Adolf Gustaaf Lembong merupakan perwira TNI keturunan Minahasa yang terlibat langsung dalam berbagai pertempuran mempertahankan kemerdekaan, sosok Lembong mencerminkan semangat perjuangan dan pengabdian tanpa pamrih.
Lembing memilih bergabung dengan generasi awal tentara republik membangun profesionalisme dan loyalitas terhadap negara di tengah situasi politik yang masih labil pasca-kemerdekaan. Ia tidak hanya dikenal sebagai prajurit yang disiplin, tetapi juga sebagai pemimpin yang berjiwa nasionalis dan berintegritas tinggi.
Perjalanan hidup Adolf Gustaaf Lembong berakhir secara mengenaskan dalam peristiwa pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung pada 23 Januari 1950.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang dan Masa Awal
Adolf Gustaaf Lembong lahir di Amurang, Minahasa, pada 19 Oktober 1910. Ia berasal dari keluarga Minahasa yang dikenal menjunjung tinggi nilai disiplin, keberanian, dan semangat pengabdian.
Sejak muda, Lembong menunjukkan minat besar pada dunia kemiliteran. Setelah menempuh pendidikan dasar di daerahnya, ia kemudian bergabung dengan Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger (KNIL), atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. Langkah ini menjadi awal karier militernya dan membuka jalan bagi pengalamannya dalam dunia keprajuritan yang disiplin dan terlatih.
Di KNIL, Lembong memulai tugasnya sebagai operator radio, posisi yang menuntut ketelitian dan kemampuan teknis tinggi. Ia bertugas sebagai penghubung komunikasi militer membuatnya memahami pentingnya koordinasi dan strategi dalam operasi tempur. Pengalaman awal inilah yang kelak membentuk dasar keterampilannya sebagai perwira profesional, sekaligus membekalinya dengan wawasan yang luas tentang taktik dan teknologi militer sebelum masa perang besar melanda Asia.
Penawanan Jepang
Ketika pasukan Belanda menyerah kepada Jepang pada tahun 1942, nasib para prajurit KNIL, termasuk Adolf Gustaaf Lembong berubah drastis. Sebagai bagian dari tentara kolonial yang kalah perang, Lembong dan rekan-rekannya ditawan oleh tentara Jepang.
Masa penawanan ini menjadi periode penuh penderitaan dan ketidakpastian, di mana banyak prajurit dipaksa menjalani kehidupan keras di kamp-kamp tawanan.
Namun, alih-alih dibiarkan begitu saja, sebagian tawanan, terutama mereka yang memiliki kemampuan militer direkrut sebagai heiho, atau pembantu tentara Jepang. Lembong termasuk di antara mereka. Ia kemudian ditugaskan membantu operasi militer Jepang, suatu posisi yang sebenarnya tidak didasari pilihan bebas, melainkan keterpaksaan akibat situasi perang.
Sebagai heiho, Lembong dikirim ke berbagai medan tempur di kawasan Pasifik. Dari kamp pelatihan di Rabaul (Papua Nugini), ia kemudian dipindahkan ke Luzon, Filipina, untuk mendukung operasi militer Jepang di sana.
Pengalaman ini mempertemukannya dengan kerasnya realitas perang, sekaligus memperkaya pemahamannya tentang strategi tempur dan kondisi prajurit di lapangan. Walau berada di bawah tekanan dan pengawasan ketat, Lembong tetap menunjukkan keteguhan dan profesionalisme yang kelak menjadi ciri khas kepemimpinannya di masa Republik.
Pelarian dan Perjuangan di Filipina
Dalam situasi perang yang semakin kacau, Adolf Gustaaf Lembong bersama sejumlah tawanan lainnya berhasil melarikan diri dari pengawasan tentara Jepang di Luzon, Filipina.
Pelarian ini bukan tanpa risiko, mereka menghadapi ancaman penyergapan, kelaparan, dan kondisi medan yang berbahaya. Namun semangat untuk bebas dan bertahan hidup membuat Lembong terus melangkah, mencari jalan keluar dari penindasan.
Setelah berhasil lolos, Lembong bergabung dengan kelompok gerilyawan Filipina yang bersekutu dengan pasukan Amerika Serikat. Dalam periode antara 1943 hingga 1945, ia aktif dalam operasi gerilya melawan pasukan Jepang. Catatan aktivitasnya selama masa itu tercatat oleh Netherlands Forces Intelligence Service (NEFIS).
Lembong sempat disalahpahami oleh sebagian gerilyawan lokal dan nyaris dibunuh karena dianggap mata-mata Jepang. Namun, berkat kejujuran dan kepiawaiannya dalam berkomunikasi, ia akhirnya memperoleh kepercayaan dari rekan-rekannya. Salah satu perwira Amerika bahkan mencatat bahwa Lembong adalah “seorang prajurit disiplin dengan jiwa kepemimpinan yang kuat, dihormati baik oleh orang Filipina maupun Amerika.”
