Pada era perjuangan kemerdekaan dan perkembangan politik Indonesia, ada satu nama muncul dengan penuh makna dan peran penting: Chaerul Saleh. Dikenal sebagai pejuang dan tokoh politik ulung, Biografi Chaerul Saleh mencakup perjalanan panjang dalam mengabdi bagi bangsa dan negaranya.
Lahir pada tanggal tertentu di masa lalu, Chaerul Saleh telah menorehkan jejak bersejarah yang mencakup berbagai jabatan prestisius, termasuk wakil perdana menteri, menteri, serta ketua MPRS selama rentang waktu yang signifikan, yaitu dari tahun 1957 hingga 1966.
Salah satu kontribusinya yang menggema hingga kini adalah pengusulannya terkait konsep negara kepulauan dengan batas teritorial 12 mil laut, sebuah ide yang kemudian diresmikan pada tanggal 13 Desember 1957. Sebagai penghargaan atas dedikasi dan jasanya yang tak terhingga, Chaerul Saleh juga dianugerahi gelar kehormatan yang amat tinggi, yakni Jenderal TNI.
Sebelum kita melangkah lebih jauh ke dalam perjalanan hidup Biografi Chaerul Saleh, adalah penting untuk memahami warisan bersejarah yang ia bawa serta bagaimana peranannya telah membentuk landasan penting dalam perkembangan Indonesia. Dengan peran yang merentang dari masa perjuangan hingga masa pemerintahan, Chaerul Saleh bukan hanya sekadar figur politik biasa.
Artikel ini akan menggali lebih dalam tentang biografi, perjuangan, dan pencapaian Chaerul Saleh yang telah mengukir namanya dalam lembaran sejarah bangsa.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Riwayat Pendidikan Chaerul Saleh
Chaerul Saleh dilahirkan pada 13 September 1916 di Sawahlunto, Sumatra Barat, sebagai satu-satunya anak dari pasangan Achmad Saleh, seorang dokter yang pernah diusulkan sebagai anggota Volksraad, dan Zubaidah binti Ahmad Marzuki.
Ketika usianya dua tahun, orang tua Chaerul bercerai, dan ibunya membawanya ke Lubuk Jantan, Lintau, Tanah Datar, karena kondisi kesehatan sang ibu. Pada masa itu, pamannya yang bernama Sulaeman Raja Mudo mengasuh Chaerul hingga berusia empat tahun. Setelah itu, Chaerul dipindahkan oleh ayahnya ke Medan, di mana ia menerima pendidikan di sekolah rakyat.
Setelah ayahnya dipindahkan ke Bukittinggi, Chaerul melanjutkan pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) di sana dan berhasil lulus pada tahun 1931. Berlanjut ke masa sekolah menengah, Chaerul memasuki Hoogere Burgerschool (HBS) Bagian B di Medan di bawah pengasuhan Swiss.
Selama masa sekolahnya di Medan, ia sering pulang ke Bukittinggi dan itulah tempat ia bertemu dengan Yohana Siti Menara Saidah, calon istrinya yang merupakan putri dari Lanjumin Dt. Tumangguang. Karena Yohana, Chaerul memutuskan untuk pindah ke Batavia.
Di Batavia, Chaerul melanjutkan pendidikannya di Koning Willem III School. Di sini, ia aktif sebagai ketua dalam organisasi Oesaha Kita, yang terdiri dari anggota Indonesia. Pendidikan berlanjut saat Chaerul masuk Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) dari tahun 1937 hingga 1942. Dengan latar belakang pendidikan dan perjalanan hidup yang unik ini, Chaerul Saleh siap untuk mengukir jejaknya dalam sejarah politik Indonesia.
Ketika masih menjadi seorang mahasiswa, Chaerul Saleh menunjukkan kekagumannya terhadap Mohammad Yamin. Bahkan, ia pernah mengajak temannya, Zainal Sabaruddin Nasution, untuk mengunjungi Jalan Pejambon, tempat Gedung Kementerian Luar Negeri berdiri sekarang, demi mendengarkan pidato dari Yamin ketika sidang Volksraad berlangsung.
Seiring waktu, Chaerul juga mendapat undangan untuk berkunjung ke rumah Yamin bersama rekan-rekannya, seperti Sabaruddin, Suyono Siegfried, Achmad Astrawinata, dan Soepeno di Pecenongan, Sawah Besar. Pada pertemuan tersebut, mereka berdiskusi tentang diskriminasi terhadap pribumi, kemerdekaan, dan isu-isu politik penting.
