Edit Template

Biografi Iswahyudi: Perintis AURI Gugur Dalam Tugas

Iswahyudi adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, khususnya dalam pengembangan kekuatan udara nasional. Ia dikenal sebagai perintis Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan seorang penerbang pemberani yang mengabdikan hidupnya untuk membela tanah air. Kisah hidupnya bukan hanya menggambarkan perjuangan di medan perang, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai ketekunan, pengabdian, dan cinta tanah air yang luar biasa.

Lahir dari keluarga berada, Iswahyudi memiliki akses pendidikan yang baik, namun perjalanannya penuh dengan dinamika: dari seorang pelajar yang menyukai musik, menjadi tahanan perang, hingga menjelma sebagai pahlawan udara. Artikel ini mengulas perjalanan hidupnya secara kronologis, dari masa kecil hingga akhir hayatnya sebagai pejuang kemerdekaan yang gugur di medan tugas.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Iswahyudi lahir pada 15 Juli 1918 di Surabaya. Ia berasal dari keluarga yang cukup berada; ayahnya bernama Wiryomiharjo dan ibunya Issumirah. Berkat kondisi ekonomi yang baik, anak-anak dalam keluarga ini mendapatkan akses pendidikan yang layak.

Pada tahun 1926, Iswahyudi memulai pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Surabaya. Sejak kecil, ia dikenal sebagai anak yang cerdas, rajin, dan mudah bergaul, membuatnya disukai oleh guru maupun teman-temannya. Ia selalu menunjukkan prestasi akademik yang baik hingga akhirnya lulus pada tahun 1933.

Setelah menamatkan HIS, Iswahyudi melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surabaya. Selain tetap mempertahankan prestasi belajar yang membanggakan, di sinilah minatnya terhadap musik mulai tumbuh. Ia menjadi lebih pendiam dan sering merenung sambil menghayati lirik lagu. Meski keluarganya sempat khawatir bahwa hobinya itu akan mengganggu studi, Iswahyudi tetap membuktikan keseriusannya. Ia selalu naik kelas dengan nilai yang baik dan lulus dari MULO pada tahun 1936.

Tahun yang sama, ia diterima di Algemeene Middelbare School (AMS) di Malang. Namun, masa sekolah di AMS tidak terlalu menarik bagi Iswahyudi. Ia hanya menyelesaikan tahun pertama, lalu memutuskan untuk tidak melanjutkan dan kembali ke Surabaya pada tahun 1937.

Pada tahun 1938, ia melanjutkan studi ke Nederlandsch-Indische Artsen School (NIAS), sebuah sekolah kedokteran di Surabaya. Di sini, ia aktif tidak hanya dalam kegiatan akademik, tetapi juga memperluas pergaulan dan terus menekuni musik. Meskipun demikian, ia tetap bertanggung jawab terhadap tugas-tugas sekolahnya.

Namun, pecahnya Perang Pasifik menyebabkan ketidakstabilan yang turut memengaruhi dunia pendidikan. Kegiatan belajar-mengajar menjadi tidak teratur. Pada tahun 1940, Iswahyudi memutuskan berhenti dari NIAS setelah menempuh pendidikan hingga tingkat III.

Pendidikan Militer

Melihat situasi politik yang kian memanas, Iswahyudi memilih untuk mengabdikan diri dalam dunia militer. Pada tahun 1941, ia mendaftar di Sekolah Penerbangan Militer (Militaire Luchtvaart Opleiding School) yang berlokasi di Kalijati, Jawa Barat. Dengan dedikasi tinggi, ia menempuh pendidikan dengan serius dan berhasil memperoleh Klein Militaire Brevet, sertifikasi resmi untuk penerbang militer.

Namun, sejarah kembali mencatat babak penting. Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati. Dalam kekacauan itu, sejumlah personel penting Belanda, termasuk H.J. Van Mook, melarikan diri ke Australia—dan Iswahyudi turut dibawa karena keahliannya sebagai penerbang.

Di Australia, para penerbang Indonesia ditempatkan di kamp pengungsian dan mendapat pelatihan bersama penerbang Belanda. Situasi yang serba terbatas dan penuh pengawasan membuat para penerbang Indonesia, termasuk Iswahyudi, berinisiatif melarikan diri. Usaha itu membuahkan hasil; pada tahun 1943, Iswahyudi dan rekan-rekannya berhasil kembali ke Indonesia—sebuah langkah berani yang menunjukkan tekad kuat untuk berjuang di tanah airnya sendiri.

