Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    • Diplomasi
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

RE Martadinata : Jaya Di Laut Gugur Di Udara

Pada awal Oktober 1965, suasana menjadi tegang di ibu kota, dengan kerusuhan yang melanda dan kepanasan yang menyengat di mana-mana. Ratusan massa dan mahasiswa yang marah mulai bergerak. Pada tanggal 8 Oktober 1965, markas Partai Komunis Indonesia (PKI) di Jakarta dibakar.

Beberapa hari sebelum kejadian tersebut, R.E. Martadinata, yang saat itu menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, mengizinkan massa mahasiswa dan santri untuk membersihkan orang-orang yang terlibat dalam organisasi PKI. 

Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa massa dapat melakukan tindakan tersebut tanpa ada intervensi dari militer. Dengan kata lain, tentara, terutama Angkatan Laut di bawah kendalinya, tidak akan menghalangi tindakan massa untuk menumpas PKI. 

Setelah peristiwa tersebut, Presiden Sukarno memutuskan untuk mencopot R.E. Martadinata dari jabatannya sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut.

Pada bulan Februari 1966, Martadinata diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa Indonesia untuk Pakistan, sebuah peran baru yang dihadapinya di tengah ketegangan yang sedang berlangsung di Pakistan.

Awal Kehidupan dan Keluarga RE Martadinata

RE Martadinata adalah anak dari pasangan Raden Roechijat Martadinata dan Nyi Raden Soehaeni, Keluarga Roechijat merupakan keluarga sunda yang cukup taat beragama Islam. 

Roechijat bekerja sebagai klerk di Kantor Departemen Peperangan Pemerintah Hindia Belanda dan tinggal di sebuah rumah kontrakan di Grote Lenkongweg, Bandung bersama dengan adiknya yang bernama Roechimat Martakusumah.

Keluarga Roechijat tidak terlalu beruntung karena gaji dari pekerjaannya sebagai klerek tidak mencukupi kebutuhan kehidupan keluarga sehingga keluarga Roechijat masih bergantung pada kiriman dari orang tua di Tasikmalaya

RE Martadinata lahir pada tanggal 29 Maret 1921 di Bandung dengan bantuan dukun beranak setempat. Setelah kelahirannya diadakan syukuran dan pemberian nama, maka dipilihlah nama Mohammad Zuchdi yang diharapkan nantinya ia tumbuh besar menjadi anak yang baik dan berguna bagi bangsa, agama dan keluarga.

Kelahiran Eddy ternyata membawa berkah, karena tidak lama setelah kelahirannya, Roechijat mendapat pekerjaan baru di Kantor Besar Kereta Api Bandung. Pekerjaan baru ini membuat kehidupan mereka menjadi semakin baik.

Mohammad Zuchdi dipanggil dengan nama panggilan “Eddy” oleh keluarga, teman bermain dan tetangganya, hal ini lama kelamaan membuat nama Mohammad Zuchdi menajadi jarang terdengar.

Sejak kecil Eddy suka bermain kapal kapalan di air, kapal itu terbuat dari kertas dan didorong dengan jarinya, ketika ibunya memarahinya, ia akan berhenti bermain dan jika sudah tidak diperhatikan oleh ibunya ia mulai bermain kapal kapalan lagi.

Pada Usia 5-6 tahun minat Eddy terhadap buku dan majalah mulai muncul, ia suka meperhatikan gambar gambar yang terdapat di dalam buku dan majalah. Ia juga selalu menanyakan gambar apa yang terdapat didalam nya dan memaksa orang tuanya untuk menceritakan tentang gambar yang dilihatnya. 

Sebagai anak tertua, eddy sangat menyayangi adik adiknya, ia sering membawa adik adiknya bermain dengan tetanggga sekitarnya. Eddy adalah anak yang patuh terhadap orang tuanya. Pada Tahun 1927, Keluarga Eddy pindah ke Kertapati, Palembang. Disana juga Eddy disekolahkan di sekolah formal.

Pendidikan RE Martadinata

Laksamana TNI (Purn.) Raden Eddy Martadinata, yang sering dikenal sebagai R. E. Martadinata, lahir pada 29 Maret 1921 di Bandung. Sebagai tokoh militer angkatan laut dan pahlawan nasional, Martadinata memiliki peran yang signifikan dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Pendidikan awalnya dimulai di Sekolah Dasar HIS di Lahat, yang diselesaikannya pada tahun 1934. Kemudian, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama MULO-B di Bandung, lulus pada tahun 1938, dan mengikuti pendidikan di sekolah pelayaran. 

