Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    • Diplomasi
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

Sayuti Melik: Teks Proklamasi dan Kemerdekaan Indonesia

Kisah perjuangan Sayuti Melik meliputi peran signifikan dalam perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia. Selain dari tugasnya sebagai pengetik naskah proklamasi, ia memiliki perjalanan hidup yang berliku-liku, melintasi berbagai zaman, hingga akhirnya meninggal pada 27 Februari 1989 pada usia 80 tahun. 

Bergabung dengan kelompok pemuda yang mendambakan kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu janji dari Jepang, Sayuti Melik memainkan peran penting dalam sejarah menjelang proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1945. 

Pada tanggal 16 Agustus 1945, Sayuti Melik dan rekan-rekannya yang revolusioner “mengamankan” Soekarno dan Mohammad Hatta di Rengasdengklok, dekat Karawang, dengan tujuan mendesak kedua tokoh senior itu untuk segera menyatakan kemerdekaan Indonesia.

Masa Muda dan Pendidikan

Lahir pada 22 November 1908, Sayuti adalah anak dari Abdul Mu’in atau dikenal sebagai Partoprawito, seorang bekel jajar atau kepala desa di Sleman, Yogyakarta, sementara ibunya bernama Sumilah. Pendidikannya dimulai dari Sekolah Ongko Loro (Setingkat SD) di desa Srowolan, sampai kelas IV, dan dilanjutkan hingga meraih Ijazah di Yogyakarta.

Ayahnya telah menanamkan semangat nasionalisme dalam diri Sayuti sejak kecil. Ketika itu, ayahnya menentang kebijakan pemerintah Belanda yang menggunakan lahan sawahnya untuk menanam tembakau.

Saat belajar di sekolah guru di Solo pada tahun 1920, ia memperoleh pemahaman tentang nasionalisme dari guru sejarahnya, H.A. Zurink, seorang warga Belanda. Pada usia belasan tahun, minatnya dalam membaca majalah Islam Bergerak di bawah pimpinan K.H. Misbach di Kauman, Solo, membawa Sayuti ke arah pandangan kiri. 

Banyak pada masa itu, termasuk tokoh Islam, yang melihat Marxisme sebagai ideologi perjuangan melawan penjajahan. Dari Kiai Misbach, Sayuti belajar tentang Marxisme. Pertemuan pertamanya dengan Bung Karno terjadi di Bandung pada tahun 1926.

Tulisan dan Pengasingan

Tulisan-tulisannya mengenai politik menyebabkan Sayuti ditahan berkali-kali oleh pihak Belanda. Pada tahun 1926, ia ditangkap oleh Belanda karena diduga membantu PKI dan kemudian diasingkan ke Boven Digul (1927-1933). 

Pada tahun 1936, ia ditangkap oleh Inggris, dipenjara di Singapura selama setahun. Setelah diusir dari wilayah Inggris, ia ditangkap kembali oleh Belanda dan dibawa ke Jakarta, dimasukkan ke dalam sel di Gang Tengah (1937-1938).

Setelah kembali dari pengasingan, Sayuti bertemu dengan SK Trimurti, dan mereka terlibat dalam berbagai kegiatan pergerakan bersama. Pada tanggal 19 Juli 1938, mereka menikah. Pada tahun yang sama, mereka mendirikan koran Pesat di Semarang yang terbit tiga kali seminggu dengan tiras 2 ribu eksemplar. 

Karena penghasilannya kecil, keduanya terpaksa menjalani berbagai pekerjaan, dari redaksi hingga urusan percetakan, dari distribusi dan penjualan hingga langganan.

Trimurti dan Sayuti Melik bergantian masuk penjara karena tulisan mereka yang keras mengkritik pemerintah Hindia Belanda. Sayuti, sebagai mantan tahanan politik yang diasingkan ke Boven Digul, selalu dipantau oleh dinas intel Belanda (PID).

Pada masa pendudukan Jepang pada Maret 1942, koran Pesat dilarang oleh Jepang, Trimurti ditangkap oleh Kempetai, dan Sayuti juga dicurigai sebagai orang komunis.

“Empat Sekawan” Soekarno, Moh. Hatta, Ki Hadjar Dewantara, dan Kiai Mas Mansoer secara resmi membentuk Putera (Pusat Tenaga Rakyat) pada 9 Maret 1943. 

Ketika itu, Soekarno memohon kepada pemerintah Jepang untuk membebaskan Trimurti, membawanya ke Jakarta untuk bekerja di Putera, dan kemudian di Djawa Hookoo Kai, Himpunan Kebaktian Rakyat Seluruh Jawa. Akhirnya, Trimurti dan Sayuti Melik bisa hidup dengan relatif tenang. Sayuti terus mendukung Bung Karno.

Anggota PPKI

Pada tanggal 7 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) didirikan dengan kepemimpinan Ir. Soekarno, menggantikan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang sebelumnya dibubarkan dengan cepat. 

Awalnya terdiri dari 21 anggota, namun kemudian, tanpa sepengetahuan Jepang, jumlah anggota bertambah 6 orang, termasuk Sayuti Melik.

