Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    • Diplomasi
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

Ernest Douwes Dekker: Pahlawan Nasional Indonesia Keturunan Belanda

Ernest Douwes Dekker atau Dr. Ernest François Eugène Douwes Dekker, atau Multatuli, atau Danudirja Setiabudi, lahir pada 8 Oktober 1879 di Pasuruan, Hindia Belanda. Ia merupakan pejuang kemerdekaan dan pahlawan nasional Indonesia. Douwes Dekker cukup berperan dalam pembentukan nasionalisme Indonesia pada awal abad ke-20. 

Selain itu, ia juga dikenal sebagai penulis kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Belanda, seorang wartawan, aktivis politik, dan pencetus ide Nusantara sebagai nama untuk Hindia Belanda yang merdeka. Sebagai anggota Tiga Serangkai bersama dr. Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat, Setiabudi berkontribusi dalam gerakan kemerdekaan Indonesia. Pahlawan ini meninggal pada tanggal 28 Agustus 1950 di Bandung, Jawa Barat.

Awal Kehidupan dan Pernikahan

Douwes Dekker, juga dikenal sebagai Danudirja Setiabudi, lahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada 8 Oktober 1879, seperti yang tercatat dalam riwayat hidup singkatnya saat mendaftar di Universitas Zurich pada bulan September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Edoeard Douwes Dekker, adalah seorang agen di bank Nederlandsch Indisch Escomptobank. Ibunya, Louisa Neumann, lahir di Pekalongan, Jawa Tengah, dari pasangan Jerman-Jawa.

Dalam keluarga Douwes Dekker, dia adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Keluarga ini sering berpindah-pindah, dengan kelahiran saudara-saudaranya, Adeline dan Julius, lahir di Surabaya, sementara adik laki-lakinya lahir di Meester Cornelis, Batavia (sekarang Jatinegara, Jakarta Timur pada 1883). Keluarga Dekker kemudian pindah ke Pegangsaan, Jakarta Pusat.

Pada tahun 1903, Douwes Dekker menikah dengan Clara Charlotte Deije dan memiliki lima anak, walaupun dua di antaranya meninggal saat masih bayi. Pernikahan ini berakhir pada tahun 1919. Douwes Dekker kemudian menikah lagi dengan Johanna Petronella Mossel pada tahun 1927, seorang Indo keturunan Yahudi. Meski mereka tidak memiliki anak, Johanna banyak membantu kegiatan kesekretariatan di Ksatrian Instituut, sekolah yang didirikan oleh Douwes Dekker.

Ketika Douwes Dekker diasingkan ke Suriname pada tahun 1941, ia dan Johanna terpaksa berpisah. Johanna kemudian menikah dengan Djafar Kartodiredjo tanpa perceraian resmi. 

Setelah Douwes Dekker melarikan diri dari Suriname dan tinggal sebentar di Belanda pada tahun 1946, ia dekat dengan Nelly Alberta Geertzema née Kruymel, seorang perawat Indo yang menjadi pendampingnya ketika pulang ke Indonesia dengan menggunakan nama samaran untuk menghindari penangkapan intelijen Belanda.

Mengetahui pernikahan Johanna dengan Djafar, Douwes Dekker kemudian menikahi Nelly pada tahun 1947. Mereka menggunakan nama samaran yang diusulkan oleh Sukarno: Danoedirdja Setiabuddhi dan Haroemi Wanasita. Setelah Douwes Dekker meninggal, Haroemi menikah dengan Wayne E. Evans pada tahun 1964 dan saat ini tinggal di Amerika Serikat.

Pendidikan

Douwes Dekker memulai pendidikannya di kota Pasuruan. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di sana, ia melanjutkan ke HBS di Surabaya. Namun, orang tuanya segera memindahkannya ke sekolah elit di Batavia yang dikenal sebagai Gymnasium Koning Willem III School.

Setelah lulus dari Gymnasium Koning Willem III School, Douwes Dekker bekerja di sebuah kebun kopi di wilayah Malang, Jawa Timur. Di sinilah ia menjadi saksi perlakuan semena-mena terhadap para pekerja pribumi di kebun kopi tersebut. Douwes Dekker kemudian membela para pekerja kebun dan mendapat ketidaksetujuan dari pengawas kebun lainnya.

