Sarwo Edhie Wibowo adalah salah satu tokoh militer paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia modern. Ia dikenal luas sebagai komandan pasukan elit RPKAD (sekarang Kopassus) yang memainkan peran kunci dalam menumpas pemberontakan G30S/PKI.
Namun, kontribusinya tidak hanya terbatas pada dunia militer. Sarwo Edhie juga pernah menjadi duta besar, pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri, dan aktif dalam berbagai organisasi kemasyarakatan. Kehidupannya mencerminkan semangat pengabdian total kepada bangsa, dari medan perang hingga panggung diplomasi. Artikel ini menyajikan perjalanan hidup Sarwo Edhie Wibowo sejak masa kecil hingga awal karier militernya.
Table of Contents
ToggleAwal Kehidupan dan Latar Belakang Keluarga
Sarwo Edhie Wibowo lahir pada 25 Juli 1927 di Desa Pengenjuru, Purworejo, Jawa Tengah. Ia merupakan anak dari pasangan Raden Kartowilogo, seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda, dan Raden Ayu Sutini. Keluarga ini hidup dalam suasana disiplin namun tetap menjunjung tinggi nilai kebersamaan dan kesederhanaan.
Nama aslinya adalah Edhie. Namun, karena sering sakit-sakitan saat kecil, keluarganya mengikuti tradisi Jawa dengan menambahkan nama “Sarwo” sebagai bentuk harapan agar hidupnya lebih baik dan sehat. Setelah menikah, atas pesan ayahnya yang menginginkan sang anak menjadi pribadi berwibawa, ia menambahkan nama “Wibowo.” Sejak saat itu, ia dikenal sebagai Sarwo Edhie Wibowo.
Sejak kecil, Sarwo Edhie menunjukkan sifat rendah hati. Ia tidak membeda-bedakan latar belakang sosial dan senang bergaul dengan anak-anak sebaya di desanya. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu bela diri silat sebagai bentuk latihan fisik dan pertahanan diri, sesuatu yang kemudian memperkuat karakternya sebagai seorang calon perwira.
Pendidikan Awal
Pada masa penjajahan Belanda, akses pendidikan masih sangat terbatas, khususnya bagi anak-anak pribumi. Namun berkat posisi ayahnya sebagai pegawai pemerintah, Sarwo Edhie mendapat kesempatan bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah dasar berbahasa Belanda bagi kaum pribumi. Setelah menyelesaikan HIS, ia melanjutkan pendidikan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), setingkat sekolah menengah pertama.
Pendidikan ini membuka wawasan Sarwo Edhie terhadap dunia luar dan memperkuat minatnya terhadap urusan militer serta nasionalisme yang berkembang di kalangan muda pada masa itu.
Ketertarikan pada Dunia Militer
Awalnya, Sarwo Edhie ingin mengikuti jejak ayahnya menjadi pegawai pemerintah. Namun situasi geopolitik yang berubah cepat, terutama keberhasilan Jepang mengalahkan pasukan Barat di Asia, membuatnya tertarik pada dunia militer. Ia mengagumi disiplin dan strategi tentara Jepang yang dianggap mampu menghadapi kekuatan besar seperti Sekutu.
Setelah menamatkan pendidikan di MULO, Sarwo Edhie bergabung dengan Seinendan, organisasi barisan pemuda yang dibentuk oleh Jepang di Purworejo. Bakat kepemimpinannya segera terlihat, dan ia dipercaya menjadi Komandan Seinendan Purworejo, membawahi sekitar 40 pemuda.
Pada tahun 1942, ia mendaftar sebagai prajurit Heiho di Surabaya. Karena umurnya belum mencukupi, Sarwo Edhie memalsukan tahun kelahiran menjadi 1925 agar bisa diterima. Ia mendaftar bersama kakaknya, Murtogo. Mereka mengikuti pelatihan militer Heiho selama lima bulan di Surabaya.
Setelah itu, Sarwo Edhie dipindahkan ke Renseitai di Magelang, sebuah unit pelatihan lanjutan militer. Tidak lama berselang, ia terpilih untuk mengikuti pendidikan calon perwira di PETA (Pembela Tanah Air) di Bogor. Dari sekitar 450 siswa Renseitai, hanya 125 orang yang terpilih, termasuk Sarwo Edhie dan Ahmad Yani — dua sosok yang kelak berperan besar dalam sejarah militer Indonesia.
