Siswondo Parman adalah salah satu Pahlawan Revolusi yang gugur dalam peristiwa G30S/PKI. Kisah hidupnya mencerminkan perjuangan yang luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Berikut kita akan membahas tentang Siswondo Parman, mulai dari masa kecilnya di Wonosobo, hingga perannya dalam dunia militer dan pengabdiannya terhadap negara. Selain itu, kita juga akan membahas peristiwa tragis yang menimpa Parman, dan penghargaan yang diterimanya sebagai Pahlawan Revolusi.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga dan Masa Kecil
Siswondo Parman lahir pada tanggal 4 Agustus 1918 di Wonosobo, sebuah kota yang terletak di tengah-tengah Provinsi Jawa Tengah. Wonosobo dikenal sebagai daerah pegunungan yang subur dan berudara sejuk.
Keindahan alamnya yang memukau, serta peninggalan purbakala yang tersebar di berbagai sudut kota, menjadikan Wonosobo sebagai tempat yang menarik bagi banyak pengunjung.
Siswondo Parman lahir dari keluarga Kromodihaijo, yang merupakan salah satu keluarga saudagar yang sukses di Wonosobo. Ayahnya, Kasido Kromodihaijo, adalah seorang pedagang pribumi terkaya di Wonosobo pada saat itu. Kasido berhasil membangun bisnis tembakau yang menjadikannya sukses dan dihormati di kalangan masyarakat.
Parman menghabiskan masa kecilnya di Wonosobo di bawah asuhan kedua orang tuanya yang sangat menyayanginya. Sebagai anak yang paling disayangi oleh ibunya, Parman tumbuh dengan penuh perhatian dan kasih sayang.
Ketika masih kecil, ia menambah nama Siswondo di depan nama aslinya, sehingga menjadi Siswondo Parman. Nama ini sering disingkat menjadi S. Parman sejak ia bersekolah di MULO Yogyakarta.
Sejak kecil, Siswondo Parman dikenal memiliki berbagai hobi yang mencerminkan kepribadiannya. Salah satu hobinya adalah menonton film, terutama film koboi. Kebiasaan ini bahkan dilanjutkannya ketika bertugas di luar negeri sebagai atase militer di London.
Selain itu, Parman juga gemar membaca buku-buku sejarah, filsafat, cerita wayang, dan buku agama. Kegemarannya dalam membaca membentuk pandangan hidupnya dan memperkaya pengetahuannya tentang berbagai bidang.
Masa Awal Karir dan Keluarga
Siswondo Parman bergabung dengan militer pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Ia mengawali karirnya sebagai penerjemah bagi pasukan Kempetai, polisi militer Jepang, di Yogyakarta. Meskipun bekerja di lingkungan militer Jepang, semangat kebangsaannya tidak luntur.
Pengalamannya sebagai penerjemah digunakan untuk menyerap pengetahuan dan pengalaman militer dari pihak Jepang, yang kemudian dimanfaatkannya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Siswondo Parman menikah dengan Sumirahayu, dan meskipun usia mereka terpaut sepuluh tahun, pernikahan mereka cukup harmonis. Mereka hidup bersama selama 14 tahun hingga S. Parman gugur dalam peristiwa G-30-S/PKI pada 1 Oktober 1965.
Istri Parman, Ny. Sumirahayu, dikenal sebagai wanita yang disiplin dan penuh perhatian terhadap suaminya, mencerminkan karakter seorang istri militer yang setia.
Saat Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, S. Parman yang saat itu sedang menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Kedokteran di Jakarta, terpaksa menghentikan studinya dan kembali ke Wonosobo.
Di Cilacap, Parman bertemu dengan pasukan Jepang yang membawanya ke Yogyakarta untuk menjadi penerjemah. Pengalaman ini memberikan Parman banyak pengetahuan tentang kemiliteran Jepang, yang kelak berguna dalam perjuangannya melawan penjajah.
Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, S. Parman turut berperan dalam usaha perebutan senjata dari tangan Jepang. Pada 8 Oktober 1945, terjadi perlucutan senjata pasukan Kaigun di Meguwo, Yogyakarta.
Parman dan pasukannya berhasil melucuti senjata tersebut tanpa perlawanan, yang kemudian digunakan untuk memperkuat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Yogyakarta. Divisi Istimewa TKR di bawah pimpinan Kolonel Sudarsono menjadi sangat aktif dalam melaksanakan perlucutan senjata ini, berperan signifikan dalam perjuangan bersenjata di berbagai daerah seperti Semarang, Magelang, Ambarawa, dan Banyubiru.
