Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan

Categories

Edit Template

Biografi Buya Hamka: Memahami Jejak Perjalanan Hidup Sang Ulama Besar

Di pojok kecil sebuah desa di Sumatera Barat, lahir pada tahun 1908 seseorang yang kelak bakal jadi salah satu figur paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Namanya Buya Hamka, seorang ulama, penulis, dan pemikir yang meninggalkan jejak mendalam dalam agama, sastra, dan politik.

Mulai dari masa kecil yang sederhana sampai perjuangannya sebagai salah satu pemimpin spiritual umat Islam, perjalanan hidupnya memberi inspirasi dan pengaruh besar bagi jutaan orang di seluruh Indonesia. 

Dengan tulisan-tulisannya yang bermakna dan pidatonya yang menarik, Buya Hamka diakui sebagai salah satu intelektual terkemuka di Indonesia. Inilah cerita luar biasa tentang Buya Hamka, sosok yang mencatat namanya dalam lembaran sejarah bangsa.

Masa Kecil

Abdul Malik, biasa dipanggil Hamka, lahir pada 17 Februari 1908 (Kalender Hijriyah: 14 Muharram 1326) di Tanah Sirah, yang sekarang jadi bagian dari Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatra Barat.  

Hamka adalah anak tertua dari empat bersaudara dalam keluarga Abdul Karim Amrullah, yang dikenal sebagai “Haji Rasul,” dan Safiyah.

Waktu kecil di Maninjau, dia tinggal bersama ibu tirinya dan mendengarkan pantun-pantun yang mengagumkan tentang alam Minangkabau. Ayahnya, Haji Rasul, sering keluar untuk berdakwah. 

Ketika Malik berumur empat tahun, dia pindah ke Padang Panjang bersama orangtuanya. Di sana, dia mulai belajar membaca Al-Qur’an dan shalat di bawah bimbingan kakak tirinya, Fatimah. Saat usianya baru tujuh tahun, dia masuk Sekolah Desa.

Pada tahun 1916, Zainuddin Labay El Yunusy mendirikan Diniyah School sebagai pengganti sistem pendidikan tradisional yang berpusat di surau. Malik pun mengikuti pelajaran di Sekolah Desa pagi hari dan belajar di Diniyah School sore hari. Karena cinta pada bahasa, dia dengan cepat menguasai bahasa Arab.

Tiga tahun setelahnya, pada 1918, Malik meninggalkan Sekolah Desa. Ayahnya, Haji Rasul, sangat mengedepankan pendidikan agama, jadi Malik masuk Thawalib. Di sini, siswa diwajibkan menghafal kitab-kitab klasik dan ilmu agama. 

Setelah belajar di Diniyah School pagi hari, dia pun ke Thawalib sore hari, lalu kembali ke surau. Tapi, cara belajar di Thawalib yang lebih fokus pada hafalan bikin dia merasa jenuh.

Sebagian besar murid di Thawalib lebih tua daripada Malik karena materi yang berat. Dari semua pelajaran, Malik cuma tertarik pada pelajaran arudh, yang membahas syair dalam bahasa Arab. Meski sibuk belajar dari pagi sampai sore, Hamka dikenal sebagai anak yang suka usil. 

Dia suka bikin ulah kalau nggak dikasih apa yang dia mau. Dan karena hobinya nonton film, pernah deh dia ngumpet dari ayahnya supaya bisa nonton film bisu di bioskop tanpa sepengetahuan orang tuanya.

Perceraian Orang Tua

Pada usia 12 tahun, Malik menyaksikan orang tuanya bercerai. Ayahnya taat pada agama, tapi keluarga ibunya masih melibatkan adat yang bertentangan dengan Islam. 

Beberapa hari setelah perceraian itu, Malik memutuskan untuk bolos sekolah. Dia jalan-jalan keliling desa di Padang Panjang.

Suatu hari, dia ketemu tunanetra yang minta sedekah. Malik bantu pria itu minta sedekah di tempat umum, bahkan antar pulang. Tapi, ibu tirinya marah, bilang, “Kamu maluin ayahmu.” Akibatnya, Malik bolos sekolah 15 hari berturut-turut, sampe gurunya dari Thawalib datang ke rumahnya. Tau dia bolos, ayahnya marah dan menaparnya.

Karena takut sama ayahnya, Malik balik ke sekolah lagi. Pagi di Sekolah Diniyah, pulang sebentar, lalu pergi ke Thawalib, trus balik ke rumah buat mengaji menjelang Magrib. 

Dia sering membaca buku di perpustakaan yang bukunya dipinjemin sama gurunya Zainuddin Labay El Yunusy. Dia baca karya sastra Balai Pustaka, cerita dari Cina, dan terjemahan karya Arab. Setelah baca, dia malah nulis ulang cerita itu sendiri.

Malik juga suka mengirim surat cinta yang diambil dari buku ke temen cewek sebayanya. Kalo lagi kehabisan uang buat sewa buku, dia membantu pekerjaan di percetakan milik Bagindo Sinaro. Di sana, Malik membantu bikin buku, lem, sampe bikin kopi. Sebagai balasan pekerjaannya, ia dibolehkan membaca buku yang mau disewain. Dalam tiga jam antara pulang dari Diniyah dan ke Thawalib, Malik atur waktu untuk membaca.

Dia dibolehin bawa buku yang belum dilapisin karton buat dikerjain di rumah karena kerjanya rapi. Tapi, ayahnya sering nemu Malik baca buku cerita, tanya, “Kamu mau jadi orang berilmu atau cuma pembuat cerita?” Setiap kali ayahnya perhatiin, Malik langsung sembunyiin buku cerita dan pura-pura baca buku agama.

Karena masalah keluarga, dia sering jalan sendiri. Dia bahkan jalan kaki 40 kilometer ke Maninjau, ninggalin pelajaran di Diniyah dan Thawalib, buat ketemu ibunya. Dia bingung mau tinggal sama ibu atau ayahnya. Dia sering nongkrong sama temen-temen seumuran, suka denger kaba, cerita yang dinyanyiin sama alat musik tradisional Minangkabau. 