Di Bogor, Sarwo Edhie menunjukkan prestasi gemilang dan lulus sebagai salah satu lulusan terbaik dengan pangkat Shodanco (Letnan Dua). Sebagai penghargaan, ia menerima pedang khusus yang membedakannya dari rekan-rekannya. Usai pelatihan, ia ditempatkan di Tuguran, Magelang.
Masa Pendudukan Jepang dan Romusha
Seiring dengan semakin terdesaknya posisi Jepang dalam Perang Asia-Pasifik, pemerintah pendudukan memaksa rakyat Indonesia menjadi Romusha, yakni tenaga kerja paksa untuk membangun infrastruktur militer seperti jalan raya, gudang senjata, lapangan terbang, hingga benteng pertahanan.
Para Romusha bekerja tanpa bayaran dan dalam kondisi yang memprihatinkan. Akibatnya, jutaan rakyat menjadi korban kelaparan, penyakit, bahkan kematian. Diperkirakan sekitar 2,4 juta jiwa wafat akibat sistem kerja paksa ini.
Kondisi ini menimbulkan kegelisahan di kalangan anggota PETA, termasuk Sarwo Edhie. Mereka melihat saudara sebangsanya diperlakukan tidak manusiawi. Kekecewaan terhadap Jepang pun membuncah dan memicu pemberontakan kecil di sejumlah daerah. Situasi ini membuat Jepang membubarkan PETA, namun semangat perlawanan yang telah tumbuh di kalangan pemuda tidak bisa dipadamkan begitu saja.
Meniti Karier di Militer
Kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II ditandai dengan dijatuhkannya bom atom oleh Amerika Serikat di Hiroshima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Peristiwa ini membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Mendengar kabar tersebut, para pejuang di Indonesia segera mempersiapkan proklamasi kemerdekaan.
Sarwo Edhie kembali ke Purworejo dan segera bergabung dengan rekan-rekan seperjuangannya. Tidak lama setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Ahmad Yani — kawan seperjuangannya di PETA — mengajak Sarwo Edhie bergabung dengan Batalyon III Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Magelang. Ajakan itu diterima, dan Sarwo Edhie pun mulai kembali aktif di dunia militer, kali ini sebagai bagian dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
Ketika pemerintah Indonesia meresmikan BKR menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Sarwo Edhie memperoleh kenaikan pangkat menjadi Kapten. Dalam struktur TKR yang baru, ia dipercaya Ahmad Yani untuk menjabat sebagai Komandan Kompi Batalyon V Brigade IX Divisi Diponegoro. Ia memimpin pasukan di wilayah strategis seperti Magelang, Purworejo, Semarang, dan Ambarawa.
Bersama pasukannya, Sarwo Edhie terlibat langsung dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu yang berusaha kembali menguasai Indonesia. Ia berhasil memukul mundur musuh dan bahkan mengepung mereka dalam beberapa operasi militer penting. Perjuangan di masa revolusi ini semakin mengukuhkan reputasi Sarwo Edhie sebagai komandan lapangan yang cekatan, disiplin, dan karismatik.
Tahun 1958 menjadi titik penting berikutnya dalam karier Sarwo Edhie. Ia diangkat sebagai Wakil Komandan Resimen Taruna Akademi Militer Nasional (AMN), menunjukkan kepercayaan tinggi dari pimpinan militer atas kemampuan organisasi dan kepemimpinannya.
Setahun kemudian, atas rekomendasi Ahmad Yani yang telah menjabat sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat, Sarwo Edhie dipercaya untuk memimpin Sekolah Para Komando Angkatan Darat (SPKAD) di Batujajar. Di sinilah Sarwo Edhie mulai membentuk generasi pasukan khusus Indonesia — cikal bakal dari satuan elit yang kelak dikenal sebagai RPKAD.
Pada tahun 1962, Sarwo Edhie diangkat menjadi Kepala Staf Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Tahun berikutnya, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan staf di Australian Army Staff College di Australia — pengalaman internasional yang memperluas wawasan kepemimpinannya.
