Jenderal Polisi (Purn.) Drs. Hoegeng Iman Santoso adalah salah satu tokoh paling dihormati dalam sejarah Kepolisian Republik Indonesia. Lahir di Pekalongan pada 14 Oktober 1921, ia dikenal sebagai pribadi yang bersih, jujur, dan berintegritas tinggi—sebuah gambaran langka di tengah arus kekuasaan dan godaan kekayaan.
Di tengah dunia yang penuh kompromi, Hoegeng berdiri tegak membawa nilai-nilai keadilan dan ketegasan. Ia tak pernah takut berkata benar, meski kebenaran itu mengancam kenyamanannya sendiri. Bagi banyak orang, Hoegeng bukan sekadar polisi—ia adalah teladan moral, simbol keberanian, dan wajah dari integritas yang tak tergoyahkan.
Table of Contents
ToggleKehidupan Awal dan Pendidikan
Hoegeng lahir di sebuah kawasan kota pesisir bernama Pekalongan, Jawa Tengah—daerah yang dikenal akan keberagaman etnis dan budaya. Ia merupakan putra sulung dari pasangan Soekario Kario Hatmodjo, seorang jaksa, dan Oemi Kalsoem, wanita berdarah Pemalang. Sejak kecil, Hoegeng telah tumbuh dalam lingkungan disiplin, nasionalis, dan religius.
Pendidikan formalnya dimulai di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Pemalang pada 1927. Ketika sang ayah dipindahtugaskan ke Pekalongan, Hoegeng melanjutkan sekolahnya di sana hingga lulus pada 1934. Ia kemudian menempuh pendidikan lanjutan di MULO (setingkat SMP) dan AMS Yogyakarta (setingkat SMA), hingga akhirnya diterima di Recht Hoge School (RHS) Batavia—sebuah institusi hukum prestisius pada masa kolonial. Sayangnya, impiannya menjadi ahli hukum terhenti akibat pendudukan Jepang yang menyebabkan penutupan RHS.
Menjadi Polisi di Masa Revolusi
Ketika Jepang menjajah Indonesia, Hoegeng mengikuti kursus kepolisian yang diadakan oleh pemerintah militer Jepang pada 1942. Pilihan ini menjadi titik awal dari perjalanan panjangnya di dunia penegakan hukum. Pasca proklamasi kemerdekaan, Hoegeng ditugaskan di Kepolisian Semarang pada tahun 1945. Di tengah kekacauan masa revolusi, Hoegeng menunjukkan dedikasi tinggi terhadap negara yang baru berdiri.
Tak puas hanya dengan pengalaman di lapangan, Hoegeng melanjutkan pendidikan di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan lulus pada tahun 1952. Setelah itu, kariernya melesat cepat. Ia dipercaya memimpin tugas di berbagai daerah strategis seperti Jawa Timur dan Medan—wilayah yang saat itu rawan gangguan keamanan dan konflik sosial.
Kepemimpinan dan Keteladanan
Seiring reputasinya yang semakin cemerlang, Hoegeng dipercaya mengisi sejumlah posisi penting, seperti Kepala Jawatan Imigrasi (1960), Menteri Iuran Negara (1965), dan Menteri Sekretaris Kabinet Inti (1966). Namun puncak kariernya datang pada tahun 1968, saat Presiden Soeharto mengangkatnya sebagai Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).
Sebagai Kapolri, Hoegeng melakukan reformasi menyeluruh di tubuh Polri. Ia memperbaiki sistem birokrasi, memperkuat kerja sama internasional lewat Interpol, dan memberantas praktik-praktik kotor yang menjangkiti kepolisian. Dalam satu pernyataannya yang terkenal, Hoegeng menegaskan:
“Kalau saya tidak bisa menegakkan hukum, lebih baik saya mundur.”
Ia benar-benar mempraktikkan ucapannya. Dalam kasus penyelundupan besar di Sumatera Utara, Hoegeng mengambil tindakan berani tanpa pandang bulu, meski harus berhadapan dengan pihak-pihak yang berkepentingan dan berpengaruh. Ia juga menindak tegas praktik perjudian, penyalahgunaan kekuasaan, hingga korupsi internal.
Namun keberanian itu bukan tanpa konsekuensi. Keteguhannya dalam menolak kompromi membuat banyak pihak merasa tidak nyaman. Pada 1971, hanya tiga tahun setelah menjabat, Hoegeng diberhentikan dari jabatannya sebagai Kapolri. Meski tak pernah dijelaskan secara terbuka, banyak yang meyakini bahwa sikap bersih dan kerasnya menjadi alasan utama pemecatannya.
Kehidupan Pribadi
Di balik sosoknya yang keras terhadap ketidakadilan, Hoegeng adalah pribadi yang hangat dan penuh kasih dalam kehidupan pribadi. Ia menikah dengan Merry Roeslina Zubir, perempuan yang setia mendampinginya melewati pasang surut kehidupan. Mereka dikaruniai anak-anak yang menjadi pusat kebahagiaannya.
Di luar tugas negara, Hoegeng juga dikenal sebagai seniman sejati. Ia gemar bermain musik Hawaii dan menjadi bagian dari kelompok musik The Hawaiian Seniors, bahkan tampil di layar TVRI. Ia juga melukis dengan gaya naturalis dan menghabiskan waktu luangnya di kebun kecil di Jonggol setelah pensiun. Sayangnya, kecintaannya terhadap musik sempat dikecam oleh Menteri Penerangan Ali Moertopo, dengan dalih “tidak mencerminkan kepribadian bangsa”.
Namun Hoegeng tidak pernah ambil pusing. Ia tahu betul, hidup bukan hanya soal jabatan atau kekuasaan, melainkan soal menjadi manusia yang jujur terhadap diri sendiri.
Akhir Hayat
Hoegeng Iman Santoso wafat pada 14 Juli 2004 di Jakarta. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tetapi juga jejak teladan yang tak pernah usang. Di saat nama-nama polisi seringkali dikaitkan dengan penyimpangan, nama Hoegeng justru menjadi simbol harapan.
Presiden ke-4 RI, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), bahkan pernah berkata:
“Di Indonesia ini, hanya ada satu polisi jujur: Hoegeng!”
Kini, namanya diabadikan sebagai nama jalan dan monumen di berbagai kota. Tapi lebih dari sekadar nama, Hoegeng adalah nilai yang hidup—tentang kejujuran, keberanian, dan kesetiaan pada rakyat.