Edit Template

Ahmad Dahlan: Pendiri Muhammadiyah

KH Ahmad Dahlan adalah salah satu tokoh pembaharu Islam terkemuka di Indonesia yang berjasa dalam bidang pendidikan, sosial, dan dakwah. Sebagai pendiri Muhammadiyah, ia tidak hanya mengajarkan ajaran Islam, tetapi juga memperkenalkan cara berpikir dan metode pendidikan yang lebih modern.

Ahmad Dahlan mengabdikan hidupnya untuk membangkitkan kesadaran umat agar beragama dengan pemahaman yang murni, berorganisasi, dan memajukan pendidikan. Perjuangannya masih terasa hingga kini, menjadikannya salah satu pahlawan nasional yang dikenang bukan hanya oleh warga Muhammadiyah, tetapi juga oleh bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kehidupan Awal dan Latar Belakang Keluarga

Muhammad Darwis, nama kecil KH Ahmad Dahlan, lahir pada 1 Agustus 1868 M (1285 H) di Kauman, sebuah kampung di jantung Kota Yogyakarta, Kesultanan Yogyakarta. Ia merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya, KH Abu Bakar bin Sulaiman, meeupakan seorang khatib besar Masjid Gedhe Kesultanan, sementara ibunya, Siti Aminah, adalah putri dari KH Ibrahim, penghulu keraton pada masanya.

Kedua orang tuanya berasal dari keluarga yang sangat dihormati. Dari pihak ayah, Ahmad Dahlan memiliki garis keturunan langsung hingga ke Maulana Malik Ibrahim, salah satu Wali Songo yang merupakan tokoh penyebaran Islam di tanah Jawa. Silsilah panjang ini menjadi bukti bahwa darah ulama telah mengalir dalam keluarganya selama berabad-abad.

Susunan saudara kandungnya terdiri dari Nyai Chatib Arum, Nyai Muhsinah, Nyai Haji Sholeh, Ahmad Dahlan sendiri, Nyai Abdurrahman, Nyai Haji Muhammad Faqih, dan Muhammad Basir. Menariknya, di antara tujuh bersaudara ini, hanya Ahmad Dahlan dan adik bungsunya yang berjenis kelamin laki-laki. Kehangatan keluarga besar ini, ditambah dengan suasana religius di lingkungan Kauman, membentuk pribadi Darwis kecil menjadi anak yang kritis, tekun, dan peka terhadap kehidupan sosial di sekitarnya.

Masa kecilnya dihabiskan di lingkungan masjid dan pasar, tempat ia berinteraksi dengan beragam lapisan masyarakat. Selain mengaji dengan ayahnya, Darwis juga menikmati permainan tradisional bersama teman-teman sebaya seperti jamuran, cublak-cublak suweng, dan jelungan. Sejak usia dini, sifat kepemimpinan sudah terlihat—ia kerap menjadi pengatur jalannya permainan atau memimpin teman-temannya ketika mengaji di Masjid Gedhe.

Lingkungan yang mendukung, keluarga yang harmonis, dan interaksi sosial yang luas membentuk fondasi kepribadian Ahmad Dahlan sebagai sosok yang berpikir maju namun tetap berakar pada nilai-nilai Islam. Inilah bekal awal yang kelak mengantarnya menjadi salah satu tokoh pembaharu terbesar di Indonesia.

Pendidikan dan Perjalanan Menuntut Ilmu

Sejak kecil, Muhammad Darwis tumbuh dalam lingkungan yang menempatkan pendidikan agama sebagai prioritas utama. Pendidikan pertamanya dimulai di rumah, di bawah bimbingan langsung ayahnya, KH Abu Bakar. Di sini ia mempelajari dasar-dasar ilmu agama seperti membaca Al-Qur’an, fikih, tauhid, dan tata cara ibadah. Selain dari ayahnya, Darwis juga belajar kepada sejumlah ulama terkemuka di Kauman, yang pada masa itu menjadi pusat aktivitas keagamaan di Yogyakarta.