Malik sampe jalan jauh ke Bukittinggi dan Payakumbuh, bahkan bergaul sama penggemar sabung ayam dan joki kuda. Sampe hampir setahun dia bingung, sampe umur 14 tahun ayahnya bawa dia belajar mengaji ke ulama Syekh Ibrahim Musa di Parabek, 5 kilometer dari Bukittinggi.

Di Parabek, dia mulai hidup sendiri. Kerja buat cari makan sebagai santri. Tapi, dia masih suka becanda. Dia pernah bikin heboh di asrama, sampe orang-orang nyangka ada hantu harimau di Parabek.

Dia sampe menyamar jadi hantu buat buktiin kalo cuma takhayul. Pakai sorban dan kapur di wajah, dia keluar dari asrama. Orang-orang takut, mau bikin perangkap besoknya, tapi dia langsung cerita ke temen-temen di asrama, buktiin kalo hantu itu cuma imajinasi. 

Di waktu bebas Sabtu, dia keluar dan jalan-jalan di desa sekitar Parabek. Karena minat sama pidato adat, dia sering dateng ke upacara adat. Dia catat dan hafalin pantun serta diksi dalam pidato adat. Dia bahkan mampir ke beberapa penghulu buat belajar.

Perantauan

Malik kerap menjelajahi berbagai tempat di Minangkabau seorang diri. Karena kebiasaannya ini, ayahnya manggil dia “Si Bujang Jauh,” karena dia selalu menjauh dari keluarganya. Saat baru 15 tahun, Malik putuskan buat ke pulau Jawa. Dia kabur tanpa bilang ayahnya, cuma ninggalin pesan buat anduangnya di Maninjau. 

Malik mulai perjalanan cuma dengan uang saku dari andungnya. Melalui perjalanan darat, ia singgah dulu di Bengkulu, berharap minta tambahan uang saku dari kerabat ibunya. Tapi, ketika di perjalanan itu, ia sakit kena malaria di Bengkulu, terus cacar. Meski sakit, Malik melanjutkan perjalanan ke Napal Putih dan ketemu kerabatnya.

Setelah dua bulan nunggu sembuh, keluarganya memulangkan Malik ke Maninjau. Bekas cacar bikin bekas di tubuhnya, hal itu membuat malu Malik dan jadi bahan cemoohan teman-temannya.

Bulan Juli 1924, Malik mencoba untuk merantau lagi ke Jawa. Dia tinggal di rumah Marah Intan, orang Minang yang merantau, dan ketemu Jafar Amrullah, adik ayahnya di Yogyakarta. Pamannya membawa Hamka ketemu Ki Bagus Hadikusumo buat belajar tafsir Al-Qur’an. Hamka seneng belajar bersama Ki Bagus yang bisa menafsirkan makna ayat-ayat Al-Qur’an.

Lewat Ki Bagus, Malik mengenal Sarekat Islam dan bergabung di sana. Dari ajaran dari Sarekat Islam, ia mengenal ide-ide gerakan sosial dan politik. Ada guru-guru seperti HOS Tjokroaminoto dan Suryopranoto. Tjokroaminoto tertarik dengan semangat belajar Malik. Malik rajin ikut kelas, sering tanya, dan menyalin pelajaran.

Di Yogyakarta, ia melihat Islam sebagai perjuangan hidup, dinamis. Beda dengan di Minangkabau, di sana Islam stuck di perdebatan ritual agama. Di Jawa, organisasi dan tokoh pergerakan fokus untuk kemajuan umat Islam dari keterbelakangan dan penindasan.

Setelah enam bulan di Yogyakarta, Malik pindah ke Pekalongan buat belajar dengan Ahmad Rasyid Sutan Mansur, kakak iparnya. Pertemuan dengan Sutan Mansur membuat Malik lebih mantap untuk terlibat dalam dakwah. Dari kakak iparnya, Malik bisa ikut pertemuan-pertemuan Muhammadiyah dan latihan berpidato di depan umum.

Di Pekalongan, Malik ketemu ayahnya yang gagal pergi ke Mesir gara-gara Kongres Kekhalifahan Internasional ditunda. Haji Rasul tertarik dengan organisasi Muhammadiyah, karena aktivitas Muhammadiyah dalam pendidikan dan pengajaran agama Islam.

Ketika Haji Rasul pulang ke Minangkabau bersama Jafar Amrullah dan Marah Intan, Haji Rasul memimpin pendirian Muhammadiyah di Sungai Batang. Sendi Aman, perkumpulan yang udah ada, diganti jadi Muhammadiyah dan diakui sebagai cabang Muhammadiyah dari Yogyakarta. Dari situ, Muhammadiyah mulai menyebar di tanah Minang.

Haji Rasul menggerakkan murid-murid Thawalib untuk membaut Tabligh Muhammadiyah di Sungai Batang. Malik memimpin latihan pidato di sana. Pidato-pidato bagus yang dia bikin dimuat di majalah Khatibul Ummah, majalah yang ia dirikan hingga 500 eksemplar. 

Malik menulis dan mengedit pidato-pidato itu sebelum diterbitkan. Gurunya, Zainuddin, dan Bagindo Sinaro membantu untuk membuat dan menyebarkan majalah itu. Melalui menulis dan mengedit pidato, Malik mulai mengenal kemampua menulisnya. Tapi, karena masalah dana, Khatibul Ummah cuma bertahan hingga tiga edisi saja.

Usaha menyebarkan Muhammadiyah di Minangkabau mendapat tantangan, terutama dari murid-murid Thawalib yang mendapat pengaruh paham komunis. Pengaruh ini membuat sikap murid Thawalib menjadi radikal. Fokus mereka ke politik membuat Haji Rasul kecewa dan nggan mengajar di sana, meski akhirnya Thawalib berhasil bersih dari paham komunis.

Akhir tahun 1925, pengurus besar Muhammadiyah di Yogyakarta mengirim Sutan Mansur ke Minangkabau. Sejak itu, Malik selalu bersama Sutan Mansur dalam dakwah dan membantu mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah. Bersama Sutan Mansur, Malik mendirikan cabang Muhammadiyah di Pagar Alam, Lakitan, dan Kurai Taji. 

