Edit Template

Cut Nyak Dhien: Pejuang Wanita Aceh yang Abadi

Cut Nyak Dhien merupakan pahlawan wanita dari Aceh, ia menjadi simbol keberanian perlawanan rakyat Aceh dalam menolak penjajahan Belanda.

Perjuangan Cut Nyak Dhien berawal dari masa Perang Aceh (1873 – 1904), salah satu konflik terpanjang dan paling sengit dalam sejarah kolonial Belanda di Nusantara. Saat rakyat Aceh bangkit mempertahankan kedaulatan negerinya, Dhien tampil di garis depan bersama suaminya, Teuku Cek Ibrahim Lamnga, dan kemudian bersama Teuku Umar. 

Cut Nyak Dhien memimpin pasukan, mengatur strategi, serta menanamkan semangat jihad kepada para pejuang. Dalam setiap langkahnya.

Latar Belakang Keluarga dan Kehidupan Awal

Cut Nyak Dhien lahir pada 12 Mei 1848 di Lampadang, Aceh Besar. Ia lahir di keluarga bangsawan Aceh, ayahnya, Teuku Nanta Setia, merupakan seorang uleebalang atau kepala wilayah di VI Mukim, Aceh Besar. 

Sejak kecil, Cut Nyak Dhien memperoleh pendidikan agama yang kuat untuk menjadi perempuan berakhlak, mandiri, serta memiliki rasa cinta terhadap tanah kelahirannya. 

Pada usia 12 tahun, Cut Nyak Dhien menikah dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat, uleebalang Lamnga XIII Mukim. Dari pernikahan ini melahirkan seroang anak. 

Pernikahan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga tidak berlangsung lama, karena suaminya itu gugur dalam perang di Gle Tarum pada 29 Juni 1878, sebuah peperangan melawan Belanda. Cut Nyak Dhien yang mengetahui kabar ini sangat marah, dan bersumpah untuk menghancurkan Belanda.

Tidak lama setelah Teuku Cek Ibrahim wafat, pada tahun 1880, Cut Nyak Dhien dilamar oleh Teuku Umar. Pada awalnya, lamaran ini ditolak, akan tetapi setelah diperbolehkan ikut serta dalam berperang melawan Belanda, lamaran Teuku Umar diterima dan dilangsungkanlah pernikahan mereka.

Setelah menikah, pasangan ini pergi berperang melawan Belanda bersama-sama, pernikahan mereka ini juga membakar semangat para pejuang.

Perlawanan Bersama Teuku Umar

Pada 30 September 1893, Teuku Umar berencana untuk menipu pasukan Belanda dengan menyusup dan menjadi bagian dari pasukan Belanda, Teuku Umar merahasiakan rencananya ini. 

Teuku Umar bersama 250 pasukannya pergi ke Kutaraja untuk menyerahkan diri. Belanda sangat senang karena Teuku Umar yang dikenal sebagai berbahaya bagi Belanda akhirnya bisa diajak kerja sama. 

Belanda memberikan gelar Johan Pahlawan kepada Teuku Umar serta memberikan jabatan sebagai Komandan unit pasukan dengan kekuasaan penuh.

Rencana Teuku Umar ini menyebabkan ia dicap sebagai penghianat, bahkan Cut Nyak Meutia yang mendengar kabar ini mendatangi Cut Nyak Dhien untuk memakinya. Cut Nyak Dhien yang tidak tahu rencana Teuku Umar, berusaha menasehatinya untuk kembali berjuang bersama rakyat Aceh.

Teuku Umar tetap menjalankan rencananya, ia terus berhubungan dengan Belanda, mempelajari taktik Belanda dan secara perlahan dan pasti mengganti orang-orang Belanda di unit pasukan yang ia kuasai. 

Ketika jumlah orang Aceh di unitnya dirasa cukup, Teuku Umar membuat rencana palsu untuk menyerang basis pasukan Aceh. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi bersama pasukannya dengan perlengkapan perang berat, senjata serta amunisi milik Belanda, namun tidak pernah kembali lagi. 

Pasukan Belanda menyebut tindakan ini dengan sebutan Het verrad van Teuku Oemar (penghianatan Teuku Umar) dan sangat marah, akibatnya, pasukan Belanda melancarkan operasi besar-besaran dengan misi menangkap Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.

Pasukan Gerilya yang sudah dilengkapi oleh senjata dan perlengkapan dari Belanda menjadi lebih kuat, mereka menyerang pasukan Belanda. Jenderal Jakobus Ludovicius Hubertus Pel terbunuh oleh pasukan Gerilya, sehingga pasukan Belanda mengalami kekacauan.

Teuku Umar bersama Cut Nyak Dhien terus menekan pasukan Belanda, hingga ke Kutaraja dan Meulaboh. Belanda yang tertekan kemudian mengirim unit Mar Chauss’e, unit ini dikenal sebagai unit yang biadab dan sulit ditaklukan.

Unit Mar Chauss’e menghacurkan segala sesuatu yang ia lewati serta membunuh rakyat Aceh yang mereka jumpai. Karena tindakan unit ini yang biadab, Belanda mulai merasa simpati kepada orang Aceh, sehingga unit ini dibubarkan oleh Van der Heyden.

Unit Mar Chauss’e ini walaupun sudah dibubarkan, namun dampaknya pada orang Aceh masi terasa, banyak orang Aceh yang masi merasa takut sehingga tidak ikut pergi berjihad.

Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz memanfaatkan kondisi ini, ia menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan Teuku Umar. orang Aceh yang disewa Belanda itupun mendapatkan informasi bahwa pasukan Aceh yang dipimpin Teuku Umar akan melakukan penyerangan ke Meulaboh pada 11 Februari 1899. 

Pasukan Belandapun mempersiapkan pasukannya untuk menghalau Teuku Umar dan pasukannya. Akibat dari itu, Teuku Umar gugur akibat terkena tembakan oleh pasukan Belanda.

Perjuangan dan Penghianatan

Setelah gugurnya Teuku Umar, Cut Nyak Dhien memimpin pasukan yang terdiri sekitar 300 prajurit. Mereka terus bergerilya selama kurang lebih enam tahun, berbagai medan mereka lalui demi kebebasan kemerdekaan bangsa Aceh.

Pada April 1905, pasukan Cut Nyak Dhien mendapat serangan tiba-tiba dari Belanda, panglima dan prajurit perangnyapun gugur satu persatu hingga jumlah pasukannya berkurang drastis.

Karena serangan ini, pasukan Cut Nyak Dhien mulai kekurangan persediaan makanan dan hartabenda, ditambah kondisi Cut Nyak Dhien yang semakin memburuk. Ia menderita sakit Encok dan penglihatannya sudah mulai rabun.

Pang Laot Ali mulai merarasa iba melihat kondisi Cut Nyak Dhien yang semakin memburuk setiap harinya. Ia merasa, tidak banyak yang dapat dilakukan dengan kondisi Cut Nyak Dhien saat itu, pada awalnya ia memberi saran pada Cut Nyak Dhien untuk mau bekerjasama dengan Belanda agar ia dapat dirawat dengan layak.

Tentu saja tawaran Pang Laot Ali ditolak mentah mentah, tidak mungkin ia menyerah kepada Belanda, ia yang sudah bersumpah untuk menghancurkan Belanda akan berjuang hingga titik darah penghabisan.

Pang Laot Ali yang sangat menghormati Cut Nyak Dhien mulai merenung dan mencari solusi dalam situasi yang semakin memburuk, ia tidak tega melihat penderitaan Cut Nyak Dhien itu. Akhirnya ia membuat keputusan untuk berunding dengan pasukan Belanda secara diam-diam. 

Pada perundingan itu, ia berjanji akan memberitahu posisi pasukan Aceh dengan syarat Cut Nyak Dhien diperlakukan dengan baik dan mendapat perawatan yang layak.

Kesepakan mereka pun tercapai, mereka mencari Cut Nyak Dhien di Pameue, akan tetapi tidak berhasil, mereka terus mencari hingga ke hutan Beutong, Pada 7 November 1906, anak kecil yang biasa menjadi kurir Cut Nyak Dhien berhasil tertangkap, dari situlah diketahui keberadaan Pasukan Aceh.

Pasukan Belanda mulai menyerbu persembunyian Cut Nyak Dhien dan putrinya. Cut Nyak Dhien menyadari bahwa itulah akhri dari perjuangannya. Putrinya, Cut Gambang berhasil meloloskan diri.

Cut Nyak Dhien yang tidak dapat melarikan diri lagi dan tidak mampu melawan tetap menolak unuk menyerahkan diri secara baik baik. Pang Laot Ali pun mencoba mendekatinya dan membujuknya. 

Cut Nyak Dhien yang melihat Pang Laot Ali murka, ia berkata, “Kau pengkhianat busuk! Lebih baik kau kasihani aku dengna menikamku hingga mati,”

Meski menolak, Cut Nyak Dhien tetap ditangkap, sesuai perjanjian Cut Nyak Dhien dibawa ke Banda Aceh dan diberikan perawatan. dan setelah itu ia diasingkan ke Sumedang, Jawa Barat.

Pengasingan dan Akhir Hayat

Pada tahun 1906, Cut Nyak Dhien bersama tahanan politik lainnya dibawa ke Sumedang, karena kekhawatiran Belanda akan pengaruh Cut Nyak Dhien akan membangkitkan semangat perjuangan bangsa Aceh kembali.

Para tahanan lainnya menunjukkan perhatian kepada Cut Nyak Dhien, dan karena larangan untuk mengungkapkan identitas tahanan, hingga akhir hayatnya identitas aslinya tidak diketahui oleh penduduk Sumedang.

Cut Nyak Dhien ditahan bersama Ilyas yang merupakan seorang ulama menyadari bahwa Cut Nyak Dhien faham agama Islam, sehingga ia di juluki sebagai “Ibu Perbu”. Meski terkendala bahasa, Cut Nyak Dhien sering diminta untuk mengajar ngaji warga sekitar.

Pada 6 November 1908, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas terakhirnya, karea usianya yang sudah tua. Makamnya baru ditemukan pada tahun 1959 karena permintaan Ali Hasan sebagai Gubernur Aceh saat itu untuk mencari makam pejuang Aceh itu.

Makam Cut Nyak Dhien ditemukan di Gunung puyuh, Sukajaya, Sumedang Selatan pada tahun 1959. Makam Cut Nyak Dhien dipugar pada tahun 1987, dan diresmikan pada 7 Desember 1987 oleh Gubernur Aceh Ibrahim Hasan.

Presiden Soekarno mengakui Cut Nyak Dhien sebagai Pahlawan Nasional Indenesia berdasarkan SK Presiden No 106 tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Sumber:

Artikel ini di revisi pada 3 November 2025.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biodata
  • Biografi
  • Blog
  • Daftar
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
  • Time Line

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia

© 2023 arsipmanusia.com

Scroll to Top