Pada tanggal 22 Desember 1948, di Sumatera Barat, terbentuklah Kabinet Darurat yang menjadi elemen krusial dalam narasi perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang telah dimulai pada 17 Agustus 1945.
Kabinet Darurat ini hadir sebagai tanggapan konkret terhadap penangkapan Soekarno, Moh. Hatta, dan pemimpin Republik Indonesia lainnya di Yogyakarta, yang terjadi seiring dengan agresi kedua yang dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948.
Peristiwa ini mencatatkan dirinya sebagai salah satu episode penting dalam perjalanan perjuangan Republik Indonesia menghadapi usaha Belanda untuk menguasai kembali tanah air.
Sebagai entitas pemerintahan darurat yang terbentuk, kepemimpinan Kabinet Darurat dipegang oleh Menteri Kemakmuran, Mr. Sjafrudin Prawiranegara.
Proses pembentukan kabinet ini dipicu oleh mandat yang diberikan oleh Presiden Soekarno melalui surat telegram, meskipun surat tersebut tidak pernah sampai ke tangan penerima.
Berkolaborasi dengan tokoh-tokoh utama Republik Indonesia di Sumatera Barat, seperti Tengku Mohammad Hassan, Soetan Mohammad Rasjid, dan lainnya, Kabinet Darurat mampu menjaga keberlangsungan dan bahkan memperkuat posisinya di tingkat internasional.
Pada intinya, Kabinet Darurat yang muncul pada 22 Desember 1948 di Sumatera Barat adalah representasi dari ketahanan dan keberanian dalam menghadapi tantangan berat yang dihadapi oleh Republik Indonesia pada saat itu.
Pemerintahan darurat ini tidak hanya menjadi landasan organisasi dan koordinasi di tingkat nasional, tetapi juga berhasil mempertahankan martabat Republik Indonesia di panggung internasional.
Susunan Kabinet Darurat
Jabatan | Foto | Pejabat | Waktu Menjabat | Partai |
---|---|---|---|---|
Ketua PDRI | Sjafruddin Prawiranegara | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Wakil Ketua Pemerintahan Darurat | Teuku Muhammad Hasan | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Wakil Ketua Pemerintahan Darurat | Soesanto Tirtoprodjo | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Dalam Negeri | Teuku Muhammad Hasan | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Dalam Negeri | Sukiman Wirjosandjojo | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Luar Negeri (ad interim) | Sjafruddin Prawiranegara | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Luar Negeri | AA Maramis | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Pertahanan | Sjafruddin Prawiranegara | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Kehakiman | Lukman Hakim | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Kehakiman | Soesanto Tirtoprodjo | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Keuangan | Lukman Hakim | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Kemakmuran | Indratjahja | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Kemakmuran | IJ Kasimo | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Perhubungan | Indratjahja | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Keamanan (Jabatan dihapuskan pada perombakan kabinet) | Sutan Mohammad Rasjid | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Pekerjaan Umum | Mananti Sitompul | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Kesehatan | Mananti Sitompul | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Kesehatan | Sukiman Wirjosandjojo | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan | Teuku Muhammad Hasan | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Sosial (Digabungkan dengan Menteri Pemburuhan pada perombakan kabinet) | Sutan Mohammad Rasjid | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Agama | Teuku Muhammad Hasan | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Agama (ad interim) | Masjkur | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Penerangan | Sjafruddin Prawiranegara | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Perburuhan (Bernama Menteri Perburuhan dan Sosial pada perombakan kabinet) | Sutan Mohammad Rasjid | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Pembangunan dan Pemuda | Sutan Mohammad Rasjid | 19 Desember 1948 – 31 Maret 1949 | ||
Menteri Pembangunan dan Pemuda | Soesanto Tirtoprodjo | 31 Maret 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Sekretaris Pemerintah Darurat | Mardjono Danoebroto | 19 Desember 1948 – 13 Juli 1949 | ||
Komisariat PDRI untuk Jawa | ||||
Menteri Kehakiman | Soesanto Tirtoprodjo | 16 Mei 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Penerangan | Soesanto Tirtoprodjo | 16 Mei 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Persediaan Makanan Rakya | IJ Kasimo | 16 Mei 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Agama | Masjkur | 16 Mei 1949 – 13 Juli 1949 | ||
Menteri Urusan Dalam Negeri | Raden Pandji Soeroso | 16 Mei 1949 – 13 Juli 1949 |
Table of Contents
ToggleTantangan Kabinet Darurat
Agresi militer yang dilancarkan oleh Belanda pada tanggal 19 Desember 1948, yang berhasil menguasai Yogyakarta dan Bukittinggi serta menahan para pemimpin Republik Indonesia, menjadi pemicu terbentuknya Kabinet Darurat di Halaban pada tanggal 22 Desember 1948.