Pengabdian
Siswondo Parman ikut berjuang selama revolusi kemerdekaan Indonesia. Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Parman terlibat aktif dalam berbagai aksi mempertahankan kemerdekaan dari upaya Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.
Salah satu momennya adalah saat Parman bersama rekan-rekan pejuangnya mengawal pengiriman senjata dari Jepang yang telah menyerah, dan menggunakannya untuk melatih pemuda Indonesia guna memperkuat pertahanan republik yang baru berdiri.
Karier militer Parman semakin menanjak setelah era revolusi. Dari awalnya berjuang di Yogyakarta, ia kemudian dipercaya memegang berbagai posisi strategis di Jawa Tengah dan Jakarta.
Pada tahun 1953, ia mendapat tugas sebagai Kepala Bagian Material di Kementerian Pertahanan RI. Keberhasilannya dalam menangani tugas ini membuatnya diangkat sebagai Atase Militer di Inggris pada tahun 1959.
Parman Menjadi Atase Militer di Inggris hingga 1962 sebelum kembali ke Indonesia untuk menjadi Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat di bidang intelijen.
Sebagai Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat di bidang intelijen, Parman menghadapi berbagai tantangan besar. Salah satunya adalah ancaman dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang semakin kuat.
Parman dikenal sebagai sosok yang berani dan tegas dalam mengambil tindakan intelijen untuk menjaga stabilitas negara. Keberhasilannya dalam menangani ancaman PKI membuatnya diakui sebagai pemimpin intelijen yang kompeten dan akhirnya dinaikkan pangkat menjadi Mayor Jenderal pada tahun 1964.
G30S/PKI dan Gugur
Peristiwa G30S/PKI merupakan sebuah tragedi nasional yang mengguncang Indonesia pada tahun 1965. Pada malam 30 September hingga dini hari 1 Oktober 1965, kelompok G30S/PKI melancarkan serangkaian serangan terkoordinasi yang menargetkan para perwira tinggi Angkatan Darat.
Mayor Jenderal Siswondo Parman, yang saat itu menjabat sebagai Asisten I Menteri Panglima Angkatan Darat dalam Bidang Intelijen, menjadi salah satu target dari kelompok gerakan ini.
Pada dini hari 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Siswondo Parman diculik oleh pasukan Pasopati, sebuah satuan yang terdiri dari 250 anggota resimen Cakrabirawa. Parman diculik dari kediamannya di Jalan Serang No. 32, Jakarta, dan dibawa ke Lubang Buaya, sebuah tempat yang telah dijadikan markas oleh mereka.
Di tempat tersebut, Parman bersama enam perwira tinggi Angkatan Darat lainnya mengalami penyiksaan sebelum akhirnya dibunuh secara keji. Tubuh mereka kemudian dibuang ke dalam sebuah sumur tua di daerah tersebut, yang kini dikenal sebagai Monumen Pancasila Sakti.
Jenazah Mayor Jenderal Siswondo Parman, bersama enam perwira lainnya, ditemukan beberapa hari kemudian dan segera dipersiapkan untuk dimakamkan dengan penuh penghormatan.
Pada tanggal 5 Oktober 1965, di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, dilakukan upacara pemakaman militer yang khidmat untuk mengenang jasa-jasa mereka. Upacara ini dihadiri oleh ribuan pelayat, termasuk para pejabat tinggi militer dan pemerintah, keluarga, serta masyarakat umum yang ingin memberikan penghormatan terakhir.
Suasana pemakaman sangat mengharukan, diiringi dengan tembakan salvo dan musik tafakur dari Korps Musik ABRI. Para pahlawan revolusi ini kemudian dimakamkan secara bersamaan, dan nama mereka diabadikan sebagai simbol perjuangan melawan pengkhianatan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Penghargaan
Setelah gugur sebagai korban dari G30S/PKI, dihari yang sama pada saat pemakamannya, ia dianugerahi gelar Letnan Jenderal Anumerta dan dinyatakan sebagai Pahlawan Revolusi, sebuah penghargaan tertinggi yang diberikan oleh negara kepada mereka yang telah memberikan kontribusi luar biasa dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Penghargaan lainnya yang diterima oleh Siswondo Parman mencakup berbagai bintang dan tanda jasa, seperti Bintang Gerilya, Bintang Sewindu ABRI, dan Satya Lencana Kesetiaan VIII dan XVI tahun.
Tanda jasa ini menunjukkan pengakuan atas dedikasi dan jasanya yang luar biasa dalam bidang militer dan perjuangan kemerdekaan. Nilai-nilai kepahlawanan yang dimiliki oleh Siswondo Parman, seperti keberanian, integritas, dan komitmen, menjadi contoh yang sangat berharga bagi generasi muda saat ini.
