Sutan Sjahrir merupakan sosok idealis ini berhasil sebagai pejuang kemerdekaan dan seorang diplomat yang hebat. Dia juga dijuluki “Bung Kecil” karena postur tubuhnya yang pendek. Ini adalah Sutan Sjahrir, nama yang abadi dalam catatan sejarah Indonesia.
Selama perjalanan panjangnya, ia melakukan diplomasi penting, salah satunya melalui Perundingan Linggarjati, yang menghasilkan kesepakatan penting tentang status kemerdekaan Indonesia. Mari kita lihat bagaimana dia memperjuangkan kemerdekaan negara Indonesia tercinta ini.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan Syahrir
Lahir di kota Padang Panjang, Sumatra Barat, Sjahrir tumbuh dalam keluarga yang terhormat, berasal dari keturunan Soetan Palindih dari Koto Gadang, Agam, dan Puti Siti Rabiah dari negeri Natal, Mandailing Natal, Sumatra Utara.
Ayahnya, Mohammad Rasad, adalah penasehat sultan Deli dan seorang kepala jaksa di Medan. Sjahrir memiliki saudara seayah bernama Rohana Kudus, seorang aktivis dan wartawan wanita ternama.
Syahrir mulai bersekolah di Sekolah Dasar (ELS) dan Sekolah Menengah Atas (MULO) terbaik di Medan. Di sini, pintu ilmu terbuka lebar baginya, memberikan akses pada berbagai buku-buku asing dan novel Belanda yang tak terhitung jumlahnya.
Namun, pada malam hari, dia tak ragu mengamen di Hotel De Boer (kini Hotel Natour Dharma Deli) untuk menghidupi dirinya sendiri dan membayar biaya sekolahnya.
Di tahun 1926, Sjahrir memasuki Algemeene Middelbare School (AMS) di Bandung untuk melanjutkan pendidikannya. Di kota ini, bakatnya dalam teater semakin berkembang, dan ia bergabung dengan Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis) sebagai sutradara, penulis skenario, bahkan aktor.
Uang yang dihasilkan dari pertunjukan teaternya digunakan untuk mendirikan sekolahnya sendiri, Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat), sebuah lembaga pendidikan bagi rakyat.
Prestasinya semakin bersinar di kalangan siswa AMS Bandung, dan Sjahrir menjadi bintang di mata teman-teman sebayanya. Tak seperti kebanyakan siswa, Sjahrir bukanlah pribadi yang tenggelam dalam buku-buku pelajaran dan pekerjaan rumah.
Ia aktif dalam klub debat di sekolah dan menunjukkan kepedulian pada pendidikan anak-anak dari keluarga tak mampu dengan mengadakan aksi melek huruf secara gratis di Tjahja Volksuniversiteit. Kecintaannya pada pendidikan dan seni membuatnya menjadi figur inspiratif bagi banyak orang sejak usia muda.
Aksi sosial Sjahrir akhirnya berkembang menjadi karier politik yang cemerlang. Pada saat teman-teman seperjuangannya masih terikat dalam perhimpunan-perhimpunan regional, Sjahrir bersama sembilan orang lainnya mendirikan Jong Indonesië, sebuah kelompok pemuda nasionalis.
Nama kelompok ini kemudian diubah menjadi Pemuda Indonesia, yang memainkan peran kunci dalam pelaksanaan Kongres Pemuda Indonesia pada tahun 1928, momen bersejarah yang melahirkan Sumpah Pemuda.
Sebagai pemimpin redaksi majalah Himpunan Pemuda Nasionalis, Sjahrir telah dikenal oleh polisi Bandung saat masih menjadi siswa sekolah menengah.
Dikisahkan oleh temannya di AMS, Sjahrir bahkan pernah terjebak oleh polisi karena tidak ingin membaca koran yang memuat berita tentang pemberontakan PKI 1926 yang ditempel di papan pengumuman sekolah.
