Dr. Darmasetiawan Notohatmodjo dikenal sebagai dokter pejuang yang berani menentang penjajahan, seorang Menteri Kesehatan pada era Kabinet Sjahrir, sekaligus perintis perkumpulan dokter Indonesia yang kemudian menjadi cikal bakal Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Tidak berhenti di situ, ia juga berperan sebagai diplomat dan pernah menjadi Sekretaris Jenderal Kementerian Luar Negeri serta mewakili Indonesia di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Darmasetiawan mengabdikan ilmunya di bidang kedokteran bukan hanya untuk profesi, tetapi juga untuk perjuangan bangsa. Perjuangan serta gagasannya menjadikan Darmasetiawan tidak hanya dikenang sebagai seorang dokter, tetapi juga sebagai pejuang kemerdekaan dan pemikir kebijakan kesehatan nasional.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang dan Pendidikan
Dr. Darmasetiawan Notohatmodjo lahir pada 3 September 1911 dari keluarga berdarah campuran Jawa dan Bengkulu. Sejak muda, ia menunjukkan minat yang mendalam terhadap ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kesehatan, karena ia percaya bahwa pendidikan merupakan jalan untuk mengabdi kepada masyarakat.
Pendidikan formalnya ditempuh di Geneeskundig Hoogeschool, sebuah sekolah tinggi kedokteran di Jakarta yang merupakan kelanjutan dari STOVIA. Di sana, ia menimba ilmu kedokteran hingga memperoleh gelar Arts (dokter). Bagi Darmasetiawan, gelar tersebut bukan sekadar pencapaian akademis, melainkan sebuah bekal untuk memperjuangkan harkat dan martabat bangsanya.
Sejak masa studi, ia sudah menyadari bahwa profesi dokter memiliki makna sosial yang lebih luas daripada sekadar praktik medis. Semangat itu kelak mengiringi langkahnya, baik ketika menghadapi masa penjajahan Jepang, terjun dalam perjuangan kemerdekaan, maupun saat duduk sebagai Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Karier Awal dan Masa Pendudukan Jepang
Setelah menyelesaikan pendidikan kedokterannya, dr. Darmasetiawan memulai karier sebagai perwira kesehatan di Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) dengan pangkat letnan. Dalam posisinya tersebut, ia bertugas di beberapa kota, seperti Jakarta, Padang, dan Bandung. Namun, meskipun memiliki karier yang menjanjikan di ketentaraan kolonial, ia memilih untuk mengundurkan diri. Keputusan ini mencerminkan sikap nasionalismenya, karena ia tidak ingin pengabdiannya di bidang kesehatan hanya terikat pada kepentingan pemerintah kolonial Belanda.
Masa pendudukan Jepang Darmasetiawan sempat menjadi tahanan perang dan dipekerjakan di rumah sakit militer Jepang di Jakarta. Konflik kemudian terjadi ketika ia berselisih dengan seorang tentara Dai Nippon di rumah sakit tempatnya bertugas. Perkelahian tersebut membuatnya ditahan, dan posisinya semakin terancam setelah ia menolak mengucapkan sumpah setia kepada Jepang. Akibat sikap berani itu, Darmasetiawan dijatuhi hukuman mati.
Namun, eksekusi tersebut akhirnya tidak pernah dijalankan. Melalui upaya dan campur tangan Soekarno, Darmasetiawan berhasil dibebaskan. Peristiwa ini tidak hanya menyelamatkan hidupnya, tetapi juga mempertegas reputasinya sebagai sosok dokter yang berprinsip dan tidak gentar menolak penjajahan.Â
Perjuangan Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, dr. Darmasetiawan menjadi salah satu mantan perwira KNIL yang menandatangani ikrar kesetiaan kepada Republik Indonesia. Sikap ini menegaskan pilihannya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada bangsa yang baru merdeka.
Sebagai seorang dokter, ia tidak hanya berkutat pada urusan medis, tetapi juga terlibat langsung dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Salah satu momen penting kiprahnya tercatat saat Agresi Militer Belanda II tahun 1948. Pada saat itu, Belanda berusaha mengambil alih Rumah Sakit Perguruan Tinggi Salemba (kini RSCM). Darmasetiawan bersama dr. Hanafiah dan dr. R. Slamet Iman Santoso memimpin aksi walk-out staf dan karyawan rumah sakit sebagai bentuk penolakan bekerja sama dengan pasukan NICA.
Aksi tersebut bukanlah keputusan ringan, sebab para dokter dan tenaga kesehatan harus meninggalkan rumah sakit serta perumahan dinas mereka. Namun, bagi Darmasetiawan dan rekan-rekannya, pengkhianatan terhadap bangsa jauh lebih buruk daripada kehilangan fasilitas. Tindakan berani ini menjadikan dirinya dikenang sebagai penjaga kehormatan dunia kedokteran Indonesia pada masa revolusi.
