Jenderal Gatot Soebroto, seorang pejuang militer Indonesia yang berperan penting dalam perjuangan merebut kemerdekaan, juga diakui sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
lahir pada 10 Oktober 1907 di Sumpiuh, Banyumas, Jawa Tengah, dan wafat di Jakarta pada 11 Juni 1962. Tempat peristirahatannya berada di Ungaran, Semarang. Untuk informasi lebih rinci mengenai biografi dan profil lengkap Jenderal Gatot Soebroto, silakan baca ulasan di bawah ini.
Table of Contents
ToggleMasa Kecil dan Pendidikan Gatot Subroto
Sejak kecil, Gatot Soebroto sudah menunjukkan sifat-sifat kepemimpinan. Keberaniannya, ketegasannya, rasa tanggung jawab, serta sikap yang tidak mentoleransi perilaku sewenang-wenang telah tampak sejak dulu.
Ketika bersekolah di Europeesche Lagere School (ELS), ia diusir karena terlibat dalam perkelahian dengan seorang anak Belanda. Namun, ia melanjutkan pendidikannya di Holands Inlandse School (HIS) hingga menyelesaikan studi formalnya di sana.
Setelah lulus, ia memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan formalnya dan beralih menjadi pegawai. Namun, merasa tidak puas dengan pekerjaannya, ia keluar dan pada tahun 1923, memilih untuk masuk ke sekolah militer di Magelang.
Karir Militer Sebelum Kemerdekaan
Pada tahun 1928, Pemerintah Hindia Belanda membuka kesempatan bagi anak-anak Indonesia berijazah sekolah rendah untuk mengikuti pendidikan militer. Gatot memanfaatkan peluang tersebut dengan mendaftar dan diterima sebagai siswa di Cader School di Magelang ketika usianya telah mencapai 21 tahun.
Selama tiga tahun, ia mengenyam pendidikan militer di sana dengan berhasil. Setelah menyelesaikan pendidikan, dengan pangkat Sersan Kelas II KNJL (Koninklijk Nederlands lndische Leger), ia ditempatkan di Padang Panjang, Sumatera Barat.
Lima tahun berikutnya, ia bertugas di sana sebelum dipindahkan ke Sukabumi, Jawa Barat, untuk mengikuti pendidikan marsose, di mana atasan melihatnya cocok untuk tugas lapangan yang khusus.
Gatot menyelesaikan pendidikan di Sukabumi tanpa hambatan. Kemudian, ia ditempatkan di Bekasi dan Cikarang, dua daerah yang dianggap rawan pada masa itu. Di sini, sikapnya yang tegas, bijaksana, dan berwibawa semakin terlihat.
Ia tidak pandang bulu dalam menjalankan tugasnya, namun juga memiliki sisi humor seperti kebanyakan orang Banyumas. Ketika menghadapi situasi kritis, ia mampu mengambil keputusan cepat yang pada awalnya mungkin terlihat tanpa perhitungan, tetapi ternyata keputusan tersebut tepat.
Tindakan pemerasan oleh para pengganggu di Bekasi-Cikarang menyebabkan kekhawatiran di kalangan masyarakat. Gatot, sebagai Sersan Marsose, berusaha menangani gangguan keamanan tersebut. Meskipun menerapkan hukum yang berlaku tanpa pandang bulu, ia merasa tertekan saat harus menangkap rakyat kecil yang mencuri demi kelangsungan hidup. Namun, ia juga sadar bahwa gangguan keamanan itu muncul karena tekanan penjajahan yang dialami oleh rakyat.
Meskipun anggota KNIL dilarang untuk bergaul dengan rakyat, Gatot tidak sepenuhnya patuh terhadap larangan tersebut. Sebaliknya, ia sering melanggar aturan ini dalam usahanya membantu meringankan penderitaan rakyat. Ia bahkan sering memberikan sebagian gajinya kepada keluarga yang terkena hukuman agar mereka bisa bertahan hidup dengan berjualan kecil-kecilan. Tindakannya ini sering kali membuatnya mendapat teguran dari atasan.
