Ferdinand Lumban Tobing, seorang dokter yang juga pejuang kemerdekaan, sangat tidak suka dengan penjajahan yang telah berlangsung lama. Ketika dia melihat saudara sebangsanya menderita di bawah kerja paksa Jepang, kekesalannya mencapai titik tertinggi.
Ferdinand bahkan memprotes pemerintah pendudukan Jepang atas perlakuan tidak manusiawi tersebut, yang sayangnya membuatnya menjadi target pembunuhan oleh tentara Jepang.
Dalam sejarah perjuangannya, Ferdinand Lumban Tobing, seorang putra Tapanuli, terkenal karena peranannya selama zaman pendudukan Jepang dan zaman revolusi kemerdekaan.
Ferdinand berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari usaha Belanda untuk merebut kembali Republik Indonesia, terutama dalam peristiwa yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda.
Table of Contents
ToggleMasa Muda dan Pendidikan Ferdinand Lumban Tobing
Ayah dr. Ferdinand Lumban Tobing ialah Herman Lumban Tobing, yang dikenal sebagai Raja Guru karena menjadi guru di sekolah desa di Sibuluan sedangkan ibunya bernama Laura Sitanggang.
Ferdinand lahir pada tanggal 19 Februari 1899, menjadi anak keempat dari sembilan bersaudara. Pada usia lima tahun, tahun 1904, dia dibawa oleh ayah angkatnya, Jonathan Pasanea, ke Depok dan disekolahkan di Sekolah Dasar Belanda (Europesche Lagere School).
Ayah Ferdinand bersahabat dengan pendeta dari Ambon bernama Jonathan Pasanea. Ayahnya telah bernazar sebelum kelahiran Ferdinand bahwa Jonathan Pasanea akan mengambil anaknya jika dia laki-laki.
Ferdinand adalah anak laki-laki pertama dalam keluarganya, sementara kakak-kakaknya adalah perempuan. Dalam adat Batak yang menganut garis keturunan patrilineal, keluarga hanya dapat dilanjutkan oleh anak laki-laki.
Pertama-tama, Ferdinand bersekolah di ELS Depok, kemudian dipindahkan ke ELS di Bogor. Pada tahun 1914, dia lulus dari ELS. Awalnya, Ferdinand berencana untuk bekerja di Jawatan Pos, Telpon, dan Telegraf (PTT), tetapi tiba-tiba dia menerima panggilan dari STOVIA (Sekolah Kedokteran).
Ferdinand diterima untuk mengikuti ujian masuk, meskipun tidak ada pendaftaran resmi dari ayah angkatnya maupun ayah kandungnya di Sumatra, dan tidak ada lagi anak yang bernama Ferdinand Lumban Tobing selain dia sendiri di Depok.
Kejanggalan ini terungkap tiga tahun kemudian, namun Ferdinand tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena dia telah dipanggil, dia memenuhi panggilan tersebut dan mengikuti ujian, yang kemudian dia lulus dan diterima sebagai mahasiswa di STOVIA.
Selama di STOVIA, Ferdinand belajar dengan tekun dan selalu naik tingkat. Pada tahun 1917, ketika Ferdinand telah menyelesaikan ujian tingkat III-nya, dia tiba-tiba dipanggil ke kantor dan ditanya bagaimana dia bisa diterima di STOVIA.
Dia menjelaskan bahwa dia diterima melalui ujian masuk dan dinyatakan sah oleh pegawai STOVIA. Ternyata, setelah menunggu selama tiga tahun, Ferdinand Lumban Tobing yang sebenarnya mendaftar ke STOVIA.
Masalah ini kemudian diselesaikan dengan bijaksana. Ferdinand Lumban Tobing, anak angkat Jonathan Pasanea, tetap menjadi mahasiswa STOVIA karena hasil belajarnya yang baik, sedangkan Ferdinand Lumban Tobing yang lain diberi kesempatan untuk mengikuti ujian masuk STOVIA.
