Johannes Leimena adalah seorang tokoh yang dihormati dalam sejarah Indonesia. Dia dikenal sebagai seorang politisi yang jujur dan diplomat yang berbakat, menurut penilaian dari beberapa tokoh seperti Soekarno, Mohammad Roem, dan Sutan Sjahrir.
Penamaan Leimena sebagai Pahlawan Nasional menggarisbawahi kontribusinya yang signifikan terhadap bangsa Indonesia. Selain dikenal sebagai seorang politisi dan diplomat, Leimena juga menjadi simbol integritas dan pengabdiannya terhadap negara.
Patungnya yang didirikan di Universitas Pattimura dan institusi yang diberi namanya oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia menegaskan keberadaannya sebagai tokoh yang berpengaruh dalam sejarah Indonesia.
Meskipun telah meninggal pada tahun 1977, warisannya terus dikenang dan dihargai oleh masyarakat, serta diabadikan melalui berbagai bentuk penghormatan seperti patung dan institusi yang memakai namanya.
Pengakuan sebagai Pahlawan Nasional menegaskan pengaruh Johannes Leimena dalam pembentukan identitas Indonesia. Selain sebagai seorang politisi dan diplomat yang terkemuka, Leimena juga dikenal sebagai sosok yang tulus dan berintegritas.
Penghargaan tersebut, bersama dengan pembangunan institusi dan patung yang mengabadikan namanya, menegaskan warisannya sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang dihormati dan diinspirasi oleh banyak orang.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan Johannes Leimena
Leimena lahir pada 6 Maret 1905 di Ambon, Maluku. Keluarganya terdiri dari Dominggus Leimena dan Elizabeth Sulilatu, keduanya guru. Leimena tinggal di Ambon atau di kampung halaman orangtuanya di Ema atau Lateri ketika masih kecil. Keluarganya beragama Kristen, dan ayahnya adalah keturunan raja Ema.
Ketika Leimena berusia lima tahun, ayahnya meninggal dan ibunya menikah lagi, sehingga Leimena tinggal dengan paman dan bibinya sementara saudara-saudaranya tinggal bersama ayah tirinya. Di Ambon, Leimena bersekolah di Ambonsche Burgerschool yang menggunakan bahasa Belanda.
Pada tahun 1914, Leimena pindah ke Cimahi, Jawa Barat, karena pamannya menjadi kepala sekolah di sana. Setelah sembilan bulan, mereka pindah lagi ke Batavia.
Leimena belajar di Europeesche Lagere School (ELS) di Batavia sebelum pindah ke Paul Krugerschool. Di sana, dia kemudian beralih ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), yang dirancang khusus untuk siswa Kristen.
Setelah MULO, Leimena ingin melanjutkan ke Hogereburgerschool (HBS, setara SMA) atau sekolah teknik Koningin Wilhelmina School (KWS), tetapi bibinya melarangnya dan dia tidak lolos seleksi KWS. Dia ditolak saat melamar di kantor pos dan kereta api, hingga akhirnya diterima di sekolah kedokteran STOVIA.
Leimena aktif dalam organisasi pemuda ketika di STOVIA seperti Jong Ambon dan Christen Studenten Vereniging. Meskipun awalnya netral, dia menjadi tokoh penting dalam Jong Ambon.
Dia bergaul dengan tokoh-tokoh Sumatra dan bergabung dengan Perhimpunan Teosofi. Pandangannya bergeser mendukung kemerdekaan Indonesia, terutama setelah Partai Nasional Indonesia dibentuk oleh Soekarno.
Leimena berpartisipasi dalam Kongres Pemuda Pertama dan Kedua pada tahun 1926 dan 1928. Selain itu, gerakan oikumene, yang saat itu baru muncul di Indonesia, menarik perhatian dia. Pada tahun 1930, Leimena lulus dari STOVIA.
