Mayor Jenderal (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo adalah salah satu perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang gugur dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Ia dikenal sebagai sosok prajurit yang sederhana, disiplin, dan sangat memperhatikan kesejahteraan anak buahnya. Atas pengabdiannya, Sutoyo dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi dan mendapat kenaikan pangkat anumerta menjadi mayor jenderal.
Sutoyo bukan hanya seorang tentara, tetapi juga seorang pemimpin yang menanamkan nilai-nilai kejujuran dan integritas dalam setiap tugas. Kehidupannya mencerminkan dedikasi seorang prajurit sejati yang menempatkan kepentingan bangsa di atas segalanya.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang dan Pendidikan
Sutoyo Siswomiharjo lahir di Kebumen, Jawa Tengah, pada 28 Agustus 1922. Masa mudanya dihabiskan di lingkungan keluarga Jawa yang sederhana namun menjunjung tinggi pendidikan. Ia menempuh pendidikan dasar di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), kemudian melanjutkan ke Algemeene Middelbare School (AMS) di Semarang, lulus pada tahun 1941.
Setelah menyelesaikan AMS, Sutoyo melanjutkan pendidikannya di Batavia (sekarang Jakarta) dengan mempelajari ilmu pemerintahan. Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), ia sempat menempuh pendidikan di Kenkoku Gakuin atau Balai Pendidikan Pegawai Negeri. Seusai menamatkan pendidikan tersebut, ia bekerja sebagai pegawai pemerintah di Purworejo, Jawa Tengah, hingga akhirnya mengundurkan diri pada Maret 1944.
Awal Karier Militer
Perjalanan Sutoyo di dunia militer dimulai setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR) pada Oktober 1945.
Di dalam TKR, Sutoyo memilih masuk ke Corps Polisi Tentara (CPM) atau cikal bakal Polisi Militer. Pada Januari 1946, ia naik pangkat menjadi letnan satu dan diangkat sebagai ajudan Kolonel Gatot Subroto, Komandan Divisi V. Dari Gatot Subroto inilah Sutoyo banyak belajar tentang kepemimpinan militer yang tegas sekaligus humanis.
Menurut putrinya, Nani Nurrachman, ayahnya dikenal sebagai sosok pemimpin yang selalu berada di tengah anak buah. Ia memberi instruksi dengan bijaksana, hidup sederhana, dan peduli terhadap kesejahteraan prajuritnya. Nilai-nilai itu kelak membentuk karakternya sebagai perwira tinggi TNI-AD.
Karier Militer dan Pengabdian di Polisi Tentara
Setelah menjadi ajudan Gatot Subroto, karier Sutoyo semakin berkembang. Ia diangkat sebagai Kepala Bagian Organisasi Polisi Tentara Resimen II Purworejo dengan pangkat kapten hingga Mei 1948. Setelah itu, ia dipercaya sebagai Kepala Staf Corps Polisi Militer Djawa (CPMD) Yogyakarta, dan kemudian memimpin Detasemen III CPM Surakarta.
Pada masa inilah Sutoyo ikut terlibat dalam penumpasan Pemberontakan PKI Madiun 1948. Setahun kemudian, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948, Sutoyo kembali terjun ke medan pertempuran. Ia ikut bergerilya setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda.
Usai penyerahan kedaulatan pada 1949, Sutoyo dipercaya menjabat sebagai Kepala Staf Batalyon CPM Yogyakarta. Kariernya terus menanjak hingga akhirnya pada 1950 ia ditarik ke Jakarta sebagai Komandan Batalyon I CPM dengan pangkat mayor. Tahun-tahun berikutnya, ia memimpin berbagai kesatuan Polisi Militer dan memperkuat kedudukannya sebagai salah satu perwira yang diperhitungkan di tubuh Angkatan Darat.
Pada pertengahan 1950-an, Sutoyo mendapat kepercayaan untuk bertugas di luar negeri. Ia diperbantukan sebagai staf di Angkatan Darat dan kemudian diangkat menjadi Atase Militer di Kedutaan Besar Indonesia di London. Pengalaman internasional ini memperluas wawasannya tentang diplomasi militer dan strategi pertahanan.
Sekembalinya ke Indonesia pada 1960, Sutoyo mengikuti Kursus C di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (Seskoad), Bandung. Pendidikan ini memperkuat kapasitasnya sebagai perwira staf yang memahami strategi militer tingkat tinggi.
Operasi Budhi
Pada 1961, pangkat Sutoyo naik menjadi kolonel. Ia kemudian menjabat sebagai Inspektur Kehakiman/Oditur Jenderal Angkatan Darat (Irkeh/Ojen AD) serta Direktur Akademi Hukum Militer (AHM) atau Perguruan Tinggi Hukum Militer (PTHM).
Dalam kapasitas ini, ia dipercaya Jenderal A.H. Nasution untuk membantu menjalankan Operasi Budhi, sebuah program untuk menertibkan penyalahgunaan wewenang di tubuh TNI. Operasi ini berawal dari inisiatif Kolonel A.E. Kawilarang di Divisi Siliwangi, yang kemudian diperluas oleh Nasution ke tingkat nasional.
Sutoyo dikenal tegas namun tetap mengedepankan keadilan. Ia mengadakan banyak rapat dan konsolidasi untuk membersihkan praktik korupsi di kalangan militer. Menurut Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas, peran Sutoyo sangat penting dalam menyelamatkan uang negara hingga miliaran rupiah.