Kepercayaan itu semakin besar ketika Lembong ditunjuk untuk memimpin Squadron 270, sebuah satuan gabungan gerilyawan Filipina dan unsur pasukan Amerika. Di bawah kepemimpinannya, skuadron ini melakukan sejumlah serangan sukses terhadap posisi Jepang di wilayah Luzon.
Salah satu operasi paling bersejarah terjadi pada 6 – 7 Januari 1945, ketika pasukannya berhasil melakukan penyergapan besar terhadap konvoi Jepang, menghasilkan kemenangan besar bagi pasukan Sekutu di Filipina.
Tak hanya di medan perang, Lembong juga membangun hubungan pribadi dengan seorang perempuan Filipina bernama Asuncion Angel, akrab disapa Cion, yang kemudian dinikahinya pada 26 Oktober 1944.
Lembong kemudian tergabung dalam pasukan elite yang dikenal sebagai “Crack Battalion”, di bawah komando Kapten Robert Lapham, salah satu tokoh perlawanan Filipina. Hubungannya dengan Lapham terjalin erat, ditandai dengan saling menghormati sebagai sesama pejuang. Melalui pengalaman tempur di Filipina.
Rencana Penyusupan ke Minahasa dan Akhir Perang Dunia II
Di tengah meningkatnya kekuatan Sekutu menjelang akhir Perang Dunia II, Adolf Gustaaf Lembong mulai memikirkan langkah untuk membantu pembebasan tanah kelahirannya, Minahasa. Dengan pengalamannya dalam perang gerilya di Filipina, ia mengajukan rencana penyusupan ke Minahasa kepada pihak Sekutu. Tujuan utama dari usulannya adalah membentuk dan melatih satuan gerilya lokal guna melawan pendudukan Jepang di Sulawesi Utara.
Dalam proposal yang disusunnya, Lembong merancang pembagian wilayah dalam bentuk distrik-distrik militer untuk memudahkan koordinasi perlawanan. Ia juga menyusun strategi persenjataan yang efisien dengan memanfaatkan senjata ringan hasil rampasan Jepang, serta mengusulkan sistem komunikasi yang memadai untuk menjaga hubungan antarpos gerilya.
Rencana ini menunjukkan kemampuan analitis dan kepemimpinan strategisnya, serta tekad kuat untuk berkontribusi pada perjuangan kemerdekaan Indonesia meski masih berada di luar negeri.
Namun, rencana penyusupan tersebut tidak sempat terlaksana. Sebelum misi itu dieksekusi, Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945 setelah dijatuhkannya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Berakhirnya perang secara tiba-tiba membuat seluruh operasi penyusupan ke wilayah Indonesia dibatalkan.
Setelah penyerahan Jepang, Lembong kemudian bergabung kembali dengan KNIL di Filipina. Pengalaman bertempur bersama pasukan Amerika dan gerilyawan Filipina telah membentuknya sebagai perwira yang tangguh di medan perang dan juga memiliki wawasan luas tentang strategi internasional dan semangat nasional yang mulai tumbuh kuat dalam dirinya.
Kembali ke Tanah Air dan Bergabung dengan Republik
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, Adolf Gustaaf Lembong akhirnya kembali ke tanah air. Pada Januari 1947, ia tiba di Batavia (Jakarta) bersama rombongan pasukan Belanda dan Inggris yang dikirim untuk membantu proses transisi pascaperang di Hindia Belanda.
Kala itu, situasi politik Indonesia tengah bergolak, Republik Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaan, sementara Belanda berusaha mengembalikan kekuasaannya melalui jalur diplomasi dan militer.
Selama berada di bawah komando Belanda, Lembong tetap menunjukkan profesionalisme sebagai prajurit, namun batinnya mulai terusik oleh semangat nasionalisme yang tumbuh di kalangan rakyat Indonesia. Ia menyaksikan langsung bagaimana perjuangan para pemuda dan tentara Republik mempertahankan kemerdekaan dengan sumber daya yang terbatas namun semangat yang luar biasa.
Ketika Agresi Militer Belanda I pecah pada 21 Juli 1947, Lembong dihadapkan pada pilihan moral dan nasional. Ia menolak untuk melawan bangsanya sendiri. Dengan tekad kuat, ia memutuskan untuk membelot ke pihak Republik Indonesia dan bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Karier Militer dan Kontribusi untuk Republik
Setelah resmi bergabung dengan Tentara Nasional Indonesia, Adolf Gustaaf Lembong menunjukkan kapasitasnya sebagai perwira berpengalaman. Berkat disiplin, kepemimpinan, dan kemampuan strategis yang telah ditempanya sejak masa perang di Filipina, ia dipercaya memegang jabatan sebagai Komandan Brigade XVI. Pada posisi ini, Lembong bertanggung jawab mengatur pasukan di wilayah yang rawan konflik dan menjaga stabilitas keamanan di tengah situasi politik yang masih belum menentu.
Pada tahun 1948, Lembong sempat diwawancarai oleh Arsenio Lacson, seorang jurnalis dan politisi asal Filipina. Dalam wawancara tersebut, Lembong mengemukakan pandangannya tentang perjuangan militer Indonesia dan kondisi TNI yang masih terbatas sumber dayanya.
