Sri Sultan Hamengkubuwana IX adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Lahir dengan nama Gusti Raden Mas Dorodjatun, beliau kemudian menjadi Sultan Kesultanan Yogyakarta dan ikut berjuang dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX tidak hanya dikenal sebagai Sultan Yogyakarta, tetapi juga sebagai seorang nasionalis sejati. Pada masa pergerakan nasional, beliau memberikan dukungan logistik yang sangat dibutuhkan oleh para pejuang kemerdekaan.
Table of Contents
ToggleLatar Belakang Keluarga
Sri Sultan Hamengkubuwana IX dilahirkan pada tanggal 12 April 1912 di Yogyakarta. Beliau adalah putra dari Sri Sultan Hamengkubuwana VIII dan Raden Ajeng Kustilah, yang kemudian dikenal sebagai Kanjeng Ratu Alit.
Sebagai anak dari seorang Sultan, beliau tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan tradisi dan budaya Jawa, yang membentuk karakter dan pandangannya dalam memimpin.
Kasultanan Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang dan kaya, dimulai dari Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 yang membagi Kesultanan Mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kasultanan Yogyakarta, mendirikan Keraton Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan. Sejak saat itu, Keraton Yogyakarta menjadi simbol kekuasaan dan kebudayaan Jawa yang berpengaruh.
Dalam sejarahnya, Kasultanan Yogyakarta selalu ikut serta dalam berbagai peristiwa nasional, termasuk dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Hal ini menempatkan Sri Sultan Hamengkubuwana IX dalam garis keturunan pemimpin yang selalu berada di garda terdepan dalam mempertahankan martabat dan kedaulatan bangsa.
Masa Kecil dan Pendidikan
Masa Kecil
Sri Sultan Hamengkubuwana IX, lahir dengan nama Gusti Raden Mas (GRM) Dorodjatun pada tanggal 12 April 1912 di Yogyakarta. Ayahnya, Pangeran Purubaya, kemudian menjadi Sri Sultan Hamengkubuwana VIII, dan ibunya adalah R.A. Kustilah, yang setelah suaminya naik tahta, bergelar Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom.
Sejak usia dini, Dorodjatun dipisahkan dari keluarganya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih disiplin. Pada usia empat tahun, dia dititipkan kepada keluarga Belanda bernama Mulder yang tinggal di Gondokusuman.
Di keluarga ini, dia dipanggil “Henkie,” diambil dari nama Pangeran Hendrik, suami Ratu Wilhelmina dari Belanda . Kehidupan di lingkungan keluarga Mulder memberikan pengalaman awal yang berbeda, termasuk belajar berbicara dalam bahasa Belanda.
Pendidikan
Dorodjatun memulai pendidikan formalnya di Eerste Europese Lagere School, sebuah sekolah dasar Eropa di Yogyakarta. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar, ia melanjutkan ke Hogere Burger School (HBS) di Semarang dan kemudian di Bandung. Pendidikan di HBS memberikan dasar pengetahuan yang luas dan disiplin akademis yang ketat.
Setelah menyelesaikan pendidikan di Indonesia, Dorodjatun melanjutkan pendidikannya ke Belanda. Ia belajar di Gymnasium di Haarlem, sebuah sekolah menengah yang bergengsi, sebelum akhirnya melanjutkan ke Universitas Leiden. Di Universitas Leiden, ia mengambil studi ekonomi, yang memberikan dasar yang kuat untuk perannya di masa depan sebagai pemimpin dan administrator.
Karier Kiprah Pergerakan Nasional
Ia tidak sempat menyelesaikan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda, Sri Sultan Hamengkubuwana IX kembali ke Indonesia pada tahun 1939 atas panggilan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana VIII, yang khawatir dengan situasi politik di Eropa yang semakin memanas.
Beliau mulai terlibat dalam pemerintahan dan berbagai kegiatan sosial, yang menjadi landasan penting dalam pengabdian beliau kepada rakyat dan negara.
Selama masa pergerakan nasional antara tahun 1940-1949, Sri Sultan Hamengkubuwana IX mendukung upaya kemerdekaan Indonesia. Ketika Yogyakarta dijadikan ibu kota Republik Indonesia pada tahun 1946, beliau aktif mengambil kebijakan politik dan sosial-ekonomi yang krusial untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Sultan Hamengkubuwana IX menunjukkan kepemimpinan yang kuat dengan menyediakan tempat bagi pemerintah Indonesia yang baru terbentuk dan membantu dalam berbagai upaya logistik serta dukungan moral.
