Surastri Karma Trimurti, yang juga dikenal sebagai SK Trimurti, merupakan seorang wartawan, penulis, dan guru Indonesia yang terlibat aktif dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda.
Pada periode setelah kemerdekaan, SK Trimurti juga mengemban tanggung jawab sebagai menteri tenaga kerja pertama di Indonesia, menjabat dari tahun 1947 hingga 1948 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan
Soerastri Karma Trimurti, seorang jurnalis perempuan dari tiga zaman, lahir di Boyolali pada 11 Mei 1912. Trimurti berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh di lingkungannya, dengan ayahnya menjabat sebagai seorang carik di wilayahnya, setara dengan jabatan camat saat ini.
Sebagai anak seorang carik, Trimurti memiliki kesempatan untuk berkeliling dari desa ke desa dalam wilayah kekuasaan ayahnya. Melalui perjalanan-perjalanan ini, dia menyadari bahwa penduduk di daerahnya hidup dalam kondisi yang sangat miskin, sementara anak-anak Belanda menikmati gaya hidup yang jauh lebih mewah. Disparitas ini sangat mengusik hati Trimurti ketika masih kecil.
Setelah menyelesaikan Sekolah Ongko Loro (dulu Tweede Inlandsche School), Trimurti melanjutkan pendidikan di Sekolah Guru Puteri, Meisjes Normaal School di Jebres, Solo, Jawa Tengah. Ia lulus sebagai peringkat pertama.
Pada tahun 1930, dalam usia 18 tahun, Trimurti diangkat menjadi guru di Sekolah Latihan. Namun, karena merasa tidak cocok, dia memutuskan untuk pindah ke Sekolah Ongko Loro di Alun-alun Kidul, Solo.
Awal Perjuangan dan Wartawati
Soerastri Karma Trimurti, lahir pada 11 Mei 1912 di Boyolali, adalah seorang jurnalis perempuan dari tiga zaman. Trimurti berasal dari keluarga yang memiliki pengaruh di lingkungan setempat, dengan ayahnya yang menjabat sebagai seorang carik setingkat camat saat ini.
Sebagai anak carik, Trimurti memiliki kesempatan untuk berkeliling dari desa ke desa dalam wilayah kekuasaan ayahnya. Perjalanan ini membuka matanya terhadap kondisi sangat miskin penduduk di daerahnya, sementara anak-anak Belanda menikmati kehidupan yang jauh lebih berkecukupan. Disparitas ini membuat Trimurti merasa terusik.
Setelah menyelesaikan Sekolah Ongko Loro, Trimurti melanjutkan pendidikannya di Sekolah Guru Puteri, Meisjes Normaal School di Jebres, Solo, Jawa Tengah, dan lulus sebagai peringkat pertama. Pada usia 18 tahun, tahun 1930, dia diangkat menjadi guru di Sekolah Latihan, meskipun kemudian pindah ke Sekolah Ongko Loro di Alun-alun Kidul, Solo, karena merasa tidak cocok.
Keputusan Trimurti untuk beralih dari profesi guru menjadi aktivis kemerdekaan tercermin ketika dia menjadi anggota Partai Indonesia (Partindo). Setelah itu, dia pindah ke Bandung untuk mengikuti kursus kader Partindo dan mengajar di Sekolah Dasar Perguruan Rakyat yang didirikan oleh partai tersebut. Selama waktu ini, Trimurti singgah di rumah Inggit, istri pertama Soekarno, dan mulai akrab dengan Bung Karno.
Pada tahun 1933, Bung Karno meminta Trimurti untuk menulis untuk majalah Pikiran Rakyat, yang menjadi awal perkenalannya dengan dunia jurnalistik. Bung Karno kemudian menunjuk Trimurti sebagai Pemimpin Redaksi majalah tersebut.
Meskipun awalnya enggan karena merasa bukan pengarang berpengalaman, Trimurti akhirnya setuju. Untuk melindungi identitasnya, ia menggunakan nama samaran Trimurti, dan akhirnya, nama S.K. Trimurti menjadi dikenal.
Pada 1934, Trimurti kembali ke Klaten, tetapi ketidaksetujuan keluarganya terhadap aktivitas politiknya membuatnya tidak betah. Keadaan semakin tidak nyaman ketika rumah anggota Partindo dan PNI sering digeledah oleh penjajah Belanda di Jawa Tengah.
Pada awal 1935, Trimurti dihadapkan pada pilihan sulit antara keluarga dan aktivitas kemerdekaan, dan ia memilih untuk terus berjuang, meninggalkan rumahnya.
Setelah pindah ke Solo, Trimurti tetap aktif menulis dan bersama rekan seperjuangannya mendirikan majalah Bedug sebagai alat komunikasi gerakan kemerdekaan. Meskipun ditulis dalam bahasa Jawa dan hanya terbit sekali, majalah ini kemudian diganti namanya menjadi Terompet karena Trimurti menginginkan media yang menggunakan bahasa Indonesia. Namun, karena kendala modal dan pengelolaan yang masih berdasarkan idealisme, Terompet ditutup setelah beberapa edisi.
