Edit Template

Abdulrachman Saleh: Dokter Bertalenta Perintis AURI dan RRI

Abdulrachman Saleh merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah perjuangan Indonesia yang memiliki peran besar di berbagai bidang, mulai dari kedokteran, penyiaran radio, hingga dunia militer. Dikenal sebagai perintis Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) dan pelopor berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI), sosoknya dikenal bukan hanya karena kecerdasan intelektualnya, tetapi juga karena dedikasi dan semangat pengabdiannya yang luar biasa terhadap tanah air.

Lahir pada awal abad ke-20 di Batavia, Abdulrachman Saleh tumbuh dalam lingkungan keluarga yang menjunjung tinggi pendidikan. Sejak muda, ia menunjukkan rasa ingin tahu yang besar, yang kemudian membentuknya menjadi pribadi multitalenta. Perjalanannya sebagai dokter, aktivis radio, pendidik, hingga penerbang militer mencerminkan semangat zaman kemerdekaan, di mana setiap warga negara berlomba-lomba memberikan kontribusi terbaik bagi bangsa yang baru merdeka.

Sebagai Pahlawan Nasional Indonesia, nama Abdulrachman Saleh telah diabadikan dalam berbagai bentuk penghargaan, termasuk sebagai nama pangkalan udara. Namun, di balik penghargaan tersebut, kisah hidupnya merupakan contoh nyata pengabdian tanpa pamrih bagi kemerdekaan dan kemajuan Indonesia. Artikel ini akan mengulas perjalanan hidupnya secara lebih lengkap, mulai dari masa kecil, pendidikan, hingga akhir hayatnya dalam tugas mulia untuk bangsa.

Masa Kecil

Abdulrachman Saleh lahir pada 1 Juli 1909 di Kampung Ketapang (Kwitang Barat), Batavia. Ayahnya bernama Mohammad Saleh, seorang dokter asal Salatiga, dan ibunya bernama Ismudiati, berasal dari Batavia. Ayahnya dikenal sebagai dokter sosiawan, yakni dokter yang mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat, khususnya di wilayah Probolinggo. Ia juga sezaman dengan dr. Soetomo.

Abdulrachman tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang, tertib, dan mandiri. Keluarganya sangat menekankan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan, yang terbukti dari keberhasilan semua saudara-saudaranya menjadi orang yang berguna bagi masyarakat.

Sejak kecil, Abdulrachman dikenal sebagai anak yang periang, baik hati, dan memiliki rasa ingin tahu yang sangat tinggi. Karena sifatnya itu, ia sering membongkar mainan yang diberikan oleh orang tuanya hanya untuk mengetahui cara kerjanya. Meskipun sering membuat orang tuanya jengkel, rasa ingin tahunya inilah yang kelak menjadi salah satu kunci kesuksesannya di masa depan.

Akibat profesi sang ayah sebagai dokter — dan karena pada masa itu tenaga medis masih sangat terbatas — keluarga mereka kerap berpindah-pindah tempat tinggal. Mereka pernah menetap di Batavia, lalu pindah ke Boyolali, kemudian ke Kolonedale (Sulawesi Tengah), lalu ke Bondowoso, Pasuruan, dan akhirnya menetap di Probolinggo.

Pendidikan

Abdulrachman Saleh memulai pendidikannya di Holland Inlandsche School (HIS), lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Setelah lulus dari MULO, ia mengikuti jejak ayahnya untuk menjadi dokter dengan mendaftar di School Tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA), Batavia. Namun, sekolah tersebut dibubarkan oleh pemerintah Belanda karena dianggap tidak memenuhi standar pendidikan saat itu.

Ia kemudian melanjutkan studi di Algemene Middelbare School (AMS) Malang. Setelah menyelesaikan pendidikan di AMS dengan hasil gemilang, ia melanjutkan ke Geneeskundige Hoogeschool (GHS) Batavia untuk belajar kedokteran.

Sebagai mahasiswa, Abdulrachman sangat aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Jiwa ingin tahunya yang tinggi membawanya bergabung dalam berbagai organisasi dan perkumpulan. Ia juga memiliki bakat di bidang olahraga, dan mengisi waktu luangnya dengan kegiatan-kegiatan organisasi keolahragaan.

Selain itu, ia juga aktif dalam kegiatan kepanduan dan sosial. Ia tercatat pernah menjadi anggota Jong Java dan Indonesia Moeda. Pada tahun 1925, ia bergabung dengan Indonesische Padvinderij Organisatie (INPO), yang kemudian berganti nama menjadi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Di lingkungan KBI, Abdulrachman dikenal sebagai pribadi yang ramah, ulet, dan disiplin. Ia bahkan dipercaya menjadi ketua KBI, dan di bawah kepemimpinannya, organisasi tersebut menjadi lebih tertata dan disiplin. Ia tak segan menegur anggota yang melanggar aturan.