Pada masa Agresi Militer Belanda, Sultan Hamengkubuwana IX tetap membantu dan mendukung Indonesia meski mendapat tekanan dari pihak Belanda. Kebijakan dan langkah-langkah yang diambil oleh beliau selama periode ini sangat berpengaruh dalam menjaga semangat perjuangan dan keberlangsungan pemerintahan Indonesia di Yogyakarta.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX banyak membantu dalam proses kemerdekaan Indonesia. Salah satu kontribusinya yang paling besar adalah dukungan penuh kepada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dideklarasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai pemimpin Kasultanan Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana IX memberikan legitimasi lokal yang sangat diperlukan untuk pemerintahan baru Republik Indonesia. Pada tanggal 24 Agustus 1945, Sultan bersama dengan Paku Alam menyatakan bahwa Yogyakarta adalah bagian dari Republik Indonesia dan mendukung pembentukan Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID).
Kiprah dalam Pemerintahan
Setelah kemerdekaan, Sultan Hamengkubuwana IX dipercaya untuk memegang jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan Indonesia. Salah satu jabatan penting yang dipegangnya adalah sebagai Menteri Negara dalam Kabinet Hatta I pada tahun 1948.
Selain itu, ia juga menjabat sebagai Ketua Delegasi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, pada tahun 1949, yang menghasilkan pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda.
Sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwana IX tidak hanya fokus pada aspek politik, tetapi juga berkontribusi besar dalam bidang ekonomi dan sosial. Ia mendorong pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan sosial di Yogyakarta.
Kebijakan-kebijakan progresif yang diimplementasikannya menjadikan Yogyakarta sebagai contoh bagi daerah lain dalam hal pembangunan dan pemerintahan yang efektif.
Sultan Hamengkubuwana IX juga dikenal sebagai “Bapak Pramuka Indonesia” karena kontribusinya dalam mengembangkan gerakan kepanduan di Indonesia. Ia sangat mendukung pendidikan karakter melalui pramuka, yang hingga kini menjadi bagian integral dari sistem pendidikan di Indonesia.
Dedikasinya dalam bidang ini menunjukkan komitmennya terhadap pembangunan generasi muda yang tangguh dan berwawasan kebangsaan.
Pencapaian dan Penghargaan
Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki banyak pencapaian dalam hidupnya. Salah satu pencapaian utamanya adalah perannya dalam Gerakan Pramuka Indonesia. Sri Sultan Hamengkubuwana IX menjabat sebagai Ketua Kwartir Nasional Gerakan Pramuka selama 13 tahun, dari 1961 hingga 1974.
Dalam masa kepemimpinannya, beliau berhasil mengembangkan dan memajukan gerakan pramuka di Indonesia, sehingga memperoleh pengakuan internasional melalui penghargaan Bronze Wolf Award dari World Organization of Scout Movement (WOSM), penghargaan tertinggi dalam dunia kepanduan.
Pada tahun 1968, beliau diangkat menjadi Ketua Umum Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Semasa Kepemimpinannya di KONI, ia menjadikan dunia olahraga Indonesia lebih baik.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX menerima berbagai penghargaan, baik dari dalam maupun luar negeri. Salah satu penghargaan yang diterimanya adalah pengangkatan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia pada tanggal 8 Juni 2003 oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.
Penghargaan ini diberikan sebagai pengakuan atas kontribusi besar beliau dalam memperjuangkan kemerdekaan dan membangun bangsa Indonesia.
Di tingkat internasional, ia diberikan penghargaan Bronze Wolf Award dari World Orgranization of the Scout Movement (WOSM) pada tahun 1973, karena keberhasilannya dalam membangun gerakan kepanduan Pramukan di Indonesia.
Sri Sultan Hamengkubuwana IX juga aktif dalam berbagai konferensi internasional, termasuk menjadi Ketua Delegasi Indonesia di Konferensi Pacific Area Travel Association (PATA) di California, Amerika Serikat, pada tahun 1968.
Kehidupan Pribadi
Sri Sultan Hamengkubuwana IX memiliki kehidupan keluarga yang cukup kompleks. Ia menikah beberapa kali dan memiliki banyak anak. Istri pertamanya adalah RA. Kustilah, yang dinikahinya pada tahun 1938. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai lima anak, yaitu GBPH. Hadikusumo, GBP. Hardisuryo, GKR. Anom, Gusti Raden Ayu Murdokusumo, dan GBR. Ayu Darmokusumo.
Pernikahan keduanya adalah dengan RA. Kustinah pada tahun 1943, yang melahirkan beberapa anak lainnya. Sultan juga dikenal sebagai pribadi yang rendah hati dan sangat menghargai pendidikan serta kehidupan sederhana meskipun ia adalah seorang raja. Prinsip-prinsip ini ditanamkan dalam keluarganya, dimana ia memilih untuk mendidik anak-anaknya dengan cara yang disiplin dan tidak memanjakan mereka.