Walaupun pengalaman pendidikan di bidang pelayaran berpengaruh pada karirnya, ia terpaksa tidak menyelesaikan pendidikan tersebut karena pendudukan Jepang dan pecahnya perang.

Martadinata kemudian belajar di Sekolah Menengah Atas AMS di Jakarta (diselesaikan pada tahun 1941) dan Sekolah Pelayaran Zeevaart Technische School (tidak sempat menyelesaikannya karena pendudukan Jepang). 

Ia juga mengikuti pendidikan di Sekolah Pelayaran Semarang (SPS-SPM), yang sekarang menjadi Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang, hingga akhirnya diangkat sebagai nakhoda kapal latih Dai 28 Sakura Maru.

Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI)

Bergabung dengan Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) pada tahun 1945, Martadinata terlibat dalam perjuangan merebut kapal-kapal milik Jepang di Pasar Ikan Jakarta. 

Perannya membantu membentuk BKR Laoet Poesat, yang kemudian menjadi ALRI, diakui sebagai bagian penting dari sejarah kemerdekaan Indonesia. Martadinata dihormati atas kontribusinya dalam memperjuangkan kemerdekaan negara ini. Ia mengumpulkan remaja dari Sekolah Pelayaran Tinggi dan berhasil mendapatkan beberapa kapal Jepang di Pasar Ikan Jakarta. Selain itu, mereka mengambil alih beberapa kantor di Jalan Budi Utomo dan Tanjung Priok di Jakarta.

Setelah pemerintah membentuk BKR, sekelompok pelaut muda dari Jawa Unko Kaisya, termasuk mantan siswa dan guru Sekolah Pelayaran Tinggi, membentuk BKR Laoet Poesat. Kemudian berubah menjadi TKR Laoet, TRI Laoet, dan akhirnya ALRI pada bulan Februari.

Pada tahap awal pembentukan BKR, R. E. Martadinata terlibat dalam pembentukan BKR Laut Jawa Barat bersama Aruji Kartawinata yang menjadi pemimpinnya. Sebentar setelah itu, BKR Laut Jawa Barat berganti nama menjadi ALRI (Angkatan Laut Republik Indonesia). 

Martadinata, dengan pengaruhnya di ALRI, ditugaskan sebagai Kepala Staf Operasi di Markas Besar ALRI di Yogyakarta. Kesetiaannya terhadap negara membawanya menjadi Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya. Pencapaiannya dalam bidang maritim membawanya ke United States Navy Post Graduate School di Amerika Serikat pada tahun 1953.

Kepala Staf Operasi

Saat menjabat sebagai Kepala Staf Operasi V (Divisi Perencanaan), Martadinata secara aktif terlibat dalam upaya menyelesaikan masalah internal ALRI. 

Salah satu isu yang dia tangani adalah mengenai struktur organisasi dan pembagian tugas antara Markas Besar ALRI di Yogyakarta dan Markas Tertinggi ALRI di Lawang, yang terbentuk karena inisiatif para pemuda pelaut di Jawa Timur. 

Ia berharap agar perwira-perwira senior di kedua markas tersebut dapat bekerja bersama dalam satu struktur organisasi tunggal. Pada bulan Januari 1947, Dewan Angkatan Laut (DAL) dibentuk untuk menangani masalah ini.

Sekolah Angkatan Laut

Tugas berikutnya yang diemban Martadinata adalah mendirikan Sekolah Angkatan Laut (SAL) di Kalibakung, Tegal, yang kemudian dilanjutkan dengan penugasan sebagai Kepala Pendidikan dan Latihan di Sarangan, Magetan pada tahun 1948, yang dikenal sebagai Special Operation (SO). 

KSAL Subijakto mempercayakan Martadinata untuk mengatur serta memimpin SO, menganggapnya sebagai lembaga pendidikan tingkat lanjut untuk perwira angkatan laut. Tujuan dari pendidikan tersebut adalah untuk mempersiapkan perwira laut dalam memimpin armada kapal-kapal cepat yang dirancang untuk melewati blokade Belanda.

Pasukan Republik dapat terus memperoleh persediaan senjata dan amunisi untuk mempertahankan kemerdekaan. Lokasi pendidikan SO terletak di Telaga Sarangan, di lereng Gunung Lawu, Jawa Timur.

WAKASAL dan Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya

Dia kemudian kembali ke Jawa pada Oktober 1949 dan pada tahun 1950 diangkat sebagai Kepala Staf Komando Daerah Maritim Surabaya. Pada saat itu, Republik Indonesia dan Belanda telah mencapai gencatan senjata.

