Edit Template

Emmy Saelan: Pahlawan Wanita dari Makassar

Emmy Saelan adalah salah satu sosok perempuan tangguh dari Makassar yang namanya tercatat dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ia dikenal sebagai perawat yang berjiwa patriot dan berani turun langsung ke medan perang. 

Sebagai seorang perawat, Emmy tidak hanya berjuang di garis belakang dengan merawat para pejuang yang terluka, tetapi juga aktif terlibat dalam laskar rakyat dan bahkan memegang senjata ketika situasi menuntut. 

Latar Belakang Keluarga dan Kehidupan Awal

Emmy Saelan, yang memiliki nama lengkap Salmah Soehartini Saelan, lahir di Makassar pada 15 Oktober 1924. Ia merupakan anak sulung dari delapan bersaudara, yakni Moulwy Saelan, Saeni, Elly, Evy, Rahayu, Saidah, dan Sabina. Sebagai anak pertama, Emmy tumbuh dengan tanggung jawab besar terhadap adik-adiknya dan terbiasa membantu orang tua dalam berbagai urusan keluarga.

Ayahnya, Amin Saelan, dikenal sebagai sosok yang disiplin dan berwibawa, sementara ibunya, Sukamtin, merupakan perempuan keturunan Jawa-Madura yang menanamkan nilai-nilai keagamaan dan kesederhanaan dalam kehidupan sehari-hari. Dari kedua orang tuanya, Emmy mewarisi semangat kerja keras, keuletan, serta kepedulian terhadap sesama..

Dalam kesehariannya, Emmy dikenal dengan panggilan akrab “Daeng Kebo”, sebuah sebutan yang menunjukkan kedekatannya dengan lingkungan sekitar dan karakter kuatnya sebagai perempuan Sulawesi Selatan. Namun, di medan perjuangan, ia lebih dikenal dengan nama samaran “Daeng Karo” untuk menyamarkan identitasnya dari pihak musuh. Kedua nama tersebut menjadi simbol keberanian dan keteguhan hatinya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pendidikan 

Sejak kecil, Emmy Saelan dikenal sebagai anak yang tekun belajar dan memiliki semangat tinggi untuk menuntut ilmu. Ia menempuh pendidikan dasarnya di Eerste Europesche Large School (EELS), sebuah sekolah setingkat SD yang kala itu diperuntukkan bagi anak-anak Eropa, bangsawan dan  pegawai pemerintahan Belanda, karena kedudukan ayahnya, Emmy Saelan dapat bersekolah di sini.

Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, Emmy melanjutkan sekolah ke Hoge Burger School (HBS) Makassar, salah satu sekolah elit di masa kolonial Belanda yang umumnya hanya diisi oleh siswa keturunan Eropa atau kalangan priyayi. 

Emmy sekolah di HBS tidak berlangsung lama, karena pada tahun 1942 Jepang menduduki Indonesia, termasuk Makassar. Pendudukan Jepang membawa perubahan besar terhadap sistem pendidikan, di mana sekolah-sekolah berbahasa Belanda ditutup dan digantikan oleh lembaga pendidikan berbahasa Jepang.

Emmy melanjutkan pendidikannya dengan masuk ke Cu Gakko, sekolah setingkat SMA pada masa pendudukan Jepang. Di tengah keterbatasan fasilitas dan tekanan politik, ia tetap menunjukkan semangat belajar yang tinggi. Bahkan, ia sempat berkeinginan untuk melanjutkan studi ke Pulau Jawa, namun keinginannya tersebut tidak disetujui oleh pihak Jepang, yang saat itu membatasi mobilitas pribumi.

Tidak berhenti sampai di situ, Emmy kemudian mengikuti kursus tabib di Rumah Sakit Stella Maris Makassar, di mana ia mempelajari teori dan praktik medis langsung dari para dokter Jepang. Selama pelatihan, ia juga belajar mengenal huruf Kanji, sebagai bagian dari disiplin pendidikan yang diterapkan oleh tenaga medis Jepang. 

