Edit Template

Roosseno Soerjohadikoesoemo: Insinyur Teknik, Ahli Beton dan Tokoh Pendidikan Indonesia

Prof. Dr. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah pembangunan dan pendidikan teknik di Indonesia. Dikenal sebagai ahli konstruksi beton, ia tidak hanya berkontribusi dalam dunia akademik, tetapi juga turut membangun pondasi negara melalui kiprahnya sebagai menteri di masa awal kemerdekaan. 

Sebagai satu-satunya pribumi yang lulus dari Technische Hoogeschool (kini ITB) pada tahun 1932 dengan predikat cumlaude, Roosseno menunjukkan bahwa anak bangsa juga bisa hidup mandiri ditengah tekanan dan keterbatasan masa kolonial. Kiprahnya di BPUPKI, perannya dalam mendirikan Universitas Gadjah Mada, serta dedikasinya sebagai pendidik dan pemikir menjadikannya sosok yang layak dikenang dan dipelajari generasi kini.

Masa Kecil dan Asal Keluarga

Roosseno Soerjohadikoesoemo dilahirkan pada 2 Agustus 1908 di Madiun, Jawa Timur. Ia berasal dari keluarga priyayi, yakni kelas bangsawan Jawa yang berkiprah dalam pemerintahan kolonial. Ayahnya, R. Rustamhadji, adalah seorang patih di Ngawi, sedangkan kakeknya, R. Soemodiwirjo, pernah menjabat sebagai patih di Ponorogo. Ibunya, Raden Roro Endran, memiliki garis keturunan bangsawan dari keluarga Sumodilogo di Temanggung.

Roosseno merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara. Saudara-saudaranya adalah Raden Roro Samiyati, drh. Roosheru, dr. Rooskandar, Roosmiyati Sumargo, Roosdjenar, dan Roosdianto, SH. Keluarga mereka hidup dalam lingkungan yang menjunjung tinggi nilai pendidikan dan disiplin.

Pada tahun 1916, ibunda Roosseno wafat saat anak-anaknya masih kecil. Untuk memenuhi kebutuhan pengasuhan, sang ayah kemudian menikah lagi dengan Gusti Raden Ayu Martinah. Ibu sambung ini dikenal sangat bijaksana dan penuh kasih, memperlakukan Roosseno dan saudara-saudaranya seperti anak kandungnya sendiri.

Sejak kecil, Roosseno sudah menunjukkan sifat pemberani, percaya diri, sportif, dan jujur. Ia gemar bermain bersama teman-teman sebayanya, seperti memancing, mencari burung, hingga bermain kelereng. Dalam keluarga dan lingkungan sekitarnya, ia dikenal sebagai anak yang cerdas dan memiliki rasa ingin tahu tinggi.

Menariknya, Roosseno dilahirkan dalam kondisi leher terlilit tali pusar. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, kondisi tersebut diyakini sebagai pertanda anak tersebut akan memiliki jalan hidup yang penuh keberuntungan. Keyakinan ini seolah menjadi nyata, karena sepanjang hidupnya, Roosseno memang kerap menemui keberhasilan dalam berbagai bidang yang ia tekuni.

Sejak usia delapan tahun, Roosseno telah menunjukkan minat besar terhadap dunia konstruksi. Ia kerap mengamati jembatan-jembatan di sekitar Madiun dan terpesona oleh kekuatan serta struktur bangunannya. Ketertarikan ini kemudian berkembang menjadi cita-cita—ia ingin suatu hari kelak bisa membangun jembatan yang kokoh seperti yang sering ia lihat. Impian masa kecil inilah yang menjadi cikal bakal perjalanannya menjadi insinyur teknik sipil kelas dunia.

