Letnan Jenderal Barlian merupakan salah satu tokoh militer penting dalam sejarah Indonesia, khususnya di wilayah Sumatera Selatan. Ia dikenal sebagai pemimpin yang berhati-hati, berwibawa, dan bersikap netral saat gejolak hubungan pusat dan daerah memuncak dalam krisis PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) pada akhir 1950-an. Kariernya yang panjang dan pengabdiannya kepada negara mencerminkan dedikasi tanpa batas terhadap kemerdekaan dan keutuhan Republik Indonesia.
Artikel ini mengulas secara lengkap perjalanan hidup Barlian, mulai dari masa kecilnya di Tanjung Sakti hingga kiprahnya sebagai Panglima Tentara dan Teritorium II Sumatera Selatan. Bagian pertama ini akan membahas masa awal kehidupan, pendidikan, serta karier militernya sebelum memasuki dinamika politik nasional.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan
Barlian lahir pada 23 Juli 1922 di Tanjung Sakti, Lahat, Sumatera Selatan. Ia berasal dari keluarga bangsawan. Ayahnya, H. Senapi bin Anggur, merupakan adik dari Pangeran Kenawas dan menyandang gelar Pembarap, sedangkan ibunya bernama Hj. Renimpan binti Kenadjib.
Meski memiliki garis keturunan bangsawan, Barlian tumbuh sebagai anak yang rendah hati. Ia dikenal santun terhadap orang tua dan menunjukkan solidaritas tinggi terhadap teman-temannya. Sifat inilah yang membuatnya dihormati sejak kecil.
Pada tahun 1929, Barlian dan kakaknya, Ramli, dibawa sang ayah ke Bengkulu untuk menempuh pendidikan. Mereka tinggal di rumah Demang Toha, sahabat ayahnya, di Jalan Pasar Minggu, Bengkulu. Keduanya bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Bengkulu, yang jaraknya sekitar 2 km dari rumah. Setiap hari, mereka berangkat dan pulang sekolah dengan bersepeda. Saat liburan, keduanya kembali ke kampung halaman di Tanjung Sakti.
Barlian menyelesaikan pendidikan HIS pada tahun 1937, lalu melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Malang dan lulus pada 1941. Ia kemudian masuk ke Sekolah Dagang Menengah Handels Collegium Douwes Dekker di Bandung, namun pendidikannya terhenti akibat pecahnya Perang Asia Timur Raya (Perang Pasifik) pada 1942.
Pada tahun yang sama, Barlian melanjutkan pendidikannya ke Shonan Koa Kunrenjo (Sekolah Latihan Pegawai) di Singapura. Setelah lulus, ia bekerja sebagai calon wedana di Kantor Residen Bengkulu pada tahun 1943 — posisi awal yang memperlihatkan potensinya dalam administrasi dan kepemimpinan.
Kehidupan Pribadi
Tahun 1945 menjadi awal baru dalam kehidupan Barlian, bukan hanya secara politik, tetapi juga dalam kehidupan keluarga. Ia menikahi seorang gadis cantik asal Bengkulu bernama Suwela Bachsir, putri dari Demang Bachsir. Pernikahan mereka dikaruniai sepuluh anak, yang kelak menjadi generasi penerus keluarga: Hj. Poppy Ferial, Dina Emeralda, Emir Feisal BBA, Delia Devi SH, Syah Rizal, Dra. Mona Magnolia, Hj. Lydia Leil, Isi Athur, Riza Ridwan SE, dan Fathir Haris SE.
Awal Karier Militer: Giyugun dan Perjuangan Awal
Saat Jepang mulai kewalahan dalam Perang Pasifik, mereka membentuk pasukan sukarelawan lokal bernama Giyugun untuk memperkuat pertahanan di wilayah Hindia Belanda. Pada Maret 1943, Barlian tertarik dan mendaftarkan diri.