Sejak masa muda, Emmy bercita-cita menjadi dokter anak, dorongan yang muncul dari rasa empatinya terhadap penderitaan masyarakat dan anak-anak di masa perang. 

Awal Karier dalam Dunia Medis

Setelah kekalahan Jepang pada tahun 1945 dan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, situasi di Makassar belum sepenuhnya stabil. Kekuasaan kolonial Belanda berusaha kembali menguasai wilayah Indonesia melalui agresi militer. Dalam masa penuh ketegangan ini, Emmy Saelan memutuskan untuk mengabdikan diri sebagai juru rawat di Rumah Sakit Stella Maris Makassar. 

Sebagai juru rawat muda, Emmy dikenal cekatan, sabar, dan penuh empati terhadap para pasiennya. Namun, di balik tugas profesionalnya sebagai tenaga medis, Emmy aktif dalam merawat para pejuang republik yang terluka akibat bentrokan dengan pasukan Belanda dan sekutu. Ia bahkan berani mengambil risiko besar dengan menyelundupkan obat-obatan, perban, dan peralatan medis ke markas-markas pejuang di luar rumah sakit, sebuah tindakan yang dianggap sangat berbahaya pada masa itu.

Emmy mulai terhubung dengan kelompok-kelompok pejuang dan laskar rakyat di Makassar. Semangat nasionalismenya yang kuat membuatnya tak sekadar menjadi perawat di garis belakang, tetapi juga bagian dari jaringan perjuangan bawah tanah yang menopang pergerakan bersenjata rakyat. Keberaniannya menyelundupkan obat-obatan serta melindungi para pejuang yang terluka membuatnya dikenal dikalangan perlawanan lokal.

Situasi Politik Makassar Pasca-Proklamasi

Setelah Jepang menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945 dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, situasi di Makassar segera berubah menjadi tegang dan tidak menentu. 

Pasukan Sekutu dan KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), yang sebagian besar terdiri dari serdadu Belanda dan Indo-Belanda, mulai berdatangan ke Sulawesi Selatan dengan alasan untuk melucuti tentara Jepang. Namun, di balik misi itu tersimpan niat untuk mengembalikan kekuasaannya di Hindia Belanda. Kehadiran mereka memicu kecurigaan dan perlawanan di kalangan pemuda serta rakyat Makassar yang baru saja merasakan euforia kemerdekaan.

Ketegangan meningkat ketika tentara KNIL/NICA (Netherlands Indies Civil Administration) mulai menunjukkan sikap arogan dan menolak mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Para pemuda Makassar, yang sebagian besar tergabung dalam organisasi dan laskar seperti Pemuda PPNI (Pemuda Pembela Negara Indonesia), mulai melakukan aksi-aksi perlawanan untuk menegaskan kedaulatan republik di wilayahnya. Bentrokan antara pemuda dan pasukan KNIL pun tak terelakkan.

Salah satu peristiwa yang membakar semangat nasionalisme di Makassar adalah pengibaran bendera merah putih di akhir September 1945. Aksi ini menjadi simbol keberanian rakyat Makassar dalam menegaskan kemerdekaan, meski dilakukan di bawah ancaman pasukan bersenjata Belanda. 

Tidak lama setelah peristiwa itu, terjadi penyerangan Hotel Empress yang menjadi markas tentara Sekutu dan NICA. Penyerangan ini dipimpin oleh Moulwy Saelan, adik kandung Emmy Saelan, bersama kelompok pemuda PPNI. 

Puncak ketegangan pada 2 Oktober 1945, ketika terjadi Insiden Abdul Madjid, sebuah bentrokan besar yang menewaskan beberapa pemuda dan menjadi awal pecahnya konflik terbuka antara rakyat Makassar dan tentara KNIL. Sejak saat itu, kota Makassar berubah menjadi wilayah rawan, di mana aksi-aksi kekerasan dan penangkapan terhadap pejuang republik sering terjadi.