Sejak mulai kuliah di STOVIA, Ferdinand Lumban Tobing juga tertarik pada pergerakan Nasional. Awalnya, dia menjadi anggota organisasi pemuda kedaerahan, Jong Batak, kemudian merasa tidak puas dengan gerakannya dan bergabung dengan Jong Soematranen Bond yang dipimpin oleh Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin.
Masa Penjajahan
Setelah lulus dari STOVIA pada tahun 1924, Ferdinand bekerja sebagai dokter di bagian penyakit menular di rumah sakit CBZ, yang sekarang dikenal sebagai Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Selama bertugas sebagai dokter, Ferdinand sering dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Setelah beberapa tahun bekerja di RSCM, dia dipindahkan ke Tenggarong, Kalimantan Timur.
Dari sana, dia dipindahkan lagi ke Surabaya, Jawa Timur, di mana dia bertugas hingga tahun 1935 sebelum kembali ke daerah asalnya di Tapanuli. Di Tapanuli, dia ditempatkan di Padang Sidempuan terlebih dahulu, kemudian dipindahkan ke Sibolga.
Saat Ferdinand bertugas di Sibolga, Perang Dunia II sedang berkecamuk. Pasukan Jepang berhasil mengalahkan pasukan Belanda di Indonesia, sehingga kekuasaan kolonial berganti dari Belanda ke Jepang.
Meskipun Jepang awalnya diklaim datang sebagai sahabat untuk membantu Indonesia melawan penjajahan Belanda, kemerdekaan yang dijanjikan ternyata hanya angan-angan belaka. Jepang pun ingin menguasai Indonesia seperti halnya bangsa Belanda dan bangsa imperialis lainnya.
Kekejaman tentara Jepang bahkan melebihi kekejaman tentara Belanda, dengan memaksa rakyat Indonesia bekerja tanpa upah sebagai romusha, menyita hasil pertanian dan ternak tanpa ganti rugi, dan memberikan hukuman yang kejam bagi yang tidak patuh.
Di masa pendudukan Jepang ini, Ferdinand Lumban Tobing bekerja sebagai dokter pengawas kesehatan romusha. Dia melihat secara langsung perlakuan tidak manusiawi yang dialami oleh romusha yang dipaksa bekerja oleh tentara Jepang.
Dengan hati yang sedih, dia tidak bisa bertahan melihat penderitaan sesama bangsanya tanpa melawan. Oleh karena itu, dia mengutarakan protes terhadap pemerintah Jepang, walaupun hal ini membuatnya menjadi sasaran pembunuhan oleh tentara Jepang.
Meskipun demikian, sebagai seorang dokter, Ferdinand tetap memegang teguh kode etik profesi. Ketika seorang tentara Jepang mengalami kecelakaan, Ferdinand dengan tulus menyelamatkan nyawanya tanpa memandang perbedaan. Tindakan belas kasihnya ini membuat tentara Jepang mengurungkan niat untuk membunuh Ferdinand.
Dalam arena politik, dokter Ferdinand merupakan sosok yang sukses. Bahkan pada tahun 1943, di masa pendudukan Jepang, dia sudah dipercaya menjadi Ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli, selain juga menjadi anggota Cuo Sangi In.
Politik Setelah Kemerdekaan
Pada tahun 1945, perang dunia kedua berakhir, ditandai dengan penyerahan Jepang kepada pasukan sekutu. Hal ini menyebabkan pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia terpaksa meninggalkan tanah ini.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para pemimpin Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Pada awal kemerdekaan tersebut, Ferdinand Lumban Tobing diangkat menjadi Residen Tapanuli pada bulan Oktober 1945.
Meskipun demikian, pemerintah Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tersebut. Mereka berusaha merebut kembali Indonesia dengan melancarkan serangan militer yang dikenal sebagai Agresi Militer I dan II Belanda.
