Want to Partnership with me? Book A Call

Popular Posts

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Categories

Edit Template

Wilopo: Perdana Menteri hingga Peristiwa 17 Oktober

Wilopo, figur bersejarah dalam politik Indonesia, aktif dalam pergerakan kemerdekaan. Sebagai Perdana Menteri (1952-1953), ia berperan kunci dalam masa demokrasi parlementer. Untuk lebih memahami perjalanan hidupnya, akan diulas latar belakang kehidupan dan pendidikan Wilopo.

Kehidupan Awal dan Pendidikan Wilopo

Setelah menyelesaikan pendidikan HIS di Purworejo, Wilopo kemudian melanjutkan ke MULO di kota Magelang dengan dukungan dari seorang paman, Dokter Soekadi, yang merupakan adik kandung ayahnya. 

Pada tahun 1927, Wilopo melanjutkan pendidikan di Algemene Middelbare School (AMS) B di Yogyakarta dengan beasiswa dari Pemerintah Hindia Belanda. 

Meskipun dia menerima tawaran untuk bergabung dengan Pemuda Indonesia saat menjadi anggota Jong Java, Wilopo memilih untuk tidak aktif karena ancaman dari direktur sekolah dan takut beasiswanya dicabut oleh pemerintah kolonial.

Setelah berhasil menyelesaikan AMS B, Wilopo sempat meneruskan studinya di Technische Hoogeschool (TH Bandung) pada tahun 1931, tetapi tidak dapat menyelesaikannya karena kesibukannya mengajar di Taman Siswa di kota Sukabumi. 

Akhirnya, Wilopo pindah ke Rechtshogeschool (RHS) te Batavia untuk mengejar jurusan hukum pada tahun 1933. Di Jakarta, sambil mendalami ilmu hukum di kampus, ia aktif dalam kegiatan politik, terlibat dalam beberapa partai, dan organisasi pemuda di Jakarta. 

Wilopo juga mengajar di beberapa sekolah dan menjadi penulis untuk beberapa surat kabar Belanda. Kesibukannya yang melimpah menyebabkan dia kurang memiliki waktu untuk mempelajari buku-buku hukum, sehingga studi yang seharusnya berlangsung selama lima tahun tidak dapat diselesaikan dalam waktu yang ditentukan. 

Untungnya, pada tahun 1939, situasi darurat terjadi dengan invasi Jepang ke Hindia Belanda, sehingga Dekan RHS memutuskan bahwa semua mahasiswa yang telah mencapai D-II dianggap sebagai sarjana.

Mengenal Politik

Sambil menempuh pendidikan, Wilopo terus mengembangkan diri dan pemikirannya dengan berpartisipasi aktif dalam berbagai organisasi pemuda. Awalnya, ia bergabung dengan Jong Java, kemudian terlibat dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), Organisasi Kaum Mahasiswa Indonesia, Studentet Islam Studieclub (SIS), dan Unites Studiosorum Indonesiensis (USI). 

Selain berkegiatan organisasi, Wilopo juga menjadi pengajar di Taman Dewasa Suka Bumi dan menunjukkan keterlibatannya dengan menulis untuk surat kabar berbahasa Belanda. Kesukaannya dalam mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan oleh Partai Indonesia (Partindo) menjadi cikal bakal minatnya dalam dunia politik.

Pada akhir tahun 1937, Wilopo mulai terlibat aktif dalam organisasi politik. Di Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), Wilopo menjabat sebagai Wakil Ketua II sambil merangkap sebagai Ketua Departemen Perburuhan. 

Selama masa pendudukan Jepang, Wilopo bekerja di salah satu kantor Jepang, yaitu Gunseikanbu Somubu Indonesia Bunsitsu, bertanggung jawab atas urusan sosial dan perburuhan.

Menjadi Menteri Perburuhan 

Pada tanggal 3 Juli 1947, Amir Sjarifudin dilantik kembali sebagai Perdana Menteri, memimpin Kabinet Perdamaian, dan Wilopo ditunjuk sebagai pendaping SK Trimurti Sebagai Menteri Perburuhan. 

Sebagai Menteri Muda Perburuhan, Wilopo berhasil merumuskan Undang-Undang Perburuhan dan Undang-Undang Kecelakaan untuk mengatasi kelemahan hukum dalam memberikan bantuan kepada buruh dan korban sejak pecahnya perang.

Setelah agresi Belanda kedua pada 19 Desember 1948, Wilopo, yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Perburuhan-Sosial, tidak mengetahui nasib Soekarno dan pemimpin lainnya. Setelah mengetahui dari media massa bahwa mereka ditangkap, Wilopo memilih untuk menetap di Jakarta. 