Seiring bertambahnya usia, rasa ingin tahu Darwis tentang ajaran Islam semakin besar. Ia mulai belajar kepada guru-guru lain di luar keluarganya, memperdalam pengetahuan dalam bidang tafsir, hadis, dan bahasa Arab. Kemampuannya yang cepat menyerap pelajaran membuatnya menonjol di antara teman-temannya. Tak hanya memahami teks, ia juga gemar bertanya dan mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya kurang sesuai dengan semangat ajaran Islam yang murni.

Pada usia sekitar 15 tahun, Darwis mendapat kesempatan istimewa untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Perjalanan ini bukan hanya untuk menunaikan rukun Islam kelima, tetapi juga untuk menuntut ilmu. Ia menetap di Makkah selama kurang lebih lima tahun, berguru kepada ulama-ulama besar di Masjidil Haram. Di sinilah ia mulai bersentuhan dengan gagasan pembaruan Islam yang tengah berkembang di dunia Islam pada akhir abad ke-19, seperti pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Darwis muda terkesan dengan semangat para pembaharu tersebut yang menyerukan kembali kepada ajaran Al-Qur’an dan Sunnah secara murni, sambil mengajak umat Islam untuk memanfaatkan ilmu pengetahuan modern. Pemikiran ini membuka cakrawala baru baginya, sekaligus memicu tekad untuk membawa perubahan serupa di tanah air.

Sekembalinya ke Yogyakarta pada 1888, Darwis mengganti namanya menjadi Ahmad Dahlan, sebuah tanda tekad baru dalam perjuangannya. Dengan bekal ilmu agama yang mendalam dan wawasan luas tentang pembaruan, ia mulai mengajar dan berdakwah di lingkungan Kauman. Meskipun awalnya mendapat tantangan dari sebagian kalangan yang mempertahankan tradisi lama, Ahmad Dahlan tetap konsisten menyampaikan ajaran Islam yang menurutnya sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah.

Perjalanan intelektualnya tidak berhenti di situ. Ahmad Dahlan terus membaca berbagai literatur Islam modern, berdiskusi dengan sesama ulama, dan memadukan metode pendidikan tradisional dengan sistem pembelajaran yang lebih terstruktur. Langkah inilah yang kemudian menjadi pondasi berdirinya Muhammadiyah pada 1912, sebuah organisasi yang hingga kini tetap menjadi salah satu kekuatan besar dalam pendidikan dan dakwah di Indonesia.

Perjuangan dan Pendirian Muhammadiyah

Sepulang dari Makkah, Ahmad Dahlan kembali ke tanah air dengan semangat baru untuk membawa perubahan. Ia menyadari bahwa umat Islam di Indonesia saat itu menghadapi tantangan besar—kemunduran pendidikan, kemiskinan, dan praktik keagamaan yang bercampur dengan tradisi yang tidak selalu sesuai dengan ajaran Islam. Melihat kenyataan ini, Ahmad Dahlan merasa terpanggil untuk melakukan pembaruan melalui jalur dakwah dan pendidikan.

Langkah pertamanya dimulai dari lingkungan terdekat, yakni Kauman, Yogyakarta. Ia mengajarkan tafsir Al-Qur’an dengan metode yang berbeda dari kebanyakan guru agama pada masanya. Baginya, memahami ayat suci bukan hanya sekadar menghafal, tetapi juga mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini membuat ajarannya mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan masyarakat, meski tak jarang mendapat kritik dari kalangan yang mempertahankan cara lama.

Ahmad Dahlan juga mulai memperkenalkan sistem pendidikan yang menggabungkan pelajaran agama dan ilmu umum. Ia mendirikan sekolah dengan kurikulum yang memuat mata pelajaran seperti matematika, ilmu pengetahuan, dan bahasa, di samping pelajaran agama. Model ini tergolong baru pada saat itu, karena sebagian besar sekolah Islam masih berfokus pada pengajaran agama semata.