Kesuksesan Operasi Budhi ini semakin mengokohkan reputasinya sebagai perwira yang jujur, disiplin, dan berintegritas. Tidak heran bila anak buahnya mengenang Sutoyo sebagai pemimpin yang selalu memberi teladan dalam kesederhanaan sekaligus ketegasan.
Kenaikan Pangkat Menjadi Brigadir Jenderal
Kinerja gemilang Sutoyo membuat kariernya terus melesat. Pada 1964, ia mendapat kenaikan pangkat menjadi Brigadir Jenderal (Brigjen) dan tetap menjabat sebagai Inspektur Kehakiman Angkatan Darat. Jabatan ini merupakan posisi strategis karena berkaitan langsung dengan penegakan hukum dan disiplin di tubuh TNI-AD.
Puncak kariernya inilah yang kemudian menempatkan Sutoyo dalam sorotan ketika situasi politik Indonesia semakin memanas menjelang 1965.
Menjelang Peristiwa G30S 1965
Situasi politik Indonesia pada awal 1960-an penuh dengan ketegangan. Presiden Soekarno mendorong konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme), sementara di sisi lain, Partai Komunis Indonesia (PKI) terus memperkuat posisinya. Salah satu gagasan PKI yang memicu polemik adalah pembentukan Angkatan Kelima, yakni pasukan bersenjata yang terdiri dari buruh dan tani.
Gagasan ini ditolak mentah-mentah oleh sejumlah perwira tinggi TNI Angkatan Darat, termasuk Brigjen Sutoyo Siswomiharjo. Ia menilai usulan tersebut berbahaya karena berpotensi digunakan PKI untuk merebut kekuasaan. Penolakan inilah yang membuat Sutoyo menjadi salah satu target dalam operasi rahasia yang kemudian dikenal sebagai Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Penculikan oleh Pasukan Cakrabirawa
Pada dini hari 1 Oktober 1965, pasukan bersenjata yang mengaku sebagai anggota Cakrabirawa, pengawal Presiden Soekarno, mendatangi kediaman Brigjen Sutoyo di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka menyampaikan bahwa ada perintah dari Presiden untuk segera menghadap.
Sutoyo tidak melawan. Ia khawatir keluarganya akan menjadi korban bila terjadi perlawanan. Pada saat itu, ia masih tinggal bersama istrinya dan kedua anaknya, Agus Widjojo dan Nani Sutoyo, yang masih remaja.
Namun, ternyata ia bukan dibawa untuk menghadap Presiden. Sutoyo justru diculik dan digiring ke Lubang Buaya, Jakarta Timur, bersama sejumlah perwira tinggi Angkatan Darat lainnya. Sejak saat itu, keluarganya tidak mendapat kabar mengenai keberadaannya.
Putri sulungnya, Nani Nurrachman, mengenang masa-masa sulit itu dalam bukunya Kenangan Tak Terucap, Saya, Ayah, dan Tragedi 1965:
“Kami tersiksa karena tidak pernah tahu nasib dan kondisi ayah selama diculik.”
Gugurnya Sutoyo di Lubang Buaya
Di Lubang Buaya, Brigjen Sutoyo bersama perwira lain mengalami penyiksaan sebelum akhirnya dibunuh. Ia ditembak mati pada pagi hari 1 Oktober 1965, dan jenazahnya dibuang ke sebuah sumur tua bersama korban lainnya:
- Letjen Ahmad Yani
- Mayjen M.T. Haryono
- Mayjen S. Parman
- Mayjen R. Suprapto
- Brigjen D.I. Panjaitan
- Kapten Pierre Tendean
Beberapa hari kemudian, pada 3 Oktober 1965, jenazah Sutoyo dan para korban lainnya berhasil ditemukan. Proses evakuasi dilakukan keesokan harinya, dan pada 5 Oktober 1965—bertepatan dengan Hari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia—mereka dimakamkan secara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Pemerintah Republik Indonesia segera menetapkan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo dan para korban G30S/PKI lainnya sebagai Pahlawan Revolusi. Sutoyo juga mendapat kenaikan pangkat anumerta menjadi Mayor Jenderal (Mayjen).
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo juga resmi tercatat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. Penghargaan ini menjadi pengakuan atas jasa dan pengorbanannya dalam menjaga keutuhan bangsa.
Sumber:
- “Mayjen Sutoyo Siswomiharjo, Murid Gatot Soebroto yang Toleran terhadap Anak Buah” historia.id (diakses pada 20 Agustus 2025)
- “Biografi Mayjen Sutoyo Pahlawan Revolusi dalam Sejarah G30S 1965” tirto.id (diakses pada 20 Agustus 2025)
- “Profil Pahlawan Revolusi, Sutoyo Siswomiharjo” news.republika.co.id (diakses pada 20 Agustus 2025)
- “Mengenal Mayjen Sutoyo, Pahlawan Revolusi Kebanggaan Gatot Subroto” rri.co.id (diakses pada 20 Agustus 2025)
- “Biografi Sutoyo Siswomiharjo, Sang Jenderal Pahlawan Revolusi Indonesia” inews.id (diakses pada 20 Agustus 2025)