Edit Template

Yap Yun Hap: Mahasiswa UI Yang Gugur Dalam Tragedi Semanggi II

Nama Yap Yun Hap dikenal sebagai salah satu simbol keberanian mahasiswa dalam memperjuangkan idealisme dan keadilan pada masa awal Reformasi. Ia adalah mahasiswa Universitas Indonesia (UI) yang gugur dalam Tragedi Semanggi II, peristiwa kelam Jakarta pada 24 September 1999. Dalam usianya yang baru 21 tahun, Yap Yun Hap menjadi saksi sekaligus korban nyata atas kekerasan negara terhadap rakyat dan mahasiswa yang menolak kebangkitan otoritarianisme.

Tragedi Semanggi II merupakan salah satu pelanggaran HAM berat di Indonesia pasca tumbangnya rezim Orde Baru. Aksi mahasiswa yang awalnya bertujuan menolak Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) berakhir dengan penembakan dan jatuhnya korban jiwa, termasuk Yap Yun Hap. 

Hingga kini, nama Yap Yun Hap dikenang sebagai mahasiswa UI korban reformasi yang mengorbankan hidupnya demi tegaknya keadilan dan kemanusiaan di Indonesia.

Latar Belakang dan Kehidupan Awal

Yap Yun Hap lahir di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, pada 17 Oktober 1977. Ia berasal dari keluarga Tionghoa yang hidup sederhana, jauh dari kemewahan, namun kaya akan nilai-nilai kerja keras dan kejujuran. 

Sebagai anak sulung dari pasangan Yap Pit Sing dan Ho Kim Ngo, Yap Yun Hap tumbuh dengan rasa tanggung jawab besar terhadap keluarga. Cita-citanya sederhana namun sarat makna, menjadi manusia yang berguna bagi banyak orang. Dengan semangat belajar yang tinggi, ia berhasil diterima di Fakultas Teknik Elektro Universitas Indonesia (UI) pada tahun 1996. 

Situasi Politik Menjelang Tragedi Semanggi II

Setelah tumbangnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, Indonesia memasuki masa transisi yang dikenal sebagai era Reformasi. Meskipun rezim otoriter telah berakhir, bayang-bayang kekuasaan militer dan praktik lama Orde Baru masih terasa kuat dalam kehidupan politik nasional. 

Pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yang menggantikan Soeharto, dihadapkan pada berbagai tantangan seperti krisis ekonomi, konflik sosial di sejumlah daerah, dan desakan publik agar dilakukan reformasi total di bidang hukum, politik, dan militer.

Di tengah suasana penuh ketegangan itu, pemerintah dan DPR mulai membahas Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB). RUU ini dianggap berpotensi menghidupkan kembali kekuasaan militer yang berlebihan karena memberikan wewenang besar kepada aparat keamanan dalam situasi darurat. Banyak pihak menilai RUU tersebut sebagai bentuk kemunduran dari semangat Reformasi 1998 yang menuntut supremasi sipil dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Penolakan terhadap RUU PKB datang dari berbagai kalangan, terutama mahasiswa dan aktivis pro-demokrasi. Mereka menilai bahwa RUU itu membuka peluang bagi militer untuk kembali mendominasi kehidupan sipil seperti pada masa Orde Baru. Gelombang protes mulai merebak di kampus-kampus besar, termasuk di Universitas Indonesia, Universitas Trisakti, dan Universitas Atma Jaya. Aksi-aksi tersebut menuntut agar pemerintah dan DPR membatalkan pembahasan RUU yang dinilai anti-reformasi tersebut.

Menjelang 23 – 24 September 1999, demonstrasi mahasiswa semakin meluas. Berdasarkan laporan media dan kesaksian para aktivis, ribuan mahasiswa turun ke jalan untuk menyuarakan aspirasi mereka secara damai. Namun, situasi berubah tegang ketika aparat keamanan dikerahkan untuk membubarkan massa. Bentrokan pun tak terhindarkan, menjadi awal dari Tragedi Semanggi II, salah satu peristiwa kelam yang kembali menodai perjalanan demokrasi Indonesia pasca-Reformasi.