Situasi itu berpengaruh terhadap kehidupan Emmy Saelan, yang saat itu masih bekerja sebagai juru rawat di Rumah Sakit Stella Maris. Rumah sakit sering menerima korban luka akibat bentrokan, dan Emmy menjadi salah satu tenaga medis yang paling aktif membantu para pejuang. 

Meski tahu bahwa aktivitasnya diawasi oleh pasukan NICA, ia tetap menjalankan tugas kemanusiaannya dengan penuh keberanian. Bagi Emmy, merawat para korban perang bukan hanya bentuk pengabdian profesi, tetapi juga bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang baru lahir.

Bergabung dengan Laskar Pejuang

Semakin memanasnya situasi politik di Makassar pasca-Proklamasi membuat Rumah Sakit Stella Maris, tempat Emmy Saelan bekerja, ikut terseret dalam pusaran konflik. Pihak Belanda mulai mencurigai beberapa pegawai rumah sakit karena dianggap memiliki simpati terhadap perjuangan Republik Indonesia. 

Kecurigaan itu tidak berlebihan, sebab banyak tenaga medis, termasuk Emmy, secara diam-diam membantu para pejuang dengan memberikan perawatan, menyembunyikan mereka dari kejaran KNIL, serta menyalurkan obat-obatan ke markas rakyat.

Emmy sebagai perawat yang pro-republik membuatnya diawasi ketat oleh tentara NICA. Namun, ia tidak gentar. Tekanan terhadap para pegawai rumah sakit semakin meningkat ketika pada 5 April 1946, Gubernur Sulawesi, Dr. Sam Ratulangi, ditangkap oleh pihak Belanda. Penangkapan itu menimbulkan kemarahan di kalangan masyarakat dan pegawai sipil, termasuk staf Rumah Sakit Stella Maris.

Sebagai bentuk solidaritas dan protes terhadap tindakan sewenang-wenang Belanda, para pegawai rumah sakit melakukan aksi mogok kerja. Emmy berada di barisan terdepan dalam aksi tersebut, menunjukkan keberpihakannya pada perjuangan kemerdekaan. Namun, keputusan itu membawa konsekuensi besar. Tekanan dari pihak rumah sakit dan pengawasan militer Belanda semakin ketat, membuat aktivitasnya di Makassar menjadi sangat berisiko.

Dalam situasi penuh ancaman itu, Emmy akhirnya memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai perawat. Ia memilih jalan yang lebih berbahaya namun bermakna, bergabung langsung dengan kelompok pejuang di Takalar, wilayah yang saat itu menjadi pusat perlawanan rakyat Sulawesi Selatan terhadap pasukan Belanda. Keputusan ini juga didorong oleh keinginannya untuk menyusul sang adik, Moulwy Saelan, yang telah lebih dulu aktif di barisan perjuangan bersenjata.

Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS)

Setelah meninggalkan pekerjaannya di Rumah Sakit Stella Maris, Emmy Saelan bergabung dengan barisan pejuang rakyat yang bermarkas di Takalar, Sulawesi Selatan. Di wilayah ini, semangat perlawanan terhadap Belanda semakin berkobar. Salah satu kekuatan yang muncul adalah Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), sebuah organisasi kelaskaran besar yang menjadi wadah perjuangan bersenjata rakyat Sulawesi Selatan.

LAPRIS resmi didirikan pada 17 Juli 1946 di Ko’mara, Takalar, dan menghimpun tidak kurang dari 19 organisasi kelaskaran dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Upacara pendirian ditandai dengan pengibaran Sang Merah Putih, yang menjadi simbol tekad rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari upaya kolonial Belanda. 

Dalam upacara bersejarah itu hadir sekitar seratus pejuang muda, termasuk sejumlah tokoh penting seperti Makkaraeng Daeng Mandjarungi, Ranggong Daeng Romo, dan para komandan lapangan dari berbagai laskar rakyat.