Tawanan Kota dan Pernikahan

Setelah kembali ke Indonesia pada tahun 1943, Iswahyudi ditangkap oleh tentara Jepang dan menjadi tawanan perang. Beberapa waktu kemudian, statusnya diubah menjadi tahanan kota di Surabaya, di mana ia tetap berada di bawah pengawasan ketat.

Di tengah situasi sulit itu, adiknya, Joko Basuki, sering bertamu ke rumah sahabatnya, Ishaq. Suatu hari, Joko menceritakan kondisi kakaknya kepada keluarga Ishaq. Mereka merasa prihatin, terutama Suwarti, adik perempuan Ishaq, yang diam-diam mulai menaruh simpati terhadap Iswahyudi.

Keluarga Ishaq pun mengundang Iswahyudi untuk bertamu ke rumah mereka. Pertemuan pertama itu berlangsung hangat, apalagi mereka memiliki minat yang sama: musik. Persahabatan antara Iswahyudi, Joko, dan Ishaq pun semakin erat. Dari pertemuan demi pertemuan, hubungan antara Iswahyudi dan Suwarti tumbuh menjadi kasih sayang.

Hubungan mereka mendapat restu dari kedua keluarga. Pada 27 Maret 1944, Iswahyudi menikahi Suwarti dalam sebuah upacara sederhana di Probolinggo, tempat orang tua Suwarti bertugas saat itu. Menariknya, meski masih berstatus tahanan kota, Iswahyudi mendapatkan dispensasi dari tentara Jepang untuk melangsungkan pernikahan tersebut.

Meski hidup dalam bayang-bayang perang dan keterbatasan, rumah tangga mereka dijalani dengan penuh cinta dan kebahagiaan. Mereka sering menghabiskan waktu bersama di tempat perlindungan saat serangan udara terjadi. Suwarti tetap bekerja di kantor telepon Surabaya, sementara Iswahyudi tetap dalam pengawasan tentara Jepang.

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada tahun 1945, banyak warga sipil diungsikan ke daerah yang lebih aman untuk menghindari konflik bersenjata. Keluarga Iswahyudi termasuk yang dipindahkan ke Madiun. Namun, Iswahyudi memilih tetap tinggal di Surabaya dan bergabung dengan para pemuda untuk mempertahankan kota.

Dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan, Iswahyudi menunjukkan ketenangan luar biasa. Ia tidak pernah panik dalam situasi genting dan selalu memberi semangat kepada rekan-rekannya. Kepemimpinannya di tengah perjuangan menjadikannya sosok yang dihormati dan diandalkan.

Pengabdian di AURI

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, pemerintah membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada 5 Oktober 1945, yang kemudian memiliki divisi khusus penerbangan bernama Djawatan Penerbangan, berkedudukan di Yogyakarta. Komodor Suryadarma ditunjuk sebagai Kepala Staf.

Saat itu, jumlah penerbang Indonesia sangat terbatas, dan sebagian besar pesawat yang tersedia adalah peninggalan Jepang dalam kondisi rusak. Namun, semangat revolusi yang membara membuat semangat membangun kekuatan udara nasional terus menyala.

Iswahyudi, yang memiliki latar belakang penerbangan militer, segera bergabung dan melatih kembali kemampuannya. Dalam waktu hanya tiga minggu, ia sudah kembali mahir menerbangkan pesawat dan ditunjuk sebagai instruktur di sekolah penerbang, serta menjadi asisten utama pimpinan sekolah penerbangan.

Kemudian, berdasarkan Penetapan Presiden tanggal 9 April 1946, Djawatan Penerbangan berubah status menjadi Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan berdiri sejajar dengan Angkatan Darat dan Angkatan Laut.

Pada bulan Januari 1946, Sekolah Teknik Penerbangan di Yogyakarta mulai disempurnakan. Iswahyudi menjadi salah satu pengajar utama di sana bersama tokoh-tokoh besar AURI seperti Adisucipto dan Imam Wiryosaputro. Di Pangkalan Udara Maguwo, mereka berhasil memperbaiki sebanyak 27 pesawat cureng peninggalan Jepang.