Ketika Syekh Jalaluddin Rajo Endah IV menggantikan Syekh Mohammad Jamil Jaho menjadi ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang, Malik menjadi wakil ketuanya.

Kembali dan Haji

Meskipun disambut dengan baik saat kembali ke kampung halamannya, Malik dianggap lebih sebagai tukang pidato daripada seorang ahli agama. Kemampuannya dalam membaca ayat atau kalimat dalam bahasa Arab dinilai kurang fasih karena tidak memahami tata letak bahasa, nahwu, dan sharaf. 

Kekurangannya ini sering dikaitkan dengan fakta bahwa ia tidak menyelesaikan pendidikan di Thawalib. Menurut kesaksian Hamka, ia sering kali salah dalam melafalkan bahasa Arab, meskipun ketika menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, hasil terjemahannya jauh lebih baik daripada teman-temannya. 

Malik merasa kecil hati dan rendah diri karena tidak memiliki pendidikan formal yang diselesaikan. Ayahnya menasihatinya agar mengisi dirinya dengan ilmu pengetahuan, karena menurutnya “pidato-pidato saja tidak cukup”. 

Ketika Muhammadiyah membuka sekolah di Padang Panjang, Malik bersama dengan banyak teman-temannya yang pulang dari Jawa, mengajukan diri sebagai guru. Namun, saat pengumuman penerimaan guru diumumkan, Malik tidak lolos karena tidak memiliki ijazah atau diploma. Kekecewaan Malik semakin bertambah sejak kepulangannya.

Malik sering berbagi kesedihan dan perasaannya kepada anduangnya. Dari anduangnya, Malik mendengar bahwa ayahnya pernah berjanji akan mengirimnya untuk belajar di Makkah selama sepuluh tahun. 

Karena takut akan ayahnya, Malik merencanakan pergi ke Mekkah sendiri. Ia tidak memberi tahu ayahnya ke mana ia akan pergi, hanya mengatakan bahwa ia akan pergi ke tempat yang jauh. Karena keterbatasan uang, Malik berjalan kaki dari Maninjau ke Padang. Ketika kapal yang membawanya singgah di pelabuhan Belawan, Malik bertemu dengan temannya, Isa, yang membantu memberikan biaya perjalanannya. 

Pada awal Februari 1927, bersamaan dengan keberangkatan jemaah haji Indonesia pada bulan Rajab, Malik berangkat dari Pelabuhan Belawan menuju Jeddah. Selama di kapal, ia sangat dihormati karena kemampuannya dalam membaca Al-Qur’an. Orang-orang memanggilnya dengan sebutan ajengan. 

Dalam memoarnya, Hamka mengingat bahwa saat itu Malik ditawari untuk menikahi seorang gadis Bandung yang menarik hatinya, tetapi ia menolak. Pada masa itu, menikah di atas kapal adalah hal yang biasa.

Setibanya di Mekkah, Malik tinggal di rumah seorang pemandu haji bernama “Syekh” Amin Idris. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, ia bekerja di percetakan milik Tuan Hamid Kurdi, mertua ulama Minangkabau Ahmad Chatib. Di tempat kerja itu, ia memiliki akses untuk membaca kitab-kitab klasik, buku-buku, dan publikasi Islam dalam bahasa Arab, satu-satunya bahasa asing yang dikuasainya. 

Ketika ibadah haji akan dilakukan, ia bergabung dengan perkumpulan orang Indonesia Persatuan Hindia-Timur. Malik memiliki kemampuan berbahasa Arab yang fasih. Ketika perkumpulan tersebut berencana untuk menyelenggarakan manasik haji bagi jemaah Indonesia, Malik dipercaya untuk memimpin delegasi yang bertemu dengan Amir Faishal, putra Ibnu Saud, dan Imam Besar Masjidil Haram, Abu Samah. 

Namun, ketika tiba saatnya untuk melakukan ibadah haji di tengah musim panas, Malik jatuh sakit kepala dan tidak mampu berjalan ke mana pun. Ia tak sadarkan diri hingga larut malam. Pada saat itu, ia merasa betapa mudahnya seseorang mati, dan ia merasa mungkin ia akan mati. 

Setelah menunaikan ibadah haji, ketika jemaah haji biasanya pergi menghadap syekh masing-masing untuk diberi sorban haji dan mendapatkan nama haji, Malik menolak. Ia menganggap kebiasaan tersebut sebagai “perbuatan khurafat”. 

Awalnya, ia berniat untuk menetap di Mekkah, tetapi setelah bertemu dengan Agus Salim, rencana itu berubah. Karena Agus Salim tidak jadi mengikuti Kongres Islam Sedunia yang dibatalkan, Malik memanfaatkan waktu bersama Agus Salim untuk memperluas pengetahuannya tentang perkembangan politik di Indonesia. 

Selama hampir seminggu, Malik menjadi pelayan bagi Agus Salim. Agus Salim menasihatinya agar segera pulang, mengatakan bahwa “ada banyak pekerjaan yang jauh lebih penting yang dapat kamu lakukan di Tanah Airmu sendiri”.

Penulis

Setelah tinggal di Mekkah selama tujuh bulan, Malik kembali ke Tanah Air. Namun, daripada langsung pulang ke Padang Panjang, ia memilih untuk turun di Medan, sebuah kota di mana kapal yang membawanya berlabuh. Medan menjadi titik awal bagi Malik untuk terjun ke dunia jurnalistik. 

Ia menulis artikel tentang pengalamannya menunaikan ibadah haji untuk surat kabar Pelita Andalas, yang dimiliki oleh orang Tionghoa. Ini adalah kali pertama bagi Malik untuk menulis mengenai Sumatra Thawalib dan gerakan reformasi Islam di Minangkabau yang dipimpin oleh ayahnya sendiri. 

Dari artikel-artikel awal ini, Hamka menemukan suaranya sebagai seorang jurnalis. Muhammad Ismail Lubis, pemimpin majalah Seruan Islam, meminta Malik untuk menulis untuk majalah tersebut. Selain menulis untuk surat kabar dan majalah lokal, Malik mengirimkan tulisannya ke Suara Muhammadiyah yang dipimpin oleh Abdul Azis, dan Bintang Islam yang dipimpin oleh Fakhroedin. 