Saat tentara Belanda melakukan pembersihan, Wilopo ditangkap dan menghabiskan dua minggu di penjara sebelum dipindahkan ke penjara Wirogunan, Mergangsan. Di sana, bersama sesama tahanan politik, Wilopo menyatakan penolakan terhadap partisipasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), menganggap hasil perundingan akan menguntungkan Belanda.

Setelah perundingan Roem Royen, tahanan politik dibebaskan, dan Wilopo kembali aktif dalam jabatannya. Dalam sidang kabinet Republik Indonesia (RI), diputuskan untuk mengirim dua pengawas perundingan, termasuk Mr. Wilopo dari PNI. 

Pada bulan Oktober 1949, Wilopo pergi ke Jakarta hanya dengan membawa koper tua yang kuncinya tidak berfungsi lagi, karena selama dipenjara, barang-barangnya sudah dijual oleh keluarganya. 

Hasil dari KMB mengubah RI menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS), sebuah negara federasi di bawah kepemimpinan Belanda, dengan Wilopo tetap sebagai Menteri Perburuhan. 

Namun, bentuk federasi bagi Indonesia dianggap kurang tepat, sehingga gagalnya KMB ditandai dengan kembalinya bentuk pemerintahan Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Menjadi Menteri Perekonomian

Sukiman, yang berasal dari partai yang sama dengan Natsir, memimpin kabinet yang juga menampung PNI. Dalam kabinet ini, Wilopo secara aktif terlibat dalam pemerintahan setelah menggantikan Mr. Sudjono yang mengundurkan diri dari jabatan Menteri Perekonomian karena sakit.

Kabinet Sukiman diresmikan pada 26 April 1951, dan Wilopo, sebagai Menteri Perekonomian, dihadapkan pada masalah inflasi yang disebabkan oleh kenaikan harga beras. 

Dalam menanggapi permasalahan ini, Wilopo melakukan pertemuan dengan wakil-wakil organisasi pedagang dan pemilik penggilingan. 

Meskipun mereka menyatakan bahwa harga beras mungkin terus naik, Wilopo mencari solusi lain. Dengan dukungan Jendral Kementrian Perekonomian, Mohammad Sediono, diumumkan bahwa tiap persediaan beras lebih dari dua bal tidak boleh dipindahkan tanpa izin, dan penggilingan beras ditempatkan di bawah pengawasan pemerintah. 

Selain itu, direncanakan impor beras selama dua tahun mendatang mencapai 700.000 ton. Kebijakan-kebijakan ini berhasil menurunkan harga beras dari Rp 3,50 menjadi Rp 2,50 per liter dalam waktu singkat.

Kabinet Sukiman memiliki umur yang sedikit lebih panjang dibandingkan dengan kabinet sebelumnya, karena adanya kesepahaman antara dua partai besar, Masyumi dan PNI. Namun, kendati terjadi berbagai masalah, kabinet ini akhirnya jatuh. 

Kabinet Wilopo

Kabinet Sukiman mengalami kejatuhan pada 23 Februari 1952, dan sebagai respons, Presiden Soekarno menunjuk Wilopo dari PNI sebagai formatur untuk membentuk kabinet baru pada 19 Maret 1952, seperti yang resmi disahkan dalam Keputusan Presiden No. 71 tahun 1952. 

Sebelum menunjuk Wilopo, Presiden berkonsultasi dengan Mr. Tambunan, Ketua Parlemen, yang menyatakan dukungan Parlemen terhadap keputusan tersebut. Pada 3 April 1952, Presiden secara resmi melantik Kabinet Wilopo, mengakhiri periode kekosongan pemerintahan yang berlangsung selama 40 hari.

Program kerja Kabinet Wilopo tidak jauh berbeda dengan dua kabinet sebelumnya. Wilopo melengkapi dan menyempurnakan beberapa aspek yang dianggap penting untuk dimasukkan dalam program kerjanya, mengingat kompleksitas masalah yang dihadapi oleh Indonesia yang baru merdeka saat itu tidak dapat diatasi dalam satu periode kabinet saja.

Dalam konteks organisasi negara, fokus pemerintahan adalah persiapan pemilu untuk membawa ketenangan politik dan stabilitas pemerintahan. 

Kabinet Wilopo mencetuskan Rancangan Undang-Undang Pemilu, yang setelah melalui debat panjang, disetujui pada 1 April 1953 dan disahkan pada 4 April 1953. UU ini mengatur pemilihan anggota konstituante diikuti anggota DPR, dan pemilu akhirnya dilaksanakan dua tahun kemudian pada 1955.