Pembentukan Kabinet Darurat ini oleh Sjafruddin Prawiranegara merupakan langkah strategis dari para pemimpin Republik Indonesia yang bertujuan untuk mengalihkan pusat kekuasaan ke suatu lokasi di Sumatra.
Perencanaan pembentukan Kabinet Darurat sendiri telah disusun sebelumnya melalui Dewan Siasat Militer, sebagai respons terhadap potensi serangan dari pihak Belanda.
Kabinet Darurat beserta komponennya yang terbentuk di Halaban pada 22 Desember 1948 segera menyusun taktik untuk menghadapi pasukan Belanda yang mulai menguasai Bukittinggi. Taktik ini terdiri dari dua aspek utama, yakni taktik perang dan upaya diplomasi.
Taktik perang mencakup pembentukan komisariat pemerintahan di wilayah Sumatera dan Jawa, serta pendirian komando militer di bawah kendali gubernur militer dengan melibatkan perangkat desa, kecamatan, dan kabupaten.
Di sisi lain, upaya diplomasi dilakukan oleh perwakilan Kabinet Darurat di luar negeri guna membangun dukungan internasional.
Langkah ini melibatkan pengutarakan tindakan agresi militer Belanda di forum PBB dan konferensi New Delhi, sebagai bagian dari strategi untuk mendapatkan solidaritas dunia terhadap perjuangan Republik Indonesia.
Kabinet Darurat, dengan kebijakan taktik yang diterapkan, menunjukkan kesiapan dalam menghadapi situasi krisis dan berupaya membangun dukungan baik di tingkat nasional maupun internasional.
Kesatuan upaya antara aspek perang dan diplomasi mencerminkan ketangguhan Republik Indonesia dalam menyikapi tantangan berat yang dihadapi, membuktikan keberanian dan ketahanan dalam mempertahankan kemerdekaan.
Akir Kabinet Darurat
Tekanan internasional yang diberikan kepada Belanda melalui Dewan Keamanan PBB menghasilkan Resolusi Dewan Keamanan PBB pada 28 Januari 1949.
Resolusi tersebut dirancang untuk menyelesaikan konflik antara Belanda dan Republik Indonesia. Dengan dukungan yang signifikan dari berbagai negara terhadap resolusi tersebut, Belanda akhirnya bersedia untuk memulai perundingan dengan Republik Indonesia.
Pada saat itu, United Nations Commission for Indonesia (UNCI) turut berperan dalam memfasilitasi jalannya perundingan antara kedua belah pihak.
Pada tanggal 7 Mei 1949, perjanjian antara Belanda dan Republik Indonesia berhasil dicapai dan dikenal dengan nama Pernyataan Roem-Royen. Melalui pernyataan ini, disepakati untuk mengembalikan pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta.
Kesepakatan ini menjadi langkah signifikan dalam menyelesaikan ketegangan antara kedua pihak. Pernyataan Roem-Royen juga menunjukkan bahwa ada kesediaan dari Belanda untuk mengakui kembali kedaulatan Republik Indonesia.
Sebagai konsekuensi dari kesepakatan tersebut, pada tanggal 13 Juli 1949, Kabinet Darurat mengambil langkah penting dengan mengembalikan mandat pemerintahan kepada Presiden Republik Indonesia.
Tindakan ini menandai akhir dari periode darurat dan mengembalikan otoritas penuh kepada kepemimpinan nasional. Peristiwa ini memperkuat posisi Republik Indonesia sebagai negara yang mampu mempertahankan kedaulatannya melalui diplomasi internasional dan upaya perundingan.