Masa Penjajahan
Setelah menyelesaikan pendidikan di STOVIA, Leimena mulai bekerja di Centraal Burgerlijke Ziekenhuis, yang sekarang dikenal sebagai RS Cipto Mangunkusumo.
Ia ditugaskan di Keresidenan Kedu setelah Gunung Merapi meletus pada tahun 1930, sebelum kemudian pindah ke RS Zending Imanuel di Bandung.
Di Bandung, ia bertanggung jawab untuk melatih perawat-perawat baru sejak 1936, dan bekerja sama dengan bidan-bidan serta klinik di sekitar rumah sakit.
Karena banyak warga Muslim yang enggan berobat ke rumah sakit Kristen, Leimena memulai sistem pengumpan dengan poliklinik di desa-desa yang dijalankan oleh tenaga kesehatan setempat untuk memberikan layanan kesehatan, terutama dalam hal pencegahan penyakit.
Selama menjadi dokter, ia terus melanjutkan studinya, dan pada tahun 1939, ia berhasil lulus dari Geneeskundige Hoogeschool te Batavia sebagai seorang dokter spesialis penyakit hati.
Pada tahun 1941, Leimena dipromosikan menjadi kepala RS Banyu Asin di Purwakarta. Namun, setelah invasi Jepang, RS Banyu Asin diduduki oleh pasukan Jepang untuk sementara sebelum Leimena diijinkan untuk kembali bekerja.
Pada tahun 1943, Leimena ditahan oleh tentara pendudukan Jepang, mungkin karena hubungannya dengan Amir Sjarifuddin atau karena ia merawat tentara Belanda yang terluka dalam Pertempuran Kalijati.
Selama enam bulan di dalam penahanan, Leimena mengalami perlakuan kekerasan dari tentara Jepang. Ia dibebaskan setelah merawat seorang perwira Kenpeitai yang menderita malaria hingga sembuh, tetapi tempat kerjanya dipindahkan dari Purwakarta ke Tangerang.
Republik Maluku Selatan
Ketika Proklamasi Kemerdekaan Indonesia berlangsung, Leimena tengah bertugas di Tangerang. Setelah kejadian tragis di Lengkong yang menewaskan 30 kadet TKR, Leimena melakukan perawatan terhadap korban luka, dan saat itu dia bertemu dengan Soekarno yang datang menjenguk para korban.
Dua bulan setelah peristiwa tersebut, Leimena diundang untuk menjadi Menteri Muda Kesehatan dalam Kabinet Sjahrir II. Meskipun awalnya menolak karena tugasnya sebagai dokter, Leimena kemudian menerima tawaran tersebut atas dorongan dari temannya, Amir Sjarifuddin.
Ia kemudian menjabat sebagai Menteri Kesehatan dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I hingga jatuhnya Kabinet Wilopo pada tahun 1953.
Pada periode revolusi, Leimena ikut aktif dalam mendirikan Parkindo pada tahun 1947 dan memegang posisi sebagai bagian dari pimpinan partai tersebut. Setelah pelaksanaan Kongres III Parkindo pada bulan April 1950, Leimena kemudian dipilih sebagai Ketua Umum Parkindo.
Di luar jabatannya sebagai menteri, Leimena juga menjadi Ketua Umum organisasi Pemuda Indonesia Maluku (PIM), yang didirikan oleh Johannes Latuharhary, dengan anggota dari pemuda Ambon yang mendukung kemerdekaan Indonesia.
Ketika menjabat sebagai menteri, Leimena mulanya tinggal di Jakarta, tetapi ia kemudian memutuskan untuk pindah ke Yogyakarta pada tahun 1946 karena meningkatnya kehadiran tentara Belanda di Jakarta.
Selain itu, Leimena juga menjadi anggota tim perundingan dalam berbagai perjanjian penting, seperti Perundingan Linggarjati tahun 1946, Perjanjian Renville, Perjanjian Roem-Roijen tahun 1948, dan Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Ia merupakan salah satu menteri RI yang berhasil menghindari penangkapan selama Agresi Militer Belanda II.