Penculikan Soekarno Hatta

Sayuti Melik adalah bagian dari Menteng 31, sebuah kelompok yang terlibat dalam penculikan Soekarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus 1945. 

Sejumlah pemuda pejuang, seperti Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, bersama dengan Shodanco Singgih dari anggota PETA dan individu lainnya, membawa Soekarno (bersama Fatmawati dan Guntur yang berusia 9 bulan) dan Hatta ke Rengasdengklok dengan tujuan mencegah pengaruh Jepang terhadap keduanya.

Di sana, mereka meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang siap untuk melawan Jepang tanpa memedulikan risikonya. Di Jakarta, baik golongan muda yang diwakili oleh Wikana maupun golongan tua yang diwakili oleh Mr. Achmad Soebardjo, mengadakan perundingan. 

Setelah persetujuan dari Mr. Achmad Soebardjo untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta, Yusuf Kunto diutus untuk mengantarkan Achmad Soebardjo ke Rengasdengklok. Mereka kemudian membawa kembali Soekarno dan Hatta ke Jakarta. 

Meskipun Achmad Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu-buru dalam memproklamasikan kemerdekaan, dialog ini tetap berlangsung.

Teks Proklamasi

Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo merancang konsep naskah proklamasi di rumah Laksamana Muda Maeda. Para pemuda seperti Sukarni dan Sayuti Melik turut serta sebagai perwakilan, membantu Bung Hatta dan Bung Karno serta menyaksikan penyusunan naskah tersebut. 

Ketika konsep naskah proklamasi selesai pada dini hari tanggal 17 Agustus 1945, dibacakan di hadapan para hadirin, namun pemuda-pemuda menolaknya karena dianggap terkesan dibuat atas campur tangan Jepang.

Dalam ketegangan tersebut, Sayuti mengemukakan gagasan agar Teks Proklamasi hanya ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia. 

Usulnya diterima, dan Bung Karno langsung meminta Sayuti untuk mengetikkannya. Salah satu perubahan yang dilakukan Sayuti adalah mengubah frasa “Wakil-wakil bangsa Indonesia” menjadi “Atas nama bangsa Indonesia”.

Setelah Kemerdekaan

Setelah Indonesia merdeka, Sayuti bergabung sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Pada tahun 1946, atas perintah dari Mr. Amir Sjarifudin, Sayuti ditangkap oleh Pemerintah Republik Indonesia karena dianggap memiliki kedekatan dengan Persatuan Perjuangan, serta dianggap terlibat dalam “Peristiwa 3 Juli 1946”. 

Setelah menjalani pemeriksaan oleh Mahkamah Tentara, Sayuti dibebaskan dari tuduhan tersebut. Ketika Agresi Militer Belanda II terjadi, Sayuti ditangkap oleh Belanda dan dipenjarakan di Ambarawa. Namun, Sayuti akhirnya dibebaskan setelah Koferensi Meja Bundar selesai. 

Pada tahun 1950, Sayuti diangkat sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan DPR-GR sebagai Wakil dari Angkatan ’45 dan menduduki posisi sebagai Wakil Cendekiawan.

Konflik dengan Soekarno

Meskipun awalnya mendukung Soekarno sebagai anggota PNI, Sayuti akhirnya tidak ‘terpakai’ ketika Bung Karno berkuasa. Di tengah upaya mempopulerkan Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme), Sayuti justru berani menentangnya dengan mengusulkan perubahan menjadi Nasasos, menggantikan unsur “kom” dengan “sos” (sosialisme). 

Ia juga menolak pengangkatan Bung Karno sebagai presiden seumur hidup oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara. Artikelnya, “Belajar Memahami Soekarnoisme,” yang diterbitkan di sekitar 50 media, namun kemudian dilarang, menjelaskan perbedaan antara ajaran Marhaenisme Bung Karno dan doktrin Marxisme-Leninisme PKI, sementara Sayuti melihat PKI berupaya memanfaatkan popularitas Bung Karno.

Sayuti Melik tidak setuju dengan kebijakan Soekarno yang menjadikan dirinya sebagai presiden seumur hidup, dan ia mulai mengkritik PKI melalui tulisan-tulisannya. Ketika Hatta mundur dari posisi wakil presiden pada tahun 1956, Soekarno menjadi satu-satunya pemimpin dalam pemerintahan. 

Pada tahun 1959, Soekarno menerapkan sistem Demokrasi Terpimpin melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang meningkatkan kekuasaannya sebagai presiden. Namun, Sayuti Melik menolak sistem ini dan menentangnya, menganggapnya sebagai inisiatif yang tidak sesuai dengan pandangan politiknya.

Wafat

Setelah masa Orde Baru dimulai, nama Sayuti Melik kembali mencuat dalam dunia politik dengan menjabat sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat/Majelis Permusyawaratan Rakyat, mewakili partai Golongan Karya pada Pemilu 1971 dan Pemilu 1977.

Tanggal 27 Februari 1989, Sayuti Melik meninggal dunia pada usia yang ke-80 setelah mengalami sakit selama setahun. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta Selatan.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    • Diplomasi
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top