Sayangnya, peristiwa ini mengakibatkan surat dari Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) yang menyarankan agar para mahasiswa tidak terlibat dalam aktivitas politik, melainkan fokus pada kegiatan akademik mereka.
Selama masa kuliah di RHS, Chaerul aktif dalam Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia dan dalam waktu singkat, ia berhasil menjadi sekretaris organisasi tersebut. Pada tahun 1939, Chaerul terpilih sebagai ketua, dan di bawah kepemimpinannya, organisasi ini mengalami perubahan yang signifikan.
Ia mengadakan Studenten Kamp, mendirikan Club Huis sebagai tempat pertemuan, dan mengawasi penerbitan surat kabar Indonesia Raya sebagai media resmi PPPI. Di dalam Indonesia Raya, Chaerul menerbitkan artikel yang membahas masalah kurangnya kohesi antarpartai politik, yang mengakibatkan ketidakmampuan mereka untuk menjalankan peran sebagai partai politik.
Selama waktu ini, Chaerul dan anggota PPPI lainnya menolak Petisi Soetardjo yang mengusulkan pemerintahan otonom untuk Indonesia, tetapi masih dalam kerangka Kerajaan Belanda. Chaerul dan PPPI lebih menginginkan kemerdekaan penuh bagi Indonesia.
Pada tahun 1940, Chaerul menjadi perwakilan PPPI dalam pertemuan Gabungan Politik Indonesia (GAPI), yang mengusulkan sistem parlementer di Indonesia dengan pemerintah yang bertanggung jawab kepada parlemen yang anggotanya berasal dari Indonesia.
Di pertemuan ini, Chaerul dan delegasi PPPI mengajukan mosi yang menyatakan bahwa jika usulan Indonesia Berparlemen ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda, maka anggota partai politik dalam GAPI akan mundur dari jabatan sebagai pegawai Hindia Belanda. Meskipun mosi tersebut ditolak, PPPI tetap menjadi bagian dari Kongres Rakyat Indonesia.
Ketika Bataviase Studenten Corps ingin menyatakan kesetiaan terhadap Pemerintah Hindia Belanda selama Perang Dunia II, Chaerul bersama rekan-rekannya di PPPI menolak ajakan tersebut, mengingat tujuan utama mereka adalah meraih kemerdekaan bagi Indonesia.
Pada tahun 1940, Chaerul juga memimpin PPPI dalam menyewa Club Huis di Jalan Laan Kadiman No. 9, yang sekarang dikenal sebagai Jalan Gunung Sahari. Dengan langkah-langkah dan pandangan yang teguh, Chaerul Saleh terus berjuang untuk visi kemerdekaan dan perubahan politik yang lebih baik bagi Indonesia.
Perjuangan Chaerul Saleh
Salah satu tokoh kunci dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah Chaerul Saleh. Dari awal pergantian kekuasaan antara Belanda dan Jepang hingga momen penting menuju proklamasi kemerdekaan, perannya terus menonjol.
Sebagai Ketua terakhir PPPI (Partai Persatuan Pembangunan Indonesia), Chaerul Saleh bersama beberapa tokoh lainnya telah mengambil langkah-langkah signifikan dalam menyambut kedatangan tentara Jepang dan mengungkapkan rasa syukur atas kekalahan Belanda pada 13 Maret 1942.
Masa Penjajahan Jepang
Pada awal pergantian kekuasaan antara Belanda dan Jepang, pimpinan PPPI berencana untuk menyambut tentara Jepang di Jakarta dan sekaligus menyatakan rasa syukur atas kekalahan Belanda oleh Jepang, yang mengakhiri kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda.
Rencana ini dipertimbangkan pada 13 Maret 1942, dalam rapat anggota luar biasa di Club Huis yang telah pindah ke Gang Kernolong No. 11, Kramat sejak awal tahun.
Meskipun rencana ini mendapat penolakan dalam rapat oleh Rusmali, Soedarisman Poerwokoesoemo, dan Abu Hanifah karena mereka percaya bahwa Jepang dan Belanda memiliki pendekatan politik yang serupa, Chaerul, Soepeno, dan Astrawinata tetap melaksanakan rencana tersebut.
Pada 15 Maret 1942, mereka bersama 200 orang lainnya berangkat menuju Hotel Des Galerih, membawa bendera merah putih, untuk menyambut kedatangan tentara Jepang melalui Simpang Harmoni.