Melanjutkan studi di Fakultas Hukum Universitas Amsterdam, Sjahrir terjun ke dalam pemahaman sosialisme yang mendalam. Meskipun singkat, ia menjalin hubungan dekat dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat, dan pasangannya, Maria Duchateau, yang kemudian menjadi pasangan hidupnya.
Di Belanda, Sjahrir juga bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional, memperdalam pemahamannya tentang dunia proletar dan organisasi pergerakan buruh.
Ketika pemerintah Hindia Belanda semakin keras menindak pergerakan nasional, beberapa pemimpin pergerakan dipenjara, termasuk PNI yang akhirnya dibubarkan oleh aktivisnya sendiri. Aktivis PI di Belanda pun cemas, namun Sjahrir dan Hatta tetap berjuang dengan tulisan-tulisan mereka di majalah Pendidikan Nasional Indonesia, Daulat Rakjat, yang menekankan pentingnya pendidikan bagi rakyat.
Pada akhir tahun 1931, Sjahrir kembali ke negara asalnya dan bergabung dengan Partai Nasional Indonesia Baru, juga dikenal sebagai PNI Baru. Sebagai pemimpin partai ini, Sjahrir berperan penting dalam mendidik kader-kader pergerakan.
PNI Baru dianggap lebih radikal daripada PNI Soekarno oleh pemerintah kolonial karena pendekatan cerdas dan tak tergesa-gesa dalam mencapai tujuan revolusioner.
Sayangnya, perjuangan mereka tidak lepas dari pantauan penguasa kolonial. Pada Februari 1934, Sjahrir, Hatta, dan beberapa pemimpin PNI Baru ditangkap, dipenjara, dan akhirnya diasingkan ke Boven Digoel dan kemudian Banda Neira selama enam tahun karena khawatir akan potensi revolusioner partai mereka.
Masa Jepang
Sementara Soekarno dan Hatta menjalin kerja sama dengan Jepang, Sjahrir memilih jalur bawah tanah untuk membangun gerakan anti-fasis. Dengan keyakinan bahwa Jepang tidak akan mampu memenangkan perang, Sjahrir menganggap penting bagi kaum pergerakan untuk mempersiapkan diri dan menunggu momen yang tepat untuk merebut kemerdekaan.
Simpul-simpul gerakan bawah tanah yang dikendalikan oleh Sjahrir terdiri dari para kader PNI Baru yang tetap berkomitmen pada pergerakan serta mahasiswa progresif.
Seorang tokoh senior pergerakan buruh yang dekat dengan Sjahrir, Sastra, menulis tentang pergerakan ini: “Di bawah kepemimpinan Sjahrir, kami bergerak dengan taktik bawah tanah, memperkuat diri secara internal, sambil menantikan kondisi eksternal dan momen psikologis yang tepat untuk merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”
Kondisi eksternal semakin jelas ketika Jepang mulai merasa terdesak oleh pasukan Sekutu. Meskipun radio-radio lokal telah diawasi ketat oleh Jepang dan tak dapat menangkap berita luar negeri, Sjahrir secara sembunyi-sembunyi menyampaikan informasi tentang perkembangan Perang Dunia yang ia dengar dari stasiun radio luar negeri kepada Hatta.
Sambil mempersiapkan gerakan bawah tanah, Sjahrir menantikan momen yang tepat untuk merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Dibantu oleh para pemuda, Sjahrir mendesak Soekarno dan Hatta pada tanggal 15 Agustus untuk memproklamirkan kemerdekaan karena Jepang telah menyerah. Dalam posisi yang siap dengan gerakan bawah tanah sebagai dukungan dari rakyat, Sjahrir berharap tindakan ini akan menjadi simbol nyata dari dukungan rakyat terhadap kemerdekaan.
Namun, Soekarno dan Hatta belum mengetahui berita tentang penyerahan Jepang dan menunggu keputusan dari pihak Jepang yang berada di Indonesia, serta prosedur yang sesuai dengan keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk oleh Jepang.
