Natsir (Dr. (H.C.) H. Mohammad Natsir) lahir dan dibesarkan di Solok sebelum pindah ke Bandung untuk menempuh pendidikan di tingkat SMA dan mendalami ilmu Islam di perguruan tinggi.
Natsir masuk ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dan bergabung dengan partai politik Islam. Ia diangkat sebagai Perdana Menteri kelima Indonesia pada 5 September 1950.
Namun, ia mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno.
Natsir kemudian semakin aktif menyuarakan peran penting Islam di Indonesia, terlibat dalam pemberontakan PRRI, dan mengalami masa penjara. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, ia terus mengkritisi pemerintahan Soeharto hingga akhir hayatnya.
Selain aktif di bidang politik, Natsir juga produktif dalam menulis tentang pemikiran Islam. Ia menjadi kontributor tetap di majalah-majalah Islam sejak karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929.
Hingga akhir hayatnya, ia telah menghasilkan sekitar 45 buku dan ratusan tulisan lainnya. Natsir memandang Islam sebagai bagian integral dari budaya Indonesia, dan ia menyampaikan kekecewaannya terhadap perlakuan pemerintah terhadap agama tersebut.
Meskipun hidupnya sederhana, Natsir dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, ia diakui sebagai pahlawan nasional Indonesia. Dikenal sebagai menteri yang sederhana, dengan pakaian dan jas yang bertambal, serta menolak menerima hadiah mobil mewah.
Table of Contents
ToggleKehidupan Natsir
Mohammad Natsir lahir pada hari Jumat, tanggal 17 Jumadil Akhir 1326 H atau bertepatan dengan tanggal 17 Juli 1908 M, di kota Alahan Panjang, terletak di tepi Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat.
Ayahnya, Idris Sutan Saripado, awalnya merupakan seorang perwakilan regulator di Maninjau, yang kemudian beralih profesi menjadi pengawas atau penjaga penjara di Bekeru, Sulawesi Selatan. Sedangkan ibunya, Khadijah, merupakan anggota keluarga Chaniago.
Natsir tumbuh dalam keluarga yang penuh dengan nilai-nilai keagamaan, di mana ayah dan ibunya sama-sama memiliki keteguhan dalam menjalankan ajaran Islam.
Seperti kebanyakan orang Minang, ciri khas ini melekat pada mereka. Sejak muda, Natsir telah menunjukkan ketertarikannya dalam mempelajari agama, rajin mengaji dan belajar agama setiap pagi, sore, bahkan hingga malam.
Bersama dengan tiga saudara kandungnya, Yukiman, Rubiah, dan Yohanusun, dia tinggal bersama orang tua dan menjalani proses sosialisasi yang ketat dan berfokus pada ilmu pengetahuan, baik di Alahan Panjang maupun di Padang, dari tahun 1916 hingga 1927.
Pendidikan formal Natsir dimulai di Sekolah Rakyat Maninjau selama dua tahun hingga kelas dua, sebelum melanjutkan ke Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah di Padang. Di HIS Solok, selain belajar di siang hari, ia juga mengikuti pendidikan agama Islam di Madrasah Diniyah pada malam hari.
Setelah beberapa tahun, Natsir pindah ke HIS di Padang dan kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan di Algemeene Middelbare School (AMS).
Selama masa pendidikannya, Natsir aktif dalam berbagai organisasi pemuda, termasuk Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond, di mana ia menjabat sebagai ketua.
Dia juga menjadi pengajar setelah mendapatkan pelatihan guru di perguruan tinggi, serta memperdalam pengetahuannya tentang Islam, termasuk tafsir Al-Qur’an, hukum Islam, dan dialektika.
Pada tahun 1927, Natsir memutuskan untuk melanjutkan pendidikan dan pengembangan agamanya di Bandung. Di sana, pada tahun 1934, ia menikah dengan Nurnahar, dan gelar Datuk Sinaro Panjang diberikan kepadanya sebagai tradisi adat Minangkabau setelah pernikahannya.