Selain menjadi wartawati, Trimurti juga aktif berorganisasi. Bergabung dengan perkumpulan Mardi Wanita yang kemudian berganti nama menjadi Persatuan Marhaeni Indonesia, Trimurti dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi majalah organisasi bernama Suara Marhaeni.
Di samping itu, Trimurti juga aktif dalam memperjuangkan nasib para buruh perempuan, terlibat dalam Barisan Perempuan Wanita, dan menjadi anggota Gerwis (Gerakan Wanita Sedar). Melalui media seperti Api Kartini, Berita Gerwani, dan kolom khusus untuk perempuan di Koran Harian Rakyat, Trimurti menulis banyak tentang nasib perempuan Indonesia, termasuk isu-isu seperti buruh perempuan, kesehatan reproduksi, pendidikan, dan kemiskinan.
Pada usia 25 tahun, Trimurti dipenjara untuk pertama kalinya karena menyebarkan pamflet anti-imperialisme dan anti-kapitalisme yang membahas ketidakadilan Belanda. Selama sembilan bulan di Penjara Bulu, Semarang, dia tetap berkomitmen pada perjuangannya.
Setelah keluar dari penjara pada 1937, Trimurti menjadi wartawati di Harian Sinar Selatan, di mana ia berkenalan dengan Sayuti Melik, yang kemudian menjadi suaminya.
Suatu kejadian yang memperkuat hubungan mereka terjadi ketika Trimurti berkorban dengan mengaku sebagai penulis artikel yang kontroversial, melindungi Sayuti dari kejaran penjajah Belanda. Meskipun ditangkap untuk kedua kalinya, Trimurti tetap setia pada perjuangan kemerdekaan dan merawat anak pertamanya, Musafir Karma Budiman, di balik terali besi.
Setelah keluar dari penjara, pasangan Sayuti-Trimurti mendirikan majalah bulanan sendiri, Pesat, dengan modal dari penjualan tempat tidur besi milik mereka. Awalnya, mereka bekerja sendiri tanpa bantuan orang lain, tetapi kemudian merekrut beberapa wartawan ketika Pesat semakin berkembang.
Walaupun hubungan antara Sayuti dan Trimurti akhirnya tidak harmonis karena Sayuti memilih poligami, Trimurti tetap teguh pada keputusannya untuk menolak dipoligami. Melalui perannya sebagai jurnalis dan aktivis, SK Trimurti akan selalu dikenang sebagai tokoh perempuan yang berperan penting dalam membangun landasan pers di Indonesia.
Menteri
Setelah Indonesia merdeka, peran S.K. Trimurti tidak hanya bertahan, melainkan semakin signifikan dalam dinamika pemerintahan Indonesia. Pada tahun 1947, ia menduduki posisi Menteri Tenaga Kerja (dulu disebut Menteri Perburuhan) dalam Kabinet Amir Sjarifuddin I.
Sebagai Menteri Perburuhan, S.K. Trimurti terlibat dalam perumusan beberapa peraturan terkait ketenagakerjaan, menggantikan regulasi yang berasal dari pemerintah kolonial Belanda dan pemerintah pendudukan Jepang.
Salah satu terobosan penting untuk kesejahteraan buruh di awal kemerdekaan Indonesia adalah Undang-undang (UU) Nomor 33 tahun 1947. UU ini menetapkan ketentuan-ketentuan terkait pembayaran ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja.
Melalui UU 33/1947, perlindungan bagi para buruh diperkuat dengan mewajibkan perusahaan membayar ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan terkait pekerjaan mereka. Ini mencakup situasi ketika buruh sakit akibat pekerjaan yang mereka lakukan.
Selain itu, UU ini juga menentukan sektor-sektor usaha yang diwajibkan membayar ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja. Perlindungan ini tidak hanya berlaku bagi buruh tetap, tetapi juga untuk pegawai magang dan pekerja borongan.
UU ini juga merinci sektor-sektor usaha yang diwajibkan membayar ganti rugi kepada buruh yang mengalami kecelakaan di tempat kerja. Perlindungan terhadap kecelakaan kerja tidak hanya berlaku bagi buruh tetap, melainkan juga mencakup pegawai magang dan pekerja borongan.
Dalam perincian UU yang disusun oleh S.K. Trimurti, terdapat ketentuan mengenai bentuk-bentuk ganti rugi untuk buruh, termasuk biaya transportasi ke rumah sakit, biaya pengobatan, dan tunjangan yang disesuaikan dengan kontrak antara perusahaan dan buruh.
Langkah UU 33/1947 kemudian diikuti oleh penetapan UU Nomor 34 tahun 1947 yang membahas perlindungan buruh dalam situasi perang. Kedua UU ini mencerminkan peran aktif S.K. Trimurti dalam advokasi hak-hak buruh pada awal masa kemerdekaan Indonesia.