Menurut rencana PPKI, tanggal 24 September 1945 akan menjadi saat yang tepat untuk memproklamirkan kemerdekaan. Sikap Soekarno dan Hatta ini mengecewakan para pemuda karena dianggap berisiko kemerdekaan RI dianggap sebagai hadiah dari Jepang dan bukan hasil perjuangan.
Untuk mendesak lebih keras, para pemuda akhirnya menculik Soekarno dan Hatta pada tanggal 16 Agustus. Akhirnya, pada tanggal 17 Agustus, Soekarno dan Hatta memproklamirkan kemerdekaan RI, menandai awal dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya.
Penculikan
Pada 26 Juni 1946, Surakarta menjadi saksi dari peristiwa menegangkan yang mengguncang kedaulatan Republik Indonesia. Sebuah kelompok oposisi yang tidak puas dengan diplomasi Kabinet Sjahrir II terhadap pemerintah Belanda, yang hanya menuntut pengakuan kedaulatan atas Jawa dan Madura, melakukan aksi menculik Perdana Menteri Sjahrir.
Kelompok Persatuan Perjuangan yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedarsono dan 14 pimpinan sipil, termasuk Tan Malaka dari Persatuan Perjuangan dan Panglima Besar Jenderal Sudirman, bertekad untuk mencetuskan konsep “Merdeka 100%” yang menginginkan pengakuan kedaulatan penuh bagi Indonesia.
Sebagai bentuk protes atas kebijakan diplomasi pemerintah, Perdana Menteri Sjahrir ditahan di sebuah rumah peristirahatan di Paras. Marah dengan kejadian tersebut, Presiden Soekarno memerintahkan Polisi Surakarta untuk menangkap para pimpinan kelompok oposisi tersebut. Terakhir, empat belas pemimpin berhasil ditangkap dan ditahan di penjara Wirogunan pada tanggal 1 Juli 1946.
Pada tanggal 2 Juli 1946, terjadi peristiwa dramatis. Dalam upaya untuk membebaskan ke-14 pimpinan penculikan, penjara Wirogunan diserbu oleh tentara Divisi 3 yang dipimpin oleh Mayor Jenderal Soedarsono.
Mendengar kabar itu, Soekarno sangat marah dan memerintahkan Letnan Kolonel Soeharto, komandan tentara Surakarta, untuk menangkap Mayor Jenderal Soedarsono dan para pemberontak lainnya.
Namun, perintah itu ditolak oleh Soeharto karena ia enggan menangkap atasannya sendiri. Dia bersikeras hanya akan menangkap para pemberontak jika mendapat perintah langsung dari Jenderal Soedirman, Kepala Staf Militer RI. Presiden Soekarno semakin marah dan mengecam Soeharto sebagai perwira yang keras kepala.
Dengan cerdik, Soeharto berpura-pura menyimpati pemberontakan dan menawarkan perlindungan kepada Mayor Jenderal Soedarsono dan para pimpinan pemberontak di markas resimen tentara di Wiyoro.
Namun, dengan diam-diam, Soeharto juga menghubungi pasukan pengawal Presiden dan memberitahukan rencana kedatangan Mayor Jenderal Soedarsono dan para pimpinan pemberontak.
Pada tanggal 3 Juli 1946, terjadi peristiwa penting di mana Mayor Jenderal Soedarsono dan para pimpinan pemberontak berhasil ditangkap di dekat Istana Presiden di Yogyakarta oleh pasukan pengawal Presiden. Upaya pemberontakan tersebut akhirnya gagal, dan peristiwa ini dikenal dengan sebutan “pemberontakan 3 Juli 1946.”
Diplomasi Syahrir
Setelah kejadian penculikan Sjahrir pada 26 Juni 1946, tugasnya sebagai Perdana Menteri diambil alih oleh Presiden Soekarno. Namun, pada tanggal 2 Oktober 1946, Presiden kembali menunjuk Sjahrir sebagai Perdana Menteri untuk melanjutkan perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November 1946.