Konflik ini membuatnya berhadapan dengan manajernya, dan akhirnya, Douwes Dekker dipindahkan ke perkebunan Tebu. Namun, tidak lama setelah bekerja di sana, ia kembali terlibat dalam konflik dengan perusahaan terkait masalah pembagian irigasi antara perkebunan tebu dan petani padi di wilayah tersebut. Akhirnya, ia dipecat dari pekerjaannya sebagai akibat dari konflik tersebut.

Afrika Selatan

Setelah dipecat dan menghadapi pengangguran, Douwes Dekker mengalami depresi setelah ibunya, Louisa Neumann, meninggal. Dalam keadaan sulit, ia meninggalkan Hindia Belanda dan berangkat ke Afrika Selatan atas tawaran pemerintah kolonial Belanda untuk berpartisipasi dalam perang Boer melawan Inggris pada tahun 1899. Di sana, Douwes Dekker bahkan menjadi warga negara dan membuka jalan bagi saudaranya untuk menyusul.

Namun, perjalanannya di Afrika Selatan berubah saat ia ditangkap dan dipenjara. Di penjara, ia bertemu dengan sastrawan India yang memperluas pandangannya tentang perlakuan semena-mena pemerintahan kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi. Setelah pengalaman ini, nasionalis keturunan Belanda ini kembali ke Hindia Belanda pada tahun 1902.

Wartawan

Bekerja sebagai wartawan untuk koran De Locomotief, Douwes Dekker membuat laporan perang yang bagus. Pada tahun 1903, ia menikahi Clara Charlotte Deije dan memiliki lima anak. Selama karir jurnalistiknya, Douwes Dekker sering mengkritik kebijakan pemerintah kolonial, terutama dalam tulisan-tulisannya mengenai kelaparan di Indramayu.

Pada tahun 1907, Douwes Dekker menjadi staf majalah Bataviaasch Nieuwsblad dan semakin tegas membela masyarakat pribumi dan mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Salah satu karyanya yang paling terkenal, “Bagaimana Belanda dapat kehilangan koloni-koloninya dengan cepat?” atau “Bagaimana Belanda dapat kehilangan koloni-koloninya dengan cepat?” menjadi sasaran intelijen pemerintah kolonial.

Douwes Dekker juga memberikan tempat tinggalnya sebagai pusat pertemuan bagi para aktivis seperti Sutomo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Dukungannya dianggap berperan dalam berdirinya organisasi nasional Budi Utomo. 

Melihat diskriminasi terhadap kaum pribumi dalam pemerintahan kolonial Belanda, terutama dalam perekrutan jabatan penting yang diisi oleh orang Belanda, Douwes Dekker semakin tergerak untuk menentang sistem tersebut.

Indische Partij

Dikarenakan Douwes Dekker menganggap bahwa Budi Utomo hanya berkutat pada permasalahan kebudayaan Jawa, keterlibatannya dalam gerakan ini tidaklah begitu besar. Sebagai individu Indo, ia merasakan diskriminasi dari orang Belanda “murni” atau yang disebut “totok” atau trekkers. 

Diskriminasi ini terutama terlihat dalam ketidakmampuan orang Indo untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan akibat tingkat pendidikan yang rendah. Meski mereka dapat mengisi posisi menengah dengan gaji yang lumayan tinggi, mereka tetap mendapat bayaran lebih rendah dibandingkan orang Belanda. 

Namun, politik etis mempersulit posisi mereka karena pemerintah koloni mulai memberikan peluang pada orang pribumi untuk mengisi posisi-posisi yang biasanya diisi oleh Indo.

Pandangan prihatin orang Indo terhadap diskriminasi ini menjadi landasan bagi Douwes Dekker untuk memasukkan gagasan-gagasannya mengenai pemerintahan Hindia Belanda yang inklusif dan melampaui batasan ras dan suku. Gagasan ini dianggap orisinal pada masanya, di mana kebanyakan orang lebih aktif dalam kelompok ras atau suku masing-masing.

