Amir Syarifudin, yang merupakan salah satu tokoh yang bersumpah dalam Sumpah Pemuda, adalah seorang politikus sosialis yang memiliki peran signifikan dalam awal kemerdekaan Republik Indonesia. Meskipun menjadi Perdana Menteri pada masa Orde Lama, namun tragisnya, pada tahun 1948, beliau dieksekusi karena terlibat dalam pemberontakan Komunis di Madiun.
Meski tergolong sebagai tokoh kiri atau Komunis, Amir Sjarifudin adalah bagian penting dari pergerakan kemerdekaan. Meskipun jarang dianggap sebagai salah satu Bapak Pendiri Bangsa bersama Soekarno, Hatta, dan Sutan Sjahrir, jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia tidak dapat diabaikan.
Membahas biodata Amir Sjarifudin sangat menarik; walau beraliran politik yang kontroversial, tidak tepat rasanya untuk menghilangkan kontribusinya dalam perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan Amir Sjarifuddin
Amir lahir dari keluarga bangsawan Batak Angkola di Pasar Matanggor. Kakeknya, Sutan Gunung Tua, seorang jaksa di Tapanuli, sementara ayahnya, Baginda Soripada, juga seorang jaksa di Medan. Berasal dari lingkungan yang berada dan berbudaya intelektual, Amir mendapat kesempatan untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah elit di Haarlem dan Leiden, serta melanjutkan studi hukum di Batavia setelah kembali dari Belanda.
Selama masa studinya di Belanda, Amir mendalami filsafat Timur dan Barat di bawah bimbingan Theosophical Society. Pada tahun 1931, dia mengubah agamanya dari Islam menjadi Kristen dan bahkan memberikan kotbah di sebuah gereja HKBP di Batavia.
Amir menikmati pendidikan di ELS (sekolah dasar Belanda) di Medan dari tahun 1914 hingga Agustus 1921. Setelah undangan dari sepupunya, T.S.G. Mulia, yang belajar di Leiden, Amir pergi ke Leiden. Di sana, dia terlibat aktif dalam perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem dan terlibat dalam diskusi kelompok Kristen yang kemudian menjadi awal terbentuknya GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Setelah lulus ujian tingkat kedua, Amir kembali ke kampung halaman karena masalah keluarga, meskipun ada desakan dari teman-temannya untuk menyelesaikan pendidikannya di Leiden.
Kemudian, dengan bantuan beasiswa dari pemerintah kolonial, Amir melanjutkan pendidikannya di Rechtshoogeschool te Batavia. Selama studi ini, dia mengalami masa sulit, termasuk divonis penjara dalam sebuah kasus delik pers pada tahun 1933. Meskipun hampir diasingkan ke Boven Digoel, Amir diselamatkan oleh Gunung Mulia dan seorang gurunya dari nasib tersebut.
Perjuangan
Jelang invasi Jepang ke Hindia Belanda, Amir berupaya menerapkan garis Komunis Internasional dengan tujuan menjalin aliansi antara kaum kiri dan kekuatan kapitalis untuk menghadapi Fasisme. Upaya ini mungkin terkait dengan pekerjaan politik Musso yang tiba di Hindia Belanda pada tahun 1936.
Belakangan, Amir dihubungi oleh anggota kabinet Gubernur Jenderal, mengusulkan kerjasama antifasis dengan dinas rahasia Belanda untuk menghadapi invasi Jepang. Namun, usulan ini tidak mendapat dukungan luas. Rekan-rekannya masih ragu karena kontroversi sebelumnya pada awal 1940-an dan kurang memahami strateginya melawan Jepang. Mereka cenderung untuk berkolaborasi dengan Jepang dengan harapan akan mendapatkan kemerdekaan setelah kekalahan Belanda. Namun, pendekatan Amir terbukti benar.
Pada Januari 1943, Amir ditangkap oleh Jepang dalam gelombang penangkapan di Surabaya. Kejadian ini mengindikasikan terungkapnya jaringan organisasi anti-fasis Jepang yang terkait dengan Amir. Meskipun demikian, saat Amir menjadi Menteri Pertahanan, ia memilih para pembantunya dari sisa-sisa kelompok tersebut. Namun, sedikit yang diketahui tentang peristiwa Surabaya itu, melalui sidang pengadilan tahun 1944, bekas pemimpin Gerindo dan Partindo Surabaya mendapat hukuman berat.
Sebuah dokumen NEFIS tertanggal 9 Juni 1947 menggambarkan Amir sebagai sosok yang memiliki pengaruh besar di kalangan massa dan tidak mengenal rasa takut. Belanda mungkin menyadari penghargaan dan citra mitos terhadapnya di kalangan Pesindo berasal dari cerita para tahanan sejawatnya, termasuk bagaimana ia menghadapi siksaan fisik dan moral yang dilakukan Jepang.
Dalam kesepakatan Renville, tanggung jawab terletak pada kaum Komunis, khususnya Amir sebagai negosiator utama dari Republik Indonesia. Kabinet Amir Sjarifuddin II digantikan oleh Kabinet Hatta I setelah hasil perundingan Renville dinilai gagal oleh golongan Masyumi dan Nasionalis karena dianggap lebih menguntungkan pihak Belanda.
Pristiwa Madiun dan Kematian Amir Sjarifuddin
Jatuhnya kabinet yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin karena mosi tidak percaya atas Perjanjian Renville mengakibatkan kelemahan kekuatan politik kelompok kiri pada masa itu. Kabinet pengganti dipimpin oleh Mohammad Hatta sebagai perdana menteri.