Dalam struktur organisasi tersebut, Emmy Saelan dipercaya memegang jabatan sebagai Kepala Bagian Kepalangmerahan (Palang Merah). Penunjukan ini bukan tanpa alasan, pengalamannya sebagai juru rawat di Rumah Sakit Stella Maris membuatnya sangat memahami kebutuhan medis di medan perang. Emmy juga dikenal aktif di garis depan, turut memanggul senjata dan membantu strategi perang gerilya, sejajar dengan para pejuang pria lainnya.

Salah satu momen penting dalam perjalanan perjuangannya adalah ketika ia menyampaikan pidato singkat dalam upacara pendirian LAPRIS. Dengan suara lantang dan penuh semangat, Emmy menyerukan:

“Aku datang ke sini untuk menyerahkan tenagaku bagi tanah air.”

Pernyataan itu menggambarkan sepenuhnya jiwa patriotik Emmy Saelan, seorang perempuan yang rela mengorbankan kenyamanan hidup demi kebebasan bangsanya. Dalam keseharian di markas LAPRIS, ia dikenal sebagai sosok yang disiplin, cekatan, dan berani. Selain merawat para pejuang yang terluka, Emmy juga turun langsung ke medan tempur bila dibutuhkan.

Pada 8 Agustus 1946, pasukan Belanda melancarkan serangan besar-besaran yang memukul mundur para anggota laskar ke wilayah hutan. Dari tempat persembunyian itu, para pemuda segera menyiapkan serangan balasan ke tiga titik kekuatan Belanda di Panciro, Limbung, dan Moncong Bolang—wilayah yang kini termasuk dalam Kabupaten Gowa. Serangan tersebut berhasil; para laskar pemuda merebut sejumlah senjata milik tentara Sekutu, yang kemudian menaikkan moral perjuangan di kalangan mereka.

Pertempuran

Di Panciro, Emmy Saelan bersama rekan-rekannya mendirikan pasukan bergerak bernama Harimau Indonesia. Dalam pasukan ini, Emmy menjabat sebagai pemimpin Laskar Wanita dan Palang Merah, sementara Wolter Monginsidi bertindak sebagai wakil pemimpin Laskar Harimau. Sejak saat itu, Emmy dikenal dengan nama samaran “Daeng Kebo”, yang berarti “putih”.

Setiap unit terdiri atas tiga hingga empat anggota yang selalu berpindah tempat untuk menghindari sergapan musuh. Sebelum bertugas, mereka disumpah di bawah Al-Qur’an agar tidak mengkhianati perjuangan. Namun, Emmy tidak ikut dalam upacara sumpah tersebut karena masih berada di Polongbangkeng, wilayah yang menjadi salah satu basis laskar saat itu.

Setelah 24 Oktober 1946, Laskar Harimau semakin sering terlibat bentrok dengan pasukan Belanda, terutama saat menyerang pos-pos pertahanan Sekutu di beberapa kota. Dalam salah satu penyerbuan di Limbung, Gowa, Emmy dan Maulwi berhasil merebut markas polisi Belanda, membawa sejumlah senjata, dan membakar kantor pemerintahan sebagai simbol perlawanan.

Suatu ketika, tentara Belanda berhasil menangkap seorang anggota laskar bernama Musa dan membawanya ke Rumah Sakit Tentara. Mengetahui hal itu, Emmy segera melapor kepada Wolter dan merencanakan aksi pembebasan. 

Saat keduanya sedang berdiskusi, pasukan KNIL tiba-tiba mengepung lokasi persembunyian mereka. Emmy, yang telah siap dengan Owen Gun berisi empat magasin peluru, segera bertindak. Berkat ketenangannya, mereka berhasil meloloskan diri, bersembunyi di rumah salah satu warga, dan berbaur dengan masyarakat sekitar. Untuk menghindari kecurigaan, Wolter berpura-pura menjadi pembantu rumah tangga, membantu membersihkan lantai dan perabotan rumah tuan rumah.