Tanpa Sjahrir, Soekarno mungkin terjebak dalam api revolusi yang ia mulai. Sementara itu, tidak dapat dipungkiri bahwa Sjahrir tidak akan memiliki kekuatan apa pun tanpa bantuan Bung Karno.
Sjahrir mengakui bahwa Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui oleh rakyat. Soekarno adalah pemersatu bangsa Indonesia. Meskipun agitasinya begitu menggelora dan mendukung dukungan rakyat untuk revolusi, Sjahrir menyadari bahwa kekuatan yang sudah dihidupkan oleh Soekarno harus dibendung dan diarahkan dengan benar agar energi tersebut tidak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi harus dikendalikan, Sjahrir juga setuju bahwa revolusi tidak bisa berjalan terlalu lama dan harus diarahkan dengan bijaksana. Revolusi yang mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tidak dikendalikan dapat meruntuhkan seluruh ‘bangunan’ yang telah dibangun.
Untuk menjaga agar Republik Indonesia tetap tegak berdiri dan perjuangan rakyat tidak menampilkan wajah kekerasan, Sjahrir menjalankan siasatnya. Sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) di pemerintahan, Sjahrir menjadi arsitek perubahan dari Kabinet Presidensil menjadi Kabinet Parlementer, yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai lembaga yang memiliki fungsi legislatif.
RI pun menganut sistem multipartai, sesuai dengan arus politik pasca-Perang Dunia II, yaitu kemenangan demokrasi atas fasisme. Sjahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-kekerasan kepada massa rakyat.
Dengan siasat-siasat tersebut, Sjahrir ingin menunjukkan kepada dunia internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan bangsa-bangsa yang melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-Perang Dunia II.
Propaganda Belanda yang menyatakan orang-orang di Indonesia sebagai gerombolan brutal yang suka membunuh, merampok, dan menculik, ingin dipecahkan oleh Sjahrir. Ia menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput dan dipublikasikan oleh wartawan-wartawan luar negeri.
Tentu saja, langkah-langkah yang diambil Sjahrir tidak selalu mulus. Pada pengujung Desember 1946, Sjahrir bahkan mengalami situasi berbahaya ketika dicegat dan ditodong pistol oleh serdadu NICA.
Namun, ia tetap tegar dalam prinsip anti-kekerasan dan berusaha menghindari dampak buruk bagi para pejuang republik dengan menghentikan siaran tentang peristiwa tersebut.
Kabinet-kabinet yang dipimpin oleh Sjahrir, mulai dari Kabinet Sjahrir I hingga Kabinet Sjahrir III, konsisten dalam memperjuangkan kedaulatan RI melalui jalur diplomasi. Sjahrir menyadari bahwa menghadapi tentara sekutu yang jauh lebih canggih dalam persenjataan, taktik diplomasi adalah langkah yang lebih bijaksana.
Diplomasi yang dilakukannya akhirnya mengantarkan Indonesia ke forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan mendapatkan dukungan internasional.
Sebagai wakil Indonesia di PBB, Sjahrir berhasil memberikan pidato yang mengesankan dan mematahkan argumen wakil Belanda. Ia berhasil merebut kedudukan sebagai sebuah bangsa yang berjuang untuk kedaulatannya di panggung internasional.
Dengan kesabaran dan kebijaksanaan, Sjahrir membuktikan bahwa Indonesia adalah bangsa yang beradab dan demokratis dalam perjuangan melawan kolonialisme pasca-Perang Dunia II.
Wartawan yang meliput sidang Dewan Keamanan PBB mengenal Sjahrir dengan baik, terutama di kalangan wartawan Indonesia selama revolusi. Beberapa surat kabar bahkan menamainya “The Smiling Diplomat.”
Sjahrir mewakili Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa selama satu bulan, berpartisipasi dalam dua sidang. Sampai tahun 1950, Lambertus Nicodemus Palar (L.N. Palar terus memimpin delegasi Indonesia.
Partai Sosialis Indonesia
Setelah menjabat sebagai Perdana Menteri, Sutan Sjahrir diangkat sebagai penasihat Presiden Soekarno dan Duta Besar Keliling. Pada tahun 1948, ia mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI) sebagai alternatif bagi partai-partai komunis internasional.
