Edit Template

Idham Chalid: Santri dan Politikus yang Hebat

KH. Idham Chalid merupakan salah satu tokoh dalam sejarah politik dan pendidikan Indonesia pada abad ke-20. Dikenal sebagai ulama, cendekiawan, dan negarawan, ia dua kali menjabat Wakil Perdana Menteri Republik Indonesia, menjadi Ketua DPR/MPR, serta Ketua Umum Nahdlatul Ulama (NU) terlama sepanjang sejarah. Kontribusinya merentang dari modernisasi pendidikan pesantren hingga dinamika politik nasional pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Sosoknya merupakan simbol perpaduan antara intelektualitas keislaman dan kepemimpinan kebangsaan yang moderat.

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Idham Chalid lahir pada 27 Agustus 1922 di Satui, Kalimantan Selatan, dari keluarga religius. Ayahnya, Muhammad Chalid Munang, adalah seorang penghulu dan guru agama, sementara ibunya, Umi Hani, berasal dari keturunan Banjar, Melayu, dan Bugis. Pendidikan awalnya dimulai dari sang ayah yang mengajarkan baca tulis Arab dan Latin sejak kecil.

Pada usia tujuh tahun, keluarganya pindah ke Pagatan, Tanah Bumbu. Di sana, Idham masuk Sekolah Rakyat dan langsung diterima di kelas dua karena kemampuannya yang di atas rata-rata. Pada 1932, keluarganya berpindah ke Amuntai, tempat kelahiran ayahnya. Ia melanjutkan pendidikan di Vervolgschool (setingkat SMP) sambil mengaji kepada Muallim Haji Mahlan dan belajar bahasa Belanda.

Pendidikan formalnya dilengkapi dengan penguatan agama di lingkungan pesantren. Ia kemudian melanjutkan ke Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, yang terkenal dengan sistem pendidikan modern dan integratif. Di sana, Idham tidak hanya belajar agama, tetapi juga belajar ilmu umum dan bahasa asing, terutama Arab.

Pengalaman di Gontor memperkuat keyakinannya bahwa pendidikan Islam harus seimbang antara ilmu agama dan ilmu umum. Gagasan ini menjadi fondasi reformasi pesantren yang kelak ia pimpin.

Karier Pendidikan dan Reformasi Pesantren

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Idham Chalid kembali ke Kalimantan dan mulai aktif mengajar di lingkungan pesantren Rasyidiyah Khalidiyah, Amuntai. Di sana, ia menjadi motor pembaruan dengan memperkenalkan sistem klasikal, memadukan pelajaran umum dan agama, serta memperkuat kelembagaan pesantren.

Ia menekankan integrasi kurikulum dengan proporsi 60% pelajaran agama dan 40% pelajaran umum, serta penggunaan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar. Langkah ini menjadikan pesantren lebih adaptif terhadap perkembangan zaman dan tantangan modernitas.

Gagasannya menjadikan pesantren bukan hanya pusat kajian keagamaan, tetapi juga lembaga pendidikan yang mencetak pemimpin dengan wawasan luas dan keterampilan sosial.

Kiprah Politik dan Kepemimpinan Nasional

Perjalanan politik Idham Chalid dimulai melalui Nahdlatul Ulama (NU). Setelah NU memisahkan diri dari Masyumi, ia aktif di GP Ansor dan menjadi anggota Majelis Pertimbangan Politik PBNU. 

Pada 1952, ia menjabat  sebagai Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif dan di tahun yang sama diangkat sebagai Sekretaris Jenderal PBNU. Dua tahun kemudian, ia menjadi Wakil Ketua, dan pada 1956 terpilih sebagai Ketua Umum PBNU dalam Muktamar ke-21 di Medan — jabatan yang dipegangnya selama lebih dari dua dekade.

Sebagai Ketua Umum PBNU, Idham Chalid mengambil posisi strategis dalam dunia politik nasional. Ia mendukung konsep Demokrasi Terpimpin karena kesesuaiannya dengan prinsip syuro (musyawarah) dalam Islam. Sikapnya yang akomodatif, moderat, dan realistis membuat NU mampu tetap eksis dalam tekanan politik masa Orde Lama.

Jabatan Kenegaraan

Selain sebagai pemimpin organisasi keagamaan, Idham Chalid juga menduduki jabatan tinggi di pemerintahan:

  • Wakil Perdana Menteri Indonesia (dua kali) pada era kabinet Ali Sastroamidjojo dan Djuanda.
  • Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat pada awal Orde Baru.
  • Ketua DPR dan Ketua MPR periode 1972–1977.
  • Tokoh dalam pembentukan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada tahun 1973, hasil fusi partai-partai Islam.

Peran strategis ini menjadikan Idham Chalid sebagai tokoh sipil paling berpengaruh dalam masa transisi antara Orde Lama ke Orde Baru, dan memperlihatkan kemampuannya menjembatani kepentingan Islam dan negara.

Pemikiran dan Intelektual

Pemikiran Idham Chalid dalam pendidikan Islam menekankan pada keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Ia mengusulkan kurikulum yang tidak hanya menekankan hafalan dan fiqih, tetapi juga membuka ruang bagi ilmu eksakta dan sosial, dengan pendekatan klasikal yang sistematis. Ia dikenal mampu menyampaikan gagasan dengan bahasa sederhana tetapi mendalam, sehingga mudah diterima berbagai kalangan.

Dalam politik, ia percaya bahwa umat Islam harus terlibat aktif dalam pemerintahan, namun dengan cara yang konstitusional dan kooperatif. Pendekatannya yang inklusif membuat NU dan umat Islam tetap memiliki posisi strategis tanpa harus berkonfrontasi langsung dengan kekuasaan.

Wafat dan Penghargaan

KH. Idham Chalid wafat pada 11 Juli 2010 di Jakarta akibat komplikasi penyakit. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan, sebagai penghormatan atas jasa-jasa besar yang telah diberikan kepada bangsa ini.

Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputera Adipradana, salah satu penghargaan sipil tertinggi, atas kontribusinya di bidang pendidikan dan politik. Ia juga mendapat berbagai penghargaan dari organisasi keagamaan, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil atas perjuangannya dalam mengembangkan pendidikan Islam dan memperjuangkan aspirasi umat.

KH. Idham Chalid adalah sosok pemimpin yang berhasil menyatukan nilai-nilai keislaman dengan semangat kebangsaan. Ia bukan hanya ulama yang berdakwah, tetapi juga negarawan yang membangun. Dari pembaruan pesantren hingga panggung politik nasional, ia konsisten memperjuangkan nilai keadilan, pendidikan, dan persatuan. Warisan pemikirannya terus relevan dalam upaya membangun Indonesia yang religius, modern, dan demokratis.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia

© 2023 arsipmanusia.com

Scroll to Top