Pasangan ini diberkahi dengan enam anak: Siti Mukhlisah (20 Maret 1936), Abu Hanifah (20 April 1937), Asma Farida (17 Maret 1939), Hasanah Faizah (5 Mei 1941), Asyatul Asrah (20 Mei 1942), dan Ahmad Fauzi (26 April 1944).
Meskipun keturunannya tidak meneruskan jejak perjuangan ayahnya, Natsir tetap diingat sebagai figur yang berpengaruh dalam dunia Islam. Banyak yang menyebut Nurcholis Madjid, seorang pemikir Islam kontemporer, sebagai penerus semangat dan pemikiran Natsir.
Karir Mohammad Natsir
Natsir sering berinteraksi dengan cendekiawan Islam seperti Agus Salim, khususnya selama pertengahan 1930-an, di mana mereka secara berkelanjutan memperbincangkan peran Islam dalam struktur pemerintahan masa depan Indonesia di bawah kepemimpinan Soekarno.
Bergabung dengan Partai Islam Indonesia pada tahun 1938, Natsir kemudian dipilih sebagai pemimpin cabang Bandung dari 1940 hingga 1942, sambil menjabat sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung hingga 1945.
Saat pendudukan Jepang, ia aktif di Majelis Islam A’la Indonesia yang kemudian menjadi Masyumi, menjabat sebagai salah satu ketuanya dari 1945 hingga dibubarkannya Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia oleh Soekarno pada tahun 1960.
Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan menteri penerangan sebelum akhirnya menjadi Perdana Menteri.
Namun, Natsir mengundurkan diri pada tahun 1951 karena perbedaan pandangan dengan Soekarno, terutama dalam hal pandangan terhadap Islam dan prioritas pembangunan di luar Pulau Jawa. Dia juga menentang upaya Soekarno dan PNI untuk menjatuhkan Kabinet Natsir.
Selama era demokrasi terpimpin, Natsir terlibat dalam perlawanan terhadap pemerintah yang semakin otoriter, termasuk bergabung dengan PRRI. Ini membuatnya ditangkap dan dipenjarakan dari 1962 hingga 1964. Setelah dibebaskan, ia aktif dalam organisasi-organisasi Islam internasional dan mendirikan Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia.
Di bawah rezim Orde Baru, Natsir terus mengkritik kebijakan pemerintah, termasuk dalam Petisi 50 pada tahun 1980, yang membuatnya dilarang bepergian ke luar negeri.
Meskipun dianggap sebagai penentang Pancasila oleh rezim, Natsir tetap gigih dalam kritikannya terhadap kebijakan pemerintah, terutama dalam hal hubungan internasional dan penanganan partai politik, yang seringkali menimbulkan ketegangan dengan pemerintah.
Wafat
Mohammad Natsir meninggal pada tanggal 6 Februari 1993 di RS Cipto Mangun Kusumo, Jakarta, pada usia 85 tahun, bertepatan dengan tanggal 14 Sya’ban 1413 H.
Setelah kematiannya, berita tentang Natsir menjadi sorotan utama di berbagai media cetak dan elektronik. Reaksi terhadap berita tersebut bervariasi, baik dari rekan-rekan sejawatnya maupun lawan politiknya, yang membahas prestasi dan kekurangan selama masa pemerintahannya.
Namun, yang menonjol adalah kesan bahwa Mohammad Natsir merupakan salah satu anak terbaik Indonesia yang berjuang dengan penuh dedikasi untuk agama dan negara.
Penghargaan
Baik pemerintahan era Soekarno maupun Soeharto menuding Mohammad Natsir sebagai pemberontak dan pembangkang, yang pada akhirnya membuatnya dipenjarakan. Namun, di mata negara-negara lain, Natsir dihormati dan diakui secara luas, sebagaimana terbukti dari berbagai penghargaan yang diterimanya.