Meskipun menganut ajaran Marx-Engels, PSI berhaluan kiri dan menentang sistem negara-negara Uni Soviet. Bagi Sjahrir, sosialisme berarti menghargai derajat kemanusiaan dan mengakui persamaan derajat setiap manusia.
Berjuang demi kemerdekaan Republik Indonesia dan melalui peranannya dalam diplomasi internasional, Sjahrir telah membuktikan bahwa revolusi Indonesia adalah perjuangan yang beradab dan demokratis. Namun, setelah berakhirnya masa kepemimpinannya sebagai Perdana Menteri, ia tidak berhenti dalam perannya sebagai pejuang kemerdekaan.
Sjahrir tetap aktif berkontribusi dalam memajukan bangsa dan membentuk PSI sebagai partai politik yang berhaluan kiri namun berbeda dari gerakan komunis internasional.
Meskipun berangkat dari ajaran Marx-Engels, Sjahrir menolak sistem kenegaraan Uni Soviet karena melihat bahwa setiap negara memiliki keunikan dan kekhasannya sendiri dalam menjalankan sistem politik dan ekonomi. Baginya, sosialisme yang diusung oleh PSI adalah tentang menghargai martabat setiap individu dan mencari persamaan derajat di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini berarti bahwa upaya untuk mencapai persamaan dan keadilan sosial haruslah dijalankan dengan cara yang mengakui hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu.
Dengan pendirian PSI, Sjahrir menunjukkan komitmennya terhadap cita-cita sosialis yang berlandaskan pada kemanusiaan. Partai ini menjadi alternatif bagi masyarakat yang ingin berjuang untuk keadilan dan kesetaraan tanpa harus tunduk pada sistem politik yang dogmatis atau otoriter.
Sjahrir berharap bahwa melalui PSI, nilai-nilai sosialis dapat diimplementasikan dengan bijaksana dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Wafat
Tahun 1955, Partai Sosialis Indonesia (PSI) mengalami kegagalan dalam mengumpulkan suara pada pemilihan umum pertama di Indonesia. Kemudian, pada tahun 1958, terjadi kasus PRRI yang mengakibatkan hubungan antara Sutan Sjahrir dan Presiden Soekarno semakin memburuk. Akhirnya, pada tahun 1960, PSI dibubarkan.
Puncak dari ketegangan hubungan antara Sjahrir dan Soekarno terjadi, dan situasi semakin buruk. Pada tahun 1962 hingga 1965, Sjahrir ditangkap dan dipenjarakan tanpa diadili, sehingga mengalami kondisi stroke. Setelah itu, meskipun kondisinya lemah, Sjahrir diizinkan untuk berobat ke Zürich, Swiss.
Seorang kawan dekat, yang juga pernah menjabat sebagai wakil ketua PSI, Sugondo Djojopuspito, mengantarkannya ke Bandara Kemayoran. Saat itulah, Sjahrir memeluk Sugondo dengan air mata, sebagai tanda perpisahan yang penuh emosi.
Sjahrir menjalani hidupnya dalam pengasingan sebagai tawanan politik. Meskipun berada jauh dari tanah airnya, semangat perjuangannya tidak pernah pudar. Namun, takdir berkata lain, Sjahrir meninggal di Zurich, Swiss, pada 9 April 1966, pada usia 57 tahun. Walaupun fisiknya telah meninggalkan kita, semangat perjuangannya tetap dikenang dan dihormati oleh banyak orang.
Pengabdiannya untuk bangsa dan cita-cita sosialisnya membawa pengaruh besar bagi pergerakan politik di Indonesia. Meskipun ia dihadapkan pada berbagai cobaan dan konflik dengan penguasa saat itu, Sjahrir tetap teguh pada prinsip-prinsipnya. Dia adalah seorang intelektual yang gigih, pemimpin yang karismatik, dan seorang pejuang kemerdekaan yang berdedikasi.