Setelah melalui seleksi, ia mengikuti pendidikan militer di Giyugun Kanbu Kyoiku, Pagar Alam, sejak 12 Desember 1943 hingga April 1944. Lulus dari pelatihan tersebut, Barlian diangkat sebagai Giyus Shoi (Letnan Dua) dan ditugaskan sebagai Komandan Seksi Mortir. Jabatan ini ia emban hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Peran dalam Revolusi dan Pembangunan TNI
Usai kemerdekaan, Barlian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan dipercaya memimpin BKR di Karesidenan Bengkulu. Ketika BKR bertransformasi menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), pangkatnya naik menjadi Mayor. Pada 1946, Barlian memimpin pemuda dan rakyat melakukan perlawanan terhadap sisa-sisa pasukan Jepang di wilayah Curup dan sekitarnya.
Setelah itu, kariernya melesat pesat. Pada 1946, ia kembali ke Bengkulu dan diangkat sebagai Komandan Resimen Divisi I Sumatera Selatan. Tahun berikutnya, ia dipercaya menjadi Kepala Staf Umum Divisi Garuda VIII Sumatera Selatan.
Pada Juni 1948, Barlian, yang saat itu berpangkat Letnan Kolonel, ditunjuk sebagai Komandan Brigade Garuda Emas Bengkulu. Kemudian, pada tahun 1950, ia menjabat sebagai Wakil Kepala Staf Logistik Markas Besar Angkatan Darat. Perannya yang aktif dalam pembentukan dan pengembangan organisasi militer nasional membuatnya semakin diperhitungkan di tubuh TNI.
Pendidikan Militer Tingkat Tinggi dan Jabatan Strategis
Barlian terus meningkatkan kapasitas militernya. Pada tahun 1951, ia mengikuti pendidikan di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) dan lulus pada 1952. Setelah itu, ia dipercaya menjabat sebagai Sekretaris Logistik Gabungan Kepala Staf Kementerian Pertahanan (1953–1954), posisi yang sangat penting dalam menjaga kesiapan logistik militer di masa transisi negara.
Peran Letjen Barlian dalam Krisis PRRI
Memasuki pertengahan 1950-an, hubungan antara pemerintah pusat dan daerah semakin memanas. Ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat melahirkan berbagai dewan perjuangan di daerah, yang akhirnya bermuara pada terbentuknya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) tahun 1958.
Di tengah gejolak ini, muncul tiga tokoh perwira militer yang memimpin dewan perjuangan masing-masing di Sumatra:
- Kolonel Maludin Simbolon memimpin Dewan Gajah di Sumatra Utara,
- Letkol Ahmad Husein memimpin Dewan Banteng di Sumatra Barat, dan
- Letkol Barlian memimpin Dewan Garuda di Sumatra Selatan.
Pada saat itu, Barlian menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium II Sumatra Selatan, yang kelak dikenal sebagai Kodam II/Sriwijaya. Posisi strategis ini membuatnya memiliki pengaruh besar di wilayah selatan Sumatra, sekaligus berada di posisi rawan dalam peta konflik antara pusat dan daerah.
Sikap Netral yang Menentukan
Berbeda dengan dua dewan lain yang secara terbuka membangkang kepada pemerintah pusat, Dewan Garuda di bawah kepemimpinan Barlian mengambil sikap hati-hati dan tidak memutus hubungan dengan Jakarta. Bahkan ketika Barlian mengusulkan diadakannya pertemuan di Sungai Dareh, Sumatra Barat, pada 9 Januari 1958, ia masih menjaga komunikasi dua arah antara daerah dan pusat. Pertemuan itu dihadiri pula oleh para tokoh sipil nasional seperti Mohammad Natsir, Burhanuddin Harahap, dan Sjafruddin Prawiranegara.