Akhir Hayat
Sri Sultan Hamengkubuwana IX wafat pada tanggal 2 Oktober 1988 di Washington, D.C., Amerika Serikat. Menjelang akhir hayatnya, Sultan tetap aktif dalam berbagai kegiatan kenegaraan dan pemerintahan, meskipun kesehatannya mulai menurun.
Ia sempat menjalani perawatan medis sebelum akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya kemudian dipulangkan ke Indonesia dan dimakamkan dengan penuh penghormatan di Makam Raja-Raja Imogiri, Yogyakarta.
Bio Data Hamengkubuwana
Nama Lengkap | Jenderal TNI (Tit.) (Purn.) H. Sri Sultan Hamengkubuwana IX |
Nama Takhta | Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengkubuwana Senapati-ing-Ngalaga ‘Abdurrahman Sayyidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sanga ing Ngayogyakarta Hadiningrat |
Nama Kecil | Gusti Raden Mas Dorodjatun |
Nama Lain | – |
Tempat, Lahir | Ngasem, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Keresidenan Yogyakarta, Hindia Belanda, 12 April 1912 |
Tempat, Wafat | Washington, D.C., Amerika Serikat, 2 Oktober 1988 (umur 76) |
Makam | Astana Saptorenggo, Imogiri, Yogyakarta |
Agama | Islam |
Bangsa | Mataram (Indonesia) |
Pekerjaan | Pejuang |
Dinas Militer | TNI Angkatan Darat |
Pangkat Militer | Jenderal TNI AD Tituler |
Ayah | Sultan Hamengkubuwana VIII |
Ibu | Kanjeng Raden Ayu Adipati Anom Hamengkunegara (Raden Ajeng Kustilah) |
Isteri/Pasangan | “BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940)” “RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943)” “KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948)” KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII Norma Musa/KRA Norma Nindya Kirana, putri Musa Alimad (1975) |
Anak Dari BRA Pintakapurnama/KRA Pintakapurnama, putri R.B. Suryokusumo, buyut HB VI (1940) | BRM Murtyanto/GBPH Hadikusumo/KGPH Hadikusumo (1947–1994) |
BRM Kasworo/GBPH Hadisuryo (l.1951) | |
BRA Gusti Sri Murhanjati/GKR Anom (w. 2006) | |
BRA Sri Murdiyatun/GBRAy Murdokusumo (1943–2020) | |
BRA Dra. Sri Murywati/GBRAy Dra. Darmokusumo (1945–2021) | |
Anak Dari RA Siti Kustina/BRA Windyaningrum/KRA Widyaningrum/RAy Adipati Anom, putri Raden Wedana Purwowinoto, buyut HB III (1943) | BRM Herjuno Darpito/KGPH Mangkubumi, SH/KGPAA Mangkubumi/Sri Sultan Hamengkubuwana X (l. 1946) |
BRM Ibnu Prastowo/KGPH Hadiwinoto (1948–2021) | |
BRM Sumihandono/GBPH Joyokusumo (1955–2013) | |
BRA Dr Sri Kuswarjanti/GBRAy Dr. Riyokusumo (l. 1944) | |
Anak Dari KRA Hastungkara/BRA Kusyadinah, putri Raden Panji Trusthajumena, buyut HB VII (1948) | BRM Harumanto/GBPH Prabukusumo, S.Psi (l. 1952) |
BRM Kuslardiyanto (1956–1978) | |
BRM Sulaksmana/GBPH Yudhaningrat, MM. (l. 1958) | |
BRM Abirama/GBPH Condrodiningrat (l. 1959) | |
BRA Kushandanari (1961–1965) | |
BRA Sri Kusulodewi/ GBRAy Padmokusumo (l. 1963) | |
Anak Dari KRA Ciptamurti, putri KPH/BRA Brongtodiningrat, cucu HB VII | BRM Anindita/GBPH Pakuningrat (l. 1957) |
BRM Prasasta/GBPH Cakraningrat (l. 1959) | |
BRM Arianta/GBPH Suryodiningrat (l. 1961) | |
BRM Sarsana/GBPH Suryomataram (l. 1963) | |
BRM Harkomoyo/GBPH Hadinegoro (l. 1965) | |
BRM Swatindra/GBPH Suryonegoro (l. 1968) |
Riwayat Pendidikan Hamengkubuwana
Jenjang Pendidikan | Nama Sekolah | Tahun |
---|---|---|
Neutrale Hollands Javaansche Jongens School | Neutrale Hollands Javaansche Jongens School, Yogyakarta | 1917 – 1921 |
Neutrale Europeesche Lagere School (NELS) | Neutrale Europeesche Lagere School (NELS), Yogyakarta | 1921 – 1925 |
Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang | Hoogere Burgerschool (HBS) Semarang | 1925 – 1929 |
Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) | Rechts Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum), Jakarta | 1930 – 1934 |