Namun, karena penghargaan atas tulisannya pada saat itu masih sangat kecil, Malik mengandalkan honorarium dari mengajar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia menerima permintaan untuk mengajar dari pedagang-pedagang kecil di Kebun Bajalinggi. Saat itu, ia bisa melihat kehidupan para buruh dari dekat, dan pengalaman ini kemudian mendorongnya untuk menulis Merantau Ke Deli.

Selama di Medan, kerabat dan ayahnya sering kali mengirim surat memintanya untuk pulang. Malik akhirnya memutuskan untuk pulang setelah mendapat bujukan dari kakak iparnya, Sutan Mansur. Sutan Mansur mampir di Medan dalam perjalanan pulang dari Lhokseumawe pada akhir tahun 1927. 

Malik kemudian menyusul ayahnya ke Sungai Batang, tempat tinggal mereka di Padang Panjang yang rusak akibat gempa bumi setahun sebelumnya. Setibanya di kampung halamannya, Malik bertemu dengan ayahnya secara mengharukan. 

Ayahnya terkejut saat mengetahui bahwa Malik telah pergi haji dan menggunakan uang sendiri. “Mengapa kamu tidak memberi tahu kami tentang niat mulia dan suci ini? Ayahmu saat itu dalam kesulitan dan kekurangan.” Penerimaan hangat dari ayahnya membuat Malik menyadari betapa besar kasih sayang ayahnya padanya. 

Untuk menebus rasa bersalah, Malik setuju untuk memenuhi permintaan ayahnya untuk menikah. Pada tanggal 5 April 1929, ia menikah dengan Sitti Raham.

Di Sungai Batang, Malik menerbitkan novel pertamanya dalam bahasa Minangkabau yang berjudul Si Sabariah. Novel ini mulai ia tulis saat berada di Medan. Pertama kali, ia membacakan Si Sabariah di depan ayahnya, Jamil Jambek, dan Abdullah Ahmad saat mereka berkumpul dalam Rapat Besar Umat Islam di Bukittinggi pada Agustus 1928. 

Dari Abdullah Ahmad, ia mendapat dorongan untuk terus menulis dengan memasukkan nilai-nilai agama ke dalam karyanya. Ketika novel ini diterbitkan, Si Sabariah menjadi laris di pasaran hingga dicetak tiga kali. 

Keberhasilan ini semakin membangkitkan semangatnya dalam melaksanakan kewajiban dakwah melalui tulisan. Ia semakin yakin bahwa ia memiliki kemampuan yang khas karena penguasaannya yang baik terhadap teknik tulisan dan lisan. 

Dengan honorarium dari Si Sabariah, Malik bisa membiayai pernikahannya. Setelah menikah, Malik menulis cerita Laila Majnun yang diilhami oleh hikayat Arab sepanjang dua halaman yang pernah ia baca. 

Pada tahun 1932, Balai Pustaka, penerbit utama pada saat itu, menerbitkan Laila Majnun dengan perubahan ejaan dan nama tokoh. Penerimaan yang baik dari Balai Pustaka membuatnya semakin bersemangat untuk menulis dan mengarang.

Muhammadiyah

Setelah menikah selama tiga bulan, Malik dan istrinya pindah ke Padang Panjang. Di sana, Malik memegang jabatan sebagai Ketua Muhammadiyah Padang Panjang dan sekaligus menjadi pemimpin Tabligh School, sebuah madrasah setingkat tsanawiyah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. 

Pengajaran di Tabligh School dilakukan setiap Selasa malam di gedung Muhammadiyah di Guguk Malintang, dan banyak orang yang menghadirinya. Mata pelajaran di sekolah tersebut berkisar pada kepemimpinan, strategi dakwah, dan penyebaran ajaran Muhammadiyah. 

Malik menjadi pengajar bersama Sutan Mansur dan Sutan Mangkuto. Cara pengajaran mereka dianggap baru dan berbeda dari yang lain. Salah satu muridnya, Malik Ahmad, kelak menjadi salah satu pemimpin Muhammadiyah.

Pada awal tahun 1929, Malik menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-18 di Solo sebagai peserta. Sejak itu, ia tidak pernah melewatkan Kongres Muhammadiyah yang berikutnya. Saat berkunjung ke Solo, ia bertemu dengan Fakhruddin, seorang tokoh pimpinan Muhammadiyah. 

Hamka menyebut Fakhruddin sebagai salah satu yang mempengaruhi pemikirannya dalam agama. “Keberanian dan ketegasannya menjadi pendorong bagi saya untuk juga berani dan tegas.” Selama perjalanannya ke Bandung, Hamka bertemu dengan A. Hassan dan Mohammad Natsir. Pada tahun 1929, ia juga mengasuh majalah Kemauan Zaman, meskipun hanya bertahan selama lima edisi.

Ketika Kongres Muhammadiyah diadakan di Bukittinggi pada tahun 1930, Malik memberikan pidato tentang “Agama Islam dalam Adat Minangkabau”. Dalam kongres yang bersifat nasional tersebut, Hamka menjadi pembicara yang mencoba menghubungkan adat dengan agama. 

Pada Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta, Malik memberikan pidato tentang perkembangan Muhammadiyah di Sumatra. Pidatonya berhasil memukau sebagian besar peserta kongres dan banyak yang menitikkan air mata. 

Pada tahun 1931, setelah membuka cabang Muhammadiyah di Bengkalis, ia ditugaskan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah untuk mempersiapkan Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar.

Selama di Makassar, Hamka berhasil menerbitkan majalah Islam Tentera sebanyak empat edisi dan majalah Al-Mahdi sebanyak sembilan edisi. Keberadaan Malik di Makassar dimanfaatkan oleh pimpinan Muhammadiyah setempat. 

Malik juga mendirikan Tabligh School serupa di Padang Panjang, yang menggantikan sistem pendidikan tradisional dengan pendekatan modern dan sistematis yang terinspirasi dari pendidikan barat, namun tetap mempertahankan nilai-nilai agama. 

Setelah Hamka meninggal pada tahun 1934, Tabligh School di Makassar diubah menjadi Muallimin Muhammadiyah di bawah pengawasan Muhammadiyah. Dari pergaulannya dengan masyarakat Makassar, Malik mendapatkan inspirasi untuk menulis novelnya yang terkenal, Tenggelamnya Kapal Van der Wijck.