Bio Data Siswondo Parman
Nama Lengkap | Letnan Jenderal TNI (Anumerta) Siswondo Parman |
Nama Kecil | Parman |
Nama Lain | Siswondo Parman, S. Parman |
Tempat, Lahir | Wonosobo, Hindia Belanda, 4 Agustus 1918 |
Tempat, Wafat | Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 (umur 47) |
Makam | Taman Pemakaman Bukan Umum (TPBU) Giri Tama, Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. |
Agama | Islam |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Tentara |
Institusi | |
Pangkat Akhir | Letnan Jenderal TNI AD |
Ayah | Kasido Kromodihaijo |
Ibu | Marinah Kromodiharjo |
Isteri (Pernikahan) | Ny. Sumirahaju |
Anak | Ali Ebram |
Saudara Kandung | Kasipan Kasono J oyosukarso Turkinah Joyopawiro Ir. Sakinnan Turkiyah/Epuk S.Parman Sugiyo Sagiman Turkilah Sakijo Dra. Kartinah Sapaijiman Dra. Sugiyah Haryono MSc. Drs. Kusno Kromodihaijo |
Riwayat Pendidikan Siswondo Parman
Lembaga Pendidikan | Tempat | Tahun |
---|---|---|
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) | Wonosobo | 1927 – 1933 |
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) | Yogyakarta | 1933 – 1936 |
Algemeene Middelbare School (AMS) | Yogyakarta | 1936 – 1940 |
Sekolah Tinggi Kedokteran (STOVIA) | Jakarta | 1940 |
Pendidikan Singkat Perwira (PSP) | Yogyakarta | 1945 – 1945 |
Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) | Bandung | 1952 – 1953 |
Sekolah Polisi Militer | Amerika Serikat | 1951 – 1952 |
Karir Siswondo Parman
Lembaga | Jabatan | Tahun Menjabat |
---|---|---|
Kempetai (Polisi Militer Jepang) | Penerjemah | 1942 – 1945 |
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) | Anggota | 1945 |
Markas Besar Polisi Militer Yogyakarta | Kepala Staf | 1945 – 1946 |
Gubernur Militer Jakarta | Kepala Staf | 1946 – 1947 |
Divisi Siliwangi | Komandan | 1947 – 1949 |
Divisi Brawijaya | Komandan | 1949 – 1950 |
Kementerian Pertahanan | Asisten II Menteri | 1950 – 1951 |
Sekolah Polisi Militer, Amerika Serikat | Pendidikan | 1951 – 1952 |
Korps Polisi Militer | Komandan | 1952 – 1955 |
Kodam VI/Siliwangi | Panglima | 1955 – 1957 |
Kodam IV/Diponegoro | Panglima | 1957 – 1960 |
Kementerian Angkatan Darat | Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat | 1960 – 1962 |
Kedutaan Besar RI untuk Belanda | Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh | 1962 – 1963 |
Kementerian Angkatan Darat | Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat | 1963 – 1965 |
Penghargaan Siswondo Parman
Penghargaan | Tahun | Keterangan |
---|---|---|
Pahlawan Revolusi | 1966 | Kepres No. 111/KOTI/1965 |
KPLB Letnan Jenderal TNI | 1966 | – |
Namanya diabadikan menjadi nama jalan | – | Di berbagai daerah di Indonesia |
Dibuatkan Patung untuk mengenang jasanya, | – | Di berbagai daerah di Indonesia |
Penghargaan Bintang Siswondo Parman
Penghargaan | Gambar |
---|---|
Bintang Gerilya | |
Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | |
Satyalencana Kesetiaan VIII tahun | |
Satyalencana Kesetiaan XVI Tahun | |
Satyalencana Perang Kemerdekaan I | |
Satyalencana Perang Kemerdekaan II | |
Satyalencana G.O.M I | |
Satyalencana G.O.M II | |
Satyalencana G.O.M V | |
Satyalencana G.O.M VI |
Kami ingin membuat pengalaman membaca kamu sebaik mungkin! Jika kamu menemukan informasi yang kurang tepat atau hilang dalam konten kami, kami sangat menghargai kontribusi kamu untuk memperbaikinya.
Dengan kerjasama kamu, kami dapat memastikan bahwa setiap informasi yang kami bagikan akurat dan bermanfaat bagi semua pembaca kami. Jangan ragu untuk memberi tahu kami melalui kolom komentar di bawah setiap artikel atau melalui halaman Contact Us.
Setiap masukan dari kamu sangat berarti bagi kami, dan kami selalu siap untuk meningkatkan kualitas layanan kami berkat kontribusi kamu. Terima kasih atas dukungan dan kerjasama kamu!