Dari organisasi Indo, Indische Bond dan Insulinde, Douwes Dekker menyuarakan ide tentang pembentukan “Indië” (Hindia) yang baru, dipimpin oleh warganya sendiri, bukan oleh pendatang. 

Namun, ironisnya, gagasan ini tidak sepenuhnya diterima oleh komunitas Indo, sebagian besar dari mereka memilih status quo meskipun mereka direndahkan oleh kelompok orang Eropa “murni,” karena mereka masih mendapat perlakuan lebih baik daripada pribumi.

Tidak puas dengan ketidakmampuan bersatunya Indische Bond dan Insulinde, pada tahun 1912, Douwes Dekker bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij, sebuah partai nasionalis inklusif. 

Kampanyenya berhasil mendapatkan sekitar 5000 anggota dalam waktu singkat, dengan Semarang sebagai kota dengan jumlah anggota terbanyak, diikuti oleh Bandung. Meskipun populer di kalangan Indo dan diterima baik oleh kelompok Tionghoa dan pribumi, partai ini tetap dicurigai karena gagasannya yang dianggap radikal. 

Namun, setahun setelah berdiri, pemerintah kolonial Hindia Belanda membubarkan partai ini pada tahun 1913, menganggapnya menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Akibat dari tulisan kontroversial Suwardi di De Expres yang berjudul “Als Ik Een Nederlander Was” (Seandainya Aku Seorang Belanda), Douwes Dekker bersama Tjipto Mangoenkoesoemo dan Suwardi diasingkan ke Belanda karena mendukung Suwardi.

Pengasingan di Eropa 

Pendiri Indische Partij mengalami pengasingan ke Eropa setelah itu. Selama masa di Eropa, ia bersama keluarganya dan melanjutkan pendidikan dengan mengikuti program doktor di bidang ekonomi di Universitas Zurich, Swiss.

Selama berada di Swiss, ia terlibat dalam konspirasi dengan kelompok revolusioner India. Akibat keterlibatannya, ia ditangkap di Hongkong dan menjalani proses pengadilan di sana. Pada tahun 1918, di Singapura, ia juga mengalami penahanan dan akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun.

Peristiwa Pulonharjo

Setelah menghabiskan waktu di penjara, Douwes Dekker kembali ke Batavia dan aktif kembali dalam dunia jurnalistik serta kegiatan organisasi. Sebagai redaktur organ informasi Insulinde yang dikenal sebagai De Beweging, ia menulis serangkaian artikel yang secara tajam mencela kalangan pro-kolonial dan sikap yang umumnya dipegang oleh kaumnya, yaitu kaum Indo. 

Fokusnya sebenarnya adalah menghapuskan pengaruh Eropa pada orang Indo, agar mereka sadar bahwa masa depan mereka seharusnya bersama kaum pribumi, bukan mendukung kepentingan Belanda. 

Organisasi baru kaum Indo yang muncul, yaitu Indisch Europeesch Verbond (IEV), menjadi sasaran kritik dalam artikel-artikelnya seperti “De tien geboden” (Sepuluh Perintah Tuhan) dan “Njo Indrik” (Sinyo Hendrik), yang dengan tajam menggambarkan IEV sebagai “liga yang konyol dan kekanak-kanakan”.

Pada periode ini, Douwes Dekker juga menulis beberapa pamflet terkenal seperti “Een Natie in de maak” (Suatu bangsa tengah terbentuk) dan “Ons volk en het buitenlandsche kapitaal” (Bangsa kita dan modal asing).

Dalam waktu yang sama, Nationaal Indische Partij (NIP) terbentuk sebagai kelanjutan dari Indische Partij yang telah dilarang. Pembentukan NIP menyebabkan perpecahan di antara anggota Insulinde, terutama di kalangan yang moderat (kebanyakan kalangan Indo) dan yang progresif (menginginkan pemerintahan sendiri, kebanyakan orang Indonesia pribumi). Sayangnya, NIP mengalami nasib serupa dengan IP, yaitu tidak diizinkan oleh Pemerintah.