Program kerja juga menyoroti otonomi daerah, dimana meskipun Indonesia sudah memiliki UU No. 2 tahun 1948 tentang otonomi daerah, masalahnya tidak hanya sebatas peraturan. Perkembangan politik di daerah seperti tenaga ahli dan sumber keuangan menjadi perhatian. 

Kabinet Wilopo juga memberikan prioritas pada pembangunan di daerah luar Jawa dan memperhatikan proyek lokal, termasuk persiapan RUU tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan

Perekonomian

Salah satu fokus utama dalam program kerja Kabinet Wilopo adalah mengatasi masalah kemakmuran rakyat, terutama dalam konteks ketidakstabilan ekonomi dan politik yang berdampak signifikan pada masyarakat. Wilopo, selaku Perdana Menteri, aktif merumuskan kebijakan di berbagai sektor, termasuk ekonomi dan sosial, untuk meningkatkan kemakmuran rakyat. 

Beberapa keputusan penting yang diambil oleh Kabinet Wilopo melibatkan kenaikan gaji pegawai negeri sebesar 20% yang mulai berlaku pada 1 Mei. Meskipun dalam kondisi krisis, kenaikan gaji ini dilakukan, namun distribusi beras kepada pegawai dihentikan, dan hadiah lebaran tidak diberikan. 

Selain itu, pemerintah memonopoli peredaran beras melalui Badan Urusan Bahan Makanan (UBM), sekarang dikenal sebagai Badan Urusan Logistik (BULOG), karena penurunan hasil panen dan biaya impor yang tinggi.

Kabinet Wilopo juga menetapkan kebijakan untuk meningkatkan nilai ekspor Indonesia, termasuk penurunan pajak ekspor dan penghapusan sistem “sertifikat” yang sebelumnya diadakan untuk meningkatkan pendapatan negara dari barang ekspor bernilai tinggi. 

Peningkatan jumlah barang ekspor dicapai melalui pembangunan pabrik industri seperti Pabrik Semen di Gresik dan Pabrik Pemintalan di Cilacap. Sementara itu, kebijakan impor direvisi, dengan penerapan pajak lebih tinggi untuk barang non esensial dan persyaratan uang muka 40% bagi importir.

Meskipun kebijakan-kebijakan ini dianggap sukses dalam mengatasi krisis pangan dan ekonomi yang tidak pasti pada saat itu, Kabinet Wilopo menghadapi tantangan ekonomi baru ketika harga komoditi ekspor jatuh di pasar dunia selama perang Korea. 

Defisit anggaran mencapai Rp 4 miliar, memaksa pemerintah mengambil tindakan drastis dalam pengeluaran negara, termasuk menghentikan kenaikan pendapatan menteri dan pejabat tinggi.

Keamanan

Di bidang keamanan, Kabinet Wilopo mengejar sinergi antara pemerintah dan militer untuk menyelesaikan masalah keamanan. Namun, demonstrasi oleh pihak militer pada Peristiwa 17 Oktober 1952 menyebabkan ketidakstabilan dan akhirnya mengakibatkan jatuhnya kabinet. 

Meskipun begitu, pemerintah mengambil langkah tegas, termasuk penghapusan “Staat van Oorlog en Beleg” (SOB), suatu peraturan keadaan darurat perang dari masa Hindia Belanda. Penghapusan SOB dilakukan secara bertahap untuk memastikan persiapan yang panjang, dan pemerintah berencana membuat UU baru mengenai keadaan darurat perang sebagai pengganti SOB.

Tugas berat lainnya bagi Wilopo dan pemerintahannya termasuk menangani masalah angkatan perang yang masih heterogen. Pemerintah berusaha menggabungkan kesatuan angkatan perang yang beragam menjadi satu kesatuan homogen, yang sesuai dengan kebutuhan negara yang modern. 

Meskipun ada tekanan untuk mengurangi anggaran pertahanan karena alasan ekonomi, gangguan keamanan seperti Pemberontakan Andi Aziz dan munculnya Republik Maluku Selatan membuat demobilisasi dan peremajaan Angkatan Perang menjadi sulit dilakukan.

Perburuhan

Program Kabinet Wilopo di sektor perburuhan difokuskan pada penyempurnaan Undang-Undang Perburuhan dengan tujuan meningkatkan kedudukan buruh untuk menjamin kelancaran proses Produksi Nasional. Kesejahteraan buruh dianggap dapat memengaruhi produktivitas mereka, yang pada gilirannya akan berkontribusi pada peningkatan produksi nasional dan perbaikan kondisi ekonomi rakyat. 

