Edit Template

Dullah: Pelukis Realis, Seniman Istana Soekarno

Dullah adalah salah satu maestro seni lukis Indonesia yang beraliran realisme. Sejak kecil, Dullah sudah akrab dengan dunia seni karena tumbuh dalam keluarga pembatik. Lingkungan keluarga yang mendukung serta usaha batik orang tuanya membuat bakat melukisnya berkembang pesat.

Sejak masa kanak-kanak, kegemaran Dullah dalam menggambar tidak hanya dianggap sebagai hobi, tetapi juga jalan menuju cita-citanya sebagai pelukis. Tekad kuat serta lingkungan yang mendukung menjadikannya salah satu pelukis realis paling berpengaruh di Indonesia. Berbeda dengan banyak seniman lain yang mengikuti jejak gurunya, Dullah berhasil membentuk gaya khas yang memperkaya khazanah seni rupa Tanah Air.

Dullah tidak hanya dikenal sebagai pelukis istana Presiden Sukarno, tetapi juga sebagai fotografer pribadi sang proklamator. Kedekatannya dengan Soekarno membuat Dullah berada di jantung peristiwa sejarah bangsa, sekaligus menjadikannya saksi visual penting melalui lukisan dan dokumentasi foto.

Latar Belakang Keluarga dan Masa Kecil

Dullah lahir di Surakarta pada 19 September 1919 dari pasangan Susilo Darso (Darsohatmodjo) dan Kati. Sejak kecil, Dullah sudah akrab dengan dunia seni karena tumbuh dalam keluarga pembatik. Lingkungan keluarga yang mendukung serta usaha batik orang tuanya membuat bakat melukisnya berkembang pesat. Dullah lahir sebagai anak sulung dari empat bersaudara dalam keluarga sederhana di Surakarta.

Sejak usia dini, Dullah menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar. Orang tuanya sangat mendukung minat tersebut, sehingga ia memiliki ruang untuk menyalurkan kreativitasnya. Lingkungan rumah yang penuh dengan motif batik dan aktivitas seni rupa menjadi pemicu lahirnya keterampilan melukis yang kelak mengantarkannya menjadi pelukis realis terkemuka Indonesia.

Kegemaran menggambar yang tumbuh sejak masa kanak-kanak menjelma menjadi tekad yang kuat. Dullah bercita-cita menjadi pelukis hebat dan tidak berhenti mengasah kemampuannya. Perpaduan antara bakat alami, dorongan keluarga, dan lingkungan seni yang kondusif membuat langkah awalnya menuju dunia seni semakin mantap.

Pendidikan dan Awal Karier Seni

Perjalanan Dullah sebagai seniman semakin terarah ketika ia berkesempatan berguru pada sejumlah pelukis besar Indonesia. Pada masa mudanya, ia belajar kepada Ernst Dezentje yang dikenal sebagai pelukis lanskap, lalu memperdalam wawasan seni bersama S. Sudjojono dan Affandi, dua tokoh penting dalam perkembangan seni rupa modern Indonesia. Selain itu, ia juga berinteraksi dengan Basoeki Abdullah, meskipun pada akhirnya Dullah memilih jalannya sendiri dengan tetap konsisten pada gaya realisme.

Bagi Dullah, proses belajar dari para maestro tersebut tidak membuatnya menjadi pengikut buta. Ia berhasil mengembangkan pemikiran serta gaya pribadi yang khas. Dalam beberapa kesempatan, Dullah bahkan menegaskan bahwa realisme yang ia jalani merupakan pilihan ideologis sekaligus estetik, bukan sekadar mengikuti tren seni rupa pada zamannya.

Pendidikan artistiknya semakin berkembang ketika Jepang menduduki Indonesia. Dullah bergabung dengan Pusat Tenaga Rakyat (Poetera) di bawah pimpinan Sukarno, Mohammad Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan K.H. Mas Mansyur. Atas permintaan langsung dari Sukarno, Dullah ditempatkan di bagian kebudayaan. Keputusan ini mempertemukannya dengan tokoh-tokoh seni seperti Sudjojono dan Affandi, sekaligus membuka jalan menuju keterlibatannya yang lebih besar dalam dunia seni dan politik.