Setelah kembali ke Padang Panjang pada tahun 1934, Malik dipercaya untuk memimpin Kulliyatul Muballighien sebagai pengganti Tabligh School yang sempat berhenti setelah kepergiannya. Lembaga ini memiliki masa studi selama tiga tahun dan bertujuan untuk menyiapkan mubalig dan guru sekolah menengah tingkat tsanawiyyah. Melalui Kulliyatul Muballighien, ia mengajar murid-murinya dalam berpidato dan menulis.

Pada tahun 1934, Malik juga diangkat sebagai anggota Majelis Konsul Muhammadiyah Sumatra Tengah, yang meliputi wilayah Sumatra Barat, Jambi, dan Riau.

Setelah pengalamannya di Padang Panjang dan Makassar, Hamka merasa bahwa bakatnya sebagai seorang penulis lebih baik dimanfaatkan daripada menjadi seorang guru. Pada bulan Januari 1936, ia memutuskan untuk pergi ke Medan, memimpin jurnalisme Islam, dan menyelami dunia menulis. 

Atas permintaan Muhammad Rasami, seorang tokoh Muhammadiyah di Bengkalis, Hamka mengambil alih kepemimpinan Pedoman Masyarakat di bawah Yayasan Al-Busyra yang dipimpin oleh Asbiran Yakub. Sementara itu, Kulliyatul Mubalighin yang ditinggalkannya diteruskan oleh Abdul Malik Ahmad hingga tahun 1946.

Pedoman Masyarakat awalnya dicetak dalam jumlah 500 eksemplar saat pertama kali diterbitkan pada tahun 1935. Namun, setelah Hamka menjadi pemimpin redaksi pada 22 Januari 1936, jumlah cetakan meningkat menjadi 4.000 eksemplar. 

Majalah ini membahas berbagai topik pengetahuan umum, agama, dan sejarah. Melalui perannya sebagai pemimpin redaksi, Hamka menjalin hubungan intelektual dengan sejumlah tokoh pergerakan. Pada bulan Februari 1936, ia mengkritik sikap pemerintah kolonial terhadap Hatta dan Sjahrir yang diasingkan ke Boven Digul.

Melalui Pedoman Masyarakat, Hamka mengisi beberapa rubrik dan menulis cerita bersambung. Salah satu karyanya yang terkenal adalah “Di Bawah Lindungan Ka’bah,” yang mengangkat masalah penggolongan dalam masyarakat Minangkabau berdasarkan harta, pangkat, dan keturunan. 

Kisah ini bercerita tentang kisah cinta antara Hamid dan Zainab yang terhalang oleh perbedaan status keluarga. Melihat antusiasme masyarakat yang besar, Balai Pustaka menerbitkan “Di Bawah Lindungan Ka’bah” pada tahun 1938. 

Setelah itu, Hamka menulis “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” yang menceritakan kisah percintaan antara Zainuddin dan Hayati yang juga terhalang oleh adat dan berakhir dengan kematian. 

Saat cerita ini diterbitkan sebagai cerita bersambung, Hamka menerima banyak surat dari pembaca. Beberapa meminta agar Hayati tidak mati, sementara yang lain mengungkapkan kesan mereka bahwa cerita tersebut seolah-olah menceritakan nasib mereka sendiri. 

Namun, sebagian pembaca Muslim menolak “Van Der Wijck” karena menganggap seorang ulama tidak seharusnya menulis roman percintaan. Hamka membela dirinya melalui tulisan di Pedoman Masyarakat pada tahun 1938, menyatakan bahwa banyak roman yang memiliki pengaruh positif terhadap pembaca, mengacu pada roman-roman pada tahun 1920-an dan 1930-an yang membahas adat kolot, pergaulan bebas, kawin paksa, poligami, dan permasalahan kelas.

Dalam majalah yang dipimpinnya, Hamka sering menampilkan tokoh-tokoh seperti Ir. Soekarno dan para nasionalis pergerakan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1930-an. 

Ketika Ir. Soekarno dipindahkan dari Kota Ende ke Bengkulu pada tahun 1938, ia mulai mengenal tulisan-tulisan Hamka selama masa pengasingannya di Bengkulu dari tahun 1938 hingga 1942. Bahkan, Hamka pernah bertemu dengan Bung Karno di Bengkulu untuk bertukar pikiran tentang isu-isu kebangsaan.

Jepang dan Sebelum Kemerdekaan

Setelah Jepang mengambil alih kekuasaan dari penjajah Belanda dan menduduki Medan pada 13 Maret 1942, majalah Pedoman Masyarakat berhenti terbit. Hamka fokus pada tugasnya dalam memimpin Muhammadiyah dan berusaha mempertahankan organisasi tersebut dari pembubaran.

Kedudukan Hamka sebagai tokoh Muhammadiyah menarik perhatian Jepang. Pada tahun 1944, ia diangkat menjadi anggota Chuo Sangi-in, sebuah badan penasehat di bawah kepemimpinan Letnan Jendral T. Nakashima yang bertugas di Chuokan Sumatra Timur. 

Hamka menerima penunjukan tersebut karena ia percaya dengan janji Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Namun, sikap kompromistisnya dan peran dalam pemerintahan pendudukan membuat Hamka terisolasi, dibenci, dan dipandang dengan sinis oleh masyarakat. 

Bulan Agustus hingga Desember 1945 menjadi masa yang paling pahit dalam hidupnya, di mana ia merasakan kebencian dan penghinaan yang begitu kuat. Bahkan di hadapan anak-anaknya, ia mengaku bahwa tanpa keimanan, mungkin ia telah melakukan bunuh diri. Kondisi ini membuatnya meninggalkan Medan dan kembali ke Padang Panjang, tiba di Aur Tajungkang, Bukittinggi pada 14 Desember 1945.

Setelah kembali ke Sumatra Barat, Hamka menulis untuk membuktikan bahwa dirinya bukanlah alat penjajah, melainkan bagian dari rakyat yang menginginkan perubahan. Pada periode ini, ia menerbitkan buku-buku seperti “Negara Islam,” “Islam dan Demokrasi,” “Revolusi Pikiran,” “Revolusi Agama,” “Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi,” dan “Dari Lembah Cita-Cita.” 