Pada tahun 1919, Douwes Dekker terlibat dalam peristiwa protes dan kerusuhan petani/buruh tani di perkebunan tembakau Polanharjo, Klaten. Kasus ini membuatnya terjerat hukum karena dianggap menghasut para petani dalam pertemuan mereka dengan anggota Insulinde cabang Surakarta. 

Meskipun dibebaskan pada pengadilan tahun 1920 di Semarang, kasus baru muncul dari Batavia, di mana ia dituduh menulis hasutan di surat kabar yang ia pimpin, De Beweging. Kali ini, ia harus membela seseorang yang menulis komentar yang menyatakan “Membebaskan negeri ini adalah keharusan! Turunkan penguasa asing!”. 

Kekecewaannya muncul karena penyelidikan dilakukan bukan hanya terhadap tulisan tersebut, melainkan juga terhadap “mentalitas” sang penulis (dan dituduhkan kepada DD). Setelah melewati pembelaan yang panjang, Douwes Dekker akhirnya dibebaskan oleh pengadilan.

Ksatrian Instituut

Setelah melewati masa tahanan dan serangkaian pengadilan, Douwes Dekker cenderung mengurangi keterlibatannya dalam dunia jurnalistik dan lebih fokus pada penulisan beberapa buku semi-ilmiah. Selain itu, ia menyalurkan minatnya pada penangkaran anjing gembala Jerman dan terlibat aktif dalam organisasinya. 

Pencapaiannya patut diacungi jempol, terutama ketika salah satu anjingnya berhasil memenangkan kontes dan bahkan memiliki kemampuan menjawab beberapa pertanyaan berhitung serta menjawab pertanyaan tertulis.

Douwes Dekker masuk ke dunia pendidikan karena didorong oleh Suwardi Suryaningrat, yang pada saat itu mendirikan Perguruan Taman Siswa. Douwes Dekker mendirikan sekolah yang disebut “Ksatrian Instituut” (KI) di Bandung. Di sana, dia aktif membuat materi pelajaran sendiri yang diajarkan dalam bahasa Belanda. 

Meskipun KI awalnya berfokus pada pendidikan bisnis, namun di dalamnya juga diselipkan pelajaran sejarah Indonesia dan sejarah dunia yang materinya ditulis oleh Douwes Dekker sendiri. Namun, karena isi pelajaran sejarah yang bersifat anti-kolonial dan pro-Jepang. 

Pada tahun 1933 pemerintah Keresidenan Bandung menyita buku-bukunya dan kemudian membakarnya. Pada masa itu, Jepang mulai meningkatkan kekuatan militer dan politiknya di Asia Timur dengan kebijakan ekspansi ke Korea dan Tiongkok, sehingga Douwes Dekker juga dilarang mengajar.

Pengasingan di Suriname

Dilarang mengajar, Douwes Dekker kemudian mencari sumber penghasilan dengan bekerja di kantor Kamar Dagang Jepang di Jakarta. Melalui pekerjaannya ini, ia menjalin kedekatan dengan Mohammad Husni Thamrin, seorang wakil pribumi di Volksraad. 

Pada saat yang sama, pemerintah Hindia Belanda sedang menghadapi sejumlah tantangan, termasuk trauma akibat pemberontakan komunis (ISDV) tahun 1927, krisis ekonomi akibat krisis keuangan 1929, dan kekhawatiran terhadap perkembangan fasisme ala Nazi di kalangan warga Eropa (Europaeer).

Serbuan Jerman ke Denmark dan Norwegia, dan akhirnya ke Belanda, pada tahun 1940 menyebabkan penangkapan ribuan orang Jerman di Hindia Belanda, termasuk orang-orang Eropa lain yang diduga berafiliasi dengan Nazi. Douwes Dekker, yang sudah lama “dipantau”, akhirnya menjadi sasaran karena dianggap sebagai kolaborator Jepang, yang saat itu mulai menyerang Indochina Prancis. Ia juga dituduh sebagai seorang komunis.

