Kiai Haji Bey Arifin adalah seorang ulama, pendakwah, dan penulis produktif. Ia merupakan seorang pendidik di perantauan, pejuang dalam laskar Hizbullah, perwira rohani di Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, sekaligus seorang kristolog yang disegani.
Melalui puluhan buku dan ribuan ceramah, Bey Arifin membumikan ajaran Islam dengan gaya yang lugas dan mudah dicerna, membuatnya menjadi suara yang relevan bagi masyarakat awam maupun kalangan terpelajar.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga dan Masa Kecil
Bey Arifin lahir di Desa Parah Lawek, sebuah nagari di Kecamatan Tilatang, Sumatera Barat, pada 26 September 1917 (bertepatan dengan 9 Dzulhijjah 1335 H). Ia terlahir dari pasangan Muhammad Arif dan Siti Zulaikha.
Sesuai tradisi Minang kala itu, ia tidak langsung diberi nama resmi. Di masa kecilnya, ia akrab disapa Buyung, sapaan umum untuk anak laki-laki. Karena ibunya berasal dari suku Tanjung, nama panggilannya pun berkembang menjadi Buyung Tanjung. Di lingkungan keluarga, ia bahkan memiliki julukan lain: Buyung Kepuyuak.
Pendidikan dan Pembentukan Karakter
Berkat kegigihan ayahnya, Bey Arifin berkesempatan mengenyam pendidikan formal di Folksschool (sekolah rakyat) selama tiga tahun. Kemudian, ia melanjutkan ke jenjang berikutnya di Vervolgschool, sambil mendalami ilmu agama di Ibtidaiyah Diniyah School. Pada tahun 1931, ia berhasil menamatkan kedua pendidikannya secara bersamaan.
Puncak pendidikan formalnya ia raih di Islamic College, Padang, tempat ia lulus pada 1938. Di sinilah karakternya sebagai aktivis dan orator mulai terasah. Ia aktif dalam forum Himpunan Pemuda Islam Indonesia (HPII) dan sering tampil berpidato dengan menyingkat namanya sebagai B.J. Arifin.
Namun, pada 1934, atas saran temannya yang bernama Tamarjaya, singkatan “B.J.” diganti menjadi “Bey”, yang akhirnya melekat dan dikenal publik hingga akhir hayatnya.
Merantau ke Kalimantan dan Awal Karier
Sebagaimana tradisi pemuda Minangkabau, Bey Arifin juga merantau. Pada 1939, ia meninggalkan kampung halaman dengan bekal ijazah Islamic College, sebuah kualifikasi yang membukakan jalan baginya untuk menjadi guru agama.
Dengan menumpang kapal Slout van Dieman, pemuda berusia 22 tahun itu berlayar menuju Banjarmasin bersama sahabatnya, Maisyir Thaib. Perjalanan ini terekam dalam catatan Wajidi di buku Nasionalisme Indonesia di Kalimantan Selatan, 1901-1942.
Dari kota pelabuhan itu, mereka melanjutkan perjalanan ke pedalaman, tepatnya ke daerah Rantau, untuk mengajar di Noormal School Islam, sekolah yang mencetak para calon guru. Gaji yang ditawarkan sebesar 25 gulden, dengan peluang penghasilan tambahan jika ia bersedia membuka kelas malam.
Di tanah rantau inilah Bey Arifin juga mulai menulis pada majalah, yang kelak akan menjadi salah satu caranya dalam berdakwah.
Masa Revolusi dan Pertempuran 10 November
Ketika Jepang menyerah tanpa syarat pada 1945, Bey Arifin bersama keluarganya memutuskan untuk pergi ke Jawa. Bey dan keluarga meninggalkan Kalimantan pada bulan September dengan menumpang Perahu Madura menuju Surabaya.
Namun, takdir berkata lain. Kedatangannya bertepatan dengan memanasnya situasi politik, yang membuatnya “terjebak” dalam kancah revolusi antara kaum Republiken melawan Tentara Sekutu. Menurut catatan Totok Juroto, Bey Arifin tidak hanya menjadi saksi, tetapi juga terlibat langsung dalam Pertempuran 10 November sebagai anggota laskar Hizbullah.