Tantangan datang dari dua arah. Di satu sisi, sebagian ulama tradisional menuduhnya menyalahi ajaran yang sudah berlaku turun-temurun. Di sisi lain, pemerintah kolonial Belanda memandang gerakannya dengan kecurigaan karena dianggap berpotensi menumbuhkan kesadaran dan persatuan umat. Namun, Ahmad Dahlan tidak surut. Ia percaya bahwa dakwah harus dilakukan secara terorganisir agar mampu memberi dampak luas.

Puncak dari perjuangannya terjadi pada 18 November 1912, ketika ia resmi mendirikan Muhammadiyah di Yogyakarta. Organisasi ini bertujuan memurnikan ajaran Islam sesuai Al-Qur’an dan Sunnah, serta memajukan pendidikan dan kesejahteraan umat. Muhammadiyah bergerak tidak hanya di bidang dakwah, tetapi juga di ranah sosial seperti pendirian sekolah, rumah sakit, dan panti asuhan.

Gerakan ini mendapat sambutan hangat, terutama dari kalangan muda dan masyarakat perkotaan yang mendambakan kemajuan. Dalam waktu singkat, Muhammadiyah berkembang pesat dan membentuk cabang di berbagai daerah. Perjuangan Ahmad Dahlan pun tak lagi hanya milik Kauman, tetapi menjadi bagian dari kebangkitan umat Islam di Nusantara.

Akhir Hayat dan Warisan Perjuangan

Menjelang akhir hayatnya, Ahmad Dahlan tetap aktif memimpin Muhammadiyah dan mengembangkan berbagai kegiatan pendidikan serta sosial. Meski kesehatannya mulai menurun, ia tidak pernah berhenti mengajar, berdakwah, dan merancang program-program kemajuan umat. Baginya, perjuangan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban yang harus dijalankan hingga napas terakhir.

Pada 23 Februari 1923, Ahmad Dahlan wafat di Yogyakarta pada usia 54 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, bukan hanya bagi keluarga dan warga Muhammadiyah, tetapi juga bagi masyarakat luas yang merasakan langsung manfaat perjuangannya. Ia dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta, dengan diiringi penghormatan ribuan pelayat dari berbagai kalangan.

Meski jasadnya telah tiada, semangat dan gagasannya terus hidup melalui Muhammadiyah yang kini berkembang menjadi salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia. Jaringan sekolah, universitas, rumah sakit, panti asuhan, dan berbagai amal usaha Muhammadiyah tersebar di seluruh penjuru negeri, bahkan hingga ke luar negeri. Semua ini berakar dari visi Ahmad Dahlan untuk menjadikan umat Islam cerdas, berdaya, dan berakhlak mulia.

Pemerintah Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Ahmad Dahlan pada 27 Desember 1961 berdasarkan SK Presiden RI no 657 tahun 1961. Namun, penghargaan terbesar baginya mungkin bukanlah gelar atau piagam, melainkan kenyataan bahwa perjuangannya terus menginspirasi jutaan orang untuk menebar manfaat dan menegakkan kebenaran.

Sumber:

  1. Kamila, Annisa Shofiya. PEMBAHARUAN PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN DALAM MEMBANGUN KARAKTER ISLAM INDONESIA. Skripsi, INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) KEDIRI, 2023.
  2. Mu’thi, Abdul, Abdul Munir Mulkhan, Djoko Marihandono, KH Ahmad Dahlan (1868–1923). Museum Kebangkitan Nasional, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2015.
  3. Pendiri Muhammadiyah” tokoh.id (diakses pada 13 Agustus 2025)
  4. Ahmad Dahlan, KH” tokoh.id (diakses pada 13 Agustus 2025)
  5. K.H. Ahmad Dahlan: Praktik Surat Al-Maun dalam Keluwesan Pergaulan” tirto.id (diakses pada 13 Agustus 2025)
Artikel ini di revisi pada 18 Agustus 2025

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biodata
  • Biografi
  • Blog
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
  • Time Line

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia

© 2023 arsipmanusia.com

Scroll to Top