Ali Moertopo adalah salah satu tokoh dalam politik dan intelijen Indonesia pada masa Orde Baru. Ia dikenal sebagai orang kepercayaan Presiden Soeharto, pemikir strategi politik, sekaligus perancang berbagai operasi intelijen melalui lembaga yang kemudian dikenal sebagai Operasi Khusus (Opsus). Sosoknya sering dipandang sebagai otak di balik penyusunan berbagai kebijakan politik, termasuk penyederhanaan partai, konsolidasi Golkar, hingga operasi intelijen di dalam dan luar negeri.
Meskipun kiprahnya banyak berada di balik layar. Ia tidak hanya berperan dalam dunia militer dan intelijen, tetapi juga dalam ranah politik dan pembangunan, terutama melalui konsep modernisasi yang dituangkan dalam gagasan “Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun.” Sejarah mencatat dirinya sebagai salah satu tokoh yang membentuk arah Orde Baru, baik melalui strategi politik maupun gagasan pembangunan nasional.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga dan Pendidikan Awal
Ali Moertopo lahir di Blora, Jawa Tengah pada tanggal 23 September 1924, meski sejumlah sumber menyebutkan data ini masih menyisakan ketidakjelasan. Ia berasal dari keluarga dengan latar belakang sederhana. Ayahnya adalah seorang pedagang tembakau, sementara ibunya berasal dari lingkungan pesantren yang kuat tradisi keagamaannya. Setelah ayahnya meninggal, Ali kecil diasuh oleh pakdenya, seorang ulama di daerah asalnya.
Pendidikan dasarnya ditempuh di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Blora, lalu dilanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO). Dalam masa mudanya, Ali telah menunjukkan minat yang besar terhadap dunia politik dan militer. Situasi penjajahan Belanda dan kemudian pendudukan Jepang membuatnya terjun dalam berbagai kegiatan kepemudaan dan organisasi yang menanamkan nilai kebangsaan. Meski hidup dalam keterbatasan, pengalaman pendidikan dan pengasuhan yang religius membentuk karakter disiplin serta pandangan hidup yang kelak berpengaruh pada kiprah politiknya.
Masa Revolusi dan Karier Militer Awal
Setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, Ali Moertopo segera bergabung dalam perjuangan bersenjata melawan Belanda. Ia aktif di Resimen 17 Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian berkembang menjadi bagian dari Divisi Diponegoro. Dalam periode ini, Ali ikut serta dalam berbagai pertempuran dan operasi gerilya di Jawa Tengah. Salah satu pengalaman pentingnya adalah keterlibatannya dalam penumpasan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948, yang membuat namanya mulai dikenal di kalangan militer.
Pengakuannya terhadap profesi militer tampak dari ucapan yang pernah ia lontarkan, bahwa sejak awal dirinya memang bercita-cita menjadi seorang tentara. Ia juga pernah bergabung dalam pasukan elite Banteng Raiders, unit khusus yang terkenal dengan operasi-operasi gerilya di pedalaman Jawa. Dari pengalaman ini, Ali memperoleh reputasi sebagai perwira lapangan yang tangguh dan memiliki kemampuan mengatur strategi tempur.
Perjalanan militernya tidak lepas dari kontroversi. Beberapa sumber menyebutkan bahwa sebelum benar-benar aktif di TKR, ia sempat berhubungan dengan pasukan Belanda melalui NEFIS (Netherlands Forces Intelligence Service). Namun, ada pula kesaksian dari jenderal Soemitro yang membantah klaim tersebut, menegaskan bahwa Ali adalah pejuang yang setia di pihak republik. Perbedaan catatan ini menunjukkan bahwa riwayat awal Ali Moertopo masih menyimpan ruang verifikasi lebih lanjut.
Kedekatan dengan Soeharto dan Peran di Kodam Diponegoro
Karier Ali Moertopo semakin menanjak ketika ia bertugas di Komando Daerah Militer (Kodam) IV/Diponegoro, Jawa Tengah. Di sinilah ia mulai menjalin hubungan dekat dengan Mayor Jenderal Soeharto, yang saat itu menjadi Panglima Diponegoro.
Ali dikenal sebagai perwira yang loyal, cekatan, dan penuh inisiatif. Soeharto menaruh kepercayaan besar padanya, sehingga Ali kerap ditugasi menjalankan misi-misi penting, baik di lapangan maupun dalam urusan politik lokal. Bersama sejumlah rekan dekat Soeharto seperti Sudjono Humardhani, Yoga Sugomo, dan pengusaha Bob Hasan, Ali ikut serta dalam mengelola berbagai kegiatan ekonomi dan operasi yang berhubungan dengan kepentingan militer. Salah satunya adalah proyek barter beras dan gula yang dijalankan Kodam Diponegoro, yang sempat menimbulkan kontroversi di kemudian hari.