Pendekatan politik upah pemerintah tidak hanya memperhatikan kebutuhan buruh, tetapi juga aspek-aspek lapangan seperti jaminan sosial, perumahan, perlindungan terhadap kecelakaan dan penyakit, serta program pensiun. Semua kebijakan ini harus seimbang dengan kondisi ekonomi nasional untuk mencegah terjadinya inflasi.

Ketika menghadapi masalah seringnya mogok kerja oleh buruh, pemerintah menggunakan UU Darurat No. 16 Tahun 1951 untuk menggantikan Peraturan Pelarangan Mogok yang sebelumnya diterapkan oleh militer. 

Meskipun demikian, di era Kabinet Wilopo, insiden mogok kerja tidak terjadi sebanyak sebelumnya karena pemerintahan Wilopo telah menjalin hubungan baik dengan buruh sejak awal. 

Beberapa serikat buruh, seperti yang beroperasi di lingkungan Pekerjaan Umum di Jawa Tengah dan Persatuan Buruh Minyak (PERBUM) yang terdiri dari 30.000 orang, membantu pemerintahan dengan menghentikan mogok kerja.

Kabinet Wilopo juga menerapkan kebijakan pemindahan tenaga kerja dari Jawa ke wilayah perkebunan di luar pulau Jawa, dijamin dengan Instruksi Menteri Perburuhan 8 Januari 1951 No. 90/51. Pemerintah berkomitmen untuk menyediakan semua kebutuhan buruh, termasuk aspek keselamatan dan penghidupan mereka yang dipindahkan.

Pendidikan

Dalam sektor pendidikan, Kabinet Wilopo memberikan perhatian serius terhadap peningkatan kualitas dan kesejahteraan para pengajar. Upaya dilakukan untuk menyamakan kedudukan guru sekolah daerah dengan pegawai negeri di tingkatan yang sama. 

Pemberian kesempatan kepada guru partikelir untuk mengikuti program “visitorship,” “fellowship,” dan “scholarship” di luar negeri juga diterapkan. Legalisasi sekolah-sekolah partikelir melalui pasal 13 UU No. 4 Tahun 1950 dan penetapan jaminan pemerintah terhadap hak-hak sekolah partikelir dalam pasal 14 juga menjadi langkah signifikan dalam mendukung pendidikan. 

Kendati demikian, UU terkait pendidikan masih menggunakan UUD Sementara tahun 1950, yang mengakibatkan bantuan dana kepada institusi pendidikan, baik milik negara maupun swasta, masih terbatas.

Selain itu, Kabinet Wilopo berusaha mengatasi masalah buta huruf yang tinggi di Indonesia melalui program Pemberantasan Buta Huruf (PBH), yang dilaksanakan hingga tingkat desa. 

Program ini tidak hanya fokus pada literasi, tetapi juga memberikan pengetahuan umum lainnya. Standar Perguruan Tinggi juga diperhatikan dengan memperkenalkan pedoman bahwa proses perkuliahan akan dilaksanakan dalam bahasa Indonesia, sementara dosen asing akan menggunakan bahasa Inggris mulai dari tahun ajaran baru.

Luar Negeri

Isu program kerja luar negeri menjadi sensitif selama masa pemerintahan Kabinet Wilopo. Sebelumnya, kejatuhan Kabinet Soekiman dimulai ketika Menteri Luar Negeri, Achmad Soebardjo, melakukan pertemuan rahasia dengan Duta Besar AS untuk Indonesia Merle Cochran untuk membahas Mutual Security Act (MSA), program bantuan AS untuk negara-negara miskin dan penanggulangan penyebaran komunisme. 

Pertemuan ini dianggap melanggar asas politik bebas aktif Indonesia dan berkontribusi pada penarikan Indonesia dari Blok Barat. Perselisihan ini semakin diperparah oleh karakter rahasia perundingan antara Soebardjo dan Cochran, yang akhirnya menyebabkan pengunduran diri Soebardjo dari jabatan menteri luar negeri.

Pemerintahan Wilopo berusaha melakukan perubahan terhadap program MSA, namun negosiasi berjalan sulit. Indonesia ingin memastikan bantuan tersebut sesuai dengan asas politik bebas aktifnya, sementara AS ingin mempertahankan kesepakatan sebelumnya dengan Soebardjo

Akhirnya, Bantuan MSA diubah menjadi bantuan teknis dan ekonomis melalui Technical Cooperation Administration (TCA), karena tidak bersifat militer. Keputusan Kongres AS untuk memberikan bantuan melalui TCA, bukan MSA, disebabkan oleh sifat nonmiliter TCA dan dana internasional yang digunakan. 