Namun, dugaan dari Rusmali, Poerwokoesoemo, dan Hanifah terbukti benar. Pada tanggal 21 Maret 1942, Jepang mengeluarkan keputusan untuk membubarkan semua organisasi yang bergerak di bidang politik. Keputusan ini menyebabkan pembubaran PPPI di bawah kepemimpinan Chaerul sebagai ketua terakhir.
Meskipun upaya penyambutan dan pernyataan syukur terhadap pergantian kekuasaan tidak berhasil berjalan sebagaimana direncanakan, langkah-langkah politik Chaerul Saleh dan perannya dalam PPPI tetap menjadi bagian penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Angkatan Baroe
Namun, pergerakan Chaerul Saleh tidak berhenti begitu saja setelah pembubaran PPPI. Ia kemudian menjadi anggota Jawatan Propaganda Jepang yang dikenal dengan nama Sendenbu. Dalam kapasitas ini, Chaerul menjabat sebagai penasihat (sanyo) untuk Barisan Pelopor di bawah kepemimpinan Soekarno.
Selama periode ini, Chaerul juga berperan penting dalam memimpin kursus yang dikenal sebagai Angkatan Baru Indonesia, bersama dengan Soekarni. Kursus ini akhirnya menjadi embrio dari Asrama Angkatan Baroe Indonesia atau yang lebih dikenal dengan nama Asrama Menteng 31.
Asrama ini berlokasi di Jalan Menteng No. 31, Kebon Sirih, Menteng, Jakarta Pusat, yang dahulu merupakan Hotel Schomper milik L.C. Schomper, namun kemudian diambil alih oleh pemerintah Jepang setelah kekalahan Hindia Belanda.
Asrama ini awalnya didirikan oleh Hitoshi Shimizu dengan dukungan dari Sendenbu, dengan tujuan utama awalnya adalah mendidik pemuda-pemuda Indonesia dalam hal pengetahuan politik, dalam rangka memajukan kepentingan Jepang.
Namun, Chaerul dan rekannya mengambil kesempatan ini untuk memberikan pendidikan tentang semangat nasionalisme kepada anggota asrama.
Meskipun awalnya direncanakan untuk kepentingan Jepang, Asrama Menteng 31 dengan cepat berubah menjadi pusat pendidikan nasionalisme. Dalam asrama ini, Chaerul Saleh dan rekan-rekannya memberikan pendidikan kepada sekitar 50-60 pemuda dalam setiap kelompoknya.
Berbagai tokoh ternama seperti Soekarno, Mohammad Hatta, Sunario Sastrowardoyo, Mohammad Yamin, dan Amir Sjarifuddin memberikan materi pembelajaran. Di samping itu, beberapa tokoh Jepang juga memberikan materi, seperti Bakki yang mengajar geopolitik, Makatani yang mengajarkan Bahasa Jepang, dan Shimizu yang memberikan pengetahuan umum.
Namun, pada pertengahan tahun 1943, Asrama Menteng 31 dibubarkan oleh pihak Jepang karena dianggap terlalu mendorong semangat nasionalisme yang dapat mengancam kestabilan pemerintahan Jepang.
Meskipun demikian, peran Chaerul Saleh dan asrama ini memberikan kontribusi yang signifikan dalam membangkitkan semangat nasionalisme dan kesadaran politik di kalangan pemuda Indonesia.
Angkatan Pemuda
Pada pertengahan tahun 1944, Pemerintah Jepang mendirikan organisasi pemuda yang dikenal sebagai Angkatan Pemuda, dengan kedua tokoh, Soekarni dan Chaerul, sebagai bagian darinya. Dalam kerangka Angkatan Pemuda ini, Chaerul dan rekan-rekannya mengadakan kongres Pemuda yang berlangsung dari 16 Mei 1945 hingga 18 Mei 1945 di Villa Isola.
Kongres ini diinisiasi oleh Djamal Ali, Hamid, dan M. Tahir, dengan tujuan untuk membahas penurunan kekuatan militer Jepang di Asia Pasifik. Lebih dari 100 pemuda dari berbagai wilayah di Pulau Jawa berpartisipasi dalam kongres ini.