Pada tahun 1941, Douwes Dekker ditangkap dan dibuang ke Suriname melalui Belanda. Di Suriname, ia ditempatkan di suatu kamp di pedalaman Sungai Suriname yang disebut Jodensavanne (“Padang Yahudi”). Tempat ini, pada abad ke-17 hingga ke-19, pernah menjadi pemukiman orang Yahudi yang ditinggalkan karena keonaran oleh pendatang.

Kehidupan di kamp sangat sulit, terutama bagi Douwes Dekker yang sudah berusia 60-an dan bahkan kehilangan kemampuan melihat. Kondisinya sangat tertekan karena kerinduannya kepada keluarganya. Komunikasi dilakukannya melalui Palang Merah Internasional dan harus melewati sensor.

Setelah berita tentang berakhirnya perang, para buangan di sana tidak segera dibebaskan. Baru menjelang pertengahan tahun 1946, sejumlah orang buangan termasuk Douwes Dekker dikirim kembali ke Belanda. Di Belanda, ia bertemu dengan Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel, seorang perawat. 

Nelly kemudian menemaninya kembali ke Indonesia. Namun, kepulangan mereka tidak tanpa tantangan, karena Douwes Dekker harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok. Akhirnya, mereka berhasil tiba di Yogyakarta, ibu kota Republik Indonesia pada waktu itu, pada tanggal 2 Januari 1947.

Setelah Kemerdekaan

Tidak lama setelah kembali, Douwes Dekker segera terlibat dalam posisi-posisi penting di pihak Republik Indonesia. Pertama-tama, ia menjabat sebagai menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Sjahrir III, yang hanya berlangsung selama hampir 9 bulan. 

Dia kemudian menjadi banyak hal: anggota delegasi negosiasi dengan Belanda, anggota DPA, pengajar di Akademi Ilmu Politik, dan kepala seksi penulisan sejarah (historiografi) di Kementerian Penerangan.

Meskipun ini tidak benar, beberapa pejabat Belanda menganggapnya sebagai “komunis”.

Pada periode ini, Douwes Dekker tinggal di rumah yang sama dengan Soekarno, dan ia juga memiliki salah satu rumah di Kaliurang. Dari rumah inilah, pada tanggal 21 Desember 1948, ia ditangkap oleh tentara Belanda yang tiba dua hari sebelumnya di Yogyakarta dalam rangka “Aksi Polisionil.” Setelah diinterogasi, ia kemudian dikirim ke Jakarta untuk diinterogasi kembali.

Para buangan di sana tidak segera dibebaskan setelah mendengar berita bahwa perang telah berakhir. Baru menjelang pertengahan tahun 1946, sejumlah orang buangan, termasuk Douwes Dekker, dikirim kembali ke Belanda. Di Belanda, ia bertemu dengan perawat Nelly Albertina Gertzema nee Kruymel. 

Setelah itu, Nelly kembali ke Indonesia bersamanya. Karena Douwes Dekker harus mengganti nama dan menghindari petugas intelijen di Pelabuhan Tanjung Priok, kepulangan mereka menjadi sulit. Mereka akhirnya tiba di Yogyakarta, yang pada waktu itu adalah ibu kota Republik Indonesia, pada 2 Januari 1947.

Wafat

Ernest Douwes Dekker meninggal pada dini hari tanggal 28 Agustus 1950 (tertulis di batu nisannya; versi van der Veur, 2006 mencantumkan tanggal 29 Agustus 1950) dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

Banyak wujud penghormatan terhadap jasa Douwes Dekker dalam perjuangan kemerdekaan. Di tiap kota besar, terdapat jalan yang diberi nama sesuai dengan jasanya: Setiabudi. Jalan Lembang di Bandung utara, tempat berdirinya rumahnya, kini berganti nama menjadi Jalan Setiabudi. Bahkan di Jakarta, namanya diabadikan sebagai nama kecamatan, yaitu Kecamatan Setiabudi di Jakarta Selatan.

Di Belanda, Douwes Dekker dihormati sebagai tokoh yang berjasa dalam mengoreksi arah kolonialisme, meskipun sepanjang hidupnya ia berselisih dengan pemerintah kolonial Belanda dan bahkan dituduh sebagai “pengkhianat.”

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    • Diplomasi
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top