Keputusan Yap Yun Hap untuk Turun ke Jalan

Menjelang aksi besar yang direncanakan mahasiswa pada 24 September 1999, suasana di rumah keluarga Yap diwarnai kecemasan. Ho Kim Ngo, ibu Yap Yun Hap, merasakan firasat yang tak enak. Dalam buku Saatnya Korban Bicara, ia mengenang percakapan terakhir mereka sebelum sang anak berangkat ke kampus. Sang ibu sempat berpesan agar Yun Hap tidak ikut turun ke jalan. Ia khawatir akan keselamatan anak sulungnya itu di tengah situasi yang makin tidak menentu.

Namun, bagi Yap Yun Hap, seruan untuk memperjuangkan keadilan dan menolak kembalinya kekuasaan militer bukan sekadar slogan. Ia percaya bahwa mahasiswa memiliki tanggung jawab moral untuk mengawal arah Reformasi agar tidak diselewengkan. 

Keputusan untuk tetap turun ke jalan merupakan wujud keberanian dan idealisme yang tertanam kuat dalam dirinya. Meskipun sadar akan risiko yang mungkin dihadapi, ia memilih berdiri bersama rekan-rekannya di barisan depan demonstrasi. 

Kronologi Tragedi Semanggi II (23–24 September 1999)

Pada tanggal 23 Septembar 1999, mahasiswa teknik UI termasuk Yun Hap berkumpul di Kantin Teknik, lalu berkumpul dengan mahasiswa lainnya di FISIP UI. Selesai Zuhur Mahasiswa UI ini berangkat ke Jakarta Convention Center menggunakan bus.

Di situ, ada mahasiswa yang ricuh karena adanya provokasi dan lemparan batu, karena adanya kericuhan itu, mahasiswa dipukul mundur hingga ke Universitas Atma Jaya. Untuk menghindari sweeping dari polisi, para mahasiswa memutuskan untuk bermalam di lapangan basket Universitas Atma Jaya dan kembali ke tempat tinggal masing-masing pada pagi harinya. mereka memutuskan untuk kembali ke tempat ini pada siang harinya untuk melanjutkan aksi.

Pada 24 September 1944 setelah shalat Jumat, mahasiswa dari UI kembali ke tempat aksi di putaran jalan Mal Ambassador, sampai di lokasi mahasiswa dari salemba ternyata belum datang. Mereka memutuskan untuk menunggu sambil beristirahat.

ketika mahasiswa dari Salemba sampai, sekitar pukul 18.00, mereka bersama sama melakukan long march menuju ke Universitas Atma Jaya. Ditengah perjalana mereka mendengar kabar bahwa situasi sudah kondusif dan masa aksi sudah mulai membubarkan diri.

Yun Hap bersama dua temannya memutuskan pergi ke Universitas Atma Jaya untuk memastikan, sesampainya di sana ternyata benar, massa aksi sudah bubar. Yun Hap dan temannya memutuskan beristirahat sambil menunggu mahasiswa UI lainnya sampai dan mengajak untuk pulang bersama.

Ketika duduk dipinggir trotoar jalan, Yun Hap melihat polisi datang dengan tronton, mereka turun dan menbak secara asal, salah satu peluru ternyata mengenai punggun Yun Hap yang sedang beristirahat di trotoar.

Duka Keluarga dan Proses Hukum yang Mandek

Kabar gugurnya Yap Yun Hap pada malam 24 September 1999 menjadi pukulan berat bagi keluarga. Ibunya, Ho Kim Ngo, tak pernah menyangka anak sulung yang dikenal lembut dan berbakti itu akan pergi sedemikian tragis. 

Tangis dan duka menyelimuti rumah keluarga di Jakarta ketika berita kematian Yun Hap disampaikan oleh rekan-rekannya sesama mahasiswa. Ia bukan hanya kehilangan seorang anak, tetapi juga kehilangan harapan yang selama ini menjadi kebanggaan keluarga.

Jenazah Yap Yun Hap dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) untuk menjalani autopsi. Proses ini turut dihadiri oleh sejumlah aktivis dan tokoh masyarakat, salah satunya Rieke Diah Pitaloka, yang kala itu aktif dalam gerakan mahasiswa dan advokasi korban. 

Autopsi dilakukan guna memastikan penyebab kematian, dan hasilnya menunjukkan bahwa Yun Hap tewas akibat peluru tajam yang menembus tubuhnya, memperkuat dugaan adanya tindakan kekerasan berlebihan dari aparat negara.