Selama periode penuh gejolak ini, ia sempat tinggal di Madiun dan bahkan beberapa kali dikabarkan meninggal, baik saat Peristiwa Madiun pecah maupun ketika kapalnya dulu berlayar dari Kalimantan.
Karier Dakwah Pasca-Revolusi
Pada akhir Juli 1949, Bey Arifin menerima tawaran menjadi guru agama di Yayasan Pendidikan Al Irsyad Surabaya. Ia memboyong seluruh keluarganya dari Madiun menggunakan pesawat terbang, sebuah fasilitas dari Al Irsyad mengingat jalur darat yang belum sepenuhnya aman.
Era kemerdekaan menjadi panggung bagi kariernya sebagai juru dakwah. Jangkauannya meluas dari ruang kelas ke mimbar-mimbar publik, dari kalangan sipil hingga ke barak militer.
Bey Arifin bergabung dengan Pusat Rohani Islam Angkatan Darat dan mengabdi di Kodam Brawijaya. Sebagai imam tentara, ia dianugerahi pangkat perwira, meniti karier dari letnan, kapten, hingga akhirnya mayor. Gaya dakwahnya yang segar, penuh humor, dan diselingi anekdot membuatnya begitu dikagumi, baik oleh prajurit bawahan maupun perwira tinggi.
Hubungan dengan Tokoh Militer
Mengabdi di Angkatan Darat selama bertahun-tahun membuat Bey memiliki relasi yang erat dengan berbagai tokoh militer. Salah satu yang paling menonjol adalah kedekatannya dengan Letnan Jenderal Soedirman, mantan Panglima Tentara dan Teritorium Jawa Timur.
Jenderal Soedirman, yang juga merupakan ayah dari mantan Gubernur Jawa Timur Basofi Soedirman, menaruh hormat yang mendalam kepada Bey Arifin dan menganggapnya sebagai guru spiritual.
Dalam sebuah tulisan, Soedirman bahkan secara khusus mendedikasikan sebuah esai pendek berjudul “Ustadz H. Bey Arifin Sebagai Perwira Rohani Dalam Kesatuanku dan Juga Sebagai Guruku”.
Karya Tulis
Di tengah kesibukannya, Bey Arifin adalah seorang penulis yang tak pernah berhenti berkarya. Sejak 1956 dengan terbitnya Rangkaian Cerita Dalam Al-Quran. Mengenai buku ini, ia pernah mengatakan, “Kisah-kisah yang tercantum di dalamnya bernilai tinggi, penuh dengan pelajaran menarik hati dan mengagumkan.”
Karya-karya monumentalnya yang lain menyusul, seperti Mengenal Tuhan (1963), Samudra Al-Fatihah (1966), dan Hidup Sesudah Mati (1969), yang semuanya dicetak ulang berkali-kali. Tak hanya menulis karya orisinal, ia juga menerjemahkan buku-buku asing.
Sejarawan Deliar Noer mencatat, produktivitasnya begitu tinggi hingga puluhan bukunya tersebar melintasi batas negara, dibaca di Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Melalui tulisan, ia menerjemahkan pesan-pesan luhur Alquran menjadi panduan hidup yang sederhana dan relevan.
Muhammadiyah dan Dakwah Sosial
Pada masa-masa formatif PWM Jawa Timur, ia adalah figur rujukan dalam persoalan keagamaan. Jejak kontribusinya terekam jelas pada 1952, saat ia memimpin Panitia Bagian Penyiaran untuk Peringatan 40 Tahun Muhammadiyah.
Dokumentasi yang ia hasilkan menjadi salah satu referensi historis terpenting tentang perkembangan Muhammadiyah di Jawa Timur. Ia juga menjadi penggerak shalat Idulfitri akbar di Lapangan Tambaksari yang menyatukan warga Muhammadiyah dengan para tentara dan taruna Akademi Angkatan Laut (AAL).