Pendidikan

Perjalanan pendidikan Roosseno dimulai ketika ia berusia tujuh tahun. Pada usia tersebut, keluarganya menyekolahkan Roosseno kecil ke Europeesche Lagere School (ELS) di Yogyakarta, sebuah sekolah dasar khusus untuk kalangan Eropa dan kaum bangsawan pribumi. Di ELS, ia menunjukkan kecemerlangan sejak dini dan selalu menjadi juara kelas. Ia berhasil menyelesaikan pendidikan dasarnya pada tahun 1922.

Setelah lulus dari ELS, Roosseno melanjutkan pendidikan menengahnya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Madiun dan lulus pada tahun 1925. Ia kemudian masuk ke Algemeene Middelbare School (AMS) B di Yogyakarta. Pendidikan di AMS memperkuat ketertarikannya pada bidang teknik dan sains, hingga akhirnya ia menyelesaikannya pada tahun 1928.

Keinginan kuat untuk menjadi insinyur mengantarkannya melanjutkan studi ke Technische Hoogeschool (THS) di Bandung—kini dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB). THS saat itu merupakan institusi pendidikan tinggi teknik satu-satunya di Hindia Belanda dan didominasi oleh mahasiswa serta pengajar berkebangsaan Belanda.

Di kampus ini, Roosseno menghadapi tantangan yang tidak ringan. Ia termasuk minoritas pribumi yang sering mendapat perlakuan diskriminatif. Namun, alih-alih gentar, ia justru menjadikan hinaan dan tekanan sebagai bahan bakar semangat untuk membuktikan kemampuannya. Usahanya tidak sia-sia—pada Mei 1932, Roosseno berhasil meraih gelar insinyur dengan predikat cum laude. Ia menjadi satu-satunya lulusan pribumi dari THS pada tahun itu dan termasuk dalam sembilan insinyur terbaik angkatan tersebut.

Karier Awal dan Komitmen terhadap Kemandirian Bangsa

Setelah menyandang gelar insinyur, Roosseno memulai kariernya dengan langkah yang cukup berani: ia mendirikan usaha swasta sendiri. Tujuannya bukan semata untuk mencari keuntungan, tetapi untuk membuktikan bahwa insinyur pribumi mampu mandiri dan tidak harus bergantung pada sistem kolonial. Ia juga ingin mendorong semangat kemandirian di kalangan lulusan-lulusan pribumi lainnya.

Roosseno tidak hanya aktif di dunia praktik, tetapi juga mulai menekuni dunia akademik. Ia bekerja sebagai asisten Profesor Geodesi di THS Bandung pada tahun 1932 hingga 1939. Selain itu, ia juga menjabat sebagai insinyur konstruksi di Departemen Pekerjaan Umum Bandung pada kurun waktu yang sama. Meskipun telah memiliki dua pekerjaan tetap, Roosseno masih menyempatkan diri membuka kursus ilmu mekanika bagi mahasiswa dan masyarakat umum.

Pada tahun 1939, ia kembali ke Jawa Timur untuk bertugas sebagai insinyur konstruksi di Departemen Pekerjaan Umum Kediri. Namun, dinamika politik di Hindia Belanda berubah drastis setelah Jepang menduduki Indonesia pada tahun 1942. Pemerintah militer Jepang kemudian mendirikan Bandung Kogyo Daigaku, sebuah perguruan tinggi teknik yang merupakan kelanjutan dari THS Bandung yang sempat ditutup.

Melihat peluang ini, Roosseno kembali ke Bandung dan turut memperjuangkan agar pengelolaan institusi teknik tersebut bisa diserahkan kepada bangsa Indonesia. Usahanya berhasil. Pada tahun 1943 hingga 1945, ia menjabat sebagai guru besar di Bandung Kogyo Daigaku. Dedikasinya dalam dunia teknik dan pendidikan tidak hanya dilihat oleh rekan sejawat, tetapi juga oleh pihak-pihak yang tengah menyusun fondasi kemerdekaan bangsa.