Sementara itu, di luar kota, pasukan laskar terus berjuang merebut daerah-daerah strategis seperti Gowa, Takalar, dan Jeneponto. Suasana perang semakin mencekam, hampir setiap malam terdengar dentuman granat dan tembakan senjata. Meski demikian, keberhasilan mereka di beberapa wilayah menumbuhkan rasa percaya diri di kalangan pejuang, termasuk Emmy dan Wolter.

Keberhasilan di medan tempur tidak diimbangi oleh dukungan politik yang kuat. Ia menilai bahwa para laskar “dibiarkan berjuang sendiri” tanpa diikuti oleh langkah diplomasi dan negosiasi dari para tokoh politik untuk menghentikan pertempuran. 

Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak Belanda dengan mendatangkan pasukan elite Depot Speciale Troepen (DST) yang dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling pada 5 Desember 1946. Kehadiran pasukan khusus ini, yang dilengkapi dengan persenjataan otomatis modern, membuat laskar-laskar pejuang Sulawesi terdesak dan terpukul mundur.

Dalam situasi genting itu, Amin Saelan, ayah Emmy, sempat melarang Maulwi ikut berperang, namun justru membiarkan Emmy tetap maju ke medan tempur. Ketika tiba di Gunung Ranaya, Emmy diterima dengan hangat oleh para laskar di sana dan langsung ditugaskan mengurus bagian kepalangmerahan bersama adiknya. Tugasnya adalah mengobati para pejuang yang terluka, sekaligus menyalurkan semangat juang kepada mereka.

Pada 8 Agustus 1946, Belanda kembali melancarkan serangan besar ke markas Gunung Ranaya. Pertempuran itu dipimpin langsung oleh Ranggong Daeng Romo dan melibatkan sekitar tiga ratus orang pasukan LAPRIS. Pertempuran berlangsung sengit dan menelan banyak korban, sementara markas utama LAPRIS dibakar habis. Emmy bersama para pejuang lainnya mengungsi ke daerah Anak Bajeng untuk menyusun strategi baru.

Setelah turun gunung, Emmy aktif mengumpulkan informasi tentang pihak-pihak yang bekerja sama dengan Belanda di Makassar. Ia berhasil menjalin hubungan dengan Hasan Thahir, tokoh Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS). Dari kerja sama ini muncul gagasan untuk membentuk organisasi KRIS di Makassar sebagai pengganti LAPRIS. Emmy pun mengajak Wolter bergabung dalam kepengurusan, dan Hasan menunjuk Wolter sebagai Ketua Penerangan. Namun, Wolter menolak karena menilai Hasan kurang cakap dalam memimpin organisasi.

Emmy berusaha membebaskan rekan-rekannya yang ditahan Belanda. Dalam salah satu peristiwa, ia mendatangi Wolter untuk meminta saran tentang cara melarikan Musa, seorang anggota laskar yang tertangkap setelah pertempuran 3 November di Bilaji, Barombong. Atas arahan Wolter, sejumlah pejuang kemudian menyiapkan operasi pembebasan Musa dari rumah sakit.

Menjelang akhir November, Wolter bersama rekannya, Wim, kembali ke Polongbangkeng untuk mengirim kabar dan membawa sejumlah dokumen penting tentang rencana kedatangan pasukan Belanda. Beberapa hari setelah keberangkatan itu, pasukan Raymond Westerling benar-benar menginjakkan kaki di tanah Sulawesi, menandai babak baru dalam kekerasan kolonial dan teror militer di wilayah tersebut.

Gugur

Emmy Saelan gugur pada usia yang masih sangat muda yaitu 22 tahun. Ia dikenal sebagai perempuan pertama yang melakukan aksi bom bunuh diri dalam sejarah perjuangan Indonesia, karena menolak menyerah kepada pasukan Belanda pada 21 Januari 1947. 