Namun, penunjukan Bung Hatta sebagai perdana menteri tidak disambut baik oleh Amir dan kelompok sayap kiri lainnya. Salah satu kebijakan Hatta yang disoroti adalah Rekonstruksi dan Rekonsiliasi (RERA). Bagi mereka, kebijakan ini dianggap merugikan karena melemahkan kekuatan militer Indonesia.
Untuk menandingi Kabinet Hatta I, Amir dan kelompok kiri mendirikan Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada 28 Juni 1948. FDR terdiri dari berbagai golongan kiri seperti PKI, Partai Buruh Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, Pemuda Sosialis Indonesia, dan Sarekat Buruh Perkebunan Indonesia.
Dalam konflik antara Kabinet Hatta dan golongan kiri semakin meningkat, Musso, seorang pemimpin PKI, kembali ke Indonesia dari Moskow pada awal 1920-an. Ia menawarkan konsep politik yang disebut Jalan Baru, mengusulkan penyatuan partai kelas buruh di bawah komando PKI.
Musso mengadakan rapat besar di Yogyakarta, menekankan perlunya kabinet front persatuan dan mengusulkan kerja sama internasional. Dia juga melakukan kunjungan ke berbagai daerah di Jawa untuk menyebarkan pemikiran kiri.
Peristiwa Madiun dimulai dengan pengumuman Soemarsono bahwa kekuasaan di Madiun diambil alih oleh FDR. Hal ini memicu aksi FDR melucuti kesatuan militer di Madiun, memicu kepanikan, penjarahan, dan aksi kekerasan yang berujung pada kekuasaan FDR di Madiun dan Pati.
Pemerintah RI merespons dengan mengirim pasukan TNI untuk menstabilkan situasi. Pasukan siliwangi berhasil mengatasi FDR di Yogyakarta dan Madiun, dan Musso tewas dalam pelariannya.
Setelah Musso tewas, Amir dan 3.000 orang golongan kiri berusaha melarikan diri, namun upaya ini digagalkan dan Amir ditangkap. Dia dipenjara di Benteng Yogyakarta dan Surakarta, dan akhirnya dieksekusi pada Desember 1948 bersama dengan tokoh PKI lainnya seperti Maruto Darusman, Suripno, dan Sarjono.
Kematian Amir Sjarifuddin menyebabkan melemahnya kekuatan PKI, namun kelompok ini kemudian melakukan konsolidasi dan kembali memperoleh kekuatan saat Indonesia memasuki periode demokrasi terpimpin pada 1955.
Bio Data Amir Sjarifuddin
Nama Lengkap | Mr. Amir Sjarifoeddin Harahap |
Nama Kecil | Amir Sjarifoeddin Harahap |
Nama Lain | – |
Lahir | Medan, 27 April 1907 |
Wafat | Ngaliyan, Lalung, Karanganyar, 19 Desember 1948 (umur 41) |
Makam | TPU Ngaliyan Desa Lalung, Karanganyar |
Agama | Kristen |
Suku | Batak Angkola, Harahap |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politikus |
Partai Politik | Partai Sosialis Indonesia |
Keluarga | |
Ayah | Djamin Harahap (Baginda Soripada Harahap) |
Ibu | Basoenoe Boru Siregar |
Istri | Djaenah br. Harahap |
Anak | Helena Luis Syarifuddin Harahap, Lidya Ida Lumongga, Kesas Taromar, Andrea, Tito Batari, Damaris |
Riwayat Pendidikan Amir Sjarifuddin
Pendidikan (tahun) | Tempat |
---|---|
Europeesche Lagere School (ELS) (1914 – 1916) | Europeesche Lagere School, Medan |
Europeesche Lagere School (ELS) (1916 – 1921) | Europeesche Lagere School, Sibolga |
Gymnasium (1921) | Gymnasium, Harlem |
Gymnasium (1922 – 1927) | Gymnasium, Leiden |
Recht Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) (1927 – 1933) | Recht Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia |
Karir Amir Sjarifoeddin
Organisasi/Lembaga | Jabatan (tahun) |
---|---|
Perhimpunan siswa Gymnasium di Haarlem | Anggota Pengurus (1926-1927) |
Partai Indonesia | Pendiri (April 1931) |
Partai Gerakan Rakyat Indonesia | Pendiri (Ketua Propaganda) (24 Mei 1937) |
Gerakan Politik Indonesia (GAPI) | Mei 1939 |
Departemen Perekonomian Pemerintahan Hindia Belanda | September 1940 |
Menteri Keamanan Rakyat dalam kabinet Sjahrir I | Menteri Keamanan Rakyat(14 November 1945 – 12 Maret 1946) |
Menteri Penerangan dalam kabinet Presidensial | Menteri Penerangan (19 Agustus 1945 – 14 November 1945) |
Menteri Penerangan dalam kabinet Sjahrir I | Menteri Penerangan (14 November 1945 – 3 Januari 1946) |
Biro Pendidikan Politik Tentara (Pepolit) | Pendiri (24 Januari 1946) |
Menteri Pertahanan dalam kabinet Sjahrir II | Menteri Pertahanan (12 Maret 1946 – 2 Oktober 1946) |
Menteri Keamanan Rakyat dalam kabinet Sjahrir III | Menteri Kemanan Rakyat (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) |
Perdana Menteri Kabinet Amir Sjarifuddin I dan II | Perdana Menteri (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948) |
Menteri Pertahanan dalam kabinet Amir Sjarifuddin I | Menteri Pertahanan (3 Juli 1947 – 11 November 1947) |
Menteri Pertahanan dalam kabinet Amir Sjarifuddin II | Menteri Pertahanan (11 November 1947 – 29 Januari 1948) |