat Urusan Pribumi. Alih-alih menyimpannya, Alimin membagi uang itu kepada teman-temannya, sebuah tindakan yang membuat Hazeu merasa simpati dan akhirnya mengangkat Alimin sebagai anaknya.
Dengan bantuan Hazeu, Alimin mendapat pendidikan di sekolah Eropa di Betawi. Meskipun diharapkan agar Alimin kelak menjadi pegawai pemerintah, ia memilih jalur politik dan menjadi jurnalis.
Pergerakan Alimin Sebelum Kemerdekaan
Sejak masa remajanya, Alimin telah aktif terlibat dalam beberapa organisasi pergerakan nasional. Sejarah mencatat partisipasinya sebagai anggota Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Insulinde, hingga akhirnya menjadi tokoh dan pemimpin Partai Komunis Indonesia (PKI). Ia juga merupakan pendiri Sarekat Buruh Pelabuhan (dulu bernama Sarekat Pegawai Pelabuhan dan Lautan).
Di Sarekat Islam (SI) yang didirikan oleh Haji Samanhudi di Surakarta pada tahun 1905, Alimin menjadi tokoh berpengaruh. Pada masa tersebut, Organisasi Demokrat Hindia Belanda atau Indische Sociaal Democratische Vereeniging (ISDV) tertarik pada SI untuk meraih massa besar dan mengembangkan paham marxisme di politik Indonesia. ISDV berubah menjadi PKI (Partai Komunis Indonesia atau Partij der Kommunisten in Indie) pada 20 Mei 1920.
SI mengalami perpecahan menjadi “SI Putih” yang dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto dengan kecenderungan kanan di Yogyakarta dan “SI Merah” yang dipimpin oleh Samaun dengan kecenderungan kiri di Semarang. Alimin memilih bergabung dengan Samaun di SI Merah yang berhaluan sosialis komunis.
Alimin bersama Musso memperkuat PKI (dari cabang PKI Jakarta) di kelompok Perambanan, Solo. Pada awal 1926, Alimin, sebagai pemimpin PKI, pergi ke Singapura untuk bertemu dengan Tan Malaka dalam rencana pemberontakan. Namun, saat Alimin hendak kembali ke Indonesia, pemberontakan pecah pada 12 November 1926 di Jakarta, diikuti oleh kekerasan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Pemberontakan juga terjadi di Sumatera Barat pada 1 Januari 1927. Meski demikian, pemberontakan itu berhasil diredam oleh pemerintahan kolonial di Batavia dan PKI dinyatakan sebagai organisasi terlarang. Banyak tokoh PKI yang diusir, dipenjara, atau dihukum gantung, sementara Alimin dan Musso ditangkap oleh polisi Inggris.
Setelah keluar dari penjara, Alimin pergi ke Moskow, Uni Soviet pada tahun 1926 setelah pemberontakan untuk bergabung dengan Komintern (organisasi komunis internasional). Di sana, ia bertemu dengan Ho Chi Minh, pemimpin partai komunis Vietnam, untuk melawan Amerika Serikat. Bahkan saat Jepang melakukan agresi militer ke China, Alimin ikut bergabung bersama tentara merah di daerah basis perlawanan di Yenan.
Setelah Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia secara resmi, Alimin kembali ke tanah air pada tahun 1946. Meskipun tidak dapat menyaksikan langsung momen proklamasi kemerdekaan, ia kembali aktif dalam arena politik. Alimin turut serta dalam Dewan Konstituante untuk menetapkan UUD sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada usia lanjutnya, Alimin ditempatkan dalam posisi yang kurang menonjol di PKI, di Sekretariat Propaganda saat kepemimpinan D.N Aidit. Namun, kontribusi dan peranannya bagi PKI dan kemerdekaan Indonesia pada masa muda sangatlah besar.
Wafat
Pada tanggal 24 Juni 1964, Alimin wafat di Jakarta. Sebelumnya, Soekarno mengunjunginya sebagai penghormatan kepada mereka yang membuka jalan menuju kemerdekaan bagi generasi muda. Alimin pun dianugerahi gelar pahlawan kemerdekaan berdasarkan SK Presiden RI No. 163 Tahun 1964.
Bio Data Alimin bin Prawirodirdjo
Nama Lengkap | Alimin bin Prawirodirdjo |
Nama Kecil | Alimin |
Nama Lain | – |
Tempat, Lahir | Surakarta, Hindia Belanda, 1889 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 24 Juni 1964 (umur 74–75) |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politisi Editor Jurnal |
Keluarga | |
Ayah | Prawirodirdjo |
Ibu | – |
Isteri (Pernikahan) | Hajjah Mariah |
Anak | Tjipto, Lilo |
Riwayat Pendidikan Alimin bin Prawirodirdjo
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Europeeshe Lagere School (ELS) | Europeeshe Lagere School (ELS) di Batavia |
Karir Alimin bin Prawirodirdjo
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Budi Utomo | Anggota (1910-1913) |
Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) | Pimpinan Wilayah Jakarta (1918) |
Sarekat Islam | Anggota (1913-1920) |
Sarekat Islam Merah | Anggota (1920-1923) |
Bolshevik (Partai Komunis Uni Soviet) | Anggota (1924-1925) |
Insulinde | Anggota |
Partai Komunis Indonesia | Bergabung (1926) |
Partai Komunis Indonesia | Pemimpin |
Sarekat Buruh Pelabuhan | Pendiri |
Dewan Konstituante | Anggota (9 November 1956 – 5 July 1959) |
Partai Komunis Indonesia | Sekretariat Propaganda |
Penghargaan Alimin bin Prawirodirdjo
Tahun | Penghargaan |
---|---|
26 Juni 1964 | Pahlawan Nasional Indonesia |