Ia berkata dengan rendah hati, “Kami hanya tentara miskin yang berjuang dengan apa yang kami miliki, tetapi kami tahu untuk apa kami bertempur: untuk kebebasan bangsa kami.” Ucapan itu mencerminkan kesederhanaan dan keteguhan idealismenya sebagai prajurit republik.
Selama masa perjuangan, Lembong tidak pernah melangkah sendirian. Ia mendapat dukungan penuh dari sang istri, Asuncion Angel (Cion), yang selalu menemaninya melewati berbagai masa sulit. Cion sebagai penguat moral, pendamping setia yang memahami arti pengabdian suaminya terhadap bangsa Indonesia.
Penculikan oleh Pasukan Kahar Muzakkar
Pada September 1948, Letnan Kolonel Adolf Gustaaf Lembong, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Brigade XVI di Yogyakarta, diculik oleh pasukan yang dipimpin Mas’ud, salah satu anak buah Kahar Muzakkar. Penculikan tersebut terjadi di Markas Brigade di kawasan Sayidan, Yogyakarta, ketika situasi politik nasional tengah bergejolak akibat ketegangan antara kelompok militer dan sipil.
Lembong dan beberapa stafnya dibawa secara paksa ke Klaten, wilayah yang menjadi basis gerakan Kahar Muzakkar. Peristiwa itu sontak memicu kemarahan para perwira TNI di Yogyakarta. Salah satu yang paling bereaksi adalah Kapten Ventje Sumual, rekan seperjuangan sekaligus sesama perwira asal Minahasa. Dengan inisiatifnya, Ventje segera mengorganisasi pasukan untuk menelusuri jejak penculik dan menyiapkan langkah penyelamatan terhadap komandannya.
Namun, sebelum terjadi bentrokan bersenjata yang lebih besar, Presiden Sukarno turun tangan langsung. Ia memerintahkan agar konflik tersebut diselesaikan secara damai guna menghindari perpecahan di tubuh TNI. Berkat campur tangan Bung Karno, ketegangan berhasil diredakan, dan Lembong pun akhirnya dibebaskan tanpa pertumpahan darah.
Setelah insiden itu, Lembong tidak kembali ke pos lamanya sebagai Komandan Brigade. Ia kemudian ditempatkan sebagai perwira staf di Markas Besar Tentara di Yogyakarta.
Tragedi Bandung dan Gugurnya Lembong
Awal tahun 1950, setelah penyerahan kedaulatan dari Belanda kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 Desember 1949, situasi politik dan militer di tanah air masih belum stabil.
Berbagai faksi bersenjata yang kecewa terhadap pembentukan negara federal mulai menampakkan perlawanan, salah satunya adalah Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang dipimpin oleh Raymond Westerling, mantan perwira Belanda yang menolak integrasi dengan TNI.
Pada 23 Januari 1950, pasukan APRA melancarkan penyerangan ke Kota Bandung. Mereka bergerak brutal, menembaki anggota TNI dan warga sipil yang mereka temui di jalanan. Saat itu, Lembong tengah berada di Markas Divisi Siliwangi di Oude Hospital Weg (kini Jalan Lembong), dekat kawasan Jalan Braga. Ia di sana dalam rangka tugas rutin bersama Kapten Leo Kailalo, tanpa menduga sedikit pun bahwa kota sedang berada di ambang serangan besar.
Ketika desingan peluru mulai terdengar di sekitar markas, Lembong dan Leo bergegas keluar untuk mencari tahu sumber tembakan. Namun naas, pasukan APRA yang telah mengepung area markas segera memberondong mereka dengan senapan otomatis.
Dalam peristiwa itulah, Letkol Lembong dan Kapten Leo Kailalo gugur bersimbah darah di halaman markas yang kini menjadi Museum Mandala Wangsit Siliwangi.
Untuk mengenang jasanya, pemerintah dan masyarakat Kota Bandung kemudian mengabadikan namanya sebagai nama jalan, Jalan Lembong, menggantikan nama lama Oude Hospital Weg.
Sumber:
- “Kisah Adolf Lembong Bergerilya di Filipina dan Gugur di Bandung” tirto.id (Diakses pada 21 Oktober 2025)
- “Adolf Gustaaf Lembong: Desersi dari KNIL dan Miskin Bersama TNI” tirto.id (Diakses pada 21 Oktober 2025)
- “Nasib Tragis Letkol Lembong Gugur Ditembak Pemberontak APRA” indonesiadefense.com (Diakses pada 21 Oktober 2025)
- “Sosok Adolf Gustaaf Lembong, Pernah Pimpin Skuadran 270 hingga Punya Jabatan Mentereng di TNI” manado.tribunnews.com (Diakses pada 21 Oktober 2025)
- “Ini Kisah tentang Adolf Lembong, Che Guevara dari Minahasa” manado.tribunnews.com (Diakses pada 21 Oktober 2025)