Malam itu, di Kampung Tidung, Rappocini, Makassar, Emmy bersama rekannya, Syarifah (dikenal juga sebagai Zus Ipa), bersembunyi di sebuah rumah penduduk. Dalam kesunyian, mereka sempat berbincang ringan di sela rasa sakit akibat usus buntu yang diderita Emmy.

“Zus Ipa, mengapa hanya kita bertiga yang ikut bertempur?” tanya Emmy.

“Tidak apa-apa, memang cuma kita bertiga,” jawab Syarifah.

“Kapan kita merdeka betul?”

“Jika Merah Putih sudah berkibar di mana-mana.”

Keduanya saling menatap, berjabat tangan, dan berjanji tidak akan bertemu sebelum Sang Saka Merah Putih berkibar di seluruh penjuru negeri. Setelah itu mereka berpisah, Emmy keluar melalui pintu depan, sementara Syarifah lewat pintu belakang. Sebelum pergi, Syarifah menoleh dan melihat Emmy tampak termenung. “Melamun apa, Emmy?” tanyanya.

“Mulyati,” jawab Emmy lirih. “Dia seorang diri. Aku sudah berjanji bahwa kami tidak akan bertemu sebelum Merah Putih berkibar di mana-mana.”

Hari itu tercatat sebagai salah satu pertempuran paling sengit di Makassar. Pasukan khusus Belanda menyerbu markas-markas laskar pemuda, termasuk Desa Tidung yang dipimpin oleh Wolter Monginsidi. Serangan terencana itu membuat para pejuang terdesak, banyak yang gugur dan luka-luka. Wolter kemudian memerintahkan Emmy untuk mundur membawa para korban menuju Kassi-Kassi. Ia berangkat bersama seorang anggota laskar bernama Abdullah Hadade.

Namun perjalanan mereka tidak berjalan mulus. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan pasukan Belanda. Karena kalah jumlah, Emmy dan pasukannya terkepung. Tentara Belanda mencoba membujuknya untuk menyerah, tetapi Emmy menolak dengan tegas. Dalam situasi terdesak itu, ketika musuh semakin dekat, ia menggenggam granat dan meledakkannya tepat di tengah kepungan. Ledakan keras mengguncang, delapan serdadu Belanda tewas seketika, begitu pula Emmy yang memilih mati terhormat daripada tertawan.

Beberapa saat kemudian, di Tidung, Wolter Monginsidi menerima kabar duka. Salah seorang anggota laskar datang berlari membawa berita. “Emmy gugur,” katanya singkat. Wolter terdiam lama, rahangnya mengeras, menahan amarah dan duka.

Keberanian Emmy menjadi inspirasi bagi banyak pemuda, terutama karena ia tidak hanya bertugas sebagai perawat tetapi juga turut merancang dan memimpin penyerbuan terhadap pos-pos Belanda. Semangatnya membangkitkan gelora perjuangan rakyat Sulawesi hingga akhirnya Belanda mau membuka perundingan di Konferensi Meja Bundar tahun 1949.

Kini nama Emmy Saelan harum sebagai simbol keberanian dan pengorbanan perempuan dalam perang kemerdekaan. Di lokasi ia gugur, berdiri Monumen Maha Putera Emmy Saelan di Jalan Hertasning, Makassar. Prasasti di sana bertuliskan:

“Di tempat inilah gugur Maha Putera Emmy Saelan dalam satu pertempuran dengan tentara NICA Belanda, pada tanggal 21 Januari 1947. Teruskan perjuangan kami.”

Monumen ini diresmikan oleh Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Surono, pada 10 November 1985. Sesuai dengan keterangan pada prasasti itu, di titik itulah Emmy mengakhiri hidupnya dengan cara heroik.

Jasad Emmy Saelan kini bersemayam di Taman Makam Pahlawan Panaikang, Makassar, selamanya dikenang sebagai sosok perempuan pemberani yang memilih mati untuk kemerdekaan bangsanya.

Sumber:

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biodata
  • Biografi
  • Blog
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
  • Time Line

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top