Hubungan pribadi yang erat dengan Soeharto membuat Ali menjadi bagian dari lingkaran inti yang disebut sebagai inner circle. Dari sinilah ia mulai berperan bukan hanya sebagai perwira lapangan, tetapi juga sebagai penasihat politik dan intelijen.
Operasi Khusus (Opsus) dan Intelijen
Peran Ali Moertopo semakin menonjol ketika Soeharto mempercayainya memimpin Operasi Khusus (Opsus), sebuah unit intelijen yang dibentuk pada awal 1960-an. Awalnya, Opsus lahir dari kebutuhan Indonesia menghadapi Konfrontasi dengan Malaysia. Namun, setelah itu peran Opsus berkembang jauh lebih luas, mencakup operasi politik, diplomasi, hingga pengendalian keamanan dalam negeri.
Sebagai pemimpin Opsus, Ali dikenal sangat lihai menjalankan misi intelijen. Ia dibantu oleh perwira-perwira muda yang kelak menjadi tokoh besar, seperti Benny Moerdani, Pitut Soeharto, dan L.B. Moerdani. Opsus terlibat dalam berbagai operasi penting, mulai dari mendukung integrasi Irian Barat melalui Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) hingga mengatur strategi politik untuk melemahkan lawan-lawan Orde Baru.
Selain itu, Opsus juga aktif menghadapi berbagai gerakan perlawanan bersenjata di dalam negeri. Unit ini turun langsung dalam operasi melawan sisa-sisa DI/TII, PRRI, Permesta, hingga kelompok Komando Jihad. Ali Moertopo memanfaatkan jaringan politik dan diplomasi untuk meredam potensi konflik yang dapat mengganggu stabilitas pemerintahan Soeharto.
Kekuatan Opsus yang bekerja secara rahasia menjadikan Ali sebagai sosok yang disegani sekaligus ditakuti. Dari balik layar, ia berhasil membangun reputasi sebagai arsitek intelijen Orde Baru. Opsus inilah yang kemudian menjadi pijakan bagi Ali dalam mengendalikan arah politik nasional pada awal masa pemerintahan Soeharto.
Politik di Era Orde Baru
Selain dikenal sebagai ahli strategi intelijen, Ali Moertopo juga dikenal dalam panggung politik nasional pada awal Orde Baru. Kedekatannya dengan Soeharto membuatnya dipercaya masuk ke lingkaran Staf Pribadi (Spri) dan kemudian menjadi bagian dari Asisten Pribadi Presiden (Aspri).
Salah satu kiprah penting Ali adalah keterlibatannya dalam penyelesaian integrasi Irian Barat melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969. Opsus yang dipimpinnya mengawal proses politik dan diplomasi sehingga wilayah tersebut sah bergabung dengan Indonesia. Keberhasilan ini semakin memperkuat posisi Ali di mata Soeharto.
Ali juga dikenal sebagai arsitek di balik penyederhanaan partai politik pasca Pemilu 1971. Melalui strategi politik yang dijalankannya, partai-partai politik dipaksa melebur menjadi dua kekuatan utama – Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Sementara itu, Golongan Karya (Golkar) dikonsolidasikan sebagai kendaraan politik utama Orde Baru.
Kemampuan Ali mengendalikan organisasi kemasyarakatan dan partai politik membuatnya dijuluki sebagai “otak politik” Orde Baru. Walau banyak bergerak di balik layar, pengaruhnya tampak jelas dalam pembentukan struktur politik Indonesia pada masa itu.
Pemikiran Pembangunan dan CSIS
Selain aktif di bidang politik dan intelijen, Ali Moertopo juga dikenal sebagai pemikir pembangunan. Ia membuat gagasan yang dikenal dengan “Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun,” sebuah konsep yang mendorong modernisasi nasional dalam jangka panjang. Gagasan ini mendapat perhatian serius dan kemudian diterima dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) oleh MPR.
Untuk menopang gagasan pembangunan tersebut, Ali mendirikan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 1971. Lembaga ini menjadi pusat kajian dan pemikiran memberikan masukan strategis bagi pemerintah Orde Baru. CSIS juga menjadi wadah bagi kalangan intelektual muda, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk merumuskan ide-ide pembangunan, diplomasi, serta strategi politik.
Meskipun CSIS tidak jarang menimbulkan kontroversi, terutama karena dianggap terlalu dekat dengan lingkaran kekuasaan dan menjadi “think tank” pribadi Ali Moertopo, lembaga ini tetap diakui kontribusinya dalam mengembangkan kajian strategis dan kebijakan publik di Indonesia.