Menteri Kesehatan dalam Kabinet Sjahrir
dr. Darmasetiawan dalam pemerintahan dimulai ketika ia dipercaya menjadi Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada masa Kabinet Sjahrir I, II, dan III yang berlangsung dari November 1945 hingga Juni 1947. Dengan penunjukan tersebut, ia menjadi Menteri Kesehatan ke-2 dalam sejarah Indonesia, menggantikan dr. Buntaran Martoatmodjo.
Pengangkatannya sebagai menteri dari kalangan non-partai menunjukkan betapa besar kepercayaan pemerintah pada integritas dan keahliannya. Darmasetiawan dipandang sebagai sosok profesional yang mampu memimpin bidang kesehatan tanpa terikat kepentingan politik tertentu.
Masa jabatannya berlangsung di periode yang sangat krusial, ketika Indonesia baru saja berdiri dan menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi diplomasi internasional maupun kondisi kesehatan masyarakat. Dalam situasi penuh keterbatasan tersebut, ia berusaha merumuskan kebijakan kesehatan yang berpihak pada rakyat dan menekankan pentingnya pelayanan kesehatan preventif.
Kepemimpinan Darmasetiawan di Kementerian Kesehatan menandai awal dari upaya sistematis negara untuk membangun fondasi kesehatan nasional. Meski hanya menjabat dalam rentang waktu singkat, langkah-langkahnya menjadi dasar bagi perkembangan kebijakan kesehatan Indonesia di tahun-tahun berikutnya.
Pemikiran dan Kebijakan Kesehatan
Sebagai Menteri Kesehatan, dr. Darmasetiawan tidak hanya menjalankan tugas administratif, tetapi juga menghadirkan pemikiran visioner mengenai arah pembangunan kesehatan nasional. Salah satu gagasan terpentingnya muncul dalam Konferensi Nasional Kesehatan di Malang tahun 1947.Â
Dalam forum itu, ia menegaskan bahwa negara harus menyediakan obat-obatan murah bagi rakyat, termasuk bahan bakunya. Ia juga menggagas perlunya pemerintah mengalokasikan 10 persen belanja APBN khusus untuk sektor kesehatan, atau yang kini dikenal dengan istilah mandatory spending.
Pokok-pokok pemikiran Darmasetiawan menunjukkan kesadarannya akan pentingnya pendekatan preventif dalam pelayanan kesehatan. Menurutnya, negara harus memprioritaskan pengendalian penyakit yang banyak diderita rakyat, seperti malaria, tuberkulosis (TBC), dan cacing tambang, sekaligus meningkatkan gizi masyarakat. Ia juga mendorong pembangunan laboratorium untuk memproduksi vaksin dan serum sebagai upaya kemandirian bangsa dalam bidang kesehatan.
Lebih dari itu, Darmasetiawan menekankan bahwa profesi dokter harus dilandasi oleh tanggung jawab sosial. Ia berpendapat bahwa dokter tidak boleh menjadikan profesinya semata-mata sebagai sarana memperkaya diri, melainkan harus mengabdikan pengetahuannya untuk meringankan penderitaan rakyat. Baginya, seorang dokter sejati adalah mereka yang tidak hanya menyembuhkan penyakit, tetapi juga berperan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.
Diplomasi dan Pemerintahan
Darmasetiawan tercatat aktif dalam berbagai upaya diplomasi, terutama yang berkaitan dengan kesehatan internasional dan pengakuan kedaulatan Indonesia. Keterampilan komunikasinya, ditambah dengan reputasinya sebagai figur profesional non-partai, menjadikannya sosok yang relatif mudah diterima dalam forum nasional maupun internasional.
Kontribusinya di bidang pemerintahan dan diplomasi memperlihatkan bahwa Darmasetiawan bukan sekadar tokoh kesehatan, melainkan bagian dari arsitek awal Republik Indonesia yang ikut membangun fondasi kebijakan negara di berbagai lini.
Akhir Hayat
dr. Darmasetiawan wafat di Jakarta pada tanggal 7 Maret 1953 pada usianya yang ke 42 tahun, akibat penyakit radang usus yang dideritanya. Rencana untuk operasi sudah direncanakan, akantetapi maut lebih cepat menjemputnya. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Presiden Soeharto menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepadanya pada tahun 1995.Â
dr. Darmasetiawan layak dikenang sebagai salah satu tokoh perintis dalam pembangunan kesehatan Indonesia. Namanya mungkin jarang disebut, tetapi warisannya tetap hidup dalam setiap upaya mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera.
Sumber:
- “Darma Setiawan: Mantan Perwira KNIL, Menteri Kesehatan Sjahrir” tirto.id (Diakses pada 27 Agustus 2025)
- “Mengenal Dokter Darmasetiawan, Pejuang yang Terlupakan” panjimasyarakat.com (Diakses pada 27 Agustus 2025)