Komandan RPKAD dan Penumpasan G30S/PKI
Puncak karier militernya terjadi pada Februari 1966, ketika ia resmi diangkat sebagai Komandan RPKAD. Jabatan ini datang di tengah situasi nasional yang genting — yaitu pecahnya Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Sebagai komandan pasukan elit, Sarwo Edhie langsung memimpin operasi militer untuk menumpas gerakan tersebut.
RPKAD di bawah komando Sarwo Edhie bergerak cepat mengamankan Jakarta, menggempur basis-basis pendukung PKI, serta menahan sejumlah tokoh yang diduga terlibat. Ia menjadi salah satu figur kunci dalam proses pemulihan stabilitas negara dan turut mengantarkan naiknya Jenderal Soeharto ke tampuk kekuasaan nasional.
Namun, operasi penumpasan ini juga menimbulkan kontroversi besar karena diikuti oleh pembantaian massal terhadap orang-orang yang dituduh sebagai simpatisan komunis. Meskipun Sarwo Edhie dikenal tegas dalam pelaksanaan tugasnya, hingga kini perannya dalam peristiwa 1965–1966 masih menjadi bahan perdebatan para sejarawan.
Akhir Jabatan di RPKAD
Sarwo Edhie menjabat sebagai Komandan RPKAD hingga tahun 1967. Selama kepemimpinannya, ia berhasil memperkuat profesionalisme pasukan, memperluas kapasitas satuan elit, serta membangun jaringan komando yang loyal terhadap stabilitas negara.
Pengalamannya memimpin pasukan dalam situasi darurat dan konflik politik menjadikannya sosok yang dihormati di kalangan militer. Reputasinya sebagai jenderal lapangan yang efektif membuatnya dipercaya untuk menjalankan tugas-tugas strategis lainnya di masa mendatang, termasuk memimpin operasi di daerah rawan seperti Sumatera dan Irian Barat.
Duta Besar Republik Indonesia untuk Korea Selatan
Setelah menyelesaikan tugas-tugas strategis di dunia militer, Sarwo Edhie Wibowo memasuki babak baru dalam kariernya. Pada tanggal 17 April 1974, ia dilantik oleh Presiden Soeharto sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk Korea Selatan. Penugasan ini menunjukkan kepercayaan besar pemerintah terhadap kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik.
Selama masa tugasnya, hubungan bilateral antara Indonesia dan Korea Selatan berkembang pesat, khususnya dalam bidang pendidikan dan ekonomi. Di bidang pendidikan, Korea Selatan mendirikan Fakultas Bahasa Indonesia dan Malaysia di Hankuk University of Foreign Studies sebagai bentuk penghormatan terhadap kerja sama antarkedua negara. Media nasional Korea, seperti Korea Broadcasting Service (KBS), bahkan menyiarkan program harian dalam bahasa Indonesia pada tahun 1975 — bukti konkret pengaruh diplomasi budaya saat itu.
Dalam sektor ekonomi, ekspor kayu dari Indonesia ke Korea Selatan mengalami peningkatan yang signifikan. Meskipun sebagian kayu tersebut kembali diolah dan diekspor ulang ke Indonesia, kerja sama ini tetap menguntungkan secara ekonomi bagi kedua pihak. Sarwo Edhie menjabat sebagai Duta Besar hingga tahun 1978, dan posisinya kemudian digantikan oleh Kaharuddin Nasution.
Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri
Setelah menyelesaikan tugas diplomatiknya, pada Agustus 1979 Sarwo Edhie ditunjuk sebagai Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri (Deplu). Dalam posisinya ini, ia melakukan berbagai pembenahan internal, termasuk upaya serius memberantas praktik pemalsuan ijazah yang marak terjadi di kalangan pegawai kementerian saat itu.
Salah satu peristiwa penting selama masa jabatannya adalah penyelesaian pembangunan Gedung Sekretariat ASEAN di Jalan Sisingamangaraja, Jakarta Selatan. Gedung tersebut diserahkan secara resmi oleh Sarwo Edhie kepada Narciso G. Ramos, Sekretaris Jenderal ASEAN saat itu, pada 6 Mei 1981.