Namun, muncul perpecahan internal dalam tubuh Teritorium II. Mayor Djuhartono, Komandan Resimen Infanteri 5, menentang keras gerakan dewan-dewan perjuangan. Ia bahkan sempat mengungsi keluar kota karena khawatir akan tekanan dari kelompok pro-PRRI. Di sisi lain, Mayor Nawawi, perwira penting lainnya di wilayah itu, justru menyatakan dukungan terhadap PRRI.
Situasi ini menempatkan Barlian dalam dilema besar. Meski mendapat perintah dari Jenderal A.H. Nasution untuk menahan Mayor Nawawi, Barlian menolak mengambil tindakan represif, sebagai bentuk dari sikap netralnya. Ia menilai bahwa keterlibatan langsung dalam konflik hanya akan memperkeruh keadaan dan mengorbankan rakyat di wilayahnya.
Dampak Strategis dari Netralitas Barlian
Sikap Barlian yang tidak bergabung dengan PRRI memiliki dampak besar dalam jalannya krisis. Posisinya yang dekat dengan Jawa menjadikan Sumatra Selatan sebagai benteng pertahanan pertama apabila terjadi serangan militer dari pusat. Karena Dewan Garuda tidak berpihak pada PRRI, maka Tentara Pusat dapat bergerak lebih cepat dan langsung menuju pusat kekuatan PRRI di Sumatra Barat.
Keputusan Barlian untuk tetap netral—meski berisiko dicurigai oleh kedua belah pihak—menjadi salah satu penentu keberhasilan pemerintah pusat dalam menghadapi PRRI. Ia mengutamakan kestabilan dan keselamatan rakyat di wilayah komandonya dibandingkan kepentingan politik sesaat.
Wafatnya Letjen Barlian dalam Tragedi Udara
Tragedi datang pada tanggal 24 September 1975, ketika Letnan Jenderal Barlian dan istrinya, Suwela Bachsir, menjadi penumpang pesawat Fokker F28 milik Garuda Indonesia Airways jurusan Jakarta–Palembang. Pesawat tersebut mengalami kecelakaan tragis yang merenggut nyawa seluruh penumpang, termasuk pasangan Barlian dan Suwela.
Jenazah keduanya dimakamkan secara militer di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta, dalam upacara yang dipimpin langsung oleh Letjen Alamsyah Ratu Perwiranegara. Empat tahun kemudian, atas inisiatif DPRD dan Pemerintah Daerah Sumatra Selatan, serta dukungan dari Panglima Kodam IV/Sriwijaya Brigjen Try Sutrisno, jenazah mereka dipindahkan dan dimakamkan kembali dengan upacara militer di Taman Makam Pahlawan Ksatria Siguntang, Palembang.
Penghormatan
Meski tidak secara formal dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, Letnan Jenderal Barlian tetap dikenang sebagai tokoh penting dalam sejarah militer dan politik Indonesia. Sikapnya yang netral, penuh pertimbangan, dan mengutamakan keutuhan negara, telah menyelamatkan banyak nyawa dan meredam potensi perang saudara yang lebih luas.
Namanya kini diabadikan dalam berbagai bentuk, termasuk nama jalan, gedung militer, serta dalam sejarah Kodam II/Sriwijaya. Sebagai Panglima yang bijak dan pemimpin yang rendah hati, Letjen Barlian telah meninggalkan warisan moral dan strategis yang relevan hingga hari ini.
Sumber:
- Praja, Alvido, Siwi Ponika, dan Rahmad Hidayatullah. “Peran Kolonel Barlian dalam Peristiwa Bumi Hangus di Bengkulu.” Jurnal Pustaka Indonesia, vol. 4, no. 1, Apr. 2024, pp. 16–22. Yayasan Darussalam Bengkulu. Diakses 16 Juli 2025.
- “Mengenal Sosok Kolonel Inf (Purn) H Barlian: Pejuang Kemerdekaan dan Panglima KDM IV/Sriwijaya” swarnadwipa.co (Diakses pada 16 Juli 2025)
- “Posisi Barlian dalam PRRI” historia.id (Diakses pada 16 Juli 2025)