Pada 14 Januari 1946, Iswahyudi mengalami kecelakaan pesawat Cureng di Pangkalan Udara Maguwo bersama penumpang bernama Wiriadinata. Untungnya, keduanya selamat dari peristiwa tersebut.

Tanggal 23 April 1946, Iswahyudi dipercaya sebagai pilot dalam misi penting: membawa delegasi Indonesia ke Jakarta menggunakan pesawat Cukiu, untuk berunding dengan Sekutu mengenai penyelesaian masalah RAPWI (Tawanan Perang Sekutu). Delegasi itu dipimpin langsung oleh Komodor Suryadarma dan Mayor Sudibyo.

Antara 21–26 Mei 1946, latihan formasi penerbangan dilakukan di wilayah Jawa Barat, Sumatera, dan Madura. Iswahyudi dan Wiryosaputro menjadi instruktur utama dalam latihan ini, menggunakan pesawat jenis Cureng.

Pada 10 Juni 1946, lima pesawat Cureng diterbangkan dari Maguwo ke Pangkalan Udara Cibeureum, Tasikmalaya, untuk menghadiri upacara pembukaan. Iswahyudi turut dalam rombongan tersebut dan penampilannya sebagai pilot mencuri perhatian masyarakat setempat.

Kemudian, pada 10 Agustus 1946, dilakukan uji coba penerbangan pesawat “Diponegoro I” dari Maguwo ke Maospati, Madiun. Awak pesawat tersebut terdiri dari Iswahyudi, Adisucipto, Husen Sastranegara, serta teknisi Kaswan dan Rasyidi. Penerbangan berjalan lancar.

Tanggal 27 Agustus 1946, enam pesawat diterbangkan dari Maguwo ke berbagai pangkalan di Sumatera dalam misi inspeksi. Iswahyudi mengemudikan pesawat yang membawa Suryadarma. Di tengah perjalanan, pesawat mengalami kerusakan dan harus mendarat darurat di Pameungpeuk, Jawa Barat. Berkat keahliannya, pendaratan darurat itu berhasil dilakukan dengan aman. Keberhasilan tersebut membuat Komodor Suryadarma terkesan dan memuji Iswahyudi secara langsung di hadapan istrinya.

Pada Februari 1947, pemerintah Indonesia membeli pesawat Dakota VT-CLA milik pengusaha India bernama Patnaik. Iswahyudi dan Adisucipto ditugaskan untuk mempelajari cara menerbangkan pesawat itu, dan hanya dalam waktu dua hari, mereka sudah berhasil menguasainya.

Komandan Pangkalan Udara Gadut

Setelah menyelesaikan pelatihan pesawat Dakota, Iswahyudi mendapat penugasan baru. Ia sering dipindah-tugaskan sesuai kebutuhan militer dan dinamika perjuangan saat itu. Salah satu posisi strategis yang ia emban adalah sebagai Komandan Pangkalan Udara Maospati di Madiun. Dari sana, ia sempat bertugas di Yogyakarta, sebelum akhirnya ditunjuk sebagai Komandan Pangkalan Udara Gadut di Bukittinggi, Sumatra Barat.

Sebagai komandan, tugas Iswahyudi tidak hanya sebatas teknis militer. Ia juga dituntut membangun dan membina kekuatan udara AURI dari nol di wilayah Sumatra. Dalam menjalankan tugasnya, Iswahyudi memperlihatkan pendekatan yang humanis. Ia menjalin hubungan yang erat dengan masyarakat sekitar dan menganggap mereka sebagai bagian dari perjuangan nasional. Baginya, tanpa dukungan rakyat, kemerdekaan tidak akan mungkin tercapai.

Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana, masyarakat Bukittinggi bersama para anggota AURI bahu-membahu mengumpulkan uang dan harta benda untuk membeli pesawat demi memperkuat pertahanan udara. Hasil dari gerakan gotong royong itu digunakan untuk membeli pesawat Avro Anson VH-BBY dari luar negeri.

Pesawat tersebut akhirnya tiba di Bukittinggi. Sebagai komandan pangkalan, Iswahyudi menyambut kedatangannya dengan antusias dan rasa syukur. Ia segera mempelajari cara menerbangkan pesawat baru itu, dan dalam waktu singkat berhasil menguasainya. Setelah pelatihan selesai, pemilik pesawat yang sebelumnya menjadi instruktur harus dikembalikan ke Bangkok, Thailand. Misi inilah yang kemudian menjadi akhir dari perjalanan hidup Iswahyudi.