Ketika Perang Dunia II meletus, Gatot bertugas di Ambon dan terlibat dalam pertempuran melawan pasukan Jepang. Namun, setelah Ambon jatuh ke tangan Jepang, Gatot melarikan diri ke Makassar. Di sana, ia sempat mengunjungi makam Pangeran Diponegoro.
Gatot kembali ke kota kelahirannya di Banyumas dan menjalani kehidupan sebagai warga sipil. Namun, tidak lama setelah itu, pemerintah pendudukan Jepang mengetahui bakat dan kemampuannya, sehingga ia diminta untuk memimpin sebuah detasemen polisi.
Gatot menerima tawaran tersebut dan mulai berdinas dalam pemerintahan pendudukan Jepang. Tak lama kemudian, ia dikirim ke Bogor untuk dilatih menjadi komandan kompi Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah menyelesaikan pelatihan, ia diangkat sebagai Komandan Kompi di Banyumas.
Suatu hari, dalam sebuah latihan penjagaan pantai di pantai Selatan, Sumpyuh, Gatot memerintahkan berhenti karena melihat anak buahnya yang sangat letih. Meskipun perintahnya tidak diindahkan, ia tetap bertindak tegas. Hal ini membuat suasana tegang, namun setelah para pelatih meminta maaf atas kesalahan mereka, peristiwa tersebut selesai.
Sebagai seorang prajurit profesional yang telah berpengalaman selama belasan tahun, Gatot memiliki pemahaman yang mendalam tentang kehidupan militer.
Meskipun pengetahuan teoritisnya tentang ilmu kemiliteran mungkin terbatas karena statusnya sebagai bintara, pengalamannya dalam tugas praktis dan mentalitas prajurit sudah menjadi bagian dari dirinya sehari-hari. Kemampuannya ini membuatnya naik pangkat menjadi komandan batalyon (daidanco), dengan tanggung jawab yang semakin besar, yang dapat ia jalankan dengan baik.
Perjuangan Perang Kemerdekaan
Ketika kemerdekaan Indonesia diumumkan, Gatot berada di Banyumas. Pada hari-hari berikutnya, pemuda-pemuda terlibat dalam upaya merebut senjata dari pasukan Jepang dengan tujuan mempertahankan Republik Indonesia dari ancaman musuh.
Di Banyumas, Gatot berhasil mengambil kendali kepolisian dan kemudian diangkat sebagai Kepala Kepolisian untuk seluruh Karesidenan Banyumas. Selain itu, ia aktif bersama pimpinan BKR untuk bernegosiasi dengan pihak Jepang guna pengalihan kekuasaan.
Hasilnya, Jepang menyerahkan persenjataan mereka sehingga BKR Banyumas memiliki persediaan senjata yang cukup besar. Bahkan, sebagian dari senjata tersebut dikirimkan untuk membantu BKR Jawa Barat.
Setelah Divisi V Purwokerto terbentuk di bawah Kolonel Soedirman, Gatot diangkat sebagai Kepala Siasat. Ia ikut serta dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu di Ambarawa yang bertahan di benteng Willem I.
Pertempuran ini menjadi ujian pertama bagi Gatot sebagai anggota pucuk pimpinan, meskipun bukan pengalaman tempur pertamanya dalam karier militer.
Dalam pertempuran di Ambarawa, musuh memiliki persenjataan yang lebih kuat dan pengalaman tempur selama Perang Dunia II. Meskipun kalah dalam hal persenjataan, pasukan Indonesia memiliki semangat tempur yang tinggi dengan tekad “lebih baik mati daripada dijajah lagi”.
Bagi banyak dari mereka, pertempuran Ambarawa adalah pengalaman tempur pertama. Gatot Subroto selalu mengingatkan mereka untuk “mempertahankan nama baik, jangan sampai dianggap sebagai pengkhianat bangsa”.