Pada saat Konferensi Muhammadiyah di Padang Panjang pada 22 Mei 1946, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Pimpinan Muhammadiyah Sumatra Barat, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto yang diangkat menjadi Bupati Solok. 

Posisinya sebagai ketua Muhammadiyah memberikan kesempatan baginya untuk mengunjungi cabang-cabang Muhammadiyah dan meningkatkan kegiatan dakwah Islam.

Peran Hamka dalam perjuangan nasional semakin meningkat seiring dengan terjadinya perang revolusi melawan kembalinya Belanda ke Tanah Air. Selama perang kemerdekaan, Hamka bersama pemimpin dan pejuang lainnya turut berperan dalam melawan Belanda. 

Menurut seorang jurnalis bernama Emzita yang mengikuti perang gerilya pasca-kemerdekaan, Hamka aktif dalam kegiatan “tablig revolusi.” Ia berperan sebagai penghubung antara ulama dan kelompok-kelompok pejuang. 

Hamka memimpin Barisan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK), pasukan rakyat yang memiliki peran besar dalam perang gerilya melawan pasukan Belanda di Sumatra Barat. Ia bergerilya, masuk dan keluardari hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau untuk membangkitkan semangat perjuangan. 

Pada saat Front Pertahanan Nasional (FPN) secara resmi dibentuk di Sumatra Barat pada 12 Agustus 1947, Hamka ditunjuk oleh Muhammad Hatta sebagai salah satu pemimpinnya. Bersama dengan Khatib Sulaiman, Rasuna Said, dan Karim Halim, Hamka berhasil menghimpun leb h dari 500.000 pemuda berusia antara 17 hingga 35 tahun.

Ketika tentara Belanda menduduki Padang Panjang pada tahun 1948, Hamka mengungsikan keluarganya ke Sungai Batang. Selama berbulan-bulan itu, Hamka tidak bertemu dengan anak-anaknya. 

Putra Hamka, Rusydi Hamka, menceritakan bahwa mereka hanya mampu makan ubi dan bubur. Pada saat itu, Aliyah, salah satu anak Hamka, hampir meninggal karena terlalu sering mengonsumsi ubi dan akhirnya jatuh sakit.

Setelah Kemerdekaan

Pada bulan Desember 1949, Hamka dan keluarganya pindah ke Jakarta. Mereka menempati sebuah rumah sewaan milik keluarga Arab di Jalan Toa Hong II, Kebun Jeruk. Untuk mencari nafkah, Hamka mengandalkan honorarium dari buku-bukunya yang diterbitkan di Medan sambil mengirimkan tulisan untuk surat kabar Merdeka dan majalah Pemandangan. 

Di surat kabar Abadi, Hamka menulis rubrik “Dari Perbendaharaan Lama” yang terbit dalam edisi Minggu. Beberapa karya tulisnya juga terbit di majalah Mimbar Indonesia yang dipimpin oleh H.B. Jassin dan majalah Hikmah.

Ia juga diangkat sebagai pegawai Kementerian Agama yang pada saat itu dipimpin oleh KH Wahid Hasyim. Tugasnya adalah mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam, termasuk Universitas Islam Jakarta, PTAIN Yogyakarta (sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), dan Universitas Muslim Ujungpandang. Hamka sering diundang untuk memberikan ceramah diberbagai tempat.

Pada tahun 1950, setelah menunaikan ibadah haji, Hamka mengunjungi beberapa negara Arab yang memberinya banyak inspirasi untuk menulis. Ia menulis tiga buku perjalanan yang berjudul Mandi Cahaya di Tanah Suci, Di Lembah Sungai Nil, dan Di Tepi Sungai Dajjah. Hamka juga diundang untuk menjadi pembicara dalam sejumlah konferensi internasional sebagai perwakilan Indonesia. 

Pada tahun 1952, ia mendapat undangan dari Departemen Luar Negeri Amerika Serikat untuk mengunjungi negara tersebut. Dari kunjungannya tersebut, ia menulis buku Empat Bulan di Amerika. 

Pada tahun 1953, ia juga ikut dalam Misi Kebudayaan RI ke Muangthai yang dipimpin oleh Ki Mangunsarkoro. Kemudian, pada tahun 1954, ia berangkat ke Burma sebagai perwakilan Departemen Agama dalam perayaan 2.000 tahun wafatnya Siddhartha Gautama.

Meskipun berstatus sebagai pegawai pemerintah, Hamka juga aktif dalam dunia politik. Ia bergabung dengan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) yang mendorong perjuangan Islam melalui mekanisme konstitusional. 

Namun, kegiatan politiknya akhirnya membuatnya harus mengundurkan diri sebagai pegawai Departemen Agama. Pada saat itu, Soekarno meminta para pegawai untuk memilih antara tetap menjadi pegawai ataumenjadi anggota partai.

Dalam pemilihan umum tahun 1955, Hamka terpilih sebagai anggota Dewan Konstituante mewakili Jawa Tengah. Di sidang-sidang Konstituante, ia menyampaikan pidato tentang bahasa, hak asasi manusia, dan dasar negara. 

Hamka juga menjadi salah satu penanggap pidato Presiden Soekarno yang berjudul “Republika” yang mengajak kembali ke UUD 1945 dan gagasan “kabinet kaki empat”. Ia menolak gagasan Demokrasi Terpimpin yang diusulkan oleh Presiden Soekarno.

Ketika terjadi perdebatan mengenai dasar negara, Hamka bersama Mohammad Natsir, Mohammad Roem, dan Isa Anshari dengan konsisten memperjuangkan agar syariat Islam menjadi dasar negara Indonesia. 

Hamka menyampaikan kelebihan Islam dibandingkan dengan Pancasila, bahkan dibandingkan dengan dasar negara apapun di dunia. Meskipun menghargai upaya mereka untuk meyakinkan, ia meragukan bahwa Pancasila mencerminkan gaya hidup atau falsafah hidup orang Indonesia. 