Di masa kepemimpinannya juga muncul kasus besar bernama Kasus Berlian Bombay, yakni upaya penyelundupan berlian dari India oleh diplomat Indonesia, R. Bagus Soegito, dan beberapa pejabat lainnya. Kasus ini terungkap setelah tim Inspektorat Jenderal melakukan pengawasan di Konsulat RI di Bombay. Atas inisiatif Sarwo Edhie, kasus ini diserahkan kepada Kejaksaan Agung dan berlian sitaan secara resmi diserahkan pada 12 Mei 1982. Ia mengakhiri masa jabatannya di Deplu pada tahun 1983.
Keterlibatan dalam Ideologi dan Organisasi
Selepas dari jabatan struktural pemerintahan, Sarwo Edhie tetap aktif dalam berbagai organisasi. Ia dipercaya menjabat sebagai Ketua Bidang Pembinaan Generasi Muda Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) periode 1983–1988, di bawah kepemimpinan Achmad Tahir. Di posisi ini, ia turut mendukung program P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) yang dijalankan oleh BP-7, sebagai upaya membumikan Pancasila di tengah masyarakat Indonesia.
Selain itu, berdasarkan hasil Pemilu 1987, Sarwo Edhie terpilih sebagai Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSP) DPR RI mewakili Fraksi ABRI dari Golongan Karya. Jabatan ini menegaskan perannya sebagai jembatan antara militer dan parlemen dalam menjaga stabilitas politik nasional.
Peran dalam Dunia Olahraga
Tak hanya aktif dalam dunia militer dan politik, Sarwo Edhie juga berperan dalam perkembangan olahraga di Indonesia. Ia terpilih sebagai Ketua Umum Taekwondo Indonesia dalam Musyawarah Nasional yang digelar di Gedung KONI Pusat pada 17–18 September 1984. Peran pentingnya adalah menyatukan dua aliran Taekwondo yang sebelumnya terpecah, dengan mengafisiasikan Taekwondo Indonesia kepada World Taekwondo Federation (WTF). Langkah ini membuka jalan bagi atlet Indonesia meraih prestasi di kancah internasional.
Kehidupan Pribadi
Pada tahun 1949, Sarwo Edhie menikahi Sunarti dalam sebuah upacara pernikahan sederhana. Awalnya mereka tinggal di rumah orang tua Sunarti, dan dari pernikahan itu mereka dikaruniai enam orang anak, yaitu:
- Wijiasih Cahyasasi
- Wirahasti Cendrawasih
- Kristiani Herrawati (Ani Yudhoyono)
- Mastuti Rahayu
- Pramono Edhie Wibowo
- Retno Cahyaningtyas
Salah satu anak mereka, Kristiani Herrawati, kelak menjadi Ibu Negara saat mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Sementara putra mereka, Pramono Edhie Wibowo, juga mengikuti jejak ayahnya dalam dunia militer dan pernah menjabat sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD).
Akhir Hayat
Menjelang akhir hayatnya, kondisi kesehatan Sarwo Edhie menurun drastis. Sejak usia 40 tahun, ia sudah mulai mengalami komplikasi terkait kadar gula darah. Pada 4 Juli 1989, ia dirawat intensif di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Setelah beberapa hari mengalami koma, ia wafat pada pukul 03.40 WIB tanggal 9 November 1989.
Pemakamannya dilakukan tepat pada Hari Pahlawan, 10 November 1989, dengan upacara militer sebagai penghormatan terakhir atas jasa-jasanya kepada bangsa dan negara.
Sumber:
- Kusuma, Mira, Abdul Syukur, dan Kurniawati. “Peran Sarwo Edhie Wibowo Pasca Peristiwa G30S PKI Tahun 1967–1989.” HISTORIA: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, vol. 9, no. 2, 2021, pp. 203–212. DOI: 10.24127/hj.v9i2.3478. Diakses 22 Juli 2025.
- “Sarwo Edhie Wibowo dari Desa Pangen Menjadi Komandan RPKAD” tempo.co (diakses pada 21 Juli 2025)
- “Sarwo Edhie Wibowo” tokoh.id (diakses pada 21 Juli 2025)
- “Biografi Sarwo Edhie Wibowo: Tokoh yang Berperan dalam Penumpasan G30S” kompas.com (diakses pada 21 Juli 2025)
- “Sarwo Edhie Wibowo” tirto.id (diakses pada 21 Juli 2025)
- “Kisah Heroik Jenderal Sarwo Edhie Merebut Pangkalan Udara dari Tangan Komunis” nasional.sindonews.com (diakses pada 21 Juli 2025)