Adinegoro dikenal sebagai salah satu pelopor jurnalistik Indonesia sekaligus sastrawan produktif. Karya dan dedikasinya di dunia pers telah memberikan warna baru pada pemberitaan di Indonesia, terutama melalui tulisannya yang memikat dan membuka wawasan pembaca tentang dunia luar.
Dikenal luas sebagai wartawan kawakan, Adinegoro menempuh pendidikan jurnalistik secara formal di Jerman, pada saat itu masi sangat jarang jurnalis menempuh pendidikan formal. Perjalanan hidupnya adalah untuk memajukan dunia pers nasional.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga
Adinegoro lahir dengan nama asli Djamaluddin gelar Datuk Maradjo Sutan pada 14 Agustus 1904 di Talawi, sebuah kota kecil di Sumatera Barat. Ayahnya bernama Usman gelar Baginda Chatib, seorang demang yang disegani di daerahnya. Ibunya bernama Sadarijah, sedangkan kakaknya yang berbeda ibu, Muhammad Yamin, adalah sastrawan dan tokoh pergerakan nasional yang lahir dari istri pertama sang ayah, Rohimah.
Adinegoro menikah dengan Alidar, perempuan berdarah Sulit Air, Solok, Sumatera Barat. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua anak: Ardhi Rahman Udin (lahir 1934) dan Anita Marni (lahir 1937). Kehidupan keluarga ini dipenuhi nilai pendidikan dan semangat perjuangan, yang kelak mewarnai perjalanan karier Adinegoro.
Pendidikan dan Awal Ketertarikan pada Jurnalistik
Berkat status ayahnya sebagai demang, Adinegoro memiliki kesempatan menempuh pendidikan formal. Ia menyelesaikan sekolah dasar di Holland Indische School (HIS) Palembang, lalu melanjutkan ke School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Weltevreden, Batavia (kini Jakarta), yang pada masa itu mencetak calon dokter pribumi.
Namun, ketertarikannya ternyata tidak tertuju pada dunia medis. Di STOVIA, Adinegoro lebih banyak mengikuti berita-berita nasional dan internasional dibandingkan pelajaran kedokteran. Minatnya pada dunia tulis-menulis membuatnya mulai mengirimkan artikel ke majalah Tjahaja Hindia, terbitan Landjumin Datuk Tumenggung.
Kegemarannya membaca dan menulis semakin berkembang hingga akhirnya ia menggunakan nama pena Adinegoro, sebuah nama yang dipilih untuk menarik minat pembaca dari kalangan Jawa. Di awal kariernya, ia menjadi kontributor tetap majalah Tjahaja Hindia, menulis artikel mingguan tentang isu-isu luar negeri.
Selain aktif menulis, Adinegoro juga bergabung dengan Jong Sumatranen Bond di Jakarta, dan ikut serta dalam Panitia Kongres Pemuda Indonesia. Ia bahkan menjadi anggota Order der Dienaren van Indie, sebuah organisasi teosofi yang terbuka bagi semua golongan, yang bertujuan membentuk kader-kader tangguh.
Perjalanan ke Eropa dan Pendidikan Jurnalistik
Perjalanan hidup Adinegoro mengambil arah baru ketika ia memutuskan meninggalkan dunia kedokteran dan menekuni bidang jurnalistik. Cita-citanya adalah mempelajari ilmu kewartawanan langsung di negeri asalnya, Jerman, yang saat itu dikenal memiliki tradisi pers yang kuat.
Kesempatan itu datang pada pertengahan tahun 1926 ketika ia ikut berlayar bersama seorang dokter yang hendak berkunjung ke Eropa. Dengan kapal Tambora milik maskapai pelayaran Belanda Rotterdamse Lloyd, ia meninggalkan tanah air menuju benua yang asing namun penuh peluang.
Selama di Eropa, Adinegoro tidak hanya fokus belajar jurnalistik secara formal, tetapi juga aktif sebagai wartawan lepas (freelance journalist) untuk sejumlah media Indonesia seperti Pewarta Deli (Medan), Bintang Timur, dan Pandji Pustaka (Jakarta). Perjalanannya membawanya melawat ke berbagai negara di Eropa, terutama di Eropa Barat dan Eropa Tenggara.