Dalam pidatonya, Hamka mengusulkan agar sila pertama Pancasila kembali mencantumkan kalimat tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya,” seperti yang termaktub dalam Piagam Jakarta. Debat ini akhirnya berujung pada dikeluarkannya Dekrit Presiden.

Inilah perjalanan Hamka yang penuh warna, di mana ia tidak hanya meniti karier sebagai penulis dan pengajar, tetapi juga terlibat dalam dunia politik dengan tujuan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam perubahan sosial dan perjuangan kemerdekaan.

Pada tahun 1956, Hamka membangun sebuah rumah di Jalan Raden Fatah III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, untuk anak-anak dan istrinya. Di depan rumahnya, ada rencana untuk membangun sebuah masjid yang diusulkan oleh tokoh-tokoh Masyumi. 

Namun, panitia pembangunan masih mencari tokoh yang tepat untuk menjadi penanggung jawab dan imam masjid tersebut. Mereka kemudian meminta kesediaan Hamka untuk mengemban tugas tersebut. Hamka menerima permohonan tersebut dengan senang hati. 

Dalam sebuah pertemuan, ia bahkan menyarankan agar bangunan masjid dilengkapi dengan ruang kantor, ruang pertemuan, dan ruang perkuliahan yang bisa digunakan untuk kegiatan dakwah, pendidikan, dan kegiatan sosial lainnya.

Sebelum pembangunan masjid selesai, pada Januari 1958, Hamka diundang untuk menghadiri sebuah konferensi Islam di Universitas Punjab di Lahore, Pakistan. Ia pergi sebagai delegasi Indonesia dalam simposium Islam di Lahore bersama dengan Hasbi Ash-Shieddiqy dan KH Anwar Musaddad. 

Setelah itu, ia melanjutkan perjalanan ke Kairo, Mesir, sebagai tamu kenegaraan bersamaan dengan Soekarno yang juga berkunjung ke Mesir pada saat itu. Selama di Kairo, ia diundang oleh Forum Dunia Islam untuk memberikan ceramah di Universitas Al-Azhar pada Februari 1958. 

Di hadapan para mahasiswa dan intelektual Mesir, Hamka membahas pengaruh pemikiran Muhammad Abduh di Indonesia dan Malaya. Ia menjelaskan tentang gerakan-gerakan Islam modern di Indonesia, seperti Thawalib, Muhammadiyah, Al-Irsyad, dan Persis. 

Pemaparannya sangat disambut dengan baik oleh kalangan akademik dan intelektual Mesir karena jarang ada yang memahami dengan baik pengaruh pemikiran Muhammad Abduh terhadap masyarakat Muslim di Asia Tenggara. Setelah memberikan ceramahnya, ia melanjutkan perjalanan ke Mekkah, Jeddah, dan Madinah. 

Selama di Arab Saudi, ia juga diundang oleh pihak istana Kerajaan Arab Saudi. Pada saat yang sama, ia menerima berita dari Mesir bahwa Universitas Al-Azhar telah mengambil keputusan untuk memberinya gelar Ustadziyah Fakhriyyah, gelar ilmiah tertinggi dari universitas tersebut yang setara dengan Doktor Honoris Causa.

Pada bulan Desember 1960, Syekh Mahmud Shaltut, Imam Besar Al-Azhar, beserta rombongan datang ke Indonesia sebagai tamu kenegaraan. Dalam kunjungan tersebut, Mahmud Shaltut juga meluangkan waktu untuk meninjau Masjid Agung Kebayoran Baru, yang telah menjadi tempat ibadah dan pusat kegiatan Islam yang dipelopori oleh Hamka.

Inilah perjalanan Hamka yang tidak hanya aktif dalam pembangunan masjid, tetapi juga terlibat dalam kegiatan internasional, memberikan ceramah di berbagai negara, dan mendapatkan pengakuan dari lembaga pendidikan terkemuka seperti Universitas Al-Azhar. Semangatnya dalam menyebarkan nilai-nilai Islam tidak terbatas hanya di dalam negeri, tetapi juga meluas ke tingkat global.

Orde Baru ( Orba)

Pada tanggal 30 November 1967, Pemerintah Indonesia mengadakan Musyawarah Antar Agama yang dihadiri oleh pemuka agama yang diakui secara resmi di negara ini. Dalam musyawarah tersebut, pemerintah mengusulkan pembentukan Badan Konsultasi Antar Agama dan penandatanganan pernyataan bersama dalam sebuah piagam. 

Salah satu poin dalam piagam tersebut adalah larangan untuk menjadikan umat yang sudah beragama sebagai target penyebaran agama lain. Meskipun Badan Konsultasi Antar Agama berhasil terbentuk, musyawarah gagal mencapai kesepakatan untuk menandatangani piagam yang diusulkan oleh pemerintah. 

Perwakilan Kristen merasa keberatan karena mereka menganggap piagam tersebut bertentangan dengan kebebasan penyebaran Injil. Albert Mangaratua Tambunan, dalam pidatonya, menyampaikan pendirian umat Kristiani bahwa menyebarkan Pekabaran Injil kepada orang yang belum Kristen adalah “Titah Ilahi yang wajib dijunjung tinggi”. 

Meskipun musyawarah tersebut dianggap gagal oleh banyak pihak, Hamka berpendapat bahwa itu adalah keberhasilan karena telah mengungkapkan hal-hal yang sebelumnya belum terungkap secara jelas.

Setelah dibebaskan dari penjara, Hamka menjadi perwakilan Indonesia dalam beberapa pertemuan internasional. Pada tahun 1967, ia mengunjungi Malaysia atas undangan Perdana Menteri Tengku Abdul Rahman. 

Pada tahun 1968, ia hadir dalam peringatan Masjid Annabah di Aljazair. Dari Aljazair, ia melanjutkan perjalanan ke beberapa negara seperti Spanyol, Roma, Turki, London, Arab Saudi, India, dan Thailand. 

Pada tahun 1969, bersama dengan KH Muhammad Ilyas dan anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Anwar Tjokroaminoto, Hamka mewakili Indonesia dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Islam yang membahas konflik Palestina-Israel di Rabat, Maroko.