Abdulrachman juga tertarik pada dunia penerbangan. Ia ingin bergabung dengan Aeroclub di Jakarta, yang saat itu anggotanya mayoritas orang Belanda dan memerlukan biaya besar. Meskipun biaya menjadi kendala, dengan semangat dan kegigihannya, Abdulrachman akhirnya berhasil memperoleh brevet terbang.

Pernikahan

Dalam tradisi keluarga dr. Saleh, pernikahan biasanya dilangsungkan sebelum masa studi berakhir. Pada tahun 1933, Abdulrachman Saleh menikah dengan Ismudiati, seorang guru asal Purworejo. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai dua orang putra, yaitu Pandji Saleh dan Triawan Saleh.

Karier di Dunia Kedokteran

Setelah berhasil meraih gelar dokter, Abdulrachman Saleh menjadi dosen di Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS), Surabaya, serta di Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta.

Peran dalam Dunia Radio

Pada tahun 1934, Abdulrachman Saleh memelopori berdirinya Vereniging Voor Oostersche Radio Omroep (VORO), sebuah organisasi penyiaran yang bertujuan menyiarkan kesenian dan kebudayaan dari dunia timur. VORO memiliki pemancar radio sendiri dengan kekuatan 40 watt pada gelombang 88 meter.

Dua tahun kemudian, pada 1936, Abdulrachman diangkat menjadi ketua VORO. Saat itu, organisasi ini tengah menghadapi kesulitan dana. Untuk mengatasi hal tersebut, studio VORO beberapa kali berpindah tempat guna menekan biaya operasional — dari Kramat 81 ke Menteng 20. Berkat keahlian teknis dan kemampuan manajerial Abdulrachman Saleh, VORO mengalami perkembangan pesat antara tahun 1937 hingga 1942.

Setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, para pemuda mulai melucuti senjata tentara Jepang. Di antara mereka, para pegawai radio Jepang turut membentuk gerakan rahasia untuk merebut kantor radio. Namun, aksi mereka diketahui oleh Kempetai Jepang, sehingga penyiaran proklamasi kemerdekaan sempat tertunda dan baru bisa disiarkan beberapa jam kemudian.

Dengan semangat juang tinggi, Abdulrachman Saleh bersama sejumlah pegawai radio berhasil menyiarkan proklamasi kemerdekaan melalui pemancar radio gelombang 16 meter di Bandung. Pemancar tersebut sebelumnya digunakan oleh Jepang untuk menyampaikan instruksi kepada tentaranya di seluruh wilayah Indonesia. Namun, aksi ini segera diketahui oleh pihak Jepang, dan siaran mereka dipaksa berhenti.

Pada 18 Agustus 1945, Jusuf Ronodipuro mengabarkan bahwa Hosokyoku (pusat siaran radio milik Jepang) telah ditutup. Abdulrachman tetap bersikukuh bahwa keberadaan Indonesia sebagai negara merdeka harus diketahui dunia internasional. Ia dan rekan-rekannya pun membangun pemancar radio ilegal. Salah satunya adalah pemancar berkekuatan 85 watt yang dipindahkan dari sebuah gedung di Jalan Menteng Raya ke Sekolah Tinggi Kedokteran di Jalan Salemba.

Melalui pemancar ini, Radio Indonesia mulai mengudara dengan identitas “This is the Voice of Free Indonesia,” menyampaikan berita ke luar negeri dalam Bahasa Indonesia dan Inggris. Pada 25 Agustus 1945, radio ini menyiarkan pidato Presiden Soekarno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Abdulrachman Saleh kemudian bersama para aktivis radio menyusun dasar-dasar berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI). Tanggal 11 September 1945 ditetapkan sebagai hari lahir RRI, dengan semboyan terkenal: “Sekali di udara tetap di udara.”

Karena peran besarnya dalam dunia penyiaran, Abdulrachman Saleh terpilih sebagai Ketua Organisasi Radio Republik Indonesia. Saat kantor RRI kembali beroperasi di Jalan Merdeka Barat, jaringan RRI meliputi stasiun di Jakarta (pusat), Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surakarta, Purwokerto, Surabaya, Madiun, Kediri, dan Magelang.

Setelah RRI mulai berjalan lancar, Abdulrachman merasa tugasnya telah selesai dan memilih mengundurkan diri untuk melanjutkan pengabdian di bidang lain. Ia kemudian bergabung dengan Tentara Republik Indonesia.

Tentara

Setelah mengundurkan diri dari Radio Republik Indonesia (RRI), Abdulrachman Saleh melanjutkan perjuangannya dengan bergabung dalam Tentara Republik Indonesia. Ia berperan penting dalam pembentukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) bersama tokoh perintis lainnya, seperti Adisutjipto. Sejak saat itu, Abdulrachman aktif mendorong kemajuan dan kejayaan AURI sebagai bagian dari pertahanan nasional yang mandiri.