Pak Gatot kemudian ditunjuk sebagai komandan sektor front Ambarawa. Pertempuran ini dimulai ketika pasukan Sekutu mundur dari Magelang pada tanggal 21 November 1945, dan berakhir pada tanggal 15 Desember 1945. Pada saat yang sama, Pak Dirman, Panglima Divisi V Purwokerto, diangkat sebagai Panglima Besar TKR.
Kedudukan Panglima Divisi V Purwokerto yang sebelumnya dipegang oleh Kolonel Sutirto, digantikan oleh Gatot dengan pangkat Kolonel. Sebagai komandan divisi, ia aktif melakukan inspeksi, sering mengunjungi berbagai tempat mengendarai kuda bersama beberapa perwira muda.
Sebagai pemimpin, Gatot selalu mudah didekati dan mendekati bawahannya. Keterbukaannya terlihat dalam hubungannya dengan tentara pelajar. Bagi mereka, ia menyediakan tempat latihan dan mengumpulkan instruktur bekas prajurit KNIL yang berpengalaman.
Sikap kebapakan ini sangat dihargai oleh pasukan pelajar Banyumas. Ketika menghadapi Agresi Militer I Belanda, Markas Divisi dijaga oleh satu peleton tentara pelajar. Meskipun pesawat pengintai Belanda sering terlihat di atas kota Purwokerto, suatu malam Gatot Subroto menunggang kuda tanpa baju, hanya mengenakan sepatu boot.
Di depan pos penjagaan, ia bertanya kepada pasukan jaga dengan tegas, “Apakah anak-anak takut?” Mereka menjawab, “Takut, Pak.” Sambil menganggukkan kepala, Gatot berkata, “Baik! Orang yang mengatakan tidak takut berbohong. Pak Gatot juga takut.”
Pada tahun 1948, Gatot menikah dengan Soepiah, seorang gadis yang bekerja di bidang kesehatan. Mereka memiliki enam anak, dua perempuan dan empat laki-laki.
Ketika pemberontakan PKI di Madiun hampir pecah, Gatot Subroto diangkat sebagai Panglima Corps Polisi Militer. Saat itu, situasi dalam negeri semakin kacau karena upaya yang dilakukan oleh pihak Komunis untuk mempersiapkan pemberontakan. Kota Solo bahkan dianggap sebagai daerah liar oleh PKI. Bentrokan senjata terjadi antara pasukan Siliwangi dengan pasukan Panembahan Senopati yang telah terpengaruh oleh PKI. Konflik ini jelas merugikan perjuangan. Untuk menangani situasi tersebut, Panglima Besar dan kepala staf Markas Besar Angkatan Perang bersama Panglima Corps Polisi Militer mengadakan rapat di MBAP (Markas Besar Angkatan Perang). Ketiganya sepakat mengusulkan kepada Pemerintah untuk menunjuk Kolonel Gatot Subroto sebagai Gubernur Militer untuk wilayah Surakarta, Madiun, dan Pati. Usulan tersebut diterima. Sebagai Gubernur Militer, tugas utamanya adalah mengembalikan keamanan di wilayah Surakarta dan melakukan penertiban pasukan yang terlibat. Gatot berhasil melaksanakan tugas ini dengan baik.
Setelah situasi di Surakarta terkendali, pada tanggal 18 September 1948, PKI melakukan pemberontakan di Madiun. Pemerintah segera bertindak untuk menekan pemberontakan tersebut. Gubernur Militer Gatot Subroto mempersiapkan pasukan untuk operasi penumpasan dari arah barat. Dalam waktu singkat, pemberontakan PKI di Madiun berhasil ditumpas.
Tiga bulan setelahnya, pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militer kedua. Sebagai Gubernur Militer, Gatot Subroto segera merencanakan strategi untuk melaksanakan perang gerilya.