Setelah kedaulatan diserahkan ke Indonesia, Republik Maluku Selatan dideklarasikan di Ambon, dan Leimena diutus sebagai kepala juru runding pemerintah. Namun, upaya perundingan tersebut mengalami beberapa kegagalan karena permintaan dari pihak RMS yang tidak dapat diterima oleh tim perundingan Indonesia.
Leimena kembali dikirim pada Juni 1950 untuk mencoba lagi, tetapi misi tersebut gagal karena tidak adanya jalur transportasi ke Maluku. Pada akhirnya, TNI mendarat di Ambon sebelum perundingan dapat dimulai.
Menteri Kesehatan
Setelah perang kemerdekaan berakhir, kondisi pelayanan kesehatan di Indonesia mengecewakan karena kurangnya perhatian dari pemerintah kolonial, masalah malnutrisi, pengambilalihan rumah sakit selama pendudukan Jepang, dan kerusuhan selama perang kemerdekaan.
Leimena, sebagai Menteri Kesehatan, memandang kesehatan masyarakat sebagai faktor penting dalam pembangunan Indonesia dan meningkatkan sosioekonomi masyarakat, sehingga ia berfokus pada pengembangan sistem pencegahan penyakit dan kebersihan di wilayah pedesaan, berbeda dengan kebijakan kolonial yang hanya fokus pada kesehatan perkotaan.
Pada tahun 1950, pemerintah daerah Bandung menginisiasi proyek kesehatan berbasis rumah sakit misionaris dengan mendirikan sejumlah klinik di pedesaan untuk mendukung pelayanan dari rumah sakit pusat di kota.
Sistem ini, dikenal sebagai “Bandung Plan” atau “Leimena Plan,” diimplementasikan oleh Leimena berdasarkan pengalaman kerjanya di RS Zending Imanuel. Meskipun direncanakan akan diterapkan di seluruh Indonesia, rencana ini terkendala oleh masalah administratif, ketersediaan anggaran, dan kurangnya dokter.
Leimena juga memperhatikan masalah angka kematian ibu dan anak yang tinggi. Pada tahun 1951, statistik menunjukkan angka kematian ibu melahirkan dan bayi yang mencemaskan.
Sebagai respons, Leimena menginisiasi pendirian Balai Kesehatan Ibu dan Anak untuk mengatasi masalah ini. Selain itu, Leimena juga terlibat dalam pembentukan berbagai undang-undang terkait kesehatan masyarakat, seperti yang mengatur pekerjaan dokter, pengelolaan klinik swasta, dan perizinan praktik kesehatan.
Leimena juga aktif dalam urusan luar negeri terkait kesehatan, menekankan pentingnya bantuan kesehatan yang tanpa syarat. Selama kunjungannya ke Eropa, ia mempelajari sistem kesehatan di beberapa negara dan terkesan dengan pendekatan Norwegia yang memperhatikan gizi dan kondisi kerja dalam kesehatan masyarakat.
Meskipun berbagai prestasi dalam bidang kesehatan, Leimena juga terlibat dalam politik sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan wakil ketua Dewan Gereja Indonesia.
Demokrasi Terpimpin
Setelah jatuhnya Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Leimena mengungkapkan bahwa kabinet-kabinet berikutnya harus lebih inklusif dengan melibatkan partai-partai yang sebelumnya tidak terlibat dalam pemerintahan.
Dalam Kabinet Djuanda, Leimena awalnya menjabat sebagai Menteri Sosial, tetapi kemudian ditunjuk sebagai Wakil Perdana Menteri pada tahun yang sama.
Pada bulan Mei 1957, Leimena bergabung dengan Dewan Nasional dan menjadi anggota Panitia 7 orang yang bertugas menangani masalah TNI Angkatan Darat bersama Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja, Kasad TNI AD Abdul Haris Nasution, Sultan Hamengkubuwono IX, dan Menteri Kesehatan Abdul Azis Saleh.