Di awal revolusi ini, perjuangan Ferdinand dalam mempertahankan kemerdekaan semakin jelas. Sebagai Residen, dia menghadapi situasi yang sulit, menyaksikan putra-putra daerahnya berperang melawan saudara sebangsa dari Sumatera Timur.
Karena kecintaannya pada kemerdekaan dan keteguhannya, Ferdinand bersedia menjadi Gubernur Militer Tapanuli dan Sumatera Timur Selatan selama Agresi Militer II Belanda, memimpin perjuangan di hutan-hutan dan gunung-gunung.
Perjuangan bersama seluruh bangsa Indonesia akhirnya membuahkan hasil. Kedaulatan Indonesia diakui oleh dunia internasional. Setelah itu, Ferdinand ditawari menjadi Gubernur Provinsi Sumatera Utara namun dia menolak.
Namun, dia menerima jabatan Menteri Penerangan dan Menteri Kesehatan ad interim dalam Kabinet Ali I. Selain itu, dia juga menjadi Menteri Urusan Hubungan Antar Daerah dan Menteri Negara Urusan Transmigrasi.
Wafat
Pada 7 Oktober 1962, di usia 63 tahun, Ferdinand Lumban Tobing meninggal di Jakarta. Meskipun seorang Pahlawan Kemerdekaan Nasional, keluarganya meminta agar dia dimakamkan di tanah kelahirannya di Kolang, Sibolga, bukan di Taman Makam Pahlawan.
Dr. Ferdinand Lumban Tobing dihormati oleh banyak orang karena perhatiannya yang besar terhadap orang kecil, seperti para romusha pada masa pendudukan Jepang. Dalam membela dan menolong orang kecil tersebut, dr. Ferdinand terlihat tidak mengharapkan imbalan.
Atas jasa-jasanya dalam perjuangan kemerdekaan, pemerintah memberinya gelar kehormatan sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional, yang diberikan melalui Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.361 Tahun 1962, tanggal 17 Nopember 1962.
Bio Data Ferdinand Lumban Tobing
Nama Lengkap | dr. Ferdinand Lumban Tobing |
Nama Kecil | |
Nama Lain | |
Tempat, Lahir | Sibuluan, Sibolga, Keresidenan Tapanuli, Hindia Belanda, 19 Februari 1899 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 7 Oktober 1962 (umur 63) |
Makam | Kolang, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara |
Agama | Kristen |
Suku | Batak, Lumban Tobing / Tobing |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Dokter Politisi |
Keluarga | |
Ayah | Herman Lumban Tobing |
Ibu | Laura Sitanggang |
Isteri | Anna Paulina Elfringhoff Kincap |
Anak | Paul Lumban Tobing Johan Lumban Tobing dan lainnya |
Riwayat Pendidikan Ferdinand Lumban Tobing
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Europeesche Lagere School (ELS) | Europeesche Lagere School (ELS) di Depok |
Europeesche Lagere School (ELS) | Europeesche Lagere School (ELS) di Bogor |
School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) | School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Batavia |
Karir Ferdinand Lumban Tobing
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Jong Bataks Bond | |
Centrale Burgelijke Ziekenhuis (Rumah Sakit Tjipto Mangoenkoesoemo) Jakarta | Dokter (1924) |
Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Daerah) Tapanuli | Ketua (1943) |
Chuo Sangi-in | Anggota |
Gubernur Sumatera Utara | Gubernur (17 Mei 1949 – 14 Agustus 1950) |
Menteri Kesehatan Indonesia | Menteri Kesehatan Indonesia (30 Juli 1953 – 9 Oktober 1953) |
Menteri Penerangan Indonesia | Menteri Penerangan Indonesia (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955) |
Menteri Negara Urusan Transmigrasi | Menteri Negara Urusan Transmigrasi (25 Juni 1958 – 10 Juli 1959) |
Penghargaan Ferdinand Lumban Tobing
Tahun | Penghargaan |
---|---|
17 November 1962 | Pahlawan Kemerdekaan Nasional |