Sebagai bagian dari perjanjian, Belanda memberikan peralatan militernya kepada Angkatan Perang RI. Kapal Perang HrMS Morotai diberikan nama RI Hang Tuah, dan Martadinata ditunjuk sebagai komandan. 

Sebagai bagian dari perjanjian, Belanda memberikan peralatan militernya kepada Angkatan Perang RI. Kapal Perang HrMS Morotai diberikan nama RI Hang Tuah, dan Martadinata ditunjuk sebagai komandan. 

RI Hang Tuah merupakan kapal perang terbesar saat itu dan digunakan untuk operasi-operasi militer dalam menumpas pemberontakan gerombolan Andi Azis di Ujung Pandang dan RMS di Maluku.

Panglima Angkatan Laut

Pada tahun 1959, terjadi ketegangan internal di ALRI, di mana beberapa perwira, dipimpin oleh Mayor Laut Yos Soedarso dan Mayor (KKO) Ali Sadikin, mengajukan permohonan penggantian kepemimpinan KSAL yang saat itu dipegang oleh Laksamana Madya R. Soebijakto. 

Upaya ini dikenal sebagai Gerakan 1959, yang bertujuan untuk mencapai pergantian kepemimpinan secara damai dan tanpa kekerasan, dengan menghadap langsung ke Presiden Soekarno.

Awalnya, Presiden Soekarno menolak permintaan tersebut. Namun, ketika melihat dukungan besar dari sebagian besar staf ALRI terhadap gerakan tersebut, Presiden Soekarno akhirnya memanggil Laksamana Madya R. Soebijakto untuk membahas masalah ini. 

Dalam pertemuan tersebut, Presiden mengusulkan KSAL untuk diganti, dan Soebijakto mengusulkan Kolonel Laut R.E. Martadinata sebagai penggantinya karena dianggap netral. Martadinata saat itu memimpin satuan ALRI yang mengawasi pembuatan kapal ALRI yang dipesan di Italia.

Setelah ditunjuk sebagai KSAL, Martadinata berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mendamaikan kelompok-kelompok yang berselisih di dalam ALRI, menjaga keutuhan organisasi tersebut. Selama masa kepemimpinannya, ALRI mengalami perkembangan yang signifikan, terutama dalam konteks meningkatnya konfrontasi dengan Belanda terkait Irian Barat. 

Dengan dicanangkannya Trikora, ALRI memperkuat diri dengan pembelian peralatan tempur dari Rusia, termasuk kapal-kapal perang dan pesawat-pesawat tempur. 

Namun, pada tahun 1965, terjadi lagi pergolakan internal di ALRI, yang dikenal sebagai Gerakan Perwira Progresif Revolusioner (GPPR). Gerakan ini, mirip dengan Gerakan 1959, mengajukan keluhan kepada Presiden Sukarno mengenai kinerja yang menurun dalam ALRI dan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Martadinata. 

Gerakan ini dianggap melanggar ketentuan militer dan, atas saran Letnan Jenderal Ahmad Yani, hampir 150 perwira yang terlibat dalam gerakan tersebut, termasuk J.E. Habibie dan Pongky Soepardjo, dipecat dari dinas ALRI.

Tugas Terakhir

Pada tahun 1965, saat terjadi pemberontakan G30S/PKI, R.E. Martadinata, yang menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Laut, segera mengutuk gerakan tersebut dan menyatakan dukungan ALRI untuk bekerjasama dengan Angkatan Darat dalam menumpas G30S/PKI

Tetapi Presiden Soekarno tidak setuju dengan tindakannya, jadi ia dicopot dari jabatannya sebagai Menteri atau Panglima Angkatan Laut dan digantikan oleh Laksamana Muda Muljadi. Martadinata kemudian ditunjuk sebagai duta besar berkuasa penuh untuk Pakistan.

Untuk menyambut ulang tahun ABRI ke-21, Martadinata kembali ke Indonesia bersama tiga tamu dari Pakistan, termasuk Kolonel Laut Maswar dan istrinya, serta Nyonya Rouf, istri Deputi I Kepala Staf Angkatan Laut Pakistan. 

Pada tanggal 6 Oktober 1966, mereka melakukan perjalanan menggunakan helikopter Alouette II milik ALRI yang dikemudikan oleh Letnan Laut Charles Willy Kairupan. Sayangnya, dalam perjalanan helikopter menabrak bukit di Riung Gunung, menyebabkan kematian seluruh penumpang dan pilot, termasuk Laksamana Laut R.E. Martadinata. 

Sebagai penghormatan atas pengabdiannya kepada negara, pemerintah RI kemudian menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Martadinata berdasarkan Surat Keputusan RI No 106/TK/1975.

 

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    • Diplomasi
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top