Peran dalam Kemerdekaan dan Pendirian Lembaga Pendidikan

Pada 1 Maret 1945, Roosseno ditunjuk sebagai anggota Dokuritsu Junbi Cosakai, atau yang lebih dikenal dengan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam lembaga ini, ia turut merumuskan rancangan Undang-Undang Dasar 1945 dan dasar negara Pancasila. Keterlibatannya di BPUPKI menunjukkan bahwa selain sebagai insinyur, Roosseno juga memiliki pandangan kenegaraan yang kuat.

Setelah Indonesia merdeka pada Agustus 1945, ia bersama tokoh-tokoh seperti Sunaryo, Suwardi, dan Abidin mengambil alih pengelolaan Bandung Kogyo Daigaku dari tangan Jepang. Salah satu tugas berat yang diembannya adalah mengembangkan pendidikan teknik nasional pada saat jumlah insinyur Indonesia masih sangat sedikit—hanya sekitar 70 orang. Namun dengan semangat nasionalisme yang tinggi, ia dan rekan-rekannya menghadapi tantangan tersebut tanpa gentar.

Ketika Perang Kemerdekaan berkecamuk pada akhir 1945, kondisi keamanan di Bandung tidak lagi kondusif. Roosseno dan sejumlah tokoh pendidikan pun memutuskan untuk memindahkan lembaga pendidikan tinggi teknik ke Yogyakarta. Di kota inilah kemudian lahir cikal bakal Universitas Gadjah Mada (UGM), universitas pertama yang dibentuk oleh Republik Indonesia. Bersama Sri Sultan Hamengkubuwana IX, Ki Hajar Dewantara, Prof. Sunaryo, dan Prof. Sardjito, Roosseno menjadi salah satu perintis pendirian UGM.

Dalam struktur organisasi awal UGM, Roosseno dipercaya menjabat sebagai Dekan Fakultas Teknik dari tahun 1945 hingga 1949. Kepemimpinannya membawa warna baru dalam dunia pendidikan teknik, dengan semangat kemandirian dan nasionalisme yang kental.

Karir di Pemerintahan dan Pengembangan Teknik Nasional

Setelah masa revolusi, Roosseno kembali ke Jakarta. Ia menjabat sebagai Konsultan Teknik dari tahun 1949 hingga 1953, dan juga mengajar di Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Bandung, yang kemudian berkembang menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada 26 Maret 1949, ia resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Luar Biasa dalam bidang Konstruksi Beton di Fakultas Teknik Universitas Indonesia Bandung.

Kiprahnya semakin luas ketika ia dipercaya untuk duduk di kabinet pemerintahan. Antara tahun 1953 hingga 1955, Roosseno menjabat sebagai menteri berikut: Menteri Pekerjaan Umum , Menteri Perhubungan , dan Menteri Perekonomian.

Sebagai menteri, Roosseno dikenal efisien dan progresif. Ia kerap membawa pendekatan teknokratik ke dalam birokrasi pemerintahan, sebuah hal yang cukup langka pada masa itu. Meski hanya menjabat selama dua tahun, kontribusinya dalam pembangunan infrastruktur dan penguatan ekonomi nasional sangat dirasakan.

Pada tahun 1963, Pemerintah Indonesia melalui Kongres Persatuan Insinyur Indonesia (PII) memutuskan untuk memperkuat pendidikan teknik di Jakarta. Roosseno bersama tokoh teknik lainnya seperti Sutami, Bratanata, Kunohadi, dan Purnomosidi Hadjisarosa, membentuk tim yang bertugas mendirikan Fakultas Teknik Universitas Indonesia di Jakarta.

Dalam proses pendiriannya, Roosseno tak hanya berperan secara administratif, tetapi juga aktif mencari gedung kuliah, merekrut tenaga pengajar, dan membangun struktur kurikulum. Karena sumbangsih besar itu, ia pun diangkat sebagai Dekan Fakultas Teknik UI. Meski menghadapi berbagai tantangan di awal masa kepemimpinan, ia mampu meletakkan fondasi yang kokoh hingga Fakultas Teknik UI menjadi seperti sekarang.