Sebagai respons atas tragedi ini, pemerintah membentuk Tim Pencari Fakta Independen (TPFI) untuk menyelidiki Tragedi Semanggi I dan II. Tim ini melibatkan unsur masyarakat sipil, aktivis, dan akademisi, yang dalam laporannya menyimpulkan adanya indikasi kuat pelanggaran HAM berat dalam penanganan aksi mahasiswa. 

Kesimpulan serupa juga muncul dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melalui Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM Tragedi Semanggi I dan II). Komnas HAM menyatakan bahwa peristiwa tersebut memenuhi unsur pelanggaran HAM berat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.

Namun, perjalanan menuju keadilan tidak berjalan mulus. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Kejaksaan Agung menunjukkan sikap yang berbeda. Meski Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan, Kejaksaan Agung berulang kali menolak menindaklanjuti kasus ini ke tahap penyidikan dengan alasan belum cukup bukti. 

Kemandekan ini membuat para keluarga korban merasa diabaikan. Situasi semakin memanas ketika Jaksa Agung ST Burhanuddin dalam pernyataannya menegaskan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat, pernyataan yang menimbulkan kecaman luas dari masyarakat sipil dan aktivis hak asasi manusia.

Tak tinggal diam, keluarga korban termasuk Ho Kim Ngo, ibu Yap Yun Hap, melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terhadap keputusan Jaksa Agung. 

Upaya Mengenang Yap Yun Hap

Dua dekade lebih setelah Tragedi Semanggi II, nama Yap Yun Hap tetap hidup dalam ingatan banyak orang — terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis yang meneruskan semangat Reformasi. Di Universitas Indonesia (UI), berbagai upaya dilakukan oleh civitas akademika untuk mengenang pengorbanannya. Setiap tahun, Ikatan Mahasiswa Elektro (IME) Fakultas Teknik UI menggelar peringatan khusus untuk mengenang hari gugurnya Yun Hap. Acara ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi menjadi ruang refleksi tentang makna perjuangan mahasiswa dalam memperjuangkan demokrasi dan keadilan sosial.

Salah satu bentuk penghormatan datang dalam rencana untuk menamai salah satu jalan di lingkungan kampus UI sebagai Jalan Yap Yun Hap, serta mendirikan patung atau sekretariat memorial di Fakultas Teknik Elektro. Gagasan ini bertujuan agar generasi muda UI tak melupakan sejarah perjuangan senior mereka yang telah berkorban demi idealisme Reformasi. Namun, sempat muncul kontroversi ketika nama “Jalan Yap Yun Hap” di UI yang sebelumnya terpasang di kawasan Fakultas Teknik tiba-tiba menghilang tanpa penjelasan resmi. Kejadian ini memicu kritik dari mahasiswa dan alumni yang menilai bahwa penghapusan nama tersebut merupakan bentuk pelupaan sejarah yang tidak seharusnya terjadi di lingkungan akademik.

Seniman dan aktivis Bhakti Eko Nugroho, yang pernah terlibat dalam kampanye mengenang korban Tragedi Semanggi, menuturkan bahwa perjuangan Yun Hap memiliki makna moral yang dalam. Bagi Bhakti, pengorbanan Yap Yun Hap adalah simbol keberanian generasi muda yang memilih berpihak pada rakyat, meski harus mengorbankan nyawa. Ia menegaskan, “Melupakan Yun Hap berarti melupakan nurani mahasiswa itu sendiri.”

Pandangan serupa disuarakan oleh banyak aktivis HAM dan mahasiswa masa kini. Mereka menilai bahwa semangat idealisme Yap Yun Hap perlu terus dihidupkan sebagai inspirasi perjuangan moral di tengah tantangan demokrasi yang kian kompleks. Bagi mereka, mengenang Yun Hap bukan semata soal menatap masa lalu, melainkan upaya menjaga api Reformasi agar tetap menyala — agar Indonesia tak lagi melahirkan korban karena keberaniannya membela kebenaran.

Sumber:

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biodata
  • Biografi
  • Blog
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
  • Time Line

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template
Tombol Provinsi Indonesia
Scroll to Top