Leimena dikenal sebagai pendukung setia Soekarno bahkan setelah Dekret Presiden 5 Juli 1959. Karena kesibukannya di pemerintahan, jabatan ketua umum Parkindo dialihkan ke Albert Mangaratua Tambunan. Setelah Dekret 1959, Leimena diangkat menjadi Menteri Distribusi dan kembali menjadi Wakil Perdana Menteri.
Sebagai Menteri Distribusi, ia menekankan pentingnya peningkatan asupan gizi untuk meningkatkan produktivitas pekerja, dengan fokus pada swasembada beras melalui pengembangan pertanian intensif di Jawa dan luar Jawa, meskipun rencananya dianggap ambisius dan menghadapi kendala dalam koordinasi dengan kementerian lainnya.
Selama Operasi Trikora, Leimena bergabung dalam Komando Operasi Tertinggi dengan pangkat Laksamana Madya pada tahun 1962 dan Laksamana (bintang empat) pada tahun 1964.
Setelah kematian mendadak Perdana Menteri Djuanda, Soekarno membentuk presidium tiga orang yang terdiri dari Leimena, Subandrio, dan Chaerul Saleh untuk memimpin kabinet.
Selama masa demokrasi terpimpin ini, Leimena, yang dikenal sebagai pendukung Soekarno, diakui kepiawaiannya dalam berurusan dengan politikus dan elit lainnya, meskipun tidak begitu sukses dalam mendapatkan dukungan dari masyarakat umum. Leimena menjadi penjabat Presiden sebanyak tujuh kali selama periode ini.
Peristiwa G30SPKI
Ketika Gerakan 30 September (G30S) terjadi pada tahun 1965, Leimena tinggal di dekat rumah Jenderal Abdul Haris Nasution, yang menjadi salah satu sasaran utama G30S.
Dini hari itu, sekitar seratus orang mencoba menculik Nasution, sementara Leimena dijaga oleh tiga pengawal pribadi. Mereka yang mencoba menculik Nasution ingin memastikan agar pengawal Leimena tidak mengganggu. Terjadi baku tembak, dan salah satu pengawal Leimena, Karel Sadsuitubun, tewas. Setelah insiden tersebut, rumah Leimena tidak diserang lagi, dan Leimena sendiri tidak disentuh.
Setelah mengetahui bahwa salah satu pengawalnya tewas, Leimena menolak untuk melarikan diri dan memilih tinggal di rumahnya. Sebelum kejadian tersebut terungkap, Leimena dianggap sebagai target utama penculikan, dan laporan awal lebih banyak mengenai peristiwa di rumahnya. Awalnya, Soeharto diberitahu bahwa Leimena telah diculik.
Beberapa jam setelah insiden itu, masih pada tanggal 1 Oktober, Leimena dipanggil oleh Soekarno ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, di mana Soekarno sedang berunding dengan beberapa pimpinan G30S.
Sebelum pergi ke Halim, Leimena berdiskusi dengan Soeharto dan menyampaikan pesan dari Soeharto yang meminta Soekarno meninggalkan Halim sebelum pukul 16.30. Setelah tiba di Halim, Leimena tetap berada di dekat Soekarno sepanjang sore.
Setelah pembicaraan dan persetujuan Soekarno untuk menggantikan Ahmad Yani dengan Pranoto Reksosamudro sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat, mereka diberitahu bahwa Soeharto bersiap-siap menyerbu Halim. Tokoh-tokoh G30S mencoba meyakinkan Soekarno untuk pergi bersama mereka, tetapi Leimena berhasil mencegahnya.
Karena campur tangan Leimena, rencana G30S untuk membawa Soekarno ke lokasi mereka digagalkan, dan Soekarno memutuskan untuk kembali ke Istana Bogor, sehingga tidak terlibat dalam rencana kudeta. Pada sore hari itu, G30S mengumumkan “Dewan Revolusi Indonesia”, yang melibatkan Leimena dan banyak pejabat lainnya.