Rijkuniversiteit Leiden (Universitas Leiden) | Rijkuniversiteit Leiden (Universitas Leiden), Leiden, Belanda | 1934 – 1942 |
Karir Hamengkubuwana
Instansi/Tempat | Jabatan | Masa Jabatan |
---|---|---|
Keraton Yogyakarta | Sultan Yogyakarta | 18 Maret 1940 – 2 Oktober 1988 |
Kabinet Hatta I | Menteri Pertahanan Indonesia | 15 Juli 1948 – 4 Agustus 1949 |
Kabinet Hatta II | Menteri Pertahanan Indonesia | 9 Agustus 1949 – 20 Desember 1949 |
Kabinet Republik Indonesia Serikat | Menteri Pertahanan Indonesia | 20 Desember 1949 – 6 Juni 1950 |
DI Yogyakarta | Gubernur | 4 Maret 1950 – 2 Oktober 1988 |
Kabinet Natsir | Wakil Perdana Menteri | 6 September 1950 – 27 April 1951 |
Kabinet Wilopo | Menteri Pertahanan Indonesia | 3 April 1952 – 2 Juni 1953 |
Kwartir Nasional Gerakan Pramuka | Ketua | 14 Agustus 1961 – 27 November 1974 |
Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia | Ketua | 1964 – 1966 |
Kabinet Dwikora II | Wakil Perdana Menteri Bidang Ekonomi | 18 Maret 1966 – 27 Maret 1966 |
Kabinet Dwikora II | Menteri Pariwisata Indonesia | 24 Februari 1966 – 27 Maret 1966 |
Kabinet Dwikora III | Wakil Perdana Menteri Urusan Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan | 31 Maret 1966 – 25 Juli 1966 |
Kabinet Dwikora III | Menteri Pariwisata Indonesia | 31 Maret 1966 – 25 Juli 1966 |
Komite Olahraga Nasional Indonesia | Ketua | 1967 – 1986 |
Republik Indonesia | Wakil Presiden | 23 Maret 1973 – 23 Maret 1978 |
Penghargaan Hamengkubuwana
Penghargaan | Tahun | Keterangan |
---|---|---|
Gelar Pahlawan Nasional | 1973 | Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 53/TK/Tahun 1990 |
Bronze Wolf Award | 1973 | World Organization of the Scout Movement (WOSM) |
Penghargaan Bintang Hamengkubuwana
Penghargaan (tahun) | Gambar |
---|---|
Bintang Republik Indonesia Adipradana 20 Mei 1967) | |
Bintang Mahaputera Adipurna (20 Mei 1967) | |
Bintang Mahaputera Adipradana (15 Februari 1961) | |
Bintang Gerilya (1959) | |
Bintang Bhayangkara Pratama (30 Juni 1962) | |
Bintang Sewindu Angkatan Perang Republik Indonesia | |
Satyalancana Peringatan Kemerdekaan | |
Satyalancana Kesetiaan | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan I | |
Satyalancana Perang Kemerdekaan II | |
Seri Maharaja Mangku Negara (SMN) – Tun (1974), Malaysia | |
Seri Setia Mahkota (SSM) – Tun (1972) Malaysia | |
Grand Cross of the Order of Merit of the Federal Republic of Germany, Jerman | |
Knight Grand Cross of the Order of the Netherlands Lion | |
Commander of the Order of Orange-Nassau | |
Knight Grand Cross of the Most Exalted Order of the White Elephant – Thailand | |
Grand Cordon of the Order of the Rising Sun, Jepang | |
Honorary Knight Grand Cross of the Order of St Michael and St George, United Kingkdom | |
Grand Cordon of the Order of Leopold , Belgia | |
Grand Cross of the Order of the Crown, Belgia | |
Knight Grand Cross Orde of Menelik II, Ethiopia | |
Grand Cross (Datu) of the Order of Sikatuna | |
Order of the Star of Jordan – Grand Cordon | |
Grand Officier of the National Order of the Legion of Honour, Perancis |
Kami ingin membuat pengalaman membaca kamu sebaik mungkin! Jika kamu menemukan informasi yang kurang tepat atau hilang dalam konten kami, kami sangat menghargai kontribusi kamu untuk memperbaikinya.
Dengan kerjasama kamu, kami dapat memastikan bahwa setiap informasi yang kami bagikan akurat dan bermanfaat bagi semua pembaca kami. Jangan ragu untuk memberi tahu kami melalui kolom komentar di bawah setiap artikel atau melalui halaman Contact Us.
Setiap masukan dari kamu sangat berarti bagi kami, dan kami selalu siap untuk meningkatkan kualitas layanan kami berkat kontribusi kamu. Terima kasih atas dukungan dan kerjasama kamu!