Konferensi ini menjadi yang pertama kali menyanyikan lagu Indonesia Raya tanpa menyertakan lagu kebangsaan Jepang, Kimigayo, serta mengibarkan bendera merah putih tanpa Hinomaru (bendera Jepang) secara bersamaan. Setelah tiga hari konferensi, dua resolusi penting dihasilkan:
- Persatuan dan konsolidasi semua golongan muda Indonesia di bawah satu pimpinan nasional.
- Pempercepat pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia.
Namun, karena campur tangan Jepang masih kuat dalam usaha mencapai kemerdekaan, Chaerul, Soekarni, dan Harsono menolak hasil konferensi ini. Mereka merencanakan konferensi lanjutan yang diselenggarakan di gedung Jawa Hokokai di Jalan Gambir Selatan No.6, Jakarta.
Konferensi ini dihadiri oleh 49 orang, dan dari jumlah tersebut terpilihlah Panitia Sementara Angkatan Baru yang terdiri dari 10 anggota, termasuk Chaerul, untuk merumuskan langkah selanjutnya.
Pada tanggal 8 Juni 1945, Panitia Sementara ini bertemu dengan Soekarno dan membahas perlunya pengambilan keputusan yang cepat mengenai nasib Indonesia, karena gerakan menuju kemerdekaan dirasa berjalan lambat di bawah campur tangan Jepang.
Pada tanggal 15 Juni 1945, didirikanlah gerakan yang dikenal sebagai Angkatan Baroe Indonesia. Tujuan gerakan ini diumumkan melalui surat kabar Asia Raja edisi pertengahan Juni 1945:
- Mencapai persatuan kompak di antara semua golongan masyarakat Indonesia.
- Menanamkan semangat revolusioner pada massa berdasarkan kesadaran mereka sebagai rakyat yang berdaulat.
- Membentuk negara kesatuan Republik Indonesia.
- Bersatu dengan Jepang untuk mencapai tujuan tersebut, tetapi juga bersedia “mencapai kemerdekaan dengan kekuatan sendiri” jika diperlukan.
Dalam sidang Chuo Sangi In ke-VII, muncul usulan untuk pembentukan organisasi yang melibatkan pemuda, disebut Gerakan Rakyat Baroe, yang dijadwalkan akan dibentuk pada bulan Juli 1945.
Pada tanggal 2 Juli 1945, Gerakan Rakyat Baroe resmi terbentuk dan melibatkan anggota seperti Chaerul, Soekarni, Diah, Hadi, Harsono, Wikana, Sudiro, Supeno, Adam Malik, S.K. Trimurti, Sutomo, dan Pandu Kartawiguna. Gerakan ini terdiri dari 80 orang dengan berbagai latar belakang, termasuk Indonesia, Jepang, Tionghoa, Arab, dan peranakan Eropa.
Pada tanggal 16 Juli, dalam sidang Gerakan Rakyat Baroe yang membahas bentuk kenegaraan, Chaerul Saleh dan para pemuda lainnya menolak usulan golongan tua, seperti Soekarno, Hatta, Soebardjo, Yamin, dan Abikusno, untuk tidak mencantumkan kata “Republik Indonesia” dalam Anggaran Dasar.
Sebagai bentuk protes, para pemuda secara bersamaan meninggalkan ruangan setelah menyampaikan alasan penolakan mereka, yang dimulai oleh Adam Malik. Chaerul juga menyatakan aspirasinya dengan kata-kata, “Pemuda-pemuda menghendaki Negara Republik Kesatuan dan ingin merdeka sekarang juga! Siapa yang menghalangi perjuangan kami, adalah penghalang dan pengkhianat!”
Namun, konflik ini dihentikan ketika pihak Jepang memberi saran kepada Soekarno secara diam-diam. Soekarno kemudian mengumumkan bahwa berdasarkan perintah dari Tokyo, pembahasan tentang bentuk kenegaraan tidak dapat dilanjutkan dalam sidang tersebut.
Akibatnya, para pemuda, termasuk Chaerul, meninggalkan ruangan sebagai bentuk protes. Pada tanggal 28 Juli 1945, Gerakan Rakyat Baroe secara resmi didirikan dengan menggabungkan Partai Masyumi dan Jawa Hokokai. Namun, para pemuda tidak menempati posisi yang telah disiapkan sebagai tanda penolakan.
Chaerul Saleh juga terlibat dalam berbagai organisasi seperti panitia Seinendan dan Angkatan Muda Indonesia. Namun, ia berubah arah menjadi anti-Jepang dan turut mendirikan Barisan Banteng, serta menjadi anggota Putera di bawah pimpinan Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro, dan Kyai Haji Mas Mansyur.