Selain berperan dalam perumusan kedua UU perburuhan tersebut, Trimurti juga terlibat secara aktif dalam upaya penyatuan berbagai organisasi buruh yang memiliki kepentingan yang berbeda. Hal ini dilakukan untuk fokus pada tujuan bersama dalam perjuangan kemerdekaan.
Aktif di Organisasi Pergerakan Wanita
S.K. Trimurti tidak hanya berperan dalam kegiatan pers dan politik, tetapi juga aktif dalam gerakan perempuan. Pada awal 1950, bersama Umi Sardjono, ia ikut mendirikan Barisan Buruh Wanita (BBW) dan Gerakan Wanita Sedar (Gerwis), yang kemudian pada tahun 1954 berganti nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani).
Trimurti juga aktif sebagai penulis di Api Kartini dan Harian Rakjat, dengan tujuan memperjuangkan hak perempuan agar sejajar dengan laki-laki. Dalam tulisannya, ia sering mengkritik norma di masyarakat yang memandang perempuan hanya sebagai pelengkap atau sekadar pelengkap laki-laki semata.
S.K. Trimurti tegas menentang praktik poligami dan bahkan mengkritik poligami yang dilakukan oleh Soekarno, sosok yang sangat dihormatnya dan menjadi alasan ia terlibat dalam gerakan politik.
Kritik terbuka Trimurti menyebabkan hubungannya dengan Soekarno agak renggang pada saat itu. Bahkan, ketika Soekarno memberikan penghargaan Bintang Mahaputra kepada Trimurti, wajah Soekarno terlihat cemberut. Namun, seiring berjalannya waktu, hubungan keduanya membaik, dan Trimurti menjadi teman diskusi yang sering dengan Sang Proklamator.
Pandangan Trimurti yang menentang poligami juga tercermin ketika suaminya, Sayuti Melik, tertarik pada wanita lain bernama Siti Rancari. Keduanya kemudian bercerai pada tahun 1969, dan dalam penjelasannya, Trimurti menyebut bahwa perkawinan adalah bentuk kongsi untuk melakukan sesuatu bersama. Namun, jika tidak lagi bisa dibagi, ia tidak ingin memaksakan.
Di usia lanjutnya, Trimurti tetap aktif menulis mengenai isu politik, sosial-ekonomi, perempuan, dan buruh. Tulisan-tulisannya diterbitkan di berbagai surat kabar dan majalah, seperti Kedaulatan Rakyat, Gema Angkatan 45, Suara Perwari, Pradjoerit, Harian Nasional, dan Majalah Revolusioner.
Wafat
Pada tanggal 20 Mei 2008, S.K. Trimurti meninggal dunia di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto (RSPAD), Jakarta, pada usia 96 tahun, setelah menjalani perawatan selama dua minggu.
Anaknya, Heru Baskoro, menyampaikan bahwa Trimurti wafat akibat pecahnya pembuluh darah vena, selain juga mengalami hemoglobin rendah dan tekanan darah tinggi.
Untuk memberikan penghormatan atas jasanya sebagai “pahlawan kemerdekaan Indonesia,” diadakan upacara penghormatan di Istana Negara, Jakarta Pusat, sebelum akhirnya dimakamkan di TMP Kalibata.
Bio Data SK Trimurti
Nama Lengkap | Soerastri Karma Trimoerti |
Nama Kecil | Soerastri Karma Trimoerti |
Nama Lain | S.K. Trimurti |
Tempat, Lahir | Boyolali, Hindia Belanda, 11 Mei 1912 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 20 Mei 2008 (umur 96) |
Makam | Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Wartawan, Politisi, Guru |
Partai | Partai Indonesia Partai Buruh Indonesia |
Keluarga | |
Ayah | R.Ng. Salim Banjaransari Mangunkusumo |
Ibu | R.A. Saparinten |
Isteri (Pernikahan) | Sayuti Melik (w. 19 Juli 1938-27 Februari 1989) |
Anak | Moesafir Karma Boediman Heru Baskoro |
Riwayat Pendidikan SK Trimurti
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Sekolah Guru Putri | Sekolah Guru Putri, Surakarta |
Ongko Loro atau Tweede Inlandsche School | Ongko Loro atau Tweede Inlandsche School, Surakarta |
Algemeene Middelbare School (AMS) | Algemeene Middelbare School (AMS), Surakarta |
Fakultas Ekonomi | Universitas Indonesia |
Karir SK Trimurti
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Partai Indonesia | Anggota (1933 |
Fikiran Rakjat | Penulis (1933) |
Menteri Perburuhan Indonesia | Menteri Perburuhan Indonesia (3 Juli 1947 – 29 Januari 1948) |
Partai Buruh Indonesia (PBI) | Memimpin Sayap Wanita |
Berdjoeang | Penulis |
Bedug | Penulis |
Terompet | Penulis |
Suara Marhaeni | Penulis |
Pesat | Penulis |
Barisan Buruh Wanita (BBW) | Pendiri |
Gerakan Wanita Sedar (Gerwanis/Gerwani) | Pendiri (1954) |
Harian Rakjat | Penulis (1960) |
Api Kartini | Penulis (1960) |