Di Yogyakarta, Abdulrachman Saleh mulai belajar menerbangkan pesawat Cureng (pesawat bersayap dua), dengan Adisutjipto sebagai instruktur utamanya. Selain Cureng, ia juga mempelajari berbagai tipe pesawat lain seperti Glider dan Hayabusha—semua merupakan pesawat peninggalan Jepang yang diperbaiki dan dimanfaatkan kembali oleh AURI.

Karena kemampuannya yang cepat berkembang, Abdulrachman kemudian menjadi instruktur penerbang dan membantu Adisutjipto melatih calon-calon pilot muda. Pada tahun 1946, ia dipindah tugaskan menjadi Komandan Pangkalan Udara Maospati di Madiun.

Di kota ini pula, anak keduanya lahir. Karena kecintaannya terhadap dunia kedirgantaraan, ia menamai anak tersebut Triawan, gabungan dari kata “tri” dan “awan” sebagai simbol cita-citanya di langit nusantara.

Selain mendirikan Sekolah Teknik Udara pertama di Malang, ia juga membentuk Sekolah Radio Udara di Madiun—dua institusi penting bagi pengembangan AURI kala itu.

Tidak hanya aktif di bidang militer dan teknik, Abdulrachman Saleh juga tetap mengabdikan keilmuannya di dunia kedokteran. Ketika Perguruan Tinggi Kedokteran di Jakarta dipindahkan ke Klaten karena situasi perang, ia turut mengajar sebagai dosen.

Karena jarak antara Malang dan Klaten cukup jauh, ia terbang setiap hari menggunakan pesawat Hayabusha dari Pangkalan Udara Maospati menuju Pangkalan Udara Panasan, lalu melanjutkan perjalanan ke Klaten dengan sepeda motor. Dalam situasi lain, ia kadang menggunakan kereta api. Dalam satu kesempatan, kereta api yang ia tumpangi mengalami gangguan teknis. Berbekal keahliannya di bidang teknik, ia turun tangan langsung memperbaiki kereta tersebut hingga bisa melanjutkan perjalanan—sebuah cerminan dedikasinya yang luar biasa.

Akhir Hayat

Menjelang akhir Juli 1947, Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto ditugaskan oleh pemerintah Republik Indonesia untuk melakukan misi diplomatik ke India, guna mencari dukungan internasional serta membawa pulang bantuan obat-obatan.

Pengusaha India bernama Biju Patnaik meminjamkan pesawat pribadinya untuk mendukung misi kemanusiaan tersebut. Pada 28 Juli 1947, diberitakan bahwa pesawat yang ditumpangi Abdulrachman Saleh dan Adisutjipto akan tiba di Yogyakarta pada keesokan harinya. Pemerintah Hindia Belanda telah memberikan izin untuk penerbangan tersebut.

Namun, pada 29 Juli 1947 siang menjelang sore, ketika pesawat mereka hendak mendarat di Pangkalan Udara Maguwo, dua pesawat tempur milik Belanda datang dari arah utara dan menyerang pesawat mereka secara tiba-tiba. Pesawat yang membawa Abdulrachman Saleh ditembak hingga jatuh menabrak pohon. Dari seluruh badan pesawat, hanya bagian ekor yang masih utuh.

Dalam peristiwa tragis itu, semua awak dan penumpang pesawat gugur, kecuali Gani Hanotjokro, yang selamat karena posisinya berada di bagian ekor saat pesawat jatuh. Adapun para korban yang gugur bersama Abdulrachman Saleh antara lain:

  • Adisutjipto
  • Adisumarmo Wiryokusumo
  • Zainal Arifin
  • Alexander Noel Constantine
  • Roy Hazelhurst
  • Bidha Ram
  • Ny. Constantine

Tragedi ini menyisakan duka mendalam bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya di kalangan AURI. Dua pelopor Angkatan Udara gugur secara bersamaan dalam sebuah misi damai. Peti jenazah mereka disemayamkan di Hotel Tugu, dan dalam prosesi pemakaman, rakyat Yogyakarta memadati jalan Malioboro untuk memberikan penghormatan terakhir. Para pahlawan ini dimakamkan di Pemakaman Kuncen, Yogyakarta.

Sebagai bentuk penghargaan atas jasa-jasanya yang luar biasa, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada Abdulrachman Saleh melalui Keputusan Presiden No. 071/TK/1974 pada 9 November 1974. Ia juga dianugerahi pangkat Laksamana Muda Udara secara anumerta.

Namanya diabadikan sebagai nama pangkalan udara—sebelumnya bernama Pangkalan Udara Bugis, kemudian diubah menjadi Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh berdasarkan Surat Penetapan Kepala Staf Angkatan Udara No. Kep/76/48/Pen.2/KS/1952 tertanggal 17 Agustus 1952.

Sumber:

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top