Setelah tidak menjabat dekan pada tahun 1974, Roosseno tetap aktif mengajar di berbagai institusi, termasuk di Fakultas Teknik UI, ITB, Universitas Trisakti, dan Sekolah Tinggi Teknik Nasional (STTN). Semangatnya dalam menyebarkan ilmu teknik tidak pernah padam, bahkan hingga usia senja.

Kehidupan Pribadi dan Akhir Hayat

Semasa kuliah di THS Bandung, Roosseno berkenalan dengan Untari, seorang pelajar MULO Bandung yang cerdas dan berasal dari keluarga terpelajar. Untari lahir pada 2 Februari 1913, anak dari R. Sosrohadikusumo, seorang pejabat pemerintah yang pernah menjabat sebagai asisten wedana di Cirebon. Hubungan mereka berkembang dari pertemanan menjadi asmara yang serius. Roosseno bahkan rela bolak-balik Bandung–Cirebon untuk bertemu dengan Untari.

Keduanya menikah pada 30 Juli 1932, hanya dua bulan setelah Roosseno lulus dari THS. Pernikahan tersebut dihadiri oleh rekan sekaligus sahabatnya semasa kuliah, yakni Ir. Soekarno, yang kelak menjadi Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia. Sejak menikah, nama lengkap Roosseno berubah menjadi Roosseno Soerjohadikoesoemo.

Dari pernikahannya dengan Untari, Roosseno dikaruniai enam anak, yang semuanya tumbuh dalam lingkungan yang menjunjung tinggi pendidikan:

  1. Dr. Toeti Heraty, 
  2. Dra. Tati Radiastuti,
  3. Ir. Hannyoto Roosseno,
  4. Dra. Cometa,
  5. Dra. Amalia, dan
  6. dr. Damayanti.

Setelah Untari wafat, Roosseno menikah kembali dengan seorang wanita Kristen. Roosseno memeluk agama Kristen mengikuti kayakinan isterinya. Namun, hal ini tidak mengubah prinsip hidupnya sebagai seorang yang menjunjung nilai kemanusiaan dan keilmuan di atas sekat-sekat agama maupun ideologi.

Roosseno wafat pada 15 Juni 1996 dalam usia 87 tahun. Ia disemayamkan secara Kristen sesuai keyakinan terakhirnya, dan juga dilakukan upacara penghormatan secara Islam di sebuah masjid sebagai bentuk penghormatan terhadap latar belakang keluarga dan nilai-nilai budaya yang ia pegang. Jenazahnya dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta.

Roosseno bukan hanya ilmuwan, tetapi juga negarawan yang tulus mengabdi tanpa pernah mengejar popularitas. Hingga akhir hayatnya, Roosseno tetap aktif mengajar dan menginspirasi mahasiswa-mahasiswanya dengan kesederhanaan, ketegasan, dan semangat kebangsaan.

Roosseno Soerjohadikoesoemo adalah cerminan dari dedikasi tanpa henti kepada ilmu pengetahuan dan tanah air. Dari masa kecilnya di Madiun hingga menjadi insinyur hebat dan guru besar teknik, Roosseno telah meninggalkan jejak intelektual yang tak tergantikan dalam sejarah Indonesia. Sosoknya patut dikenang sebagai teladan bagi generasi muda—bahwa kejujuran, keberanian, dan kerja keras dapat mengubah dunia.

Sumber:

  1. Masjkuri. Prof. Dr. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo: Karya dan Pengabdiannya. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1984.
  2. Roosseno Soerjohadikoesoemo Raih Award Herman Johannes” tirto.id (diakses pada 28 Juli 2025)
  3. “Prof. Roosseno: Jejak Peletak Dasar FT UGM” ft.ugm.ac.id (diakses pada 28 Juli 2025)

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia

© 2023 arsipmanusia.com

Scroll to Top