Pengalaman dan pengamatannya ia tuangkan dalam tulisan panjang yang memikat, yang sebagian besar dikirim ke Pandji Pustaka. Artikel-artikel tersebut membuka wawasan pembaca di Nusantara tentang dunia luar, memperkenalkan budaya, politik, dan kondisi sosial di negara-negara yang ia kunjungi.
Tanpa disadari, melalui tulisannya, Adinegoro telah melakukan perjuangan intelektual: membangkitkan rasa ingin tahu dan memotivasi masyarakat untuk lebih maju, selayaknya Ki Hajar Dewantara di bidang pendidikan, tetapi ia melakukannya melalui bacaan.
Karier Awal di Dunia Pers
Awal tahun 1931, setelah menimba ilmu dan pengalaman selama beberapa tahun, Adinegoro kembali ke Indonesia. Sebelum tiba, ia masih sempat mengunjungi beberapa negara di Eropa Tenggara. Catatan perjalanannya kemudian dibukukan dengan judul “Kembali dari Perlawatan ke Europa”, yang diterbitkan oleh Syarikat Tapanuli, Medan.
Sesampainya di tanah air, ia memilih Jakarta sebagai tujuan pertama, bukan kampung halamannya. Di ibu kota, ia dipercaya memimpin Pandji Pustaka, sebuah majalah yang dikenal memiliki kualitas cetak apik dengan harga terjangkau. Sayangnya, kepemimpinannya tidak berlangsung lama. Ia memutuskan pulang ke Medan dan menerima tawaran sebagai waarnemend hoofdredacteur (pemimpin redaksi sementara) Pewarta Deli.
Kehadiran Adinegoro menjadi angin segar bagi dunia jurnalistik Indonesia. Pada masa itu, sebagian besar wartawan hanya memiliki pendidikan setingkat sekolah menengah, bahkan ada yang kurang. Dengan bekal pendidikan jurnalistik di Eropa dan pengalaman internasional, ia membawa standar baru dalam pemberitaan.
Selain memimpin Pewarta Deli, Adinegoro juga mengelola Majalah Abad XX, memperkaya dunia pers Nusantara dengan liputan yang tajam dan analisis mendalam.
Masa Pendudukan Jepang
Ketika Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942, Adinegoro dipercaya memimpin harian Sumatra Shimbun, surat kabar berbahasa Jepang yang terbit di Medan. Meskipun memegang posisi strategis, ruang geraknya sebagai jurnalis menjadi terbatas. Berbeda dengan di Jakarta, di Medan Jepang memberlakukan pembatasan yang ketat, bahkan melarang penerbitan surat kabar bebas.
Di tengah situasi ini, muncul berbagai perhimpunan rakyat yang bergerak melawan imperialisme Jepang. Salah satunya adalah Badan Perwakilan Sumatra Barat yang diketuai oleh Mohamad Syafei. Tak lama kemudian, dibentuk pula badan penasihat untuk seluruh Sumatra, dan Adinegoro turut berperan sebagai Kepala Bagian Umum. Meskipun berada di bawah pengawasan ketat, ia tetap memanfaatkan posisinya untuk menyebarkan semangat perjuangan dan menjaga arus informasi.
Setelah Kemerdekaan
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, Adinegoro dipercaya menjadi Wakil Pemerintah Republik Indonesia untuk urusan penerangan di Sumatra. Peran ini memungkinkannya ikut menjaga semangat kemerdekaan melalui media dan publikasi.
Pada tahun 1947, bersama Soepomo dan H.B. Jassin, ia mendirikan Yayasan Dharma yang bergerak di bidang penerbitan untuk memajukan bangsa. Produk unggulan yayasan ini adalah majalah Mimbar Indonesia, yang menjadi salah satu media terkemuka pada masa itu.
Namun, di tengah kesibukan, kesehatannya mulai menurun. Karena pertimbangan kesehatan, ia memutuskan pindah ke Jakarta bersama keluarga. Meski kondisi fisik menurun, dedikasinya pada dunia jurnalistik tidak surut. Pada tahun 1949, ia mendapat kesempatan meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda. Dua tahun kemudian, pada 1951, Adinegoro diminta memimpin kantor berita Aneta, yang pada 1956 berhasil ia nasionalisasikan menjadi Persbiro Indonesia.