Pada tanggal 30 September–4 Oktober 1970, diadakan musyawarah alim ulama se-Indonesia di Jakarta. Pusat Dakwah Islam Indonesia mengusulkan pembentukan Majelis Ulama dalam musyawarah tersebut. Meskipun mendapat dukungan dari Menteri Agama KH Muhammad Dahlan, beberapa ulama dan tokoh Islam seperti Mohammad Natsir dan Kasman Singodimedjo melihat bahwa lembaga tersebut lebih menguntungkan pemerintah daripada umat Islam. 

Namun, Hamka menganggap pembentukan Majelis Ulama sangat penting sebagai jembatan antara pemerintah dan umat Islam. Baginya, Majelis Ulama dapat mengurangi rasa curiga antara keduanya. “Mereka berani mengkritik perbuatan pemerintah yang salah menurut keyakinannya, walaupun karena pendiriannya yang tegas, mereka akan dibenci oleh penguasa. Sebaliknya, mereka juga berani membela keputusan pemerintah yang dianggapnya benar, meskipun itu akan membuat mereka dibenci oleh rakyat,” tulis Hamka dalam Panji Masyarakat pada 1 Juli 1974.

Selama periode ini, Hamka aktif dalam menghadiri pertemuan internasional dan mengunjungi berbagai negara untuk berbicara tentang Islam. Ia hadir dalam seminar di Aljazair pada tahun 1971 dan menerima gelar kehormatan Honoris Causa dari Universitas Kebangsaan Malaysia pada tanggal 8 Juni 1974.

Pada tahun 1975, ia menghadiri Muktamar Masjid di Mekkah, diikuti oleh Konferensi Islam di Kuching, Sarawak, Malaysia Timur pada tahun 1976. Hamka juga menghadiri Seminar Islam dan Kebudayaan Malaysia di Universitas Kebangsaan Malaysia pada tahun yang sama dengan makalahnya tentang pengaruh Islam terhadap kesusastraan Melayu. 

Pada tahun 1977, ia menghadiri peringatan 100 tahun Muhammad Iqbal di Lahore dan Muktamar Ulama (Al-Buhust Islamiyah) di Kairo. Di Lahore, Hamka menyampaikan makalahnya tentang Muhammad Iqbal dan menyoroti pengaruh Iqbal dalam membawa identitas Muslim pada Jinnah.

Majelis Ulama Indonesia

Pada tahun 1975, Hamka terpilih sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan dukungan yang kuat. Sebagai Ketua MUI, ia berhasil membangun citra lembaga tersebut sebagai wakil yang independen dan berwibawa bagi umat Islam. 

Hamka mengutamakan kepentingan umat Islam di atas segalanya dan meminta agar MUI tidak menggaji dirinya. Ia juga memilih menggunakan Masjid Agung Al-Azhar sebagai pusat kegiatan MUI. Meskipun ada keraguan apakah ia mampu menghadapi intervensi pemerintah yang saat itu sedang berlangsung, Hamka berhasil mempertahankan independensi MUI.

Pada tahun 1978, terjadi perbedaan pandangan antara Hamka dan pemerintah. Hal ini terjadi setelah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mencabut ketentuan libur selama bulan Ramadhan yang sebelumnya telah menjadi kebiasaan.

Pada tahun 1981, MUI mengeluarkan fatwa yang menyatakan perayaan Natal bagi umat Islam haram. Fatwa ini mengundang perhatian dan kontroversi, serta mendapat kecaman dari pemerintah. Meskipun ada desakan untuk mencabut fatwa tersebut, Hamka memutuskan untuk meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI. Keputusannya ini memperoleh simpati dari masyarakat Muslim.

Dalam sebuah surat pembaca yang ditulisnya, Hamka menjelaskan bahwa fatwa tersebut tetap sah meskipun ia telah mengundurkan diri sebagai Ketua MUI. Ia menganggap fatwa tersebut penting untuk menjaga keimanan umat Islam.

Dengan meletakkan jabatannya sebagai Ketua MUI, Hamka menunjukkan komitmen dan integritasnya dalam mempertahankan keyakinan dan prinsip-prinsipnya. Keputusannya ini dihormati oleh banyak orang dan mendapat dukungan dari masyarakat Muslim.

Wafat

Kesehatan Hamka mulai menurun setelah ia mengundurkan diri dari jabatan Ketua MUI. Atas anjuran dokter keluarga, Hamka dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina pada awal Ramadan 1981. Setelah enam hari dirawat, Hamka berada dalam keadaan koma setelah dinyatakan bahwa organ-organ vitalnya seperti ginjal, paru-paru, dan saraf sentral tidak berfungsi lagi. 

Meskipun kondisinya hanya bisa dipertahankan dengan bantuan alat pacu jantung, keluarga Hamka memutuskan untuk mencabut alat tersebut. Pada pagi hari, Hamka menghembuskan napas terakhirnya.

Pada Jumat, 24 Juli 1981, Hamka meninggal dunia dalam usia 73 tahun. Jenazahnya disemayamkan di rumahnya dan banyak tokoh, termasuk Presiden Soeharto dan Wakil Presiden Adam Malik, hadir untuk memberi penghormatan terakhir. 

Shalat jenazah Hamka dipimpin oleh Menteri Perhubungan Azwar Anas, dan kemudian jenazahnya dibawa ke Masjid Agung Al-Azhar untuk shalat terakhir sebelum dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan. 

Pemerintah memberikan penghargaan Bintang Mahaputra Utama secara anumerta kepada Hamka, dan pada tahun 2011, ia dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.

Warisan Hamka terus dikenang, seperti dengan nama Universitas Muhammadiyah Hamka yang didirikan di Jakarta. Kisah hidupnya juga diangkat dalam novel oleh beberapa penulis, termasuk Akmal Nasery Basral, Haidar Musyafa, dan Ahmad Fuadi. Majelis Ulama Indonesia juga berencana untuk mengadaptasi kisah Hamka dalam sebuah film yang berjudul “Buya Hamka”.

Dengan kepulangan Hamka, Indonesia kehilangan seorang tokoh besar yang telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam bidang agama, sastra, dan politik. Namanya akan tetap dikenang dan pengaruhnya akan terus dirasakan dalam masyarakat Indonesia.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top