Sebelum Kemerdekaan
Sebelum proklamasi kemerdekaan, rumah Chaerul di Jalan Pegangsaan Barat menjadi tempat pertemuan para pemuda untuk berdiskusi mengenai perjuangan kemerdekaan. Mereka menyamarkannya sebagai tempat latihan silat untuk menghindari kecurigaan Jepang.
Dua pelatih silat pun diundang untuk memperkuat penyamaran ini. Pada tanggal 12 Juli 1945, Chaerul terpilih sebagai ketua Comite Van Actie pada 12 Juli 1945. Sebagai ketua, ia sering merencanakan strategi untuk merebut kuasa dari tangan Jepang.
Pada tanggal 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada sekutu dan mengumumkan kapitulasi. Pada pagi hari tanggal tersebut, kelompok pemuda mengadakan rapat di Taman Ismail Marzuki yang saat itu adalah kebun binatang. Dalam rapat ini, mereka mengambil beberapa keputusan penting:
- Pemuda bersedia berjuang sampai titik darah penghabisan.
- Semua unsur masyarakat harus bersatu sepenuhnya.
- Pemuda siap menjalani latihan intensif untuk membela tanah air.
Kemudian, pada tanggal 15 Agustus 1945, sebuah rapat digelar di Lembaga Bakteriologi di Pegangsaan Timur, Jakarta, yang kini menjadi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Pada rapat ini, Chaerul memimpin dan mengambil beberapa keputusan:
- Mendesak Soekarno–Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
- Menunjuk beberapa anggota untuk menghadap Soekarno–Hatta dan menyampaikan keputusan rapat.
- Meminta pemuda di seluruh Jakarta untuk bersiap merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Pada rapat tersebut, Chaerul bersama beberapa tokoh lainnya seperti Djohar Nur, Kusnandar, Subadio, dan lainnya, membahas strategi penting. Namun, usaha mereka untuk mendorong Soekarno–Hatta agar langsung memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal tersebut ditolak oleh Soekarno.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Chaerul Saleh terlibat dalam beberapa peristiwa penting dalam sejarah Indonesia. Bersama Soekarni dan tokoh lain dari Menteng 31, ia terlibat dalam Peristiwa Rengasdengklok, di mana mereka menculik Soekarno dan Hatta untuk memaksa mereka membacakan proklamasi.
Pada tahun 1946, Chaerul bergabung dengan Persatuan Perjuangan pimpinan Tan Malaka, yang menuntut kemerdekaan penuh dan menjadi oposisi pemerintah.
Setelah peristiwa tersebut, Chaerul tetap terlibat dalam perjuangan. Ia menjadi bagian dari Partai Murba bersama Adam Malik dan Soekarni. Chaerul memimpin Laskar Rakyat di Jawa Barat pada tahun 1950 untuk menentang keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dia, bagaimanapun, ditangkap dan kemudian dikirim ke Jerman. Di sana, ia melanjutkan studinya di Universitas Bonn dan mendirikan Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI). Setelah kematian Tan Malaka, Chaerul tetap aktif dalam perjuangan dan menjadi anggota Partai Murba, serta memimpin Gerakan Rakyat Revolusioner setelah pendirian oleh Tan Malaka.
Di Pemerintahan
Pada bulan Desember 1956, setelah pulang dari Jerman, Chaerul ditunjuk oleh pemerintah menjadi Wakil Ketua Umum Legiun Veteran RI. Tahun berikutnya, ia bergabung dalam Kabinet Djuanda sebagai Menteri Negara Urusan Veteran.
Chaerul dikenal sebagai tokoh sosialis berbakat, dan karena kemampuannya ini, ia sering diandalkan oleh Presiden Soekarno sebagai penyeimbang terhadap tokoh-tokoh PKI di dalam kabinet.
Pada tahun 1959, Chaerul diangkat sebagai Menteri Muda Perindustrian Dasar dan Pertambangan dalam Kabinet Kerja I. Perannya dalam kabinet terus berlanjut pada Kabinet Kerja II dan Kabinet Kerja III, di mana ia menjabat sebagai Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan. Ia juga menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dari tahun 1960 hingga 1966.