Leimena kemudian ditunjuk sebagai Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan ad interim, dan pada tanggal 3 Maret 1966, ia memerintahkan penutupan universitas-universitas. Namun, perintahnya diabaikan oleh TNI yang mengawal kegiatan di kampus-kampus.
Pada tanggal 11 Maret, Leimena mengikuti pertemuan kabinet di Jakarta saat sejumlah tentara mendekati Istana Presiden. Kemudian, pada sore harinya, Soekarno bersama tiga Wakil Perdana Menteri (Waperdam) bertemu dengan beberapa jenderal TNI di Istana Bogor dan menerbitkan Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR), yang memberikan kekuasaan darurat kepada Soeharto.
Tak lama setelah itu, pada tanggal 16 Maret, Leimena menghadiri pertemuan lain di mana Soekarno menolak permintaan untuk merombak kabinetnya. Namun, pada tanggal 18 Maret 1966, 15 menteri Soekarno ditangkap.
Meskipun demikian, Leimena tetap menjabat sebagai menteri dan menjadi anggota kabinet yang terdiri dari lima orang, termasuk Hamengkubuwono IX, Idham Chalid, Adam Malik, dan Ruslan Abdulgani. Leimena telah menjabat sebagai menteri dalam berbagai kabinet selama hampir dua puluh tahun.
Masa Orde baru
Soeharto awalnya berencana untuk mengangkat Leimena menjadi menteri dalam pemerintahannya, tetapi Leimena menolak secara tidak langsung melalui Hamengkubuwono IX. Oleh karena itu, Leimena kemudian diangkat sebagai pejabat sementara Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) antara tahun 1966 dan 1968.
Setelah masa jabatannya berakhir, ia tetap menjadi anggota DPA hingga tahun 1973. Selama masa ini, Leimena fokus untuk menyelesaikan isu-isu internal DPA, terutama terkait perpajakan, pendidikan, dan suksesi presiden. Pada tahun 1968, ia juga ditunjuk sebagai direktur di Rumah Sakit Cikini.
Meskipun Orde Baru berkuasa, Leimena tetap mempertahankan hubungan baik dengan Soekarno, menjadi salah satu dari sedikit politisi yang tidak menjauh dari mantan presiden itu.
Pada pemilihan umum 1971, Leimena memenangkan kursi untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, namun ia tidak dilantik. Setelah fusi antara Parkindo dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) pada tahun 1973, Leimena diangkat sebagai wakil ketua dewan pertimbangan pusat PDI.
Wafat
Jenazah Leimena dimakamkan di Jakarta pada tanggal 29 Maret 1977, sekitar pukul 7.30 pagi. Sebelumnya, ia mengalami sakit setelah pulang dari Eropa dan harus menggunakan kursi roda saat kembali ke Indonesia. Setelah upacara pemakamannya, Leimena dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Menurut Sutan Sjahrir, hubungan Leimena dengan Soekarno didasarkan pada kejujuran, dengan Leimena menyampaikan pendapatnya kepada Soekarno secara tulus tanpa meninggalkannya sendirian. Ia dianggap sebagai tokoh senior oleh sejawatnya, dan sering disebut “Om Jo” sebagai bentuk penghormatan.
Pada tahun 2010, setelah 33 tahun meninggal dunia, Leimena diberi gelar Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Di Ambon, rumah sakit RSUP Johannes Leimena dinamai untuk menghormatinya.
Di samping itu, pada tahun 2012, sebuah patung Leimena didirikan di Universitas Pattimura. Sebelumnya, Institut Leimena, yang dimiliki oleh Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, telah diresmikan pada tahun 2004 dengan nama Akademi Leimena sejak tahun 1984.