Program TCA, pada dasarnya, tidak bertentangan dengan asas politik bebas aktif Indonesia, dan bantuan tersebut juga diberikan kepada bangsa-bangsa Asia lainnya.

Pembebasan Irian Barat juga menjadi tantangan bagi pemerintahan Wilopo, yang terus memperjuangkan agar wilayah tersebut masuk ke dalam wilayah Republik Indonesia. Dalam upaya mencapai tujuan tersebut, Kabinet Wilopo mengadopsi pendekatan perundingan, tetapi sayangnya, tidak ada kemajuan yang signifikan dalam penyelesaian kasus ini.

Akhir Kabinet Wilopo

Jatuhnya Kabinet Wilopo terjadi setelah satu tahun dua bulan pemerintahan. Permasalahan sosial ekonomi dan tekanan dari pihak oposisi memaksa Wilopo untuk mengundurkan diri dari jabatannya. Peristiwa utama yang menyebabkan jatuhnya kabinet adalah Peristiwa 17 Oktober 1952. 

Kebijakan Wilopo yang bertujuan untuk menyederhanakan struktur Angkatan Perang dan melakukan mutasi para panglima dianggap sebagai campur tangan terhadap militer. Kolonel Bambang Supeno menyampaikan protes dan tuntutan melalui surat kepada Wilopo, Menteri Pertahanan Hamengkubuwono IX, dan anggota parlemen, khususnya menuntut penggantian A.H. Nasution dari jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). 

Demonstrasi bermula dari inisiasi anggota parlemen Manai Sophiaan yang membentuk mosi untuk membentuk panitia gabungan yang terdiri dari anggota parlemen dan wakil pemerintah guna menyelesaikan konflik di tubuh Angkatan Perang.

Protes berlanjut dan pada 17 Oktober 1952, massa bergerak menuju gedung DPR dan Istana Merdeka. Demonstrasi ini menuntut pembubaran parlemen yang dianggap tidak representatif, penyelenggaraan pemilihan umum segera, dan melakukan pembersihan di kementerian-kementerian. 

Meski dihadapkan pada ribuan massa di halaman Istana Merdeka, Presiden Soekarno menyatakan ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan massa, menegaskan bahwa dirinya tidak menjadi pemimpin otoriter.

Pasca-peristiwa tersebut, sejumlah reaksi muncul yang pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan kabinet untuk bertahan lebih lama. 

A.H. Nasution digantikan oleh Bambang Sugeng sebagai KSAD, dan beberapa pejabat di Kementerian Pertahanan mengundurkan diri. Perpecahan di dalam parlemen antara PNI dan Masyumi dengan PSI juga menjadi faktor yang menyebabkan Wilopo harus melepaskan jabatannya.

Share Article:

arsipmanusia.com

Writer & Blogger

Considered an invitation do introduced sufficient understood instrument it. Of decisively friendship in as collecting at. No affixed be husband ye females brother garrets proceed. Least child who seven happy yet balls young. Discovery sweetness principle discourse shameless bed one excellent. Sentiments of surrounded friendship dispatched connection is he. Me or produce besides hastily up as pleased. 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baru Terbit

  • All Post
  • Biografi
  • Lembaga
  • Penghargaan
  • Peristiwa
    •   Back
    • Pemimpin
    • Agama
    • Seniman
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Pencipta Lagu
    • Musisi
    • Penyanyi
    • Komedian
    • Aktor
    •   Back
    • Bintang
    • Satyalancana
    • Lencana Internasional
    •   Back
    • Islam
    • Kristen
    • Katolik
    • Budha
    •   Back
    • Kabinet
    •   Back
    • Perang
    • Pemberontakan
    • Konflik
    •   Back
    • Pahlawan
    • Politik
    • Militer

Jenderal AH Nasution

Jenderal Abdul Haris Nasution, lahir pada 3 Desember 1918, adalah sosok kunci dalam sejarah Indonesia yang memberikan kontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan dan pembangunan negara.

Join the family!

Sign up for a Newsletter.

You have been successfully Subscribed! Ops! Something went wrong, please try again.
Edit Template

About

Arsip Manusia

Arsip Manusia, blog biografi tokoh terkenal, dibuat Maret 2023. Kami membagikan cerita inspiratif dan menerima kontribusi tulisan dari penulis luar setelah seleksi ketat. Konten bebas politik, kebencian, dan rasisme; saat ini tanpa bayaran.

Team

Asset 2
Scroll to Top