Sebagai salah satu kepercayaan Soekarno Chaerul memiliki keberanian untuk menantang lawan-lawan politiknya. Pada tanggal 3 April 1961, ia melakukan perjalanan di Sumatra Barat dan memberikan pidato di depan publik. Dalam pidatonya, ia menentang pemimpin Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia seperti Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara yang ia anggap menyetujui hasil Konferensi Meja Bundar.
Pada tahun 1963, karier Chaerul semakin meningkat ketika ia diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri III. Pada bulan April 1964, ia terlibat dalam intrik politik ketika mencoba merebut posisi Wakil Perdana Menteri I yang saat itu dipegang oleh Soebandrio. Ia berharap bahwa jika Soekarno turun, ia akan menjadi Perdana Menteri.
Namun, upayanya ini gagal dan ia akhirnya ditahan oleh Soeharto pada tanggal 18 Maret 1966, tanpa melalui proses peradilan. Tindakan ini diambil karena ia dianggap mendukung kebijakan pro-komunis yang dianut oleh Soekarno. Chaerul Saleh meninggal pada tanggal 8 Februari 1967 dalam status sebagai tahanan politik. Hingga saat ini, belum ada penjelasan resmi dari pemerintah mengenai alasan penahanannya.
Bio Data Chaerul Saleh
Nama Lengkap | Jenderal TNI (HOR) (Purn.) Chaerul Saleh gelar Datuk Paduko Rajo |
Nama Kecil | Chairul Saleh |
Nama Lain | – |
Tempat, Lahir | Sawahlunto, Sumatra Barat, 13 September 1916 |
Tempat, Wafat | Jakarta, 8 Februari 1967 |
Makam | Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta |
Agama | Islam |
Suku | Minangkabau |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Politik, Pejuang |
Pangkat Militer | Jenderal Kehormatan TNI AD |
Keluarga | |
Ayah | Achmad Saleh |
Ibu | Zubaidah binti Ahmad Marzuki |
Isteri | Yohana Siti Menara Saidah |
Anak | – |
Riwayat Pendidikan Chaerul Saleh
Pendidikan (Tahun) | Tempat |
---|---|
Sekolah Rakyat | Sekolah Rakyat Medan |
Europeesche Lagere School (ELS) (1931) | Europeesche Lagere School (ELS) Bukittinggi |
Hoogere Burgerschool (HBS) Bagian B (1931 – 1934) | Hoogere Burgerschool (HBS) Bagian B di Medan |
Koning Willem III School te Batavia (1934 – 1937) | Koning Willem III School te Batavia |
Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) (1937 – 1942) | Rechtshoogeschool te Batavia (RHS) Batavia |
Karir Chaerul Saleh
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Persatuan Pemuda Pelajar Indonesia | Ketua (1940 – 1942) |
Seinendan | Panitia |
Barisan Banteng | Anggota |
PUTERA dan Barisan Pelopor yang dipimpin oleh Ir. Soekarno | Anggota |
Gerakan Angkatan Baru dan Pemuda | Wakil Ketua (Juni 1921) |
Comite Van Actie | Ketua (12 Juli 1945) |
Menteri Negara Urusan Veteran Indonesia | Menteri Negara Urusan Veteran Indonesia Ke-3 (9 April 1957 – 6 Juli 1959) |
Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Indonesia | Menteri Perindustrian Dasar dan Pertambangan Indonesia (10 Juli 1959 – 27 Agustus 1964) |
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Indonesia | Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Indonesia Ke-1 (1960 – 1966) |
Wakil Perdana Menteri III Kabinet kerja IV dan Kabinet Dwikora | Wakil Perdana Menteri III Kabinet kerja IV dan Kabinet Dwikora (13 November 1963 – 1966) |
Partai Republik Indonesia | Pendiri (Juni 1927) |
Persatuan Perjuangan (Front Perjuangan, atau Aksi Bersatu) | – (Januari 1946) |
Partai MURBA | Pendiri (7 November 1948) |
Penghargaan Chaerul Saleh
Tahun | Penghargaan |
---|---|
23 Maret 1963 | Pahlawan Nasional Indonesia |
– | Jenderal Kehormatan TNI AD |
– | Doktor Honoris Causa dalam Ilmu Kemasyarakatan dari Universitas Hasanuddin |
Penghargaan Bintang Chaerul Saleh
Penghargaan | Gambar |
---|---|
Bintang Mahaputera Utama | |
Bintang Gerilya | |
Satyalencana Peristiwa Aksi Militer II | |
Satyalancana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan | |
Satyalancana Satya Dharma |