Bio Data Johannes Leimena
Nama Lengkap | Laksamana (Tit.) Dr. Johannes Leimena |
Nama Kecil | Johannes Leimena |
Nama Lain | J. Leimana, Om Jo |
Tempat, Lahir | Ambon, Maluku, Hindia Belanda, 6 Maret 1905 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 29 Maret 1977 (umur 72) |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Kristen |
Suku | Ambon |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politisi, Dokter |
Partai Politik | PARKINDO |
Pangkat Militer (Tituler) | Laksamana TNI AL |
Keluarga | |
Ayah | Dominggus Leimena |
Ibu | Elizabeth Sulilatu |
Isteri (Pernikahan) | Ny. Raden Tjitjih Wiyarsih Leimena Prawiradilaga |
Anak | Melani Leimena Suharli, Catharina Leimena |
Riwayat Pendidikan Johannes Leimena
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Ambonsche Burgerschool | Ambonsche Burgerschool, Ambon |
Europeesche Lagere School (ELS) | Europeesche Lagere School (ELS), Batavia |
Paul Krugerschool | Paul Krugerschool, Batavia |
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) | Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Batavia |
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) | School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Jakarta |
Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (1939) | Geneeskundige Hoogeschool te Batavia |
Karir Johannes Leimena
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Jong Ambon | Anggota |
Christen Studenten Vereniging | Anggota |
Perhimpunan Teosofi | Anggota |
Kongres Pemuda Pertama | Anggota Panitia (1926) |
Kongres Pemuda Kedua | Anggota Panitia (1928) |
Centraal Burgerlijke Ziekenhuis | Dokter (1930) |
RS Zending Imanuel di Bandung | Dokter (1930) |
RS Banyu Asin di Purwakarta | Kepala (1941) |
Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) | Ketua Umum (9 April 1950) |
Pemuda Indonesia Maluku (PIM) | Ketua Umum (1946) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (1 Desember 1949 – 14 Desember 1949) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (3 April 1952 – 3 Juni 1953) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (3 Juli 1947 – 11 November 1947) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (6 September 1950 – 27 April 1951) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (11 November 1947 – 29 Januari 1948) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (20 Desember 1949 – 6 September 1950) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (27 April 1951 – 23 Februari 1952) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949) |
Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi | Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi (13 November 1963 – 27 Agustus 1964) |
Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi | Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi (22 Februari 1966 28 Maret 1966) |
Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi | Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi (25 Juni 1962 – 7 November 1963) |
Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi | Menteri Koordinator Kompartemen Distribusi (27 Agustus 1964 22 Februari 1966) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Muda Kesehatan Indonesia (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) |
Menteri Sosial Indonesia | Menteri Sosial Indonesia (29 April 1957 – 24 Mei 1957) |
Partai Kristen Indonesia (PARKINDO) | Salah satu pendiri (1947) |
Konstituante | Wakil Ketua (10 November 1956 – 29 April 1957) |
Dewan Perwakilan Rakyat | Wakil Ketua Fraksi PARKINDO (4 Maret 1956 – 23 Juli 1959) |
Perdana Menteri Indonesia | Wakil Perdana Menteri Indonesia (29 April 1957 – 6 Juli 1959) |
Dewan Pertimbangan Agung | Wakil Ketua (1966 – 1968) |
Dewan Pertimbangan Agung | Anggota (1968 – 1973) |
Rumah Sakit Cikini | Direktur (1968) |
Partai Demokrasi Indonesia | Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Pusat (1973) |
Penghargaan Johannes Leimena
Tahun | Penghargaan |
---|---|
2010 | Pahlawan Nasional Indonesia |
Penghargaan Bintang Johannes Leimena
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Mahaputera Adipradana (1973) | |
Bintang Gerilya (1959) | |
Satyalancana Pembangunan (1961) | |
Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan | |
Satyalancana Karya Satya | |
Grand Cross of the Order of the Condor of the Andes, Bolivia | |
Grand Cross of the National Order of Merit, Equador | |
Commander of the Order of Sikatuna, Rank of Lakan (CS), Filipina | |
Order of 23 August 2nd Class, Romania | |
Order of the Yugoslav Flag with Sash, Yugoslavia |