Tahun 1942 menjadi titik penting ketika Dullah harus meninggalkan Solo dan pindah ke Jakarta. Di ibu kota, ia tinggal bersama kakak angkatnya, Mbakyu Is, yang kemudian mengenalkannya lebih dekat dengan kalangan seniman serta tokoh pergerakan nasional. Dari sinilah karier Dullah sebagai pelukis mulai tumbuh, bukan hanya dalam lingkup seni, tetapi juga dalam sejarah perjuangan bangsa.

Revolusi dan Seniman Indonesia Muda (SIM)

Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, situasi di Jakarta semakin tidak kondusif. Presiden Sukarno bersama rombongan pemerintah hijrah ke Yogyakarta pada Januari 1946. Dullah turut serta dalam rombongan tersebut dan menetap di kota pelajar itu. 

Di sana, Dullah bergabung dengan organisasi Seniman Indonesia Muda (SIM) yang dipimpin oleh S. Sudjojono. Melalui wadah ini, ia aktif berkarya, mengajar seni lukis kepada anak-anak, serta mengelola sanggar sebagai sekretaris. SIM tidak hanya menjadi ruang berkesenian, tetapi juga menjadi bagian dari perjuangan bangsa, karena banyak karya yang lahir kala itu mengusung tema patriotisme dan semangat revolusi.

Pengalamannya di masa revolusi membuatnya semakin konsisten dengan gaya realis. Ia menampilkan peristiwa dan kehidupan rakyat dengan jujur, penuh emosi, dan sarat makna perjuangan. Lukisan terkenal karya Dullah yang lahir pada masa ini antara lain “Praktek Tentara Pendudukan Asing” dan “Persiapan Gerilya”, yang menggambarkan perjuangan rakyat melawan penjajah.

Tidak berhenti di situ, Dullah juga memiliki inisiatif mendirikan sanggar kecil untuk anak-anak di Yogyakarta. Bersama murid-muridnya, ia mendokumentasikan agresi militer Belanda melalui sketsa dan lukisan. Karya-karya itu kemudian dikumpulkan dalam buku Karya dalam Peperangan dan Revolusi (1982), yang menjadi bukti sejarah visual tentang penderitaan sekaligus keberanian rakyat Indonesia di masa revolusi.

Peran Dullah dalam masa revolusi tidak hanya menjadikannya seorang pelukis, tetapi juga seorang pendidik dan saksi sejarah. Melalui karya-karyanya, ia berhasil menghadirkan sisi humanis dari perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pelukis Istana Presiden Sukarno

Tahun 1946, Presiden Sukarno menunjuknya sebagai pelukis istana, sebuah posisi yang sangat prestisius dan strategis. Tugas utamanya adalah mendokumentasikan peristiwa-peristiwa penting kenegaraan melalui lukisan dan sketsa. Peran ini menempatkan Dullah tidak hanya sebagai seniman, tetapi juga sebagai saksi mata sejarah Indonesia pada masa awal kemerdekaan.

Sebagai pelukis istana, Dullah sering mengikuti Sukarno dalam berbagai acara kenegaraan, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Ia mengabadikan banyak momen penting, diantaranya seperti pertemuan diplomatik, sidang kabinet, hingga kunjungan presiden ke berbagai daerah. Gaya realisme yang ia usung sangat sesuai dengan keinginan Sukarno, yang menghendaki seni dapat menjadi media dokumentasi sekaligus sarana propaganda untuk menumbuhkan kebanggaan nasional.

Kedekatannya dengan Sukarno membuat Dullah memiliki akses luas terhadap tokoh-tokoh politik dan kebudayaan. Hal ini semakin memperkaya perspektifnya dalam berkarya. Beberapa lukisannya dari periode ini, seperti “Pidato Bung Karno di Yogyakarta” dan “Rapat Kabinet”, bukan hanya merekam peristiwa, tetapi juga menghadirkan suasana heroik yang menggugah.

Menjadi pelukis istana juga memberi Dullah tanggung jawab besar untuk menjaga objektivitas sekaligus menyajikan karya dengan nilai estetis tinggi. Ia berhasil menggabungkan keduanya, sehingga banyak karyanya dari periode ini diakui sebagai dokumentasi visual berharga dalam sejarah bangsa.