Kristologi dan Dialog Agama
Nama Bey Arifin sebagai seorang kristolog meroket setelah keterlibatannya dalam kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Pendeta Yusuf Roni pada 1974.
Dalam persidangan yang menyita perhatian publik, Bey Arifin dengan tenang menguji pengakuan Yusuf Roni sebagai mantan kiai dengan memintanya membaca Surat Al-Fatihah. Tes sederhana itu berhasil membongkar seluruh kebohongannya dan mengantarkan sang pendeta ke penjara.
Peristiwa ini diabadikannya dalam buku Bey Arifin Kontra Yusuf Roni. Karya lainnya di bidang ini, seperti Dialog Islam Kristen serta Maria, Yesus, dan Muhammad, mengukuhkannya sebagai salah satu tokoh dalam studi perbandingan agama di Indonesia.
Dakwah di Usia Senja
Semangat dakwah Bey Arifin tak lekang oleh waktu. Bahkan ketika usia senja memaksanya berceramah sambil duduk, antusiasme jemaah untuk menyimak untaian ilmunya tidak pernah surut.
Selama seperempat abad terakhir hidupnya, ia memusatkan ceramahnya pada tema-tema ketuhanan, yang ia yakini sebagai fondasi moral untuk mengatasi berbagai masalah sosial.
Di sela-sela jadwalnya, ia juga mengabdikan diri sebagai dosen agama Islam di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Salah satu kenangan dakwahnya yang paling fenomenal terjadi di Ujungpandang pada 1969. Kala itu, sekitar seratus ribu orang rela berdesakan untuk mendengarkan ceramahnya selama dua setengah jam tentang tema yang terdengar sepele: adab keluar-masuk WC.
Kehidupan Pribadi
Dalam kehidupan pribadinya, Bey Arifin adalah suami dari Zainab dan ayah dari dua belas anak. Hingga akhir hayatnya, keluarganya menetap di Jalan Sumatera, Surabaya.
Pada 1992, sebuah tragedi menimpa keluarganya ketika putranya, Muh. Hanif, tewas tertembak dalam sebuah insiden yang melibatkan putra seorang pejabat tinggi militer. Kasus tersebut dikabarkan meredup tanpa proses hukum yang tuntas, dan pihak keluarga disebut harus menerima kesepakatan damai di bawah tekanan.
Wafat
Bey Arifin, pernah pula menjadi anggota Konstituante dari fraksi Masyumi, berpulang ke rahmatullah pada 30 April 1995 di Surabaya, dalam usia 77 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Pemakaman Ngagel.
Ia tidak hanya meninggalkan keluarga, tetapi juga mewariskan intelektual yang tak ternilai: puluhan buku, ratusan rekaman ceramah, dan teladan hidup yang menginspirasi.
Seperti yang disimpulkan oleh Deliar Noer, Bey Arifin adalah perwujudan sejati dari sabda Nabi Muhammad, ”Sampaikan ajaranku, walaupun hanya sepatah kata.” Dan amanah itulah yang ia emban dengan setia sepanjang hayatnya.
Sumber:
- “Mengenal Bey Arifin dan Tafsir Samudera Al-Fatihah” tafsiralquran.id (Diakses pada 25 September 2025)
- “Bey Arifin: Sejarah Hidup Imam Tentara dan Pemikir untuk Umat” tirto.id (Diakses pada 25 September 2025)
- “KH Bey Arifin Mubaligh dan Imam Tentara (I)” ihram.republika.co.id (Diakses pada 25 September 2025)
- “KH. Bey Arifin: Ulama Pendongeng Kisah Al-Qur’an” rahma.id (Diakses pada 25 September 2025)
- “Bey Arifin: Buka Kedok Pendeta Yusuf Roni” pwmu.co (Diakses pada 25 September 2025)
- “Profil Anggota Bey Arifin” konstituante.net (Diakses pada 25 September 2025)