Kariernya semakin berwarna ketika ia ikut meliput berbagai peristiwa penting dunia, seperti perjalanan ke Moskow bersama rombongan Presiden Soekarno, serta sidang PBB tahun 1957 di Amerika Serikat yang membahas sengketa Irian Barat. Saat Persbiro Indonesia digabungkan dengan kantor berita Antara pada 1963, ia diangkat menjadi anggota dewan pengawas sekaligus dewan pimpinan.
Kemunduran Karier
Memasuki dekade 1960-an, perjalanan karier Adinegoro mulai mengalami kemunduran. Meskipun memegang jabatan di dewan pengawas dan dewan pimpinan Kantor Berita Antara, perannya nyaris diabaikan. Ia yang sebelumnya menjadi sosok penting di berbagai media seperti Pewarta Deli, Sumatra Shimbun, Mimbar Indonesia, dan Kedaulatan Rakyat, jarang diajak berdiskusi atau dimintai pendapat dalam pengambilan keputusan strategis.
Situasi internal kantor berita yang penuh tarik-menarik kepentingan politik turut memperburuk keadaan. Puncak kekecewaan terjadi ketika ia tidak dilibatkan dalam proses seleksi tenaga ahli yang akan dikirim ke luar negeri. Putrinya, Astrid, pernah bercerita bahwa ayahnya ditempatkan di ruang kerja kecil di bagian belakang kantor, dekat mesin cetak dan kamar mandi, dengan pencahayaan seadanya. Perlakuan ini, ditambah kondisi kesehatan yang kian memburuk, membuat semangatnya meredup.
Wafat
Tubuh yang dulu perkasa saat menjelajah Eropa kini tak lagi sekuat dulu. Rasa frustrasi dan sakit berkepanjangan menggerogoti kesehatannya. Hingga pada tahun 1967, Adinegoro menghembuskan napas terakhirnya pada usia 63 tahun.
Meski akhir hidupnya diliputi kekecewaan, negara tidak melupakan jasanya. Pada tahun 1974, pemerintah menganugerahinya gelar Perintis Pers Indonesia. Selain itu, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) menjadikan namanya sebagai penghargaan tertinggi dalam dunia jurnalistik nasional: Penghargaan Adinegoro, yang diberikan setiap tahun untuk karya jurnalistik terbaik.
Adinegoro bukan sekadar jurnalis. Ia adalah pendidik, pembuka wawasan, dan penggerak kemajuan melalui media. Novel-novelnya seperti Asmara Jaya dan Darah Muda (1928) memperlihatkan sisi kreatifnya di dunia sastra, sejajar dengan para novelis besar Indonesia lainnya.
Melalui tulisan-tulisannya, ia telah menginspirasi generasi muda untuk berpikir kritis, memahami dunia luar, dan menghargai kekuatan informasi. Warisan itu tetap hidup, tidak hanya lewat karya yang ia tinggalkan, tetapi juga melalui penghargaan yang mengabadikan namanya di hati insan pers Indonesia.
Sumber:
- Dhesita, Syela Joe. “Adinegoro Pelopor Perjuangan Pena.” Keraton: Journal of History Education and Culture, vol. 3, no. 1, Juni 2021, pp. 27–32. DOI: 10.32585/keraton.v3i1.1612. Diakses 9 Agustus 2025.
- Akbar, Muhammad Rizki. “Peranan Harian Rakjat sebagai Media Propaganda PKI Tahun 1951–1965.” Jurnal Pendidikan Sejarah, vol. 12, no. 1, 2023, pp. 49–60. DOI: 10.21009/JPS.121.05. Diakses 9 Agustus 2025.
- Eneste, Pamusuk, peny. Ensiklopedia Sastra Indonesia Modern. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2003.
- “Adinegoro, jujur pada diri dan profesi” antaranews.com (Diakses pada 8 Agustus 2025).
- “Mengenal Sosok Adinegoro dan Jejaknya dalam Pers Indonesia” pojoksatu.id (Diakses pada 8 Agustus 2025).