Setelah Era Sukarno dan Pendirian Museum

Keberadaan Dullah sebagai pelukis istana berlangsung hingga berakhirnya pemerintahan Sukarno pada 1967. Setelah pergantian kekuasaan ke era Orde Baru, perannya di istana tidak lagi berlanjut. Meski demikian, hal itu tidak menghentikan kiprahnya di dunia seni rupa Indonesia. Justru pada masa inilah Dullah semakin meneguhkan diri sebagai pelukis realis sekaligus pendidik bagi generasi muda.

Dullah tetap aktif berkarya, mengadakan pameran, serta membuka kesempatan bagi anak-anak muda untuk belajar melukis. Ia mendirikan Sanggar Senirupa Dullah di Solo, yang menjadi wadah pembinaan seniman-seniman muda. Sanggar ini berkembang menjadi pusat kegiatan seni rupa, di mana banyak muridnya kemudian tumbuh menjadi pelukis berpengaruh di Indonesia.

Komitmen Dullah dalam menjaga dan merawat karya seni ditunjukkan dengan mendirikan Museum Dullah di Solo. Museum ini tidak hanya menyimpan karya-karya pribadinya, tetapi juga mengoleksi ribuan lukisan, patung, dan karya seni dari berbagai seniman Indonesia maupun mancanegara. Koleksi tersebut menjadikan Museum Dullah sebagai salah satu pusat dokumentasi seni rupa paling penting di Indonesia.

Pendirian museum ini menunjukkan kesadarannya tentang pentingnya pelestarian karya seni sebagai bagian dari identitas bangsa. Melalui museum tersebut, generasi muda dapat belajar dan memahami perjalanan seni rupa Indonesia sekaligus menghargai perjuangan para seniman pendahulu.

Akhir Hayat 

Dullah tetap aktif berkarya hingga usia senja. Meskipun kesehatannya mulai menurun, semangatnya untuk melukis, mendidik, dan merawat museum tidak pernah padam. Baginya, seni bukan sekadar profesi, melainkan jalan hidup dan panggilan jiwa untuk mengabdi kepada bangsa.

Pada tahun 1996, Dullah wafat di Solo dalam usia 77 tahun. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam bagi dunia seni rupa Indonesia. Namun, karya-karya yang ia hasilkan sepanjang hidupnya menjadikannya abadi dalam ingatan publik. Lukisan-lukisan realisnya tidak hanya merekam wajah-wajah sejarah, tetapi juga menyampaikan pesan tentang perjuangan, kebangsaan, dan kemanusiaan.

Museum Dullah yang ia dirikan di Solo menjadi bukti kepeduliannya terhadap pelestarian seni. Museum itu masih menyimpan ribuan koleksi, baik karya Dullah sendiri maupun seniman lain, yang selalu menjadi sumber inspirasi dan penelitian bagi pecinta seni.

Selain itu, para murid dan penerusnya yang pernah belajar di sanggar maupun museum tetap melanjutkan semangat dan nilai-nilai yang ia tanamkan. Dengan begitu, Dullah bukan hanya meninggalkan jejak sebagai seorang pelukis istana, melainkan juga sebagai guru dan pelestari budaya yang menjaga keberlangsungan seni rupa Indonesia.

Sumber:

  1. Dullah dan Bocah-Bocahnya yang Melukis Kegetiran Revolusi” tirto.id (diakses pada 10 September 2025)
  2. Dullah, Pelukis Istana yang Dicinta Soekarno tapi Terpinggirkan di Era Soeharto” solopos.espos.id (diakses pada 10 September 2025)
  3. Mengenal Sosok Dullah, Pelukis Realis Asal Kota Surakarta” tribunsolowiki.tribunnews.com (diakses pada 10 September 2025)
  4. Susanto, Mikke, Irwandi “SEJARAH DAN MAKNA FOTOGRAFI KARYA PELUKIS ISTANA, DULLAH” Jurnal Rekam, vol. 16. no. 1. April 2020, Diakses tanggal 10 September 2025.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top