Hubungan antara Gatot dan Jenderal Soedirman sangat baik. Soedirman menganggap Gatot sebagai kakak, meskipun pangkat Gatot lebih rendah. Setelah ditandatanganinya Perjanjian Roem-Royen, Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta. Namun, Soedirman tetap berada di daerah gerilya memimpin anak buahnya dan enggan kembali ke Yogya. Hanya surat pribadi Gatot Subroto yang berhasil melemahkan pendirian Panglima Besar
Setelah Pengakuan Kedaulatan, Kolonel Gatot Subroto diangkat menjadi Panglima Teritorium Jawa Tengah yang bermarkas di Semarang. Meskipun Perang Kemerdekaan telah usai, sebagai Panglima Jawa Tengah, Gatot terus mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan yang terganggu oleh DI/TII.
Pada tahun 1952, Gatot Subroto diangkat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium VII Wirabuana, dengan markas di Ujungpandang. Tugas utamanya adalah menyelesaikan gangguan keamanan yang berasal dari gerombolan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Ia merancang suatu kebijakan yang memiliki pendekatan berganda. Selain melakukan operasi tempur, ia juga mengadakan kampanye untuk mengembalikan kesadaran pada mereka. Caranya adalah dengan menarik mereka kembali ke dalam TNI secara bertahap.
Gatot berpendapat bahwa mereka adalah mantan pejuang kemerdekaan yang dipengaruhi oleh pemimpin mereka. Akibat kebijakan Pak Gatot ini, banyak gerombolan yang menyadari kesalahannya. Mereka kemudian direkrut kembali sebagai anggota TNI atau dibantu untuk memasuki pekerjaan yang mereka pilih.
Tentu saja, tidak semua pihak setuju dengan pendekatan ini. Dua anggota DPR, Bebasa Daeng Lalo dan Rondonuwu, sangat mengecam kebijakan tersebut. Mereka menyampaikan laporan ke DPR bahwa Kolonel Gatot Subroto melanggar kebijakan Pemerintah Pusat.
Setelah peristiwa 17 Oktober 1952 di Jakarta, pada tanggal 18 November 1952, Panglima T & T VII dipecat oleh Kepala Stafnya, Letnan Kolonel Warrouw. Kekuasaannya dicabut karena dianggap secara terang-terangan mendukung pernyataan pimpinan Angkatan Darat.
Sebagai “orang tua,” Gatot memilih untuk mundur daripada terlibat dalam politik yang tidak pasti. Sejak saat itu, ia menetap di Semarang sebagai warga sipil sambil membangun rumah di Ungaran.
Dinas Kembali dan Menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat
Pada tahun 1955, dia pindah ke rumah baru yang baru selesai dibangun, yang direncanakan sebagai tempat tinggal tetapnya di hari tuanya.
Namun, setahun kemudian, pemerintah memanggilnya kembali dan menunjuknya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Darat untuk mengurus Urusan dalam Angkatan Darat, sementara Urusan pimpinan umum dipegang oleh KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat) Kolonel A.H. Nasution.
Keterlibatannya dalam dunia pendidikan sangat besar. Akademi Militer Nasional (kini Akabri) sebagai tempat pembentukan calon pemimpin, sangat mendapat perhatiannya. Meskipun tidak pernah mengikuti pendidikan militer formal, dia sangat memahami pentingnya hal tersebut.
Dia sangat peduli terhadap perwira-perwira muda yang berbakat. Di antara mereka, Ahmad Yani adalah salah satu yang dekat dengannya. Dia melihat potensi kepemimpinan yang kuat pada perwira muda ini dan membimbingnya.
Selama menjabat sebagai Wakil KSAD, dia melakukan kunjungan ke berbagai negara seperti Amerika Serikat, Uni Sovyet, Yugoslavia, Mesir, RRC, dan beberapa negara di Asia. Kunjungan ini dilakukan untuk mendapatkan pembandingan yang berguna dalam mengembangkan Angkatan Darat.
