Edit Template

Bagindo Aziz Chan: Wali Kota Padang yang Gugur demi Republik

Bagindo Aziz Chan merupakan Wali Kota Padang yang ke-2. Sosoknya dikenal sebagai pemimpin yang tak gentar melawan tekanan pihak Belanda. Kisahnya menyimpan banyak pelajaran mengenai keberanian, integritas dan pengabdian yang besar terhadap tanah air.

Artikel ini akan membahas tentang perjalanan Bagindo Aziz Chan mulai dari masa kecil hingga akhirnya gugur ditangan Belanda.

Awal Kehidupan dan Pendidikan

Bagindo Aziz Chan lahir pada 30 September 1910 di Alang Laweh, Kota Padang. Ia merupakan putra dari Bagindo Montok dan Djamilah. Sejak kecil, Aziz Chan tumbuh dalam lingkungan keluarga yang religius. Pendidikan agama Islam ia peroleh langsung dari ayahnya yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan kolonial Belanda.

Meski tumbuh dalam bayang-bayang pemerintahan kolonial, jiwa nasionalismenya sudah terbentuk sejak muda. Ia tertarik dengan pemikiran tokoh-tokoh pergerakan seperti Dr. Soetomo, Mohammad Roem, hingga Haji Agus Salim—tokoh yang kemudian sangat memengaruhi jalan hidupnya.

Pendidikan formalnya dimulai di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Padang. Setelah itu, ia melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Surabaya, kemudian Algemeene Middelbare School (AMS) di Batavia, dan akhirnya masuk ke Rechtshoogeschool te Batavia (RHS)—sekolah tinggi hukum ternama pada masa itu.

Setelah lulus dari RHS, Bagindo Aziz Chan sempat membuka praktik hukum dan bergabung dengan Jong Islamieten Bond, sebuah organisasi kepemudaan Islam yang juga diikuti oleh Haji Agus Salim. Namun idealismenya tidak berhenti pada jalur profesional. Pada tahun 1935, ia memutuskan pulang ke Padang dan mengabdikan diri sebagai guru. Ia turut membentuk dan aktif dalam Volks Universiteit, sebuah lembaga pendidikan rakyat yang berfokus pada pencerdasan masyarakat.

Dari Guru ke Wali Kota Padang

Perjalanan hidupnya memasuki babak baru pada 24 Januari 1946, ketika ia ditunjuk sebagai Wakil Wali Kota Padang mendampingi Abubakar Jaar. Tak lama kemudian, pada 15 Agustus 1946, Abubakar dipindah tugaskan menjadi residen di Sumatera Utara. Maka, tongkat kepemimpinan Kota Padang pun berpindah ke tangan Bagindo Aziz Chan.

Saat menjabat, situasi politik dan keamanan di Padang tengah berkecamuk. Tentara Sekutu dan Belanda berusaha memperluas pengaruhnya di wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera Barat. Meski tahu risiko yang dihadapi sangat besar, Bagindo menerima jabatan itu dengan niat tulus: demi menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat kota.

Ia sempat berusaha berdiplomasi dengan pihak Sekutu, bahkan menjalin komunikasi agar tidak terjadi kekerasan. Namun pada praktiknya, pihak Sekutu sering mengingkari kesepakatan. Ledakan mortir, tembakan senjata, dan penangkapan tokoh-tokoh perjuangan menjadi pemandangan yang semakin sering terjadi.

Kehidupan Pribadi

Di balik kiprahnya sebagai pemimpin, Bagindo Aziz Chan juga memiliki keluarga. Ia memiliki dua istri, yaitu R. Atisah Adiwirya asal Sunda dan Siti Zaura Oesman asal Padang.

Dari pernikahannya dengan R. Atisah, mereka dikaruniai tujuh orang anak: Roswita Azizchan, Bagindo Radhi Azizchan, Upy Azumar Azizchan, Bagindo Azir Azizchan, Andoda Nushati Azizchan, Huriah Pratiwi Azizchan, dan Bagindo Rendra Azizchan. Sedangkan dari Siti Zaura, lahirlah seorang putri bernama Fatiha Aidilfitrini (dikenal pula sebagai Ineke Azizchan), yang kemudian memberinya tiga cucu: Yoice Clarissa Nafis, Yoditha Ksari Nafis, dan Yola Tri Ovelia Nafis.

Gugur dalam Tugas, Gugur sebagai Pahlawan

Tanggal 19 Juli 1947 menjadi hari yang kelam dalam sejarah perjuangan di Padang. Saat itu, Bagindo Aziz Chan bersama istrinya yang tengah hamil tua sedang dalam perjalanan menuju Padang Panjang. Di daerah Purus, mereka dicegat oleh Letnan Kolonel Van Erps, yang menginformasikan bahwa telah terjadi insiden di Nanggalo—markas Belanda saat itu.

Sebagai Wali Kota, Bagindo merasa bertanggung jawab untuk mengatasi situasi tersebut. Namun tak disangka, itu hanyalah siasat tentara Sekutu untuk menjebaknya. Pada hari yang sama, Belanda melancarkan operasi penangkapan besar-besaran terhadap tokoh-tokoh Republik di Padang.

Bagindo Aziz Chan ditemukan tewas dengan luka parah di belakang kepala akibat pukulan benda tumpul, serta tiga bekas tembakan di wajahnya. Ia gugur sebagai pejuang dan pemimpin kota, hanya sehari sebelum Agresi Militer Belanda I resmi dimulai pada 20 Juli 1947.

Jenazahnya dimakamkan dini hari pada pukul 02.00 WIB dalam sebuah upacara kenegaraan yang dihadiri tokoh-tokoh sipil dan militer. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Bahagia, Bukittinggi.

Penghargaan

Atas pengorbanan dan perjuangannya, nama Bagindo Aziz Chan diabadikan sebagai nama jalan di beberapa kota, termasuk di Padang dan Bukittinggi. Sebuah monumen berbentuk kepalan tinju juga dibangun untuk mengenang semangat perlawanan beliau. Monumen ini diresmikan oleh Wali Kota Syahrul Ujud pada 19 Juli 1983 dan kini dikenal masyarakat sebagai Tugu Simpang Tinju.

Bagindo Aziz Chan adalah simbol keberanian, keteguhan, dan pengabdian tanpa syarat. Ia bukan sekadar seorang wali kota, melainkan seorang pejuang yang menolak tunduk pada penjajah. Namanya akan terus hidup dalam ingatan masyarakat Padang dan sejarah perjuangan Indonesia.

Sumber:

  1. Bagindo Azizchan” ikpni.or.id (diakses pada 14 Juli 2025)
  2. Mengenal Sosok Bagindo Aziz Chan, Pahlawan Nasional dari Sumatera Barat” nasional.sindonews.com (Diakses pada 14 Juli 2025)
  3. Profil Bagindo Aziz Chan, Wali Kota Padang ke-2 yang Gugur Melawan Belanda 19 Juli 1947” suara.com (Diakses pada 14 Juli 2025)
  4. Sejarah Perjuangan Pahlawan Nasional Bagindo Aziz Chan” rri.co.id (Diakses pada 14 Juli 2025)

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia

© 2023 arsipmanusia.com

Scroll to Top