Melalui kombinasi antara pemikiran pembangunan dan jaringan intelijen yang kuat, Ali Moertopo menempatkan dirinya sebagai sosok yang bukan hanya pelaku politik praktis, tetapi juga perancang strategi jangka panjang bagi Orde Baru.
Jabatan di BAKIN dan Menteri Penerangan
Selain memimpin Opsus, Ali Moertopo juga dipercaya menduduki posisi strategis di dunia intelijen. Pada tahun 1969, ia diangkat sebagai Wakil Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN). Dari posisinya ini, Ali memiliki pengaruh besar dalam mengarahkan kebijakan intelijen nasional, sekaligus memperluas peran Opsus sebagai instrumen politik Orde Baru. Dengan gaya kepemimpinan yang tegas, ia mampu memadukan operasi intelijen dengan strategi politik yang sejalan dengan kepentingan Presiden Soeharto.
Pada Kabinet Pembangunan III (1978–1983), Ali Moertopo dipercaya menjabat sebagai Menteri Penerangan. Jabatan ini memberinya kewenangan besar dalam mengatur arus informasi dan komunikasi publik. Dalam perannya, ia menekankan pentingnya media massa untuk mendukung program pembangunan dan stabilitas politik yang dicanangkan pemerintah.
Namun, sebagai Menteri Penerangan juga tidak lepas dari kontroversi. Kebijakan informasi pada masa itu kerap dikritik sebagai alat kontrol pemerintah terhadap media dan kebebasan pers. Meski begitu, peran Ali dalam mengkonsolidasikan strategi komunikasi politik pemerintah membuat posisinya semakin penting dalam struktur kekuasaan Orde Baru.
Pandangan Tokoh
Ali Moertopo dikenal sebagai perwira cerdas, visioner, namun juga penuh kontroversi. Jenderal Soemitro pernah menggambarkannya sebagai orang yang memiliki daya analisis tajam, meski kerap bergerak dengan caranya sendiri. Sementara itu, sejarawan intelijen seperti Ken Conboy menilai Ali sebagai arsitek intelijen modern Indonesia, yang mampu memadukan operasi militer dengan strategi politik.
Dari kalangan sipil, Akbar Tanjung menilai Ali sebagai sosok yang berani mengambil keputusan, meskipun terkadang langkahnya menimbulkan perdebatan. Banyak lawan politiknya menaruh hormat sekaligus waspada terhadap kiprahnya, karena reputasi Ali sebagai “dalang” di balik banyak keputusan penting Orde Baru.
Akhir Hayat
Perjalanan panjang Ali Moertopo berakhir pada 15 Mei 1984, ketika ia wafat di Jakarta. Kepergiannya menutup kisah seorang tokoh yang sejak awal kemerdekaan hingga masa jayanya Orde Baru terus berada di lingkaran kekuasaan.
Warisan Ali Moertopo juga terlihat dalam lembaga-lembaga yang pernah ia bangun. Opsus, meski kemudian dibubarkan, telah meninggalkan tradisi intelijen politik yang kuat di Indonesia. Sementara CSIS tetap berdiri sebagai salah satu pusat kajian strategis yang berpengaruh hingga sekarang. Gagasan “Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” juga menandai perannya dalam merumuskan arah pembangunan jangka panjang Indonesia.
Bagi banyak kalangan, sosok Ali Moertopo tetap dikenang sebagai “orang dekat Soeharto” yang mengatur strategi politik Orde Baru. Ia juga dianggap sebagai arsitek intelijen yang menempatkan operasi rahasia sebagai salah satu penopang utama stabilitas pemerintahan. Warisan pemikiran dan lembaga yang ditinggalkannya, seperti Opsus dan CSIS, menjadi bukti bahwa Ali bukan hanya pelaku politik praktis, tetapi juga perancang strategi jangka panjang.
Sumber:
- Sudibyo, Ignatius Bayu. PERISTIWA 15 JANUARI 1974 DI JAKARTA DIPANDANG DARI BERBAGAI KOMPONEN MASYARAKAT (MILITER, MAHASISWA, DAN PEMERINTAH). Skripsi, Prodi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Tahun 2008.
- “Ali Moertopo Asisten Kepala Staf CADUAD(Cadangan Umum Angkatan Darat)” tirto.id (Diakses pada 20 September 2025)
- “Sejarah Karier Ali Moertopo, Raja Intel Zaman Soeharto” tirto.id (Diakses pada 20 September 2025)
- “Sejarah Berbicara, Letnan Jenderal TNI Ali Moertopo” tigapilarnews.com (Diakses pada 20 September 2025)