Di mana pun dia pergi, perhatian selalu tertuju pada kepribadiannya yang khas. Seorang perwira Amerika Serikat bahkan membandingkannya dengan Jenderal Patton, seorang Jenderal Amerika Serikat yang terkenal pada Perang Dunia II karena menjalankan tugasnya dengan pendekatan praktis namun mampu menginspirasi bawahannya dengan semangat yang hampir fanatik.
Wafat
Ketika masa tugasnya sebagai wakil KSAD akan berakhir, pemerintah berencana untuk menawarkannya posisi sebagai Penasehat Militer Presiden. Namun, rencana manusia sering kali tak sejalan dengan kehendak Tuhan. Pada 11 Juni 1962, Letnan Jenderal Gatot Subroto meninggal dunia akibat serangan penyakit jantung.
Sesuai dengan keinginannya, tempat peristirahatan terakhirnya adalah di Ungaran. Dengan merujuk pada jasanya, pemerintah meningkatkan pangkatnya menjadi Jenderal Anumerta yang dihormati dengan tujuh belas bintang jasa. Penghormatan tertinggi diberikan oleh Pemerintah dengan memberinya gelar Pahlawan Nasional pada 18 Juni 1962.
Bio Data Gatot Subroto
Nama Lengkap | Jenderal TNI Gatot Soebroto |
Nama Kecil | Gatot Subroto |
Nama Lain | – |
Tempat, Lahir | Banyumas, Hindia Belanda, 10 Oktober 1907 |
Tempat, Wafat | Jakarta, Indonesia, 11 Juni 1962 (umur 54) |
Makam | Ungaran, kabupaten Semarang. |
Agama | Budha |
Suku | Jawa |
Bangsa | Indonesia |
Pekerjaan | Tentara |
Pangkat Terakhir | Jenderal TNI AD |
Keluarga | |
Ayah | Sayid Yudoyuwono |
Ibu | |
Isteri (Pernikahan) | Soepiah |
Anak | Bambang Utomo Gatot Soebroto Nanang Bambang Sardjono Kuncoro Bambang Sidik Nining Indriastati Nunung Indriastuti Bambang Cahyo |
Riwayat Pendidikan Gatot Subroto
Pendidikan | Tempat |
---|---|
Europeesche Lagere School (ELS) | Europeesche Lagere School |
Holands Inlandse School (HIS) | Holands Inlandse School |
Sekolah Militer, 1923 | Sekolah Militer, Magelang |
Pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) | Pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (Peta) |
Karir Raden Gatot Subroto
Organisasi/Lembaga | Jabatan (Tahun) |
---|---|
Staff Angkatan Darat | Wakil Kepala (1953) |
Tentara & Teritorium (T & T) IV Diponegoro Semarang | Panglima |
Daerah Surakarta dan sekitarnya | Gubernur Militer (1945 – 1950) |
Corps. Polisi Militer | Panglima (1945 – 1950) |
Divisi II | Panglima (1945 – 1950) |
Kompi, Sumpyuh, Banyumas | Komandan |
Penghargaan Gatot Subroto
Tahun | Penghargaan |
---|---|
18 Juni 1962 | Pahlawan Kemerdekaan Nasional |
Penghargaan Bintang Gatot Subroto
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Mahaputera Utama (14 Agustus 1962) | |
Bintang Gerilya | |
Bintang Sakti | |
Bintang Dharma | |
Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | |
Satyalancana Kesetiaan 16 Tahun | |
Satyalancana Kesetiaan 8 Tahun | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan I | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan II | |
Satyalancana G.O.M I | |
Satyalancana G.O.M II | |
Satyalancana G.O.M III | |
Satyalancana G.O.M IV | |
Satyalancana G.O.M VI | |
Satyalancana Sapta Marga | |
First Rank of the Order of Military Merits with Great Star – Yugoslavia | |
Commander of the Philippine Legion of Honor – Filipina |