Dalam dunia Islam, Natsir dianggap sebagai pahlawan yang memperjuangkan nilai-nilai agama melewati batas negara. Bruce Lawrence, dalam tulisannya, menyatakan bahwa Natsir adalah salah satu politisi yang paling menonjol dalam mendukung pembaruan Islam.
Pengakuan atas kontribusinya datang dari berbagai belahan dunia, seperti bintang penghargaan Ordre du Nichan Iftikhar GC ribbon dari Raja Tunisia pada tahun 1957 atas dukungannya terhadap perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara.
Penghargaan internasional lainnya termasuk Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah pada tahun 1980, serta pengakuan dari beberapa ulama dan pemikir terkemuka seperti Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan Abul A’la Maududi.
Pada tahun 1980, Natsir menerima Faisal Award dari Raja Fahd Arab Saudi melalui Yayasan Raja Faisal di Riyadh. Ia juga dianugerahi gelar doktor kehormatan di bidang politik Islam dari Universitas Islam Libanon pada tahun 1967.
Penghargaan lainnya termasuk dua gelar kehormatan dari Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Sains Malaysia pada tahun 1991.
Pemerintah Indonesia akhirnya memberinya penghormatan setelah 15 tahun kematiannya, dengan menetapkan tanggal 10 November 2008 sebagai hari di mana Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional.
Meskipun demikian, Soeharto pada awalnya menolak memberikan gelar pahlawan kepada salah satu “bapak bangsa” ini. Di masa pemerintahan B.J. Habibie, Natsir dianugerahi Bintang Republik Indonesia Adipradana.
Natsir dikenal sebagai sosok yang sederhana sepanjang hidupnya. Dia sering kali menolak hadiah-hadiah mewah, seperti mobil Chevrolet Impala, dan hanya memiliki mobil tua De Soto untuk mengantar-jemput anak-anaknya.
Selain itu, ketika dia mundur dari jabatan Perdana Menteri pada tahun 1951, ia menolak sisa dana taktis yang seharusnya menjadi haknya, dan memilih untuk mendonasikannya kepada koperasi karyawan.
Selama terlibat dalam PRRI, ia ditahan di berbagai penjara selama tahun 1960-1966, dan keluarganya kehilangan rumah dan mobil De Soto tersebut. Semua harta miliknya disita oleh pemerintah.
Bio Data Mohammad Natsir
Nama Lengkap | Dr. (H.C.) H. Mohammad Natsir |
Nama Kecil | Mohammad Natsir |
Nama Lain | |
Lahir | Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Solok, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 17 Juli 1908 |
Wafat | Jakarta, Indonesia, 6 Februari 1993 (umur 84) |
Makam | TPU Karet Bivak, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Minang |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politikus |
Partai Politik | Masyumi |
Keluarga | |
Ayah | Mohammad Idris Sutan Saripado |
Ibu | Khadijah |
Istri | Nurnahar |
Anak | Siti Mukhlisah Abu Hanifah Asma Farida Dra. Hasanah Faizah Drs. Asyatul Asrah Ir. Ahmad Fauzi |
Riwayat Pendidikan Mohammad Natsir
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Sekolah Rakyat | Sekolah Rakyat Maninjau |
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) | Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Adabiyah, Padang |
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) | Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Solok |
Madrasah Diniyah | Madrasah Diniyah, Solok |
Hollandsch-Inlandsche School (HIS) | Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Padang |
Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) (1923 – 1928) | Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Padang |
Algemeene Middelbare School (AMS) (1928 – 1930) | Algemeene Middelbare School (AMS), Bandung |