Setelah kematiannya, Sjahrir dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Kalibata, Jakarta. Warisannya sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia tetap hidup dalam ingatan dan menginspirasi generasi-generasi selanjutnya.
Sebagai seorang tawanan politik, Sjahrir meninggalkan warisan perjuangan yang tak terlupakan, mengajarkan kita tentang arti kesetiaan terhadap idealisme dan keteguhan dalam menghadapi tantangan.
Bio Data Sutan Sjahrir
Nama Lengkap | Sutan Syahrir |
Nama Kecil | – |
Nama Lain | – |
Lahir | Padang Panjang, 5 Maret 1909 |
Wafat | Zürich, Swiss, 9 April 1966 |
Makam | TMP Kalibata, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Minang |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politikus |
Partai Politik | Partai Sosialis Indonesia |
Keluarga | |
Ayah | Muhammad Rasad |
Ibu | Puti Siti Rabiah |
Istri (Awal nikah – akhir) | Maria Duchateau (10 April 1932 – 5 Mei 1932) Siti Wahyunah Saleh/Poppy (Mei 1951 – 9 April 1966) |
Anak Dari Siti Wahyunah Saleh/Poppy | Kriya Arsjah (buyung) Siti Rabyah Parvati Sjahrir (upik) |
Cucu dari Siti Rabyah | Shahrina Tiara Wardhani |
Cucu dari Kriya Arsyah Sjahrir | Kanya Stira |
Riwayat Pendidikan Sutan Sjahrir
Pendidikan (tahun) | Tempat |
---|---|
ELS (Europeesche Lagere School) (1916 – 1923) | ELS (Europeesche Lagere School) Medan |
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) (1923 – 1926) | MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) Medan |
AMS (Algemeene Middelbare School) (1926 – 1929) | AMS (Algemeene Middelbare School) Bandung |
University of Amsterdam (1929 – 1931) | University of Amsterdam, Belanda |
Karir Sutan Sjahrir
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Himpunan Teater Mahasiswa Indonesia (Batovis), Bandung | Sutradara, Penulis Skenario, Aktor |
Tjahja Volksuniversiteit (Cahaya Universitas Rakyat) | Pendiri |
Jong Indonesië/Pemuda Indonesia | Pendiri(salah satu dari 10 pendiri) (20 Februari 1927) |
Perhimpunan Indonesia | Anggota |
Partai Nasional Indonesia (PNI Baru) | Ketua (1932) |
Kongres Buruh Indonesia | Ketua (Mei 1933) |
Perdana Menteri Indonesia | Perdana Menteri Indonesia ke-1 (14 November 1945 – 3 Juli 1947) |
Kementerian Dalam Negeri Indonesia | Menteri Dalam Negeri Indonesia ke-2 (14 November 1945 – 12 Maret 1946) |
Kementerian Luar Negeri Indonesia | Menteri Luar Negeri Indonesia ke-2 (14 November 1945 – 3 Juli 1947) |
Komite Nasional Indonesia Pusat | Ketua ke-2 (17 Oktober 1945 – 14 November 1945) |
Partai Sosialis Indonesia | Ketua Umum dan Pendiri (12 Februri 1948) |
Karya Tulis Sutan Sjahrir
Tahun | Judul |
---|---|
1950 | Pikiran dan Perjuangan |
1933 | Pergerakan Sekerja |
1945 | Perjuangan Kita |
1946 | Indonesische Overpeinzingen |
1951 | Renungan Indonesia |
1949 | Out of Exile |
1990 | Renungan dan Perjuangan |
1967 | Sosialisme dan Marxisme |
1953 | Nasionalisme dan Internasionalisme |
1983 | Sosialisme Indonesia Pembangunan |
Penghargaan Sutan Sjahrir
Tahun | Penghargaan |
---|---|
1966 | Pahlawan Nasional Indonesia |
Penghargaan Bintang Sutan Sjahrir
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Republik Indonesia Adipradana (6 November 1998) |