Gugur dalam Tugas

Pada bulan Desember 1947, Iswahyudi bersama penerbang senior lainnya, Halim Perdanakusuma, ditugaskan untuk menerbangkan pesawat Avro Anson VH-BBY RI-003 dari Pangkalan Udara Gadut, Bukittinggi, menuju Bangkok. Misi mereka bukan hanya mengantarkan pemilik pesawat kembali, tetapi juga menjalin kontak diplomatik dan logistik dengan pihak-pihak di Muangthai dan Singapura yang bersedia membantu perjuangan Indonesia menghadapi Belanda.

Pesawat tersebut berhasil menembus blokade Belanda dan mendarat di Bangkok dengan selamat. Di sana, mereka menjalankan tugas, termasuk mencari bantuan peralatan perang dan obat-obatan bagi tentara Republik.

Setelah menyelesaikan misi, pada 14 Desember 1947, Iswahyudi dan Halim Perdanakusuma bertolak kembali ke Indonesia melalui jalur udara via Singapura. Namun, di tengah perjalanan, pesawat mereka mengalami cuaca buruk dan jatuh di wilayah Tanjung Hantu, Malaysia.

Dalam peristiwa tragis itu, hanya jenazah Halim Perdanakusuma yang berhasil ditemukan. Pencarian terhadap Iswahyudi dilakukan oleh berbagai pihak, namun tidak membuahkan hasil. Jenazahnya tidak pernah ditemukan hingga hari ini.

Pemakaman Halim Perdanakusuma berlangsung pada 19 Desember 1947, setelah mendapat izin dari pemerintah setempat. Upacara tersebut dihadiri oleh lebih dari 500 orang, termasuk pejabat dan masyarakat yang bersimpati terhadap perjuangan rakyat Indonesia.

Kabar gugurnya Iswahyudi membuat keluarga dan rekan-rekannya sangat berduka. Suwarti, istrinya, menerima kabar tersebut dalam kesedihan yang mendalam, terlebih karena ia tidak dapat melihat jenazah suaminya untuk terakhir kalinya. Ibu dan adik-adik Iswahyudi pun tak kuasa menahan duka atas kehilangan itu.

Pimpinan AURI, Komodor Suryadarma, menyampaikan belasungkawa resmi kepada keluarga yang ditinggalkan. Bahkan, Wakil Presiden Mohammad Hatta mengirimkan surat yang menyatakan bahwa Iswahyudi gugur sebagai Pahlawan Bangsa dalam menjalankan tugas negara.

Penghormatan 

Sebagai bentuk penghargaan atas jasa dan pengabdiannya, Pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1948 melalui Surat Keputusan Presiden No. 33/A.Mil/48 menganugerahkan pangkat Komodor Udara Muda (Letnan Kolonel) secara anumerta kepada Iswahyudi.

Untuk mengenang namanya, pangkalan udara tempat ia pernah bertugas di Maospati, Madiun, diubah namanya menjadi Pangkalan Udara Iswahyudi. Tempat ini kini menjadi salah satu pangkalan utama TNI Angkatan Udara.

Selanjutnya, pada 9 Agustus 1975, berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 063/TK/1975, Iswahyudi secara resmi dianugerahkan gelar Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Meski jasadnya tidak ditemukan, makam simbolis Iswahyudi dibangun di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, berdampingan dengan makam Halim Perdanakusuma yang dipindahkan ke sana pada 9 November.

Iswahyudi bukan sekadar nama yang dikenang dalam sejarah militer Indonesia. Ia adalah simbol dari dedikasi, keberanian, dan ketulusan dalam pengabdian kepada bangsa. Sebagai salah satu perintis AURI, ia turut membangun pondasi kekuatan udara Indonesia di masa-masa awal kemerdekaan dengan penuh semangat dan pengorbanan.

Kisah hidupnya yang penuh warna—dari dunia musik, akademik, militer, hingga pengabdian terakhir di langit Malaysia—menjadi warisan berharga bagi generasi muda Indonesia. Semangat juang Iswahyudi akan terus hidup dalam setiap nafas perjuangan kedaulatan udara Indonesia.

Sumber:

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biodata
  • Biografi
  • Blog
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
  • Time Line

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top