Karir Mohammad Natsir
Organisasi/Lembaga | Jabatan |
---|---|
Jong Islamieten Bond Bandung | Ketua (1928 – 1932) |
Pendidikan Islam Bandung | Direktur (1932 – 1942) |
Dewan Kabupaten Bandung | Anggota (1940 – 1942) |
Persatuan Islam Indonesia (PII) Cabang Bandung | Anggota (1940 – 1942) |
Biro Pendidikan Kota Madya Bandung | Kepala (1942 – 1945) |
Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta | Sekretaris (1942 – 1945) |
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) | Anggota (1945 – 1946) |
Menteri Penerangan Republik Indonesia | Menteri Penerangan Republik Indonesia (14 November 1945 – 28 Februari 1946) |
Menteri Penerangan Republik Indonesia | Menteri Penerangan Republik Indonesia (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946) |
Menteri Penerangan Republik Indonesia | Menteri Penerangan Republik Indonesia (29 Januari 1948 – 4 Agustus 1949) |
Partai Masyumi | Ketua (1949-1958) |
Perdana Menteri Indonesia | Perdana Menteri Indonesia ke-5 (5 September 1950 – 26 April 1951) |
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) | Anggota (1955) |
Konstituante Republik Indonesia | Anggota (1956 – 1957) |
Yayasan Dewan Dakwah Islamiyah, Jakarta | Ketua (1967) |
Muslim World League | Anggota (1968) |
Majlis A’la Al- Alamy lil Masjid (Dewan Masjid Sedunia), Makkah | Anggota (1976) |
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta | Dosen |
Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV | Penasihat Presiden dan Penasihat Komisi IV |
Panitia Lima | Ketua |
Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi | Pendiri |
Karir Mohammad Natsir
Tahun Terbit | Judul |
---|---|
1951 | Islam Sebagai Ideologi |
1969 | Islam dan Akal Merdeka |
1969 | Islam dan Kristen di Indonesia |
1984 | Asas Keyakinan Agama Kami |
1983 | Mempersatukan Umat Islam |
1971 | Di Bawah Naungan Risalah |
1980 | Pandai-pandai Bersyukur Nikmat |
1991 | Bahaya Takut |
1982 | Dunia Islam dari Masa ke Masa |
1975 | Iman Sebagai Sumber Kekuatan Lahir dan Batin |
1999 | Marilah Shalat |
1965 | Fiqhud Dakwah |
Dakwah dan Pembangunan | |
1983 | Mencari Modus Vivindi Antara Umat Beragama di Indonesia |
1982 | Kubu Pertahanan Umat Islam dari Abad ke Abad |
1982 | Buku PMP dan Mutiara yang Hilang |
1978 | Kumpulan Kutbah Dua Hari Raya |
1982 | Pancasila akan Hidup Subur sekali dalam Pengakuan Islam |
1986 | Demokrasi di Bawah Hukum |
2001 | Agama dan Negara dalam Perspektif Islam |
1984 | Indonesia di Persimpangan Jalan |
1985 | Tempatkan Kembali Pancasila pada Kedudukannya yang Konstitusional |
1987 | Pendidikan, Pengorbanan, Kepemimpinan, Primordialisme, dan Nostalgia |
1954 | Kapita Selekta I |
1957 | Kapita Selekta II |
Penghargaan Mohammad Natsir
Penghargaan (tahun) | Tempat |
---|---|
Pahlawan Nasional Indonesia (10 Novembr 2008) | Pemerintah Indonesia |
Prince D’Islam (Maret 1977) | Komunitas Dunia Muslim |
Jaaizatul Malik Faisal al-Alamiyah (Febuari 1980) | lembaga Hadiah Internasioanal Malik Faisal di Saudi Arabia |
Tokoh Manajemen Mesjid Indonesia ( 26 Mei 2005) | Dewan Masjid Award |
Doctor Honoris Causa Politik Islam (1967) | Universitas Islam Libanon |
Doctor Honoris Causa Sastra (1991) | Universitas Kebangsaan Malaysia |
Doctor Honoris Causa Pemikiran Islam (1991) | Universitas Sains Malaysia |
Penghargaan Bintang Mohammad Natsir
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Republik Indonesia Adipradanaa (6 November 1998) | |
Ordre du Nichan Iftikhar GC ribbon, Tunisia (Januari 1957) | |
Bintang Keteladanan Akhlak Mulia (2007) |