Kabinet Natsir adalah kabinet pertama yang dibentuk setelah Republik Indonesia Serikat dibubarkan dan berganti nama menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pembentukan kabinet ini terjadi pada tanggal 6 September 1950 dan berlangsung mulai tanggal 7 September 1950 hingga 21 Maret 1951.
Munculnya kabinet ini merupakan hasil dari pembubaran RIS dan upaya mencari solusi bagi bentuk pemerintahan yang sesuai untuk Indonesia yang baru berusia 5 tahun saat itu.
Awalnya, kabinet ini terbentuk atas koalisi antara partai Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI). Namun, seiring berjalannya waktu, PNI memutuskan untuk memisahkan diri karena tidak diikutsertakan dalam pembentukan struktur kabinet.
Sebagai gantinya, partai yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927 tersebut bergabung dengan oposisi bersama Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Partai Murba (Musyawarah Rakyat Banyak).
Susunan Kabinet Natsir
Jabatan | Foto | Pejabat | Waktu Menjabat | Partai |
---|---|---|---|---|
Presiden | Ir. Soekarno | 18 Agustus 1945 – 12 Maret 1967 | ||
Wakil Presiden | Mohammad Hatta | 18 Agustus 1945 – 1 Desember 1956 | ||
Perdana Menteri | Mohammad Natsir | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Wakil Perdana Menteri | Sri Sultan Hamengkubuwana IX | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Luar Negeri | Mohammad Roem | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Dalam Negeri | Assaat | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Pertahanan | Abdul Halim | 7 September 1950 – 17 Desember 1950 | ||
Menteri Pertahanan (ad interim) | Mohammad Natsir | 17 Desember 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Kehakiman | Wongsonegoro | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Penerangan | Melkias Agustinus Pellaupessy | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Keuangan | Sjafruddin Prawiranegara | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Pertanian | Tandiono Manu | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Perdagangan dan Perindustrian | Soemitro Djojohadikoesoemo | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Perhubungan | Djuanda Kartawidjaja | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Tenaga dan Pekerjaan Umum | Herman Johannes | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Perburuhan | Pandji Suroso | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Sosial | Fredericus Soetrisno Harjadi | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan | Bahder Djohan | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Agama | Wahid Hasjim | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Kesehatan | Johannes Leimena | 7 September 1950 – 21 Maret 1951 | ||
Menteri Negara | Harsono Tjokroaminoto | 7 September 1950 – 31 Desember 1950 |
Table of Contents
ToggleProgram Kerja Kabinet Natsir
Program kerja Kabinet Natsir meliputi beberapa aspek penting. Pertama, mereka bertujuan untuk mempersiapkan dan melaksanakan pemilihan umum untuk Dewan Konstituante dalam waktu yang singkat.
Selanjutnya, fokus mereka adalah mencapai konsolidasi pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang bulat sesuai dengan ketentuan Pasal 146 dalam UUD Sementara 1950.
Selain itu, kabinet ini juga berkomitmen untuk meningkatkan keamanan dan ketentraman dengan menggiatkan berbagai upaya.
Mereka juga berupaya untuk mengembangkan dan memperkokoh kekuatan ekonomi rakyat sebagai landasan bagi pelaksanaan kegiatan ekonomi nasional yang sehat, serta menjalankan prinsip keragaman dan kesamarataan hak antara buruh dan majikan.
Selanjutnya, kabinet ini menaruh perhatian khusus pada pembangunan perumahan rakyat dan meningkatkan kualitas dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
Mereka juga bertekad untuk menyempurnakan organisasi Angkatan Perang dan memfasilitasi reintegrasi mantan anggota tentara dan gerilya ke dalam masyarakat.
Terakhir, Kabinet Natsir memprioritaskan upaya penyelesaian masalah perebutan wilayah Irian Barat dalam waktu yang sesingkat mungkin.
Dengan demikian, mereka memiliki rentang program kerja yang luas dan beragam untuk mengatasi berbagai tantangan yang dihadapi negara pada saat itu.
Pencapaian Kabinet Natsir
Meskipun baru berdiri selama kurang dari setahun, Kabinet Natsir mampu mengimplementasikan program-program dan kebijakannya dengan berhasil. Capaian kabinet ini termasuk keberhasilan dalam berbagai bidang, antara lain:
Dalam ranah ekonomi, Kabinet Natsir mengenalkan Sumitro Plan yang mengalihkan orientasi ekonomi dari yang semula kolonial menjadi nasional.
Mereka juga menetapkan prinsip bebas aktif sebagai dasar kebijakan politik luar negeri Indonesia.
Selain itu, Indonesia menjadi anggota PBB selama masa kepemimpinan Kabinet Natsir.
Tidak hanya itu, kabinet ini juga menjadi inisiator dalam perundingan pertama antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat.
Kegagalan Kabinet Natsir
Meskipun terdapat keberhasilan dalam sebagian program kerja Kabinet Natsir, namun tidak dapat dielakkan bahwa terdapat pula sejumlah masalah dan kegagalan yang terjadi. Beberapa kegagalan kabinet ini dapat dilihat dari beberapa kebijakan dan program kerja yang tidak berhasil, antara lain:
Dalam pelaksanaan Sumitro Plan, meskipun pengusaha nasional diberikan bantuan kredit, namun ternyata terjadi penyelewengan dalam pelaksanaannya sehingga tidak mencapai sasarannya secara tepat.
Selain itu, upaya Kabinet Natsir dalam memperjuangkan dan menyelesaikan konflik antara Irian Barat dan Belanda mengalami kegagalan, dimana usaha tersebut tidak berhasil mencapai titik terang.
Tidak hanya itu, kegagalan Kabinet Natsir juga tercermin dari munculnya konflik horizontal di Indonesia. Berbagai pemberontakan tersebar hampir di seluruh wilayah, seperti Gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII), Gerakan Andi Azis, Gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), dan Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS).
Ini menjadi bukti bahwa meskipun ada pencapaian, namun tantangan yang dihadapi oleh kabinet ini juga cukup besar.
Akhir Kabinet Natsir
Faktor-faktor yang memicu kejatuhan Kabinet Natsir bermula dari tahap awal pembentukannya. Awalnya, partai koalisinya, PNI, tidak dimasukkan dalam struktur kabinet tersebut, sehingga PNI memilih untuk menjadi oposisi bersama PKI dan Murba.
Ketika Kabinet Natsir mulai menjalankan program kerjanya, berbagai kritik dilontarkan oleh kelompok oposisi terhadap kebijakan yang diambil.
Mosi Hadikusumo yang diajukan oleh PNI adalah salah satu masalah utama yang dihadapi Kabinet Natsir. Mosi tersebut meminta Peraturan Pemerintah Nomor 39 tahun 1950 yang mengatur pemilihan anggota lembaga perwakilan daerah.
Namun, saat mosi tersebut diajukan, lembaga-lembaga perwakilan daerah telah dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 1950 oleh Kabinet Hatta.
PNI mengusulkan penggantian peraturan tersebut dengan undang-undang baru yang lebih demokratis, karena menurut mereka, PP No. 39 Tahun 1950 dianggap tidak demokratis karena pemilihan lembaga perwakilan daerah dilakukan secara bertingkat.
Setelah pemungutan suara di parlemen, mosi Hadikusumo akhirnya disetujui. Hal ini menyebabkan Menteri Dalam Negeri yang berasal dari Kabinet Natsir mengundurkan diri, dan juga menghambat hubungan antara kabinet dan parlemen.
Akhirnya, pada 21 Maret 1951, Kabinet Natsir jatuh dan mandatnya diserahkan kepada Presiden Sukarno.